32. Bencana

Soundtrack lagi gak ada

Setel musin sendiri aja ya

Yang agak-agak mencekam gitu, karena part ini cukup mengejutkan buat gue pribados


Jangan lupa vote sama komennya

Kalau suka sama cerita ini bantu share ke temen-temennya ya


Happy Reading!


"Karena gue gak tahu lo gak bakalan main kotor dengan nyebarin rumor gak jelas itu!"

***

Matahari bahkan belum terbit saat terdengar suara ribut-ribut dari ruang keluarga rumahnya. Dengan mata yang sedikit terbuka, rasa ngantuk yang masih menyerang hebat, ia melihat jam masih menunjuk angka 2. Ameera baru bisa tidur pukul 11 malam setelah lelah bercerita ini itu dengan Dian untuk menemani Dian yang katanya tidak bisa tidur karena biasa begadang.

Satu hal yang Ameera lihat dari Dian malam ini adalah bahwa Dian tidak semembosankan itu. Dian cukup asik sebagai teman bercerita. Hampir sebelas duabelas dengan Duta. Walaupun lebih nyaman bercerita pada Duta.

"Ada apa sih?" Dian bangun menoleh pada Ameera yang juga bingung sambil mengucek matanya.

Ameera menyalakan lampu kamarnya. Kamar remang-remang itu berubah terang benderang. Membuat dua gadis itu mengenyit karena matanya belum terbiasa dengan cahaya.

"Gak tahu." Jawab Ameera walaupun telat tapi yang bertanya tak protes.

"Dimana dia!" teriakan dan ribut-ribut itu terdengar lagi.

Ameera kemudian turun dari tempat tidur berjalan keluar dengan Dian di belakangnya.

"Mama!" mata Dian terbuka lebar seketika saat melihat wanita paruh baya yang sedang berusaha Ilham tahan untuk tidak mengobrak-abrik rumah.

Saat itu juga Riana melihat Dian yang berdiri di anak tangga teratas bersama Ameera. Sudut bibir Riana terangkat. Tertawa keras. Menatap Ilham dengan tatapan mengancam.

"Saya bisa laporin kalian yah atas tuduhan penculikan." Jemari Riana menuding di depan wajah Ilham yang langsung di tepis lembut oleh laki-laki itu.

"Kita bisa bicarakan ini baik-baik bu." suara Ilham tetap rendah. Ameera melihat bahwa papanya sedang berusaha untuk meredam emosinya. Seperti kata pepatah, api jangan dilawan dengan bensin, tapi siram dengan air. Begitu juga kemarahan, jangan dilawan dengan kemarahan juga tapi lawan dengan kelembutan dan kebaikan.

"Baik-baik yang seperti apa? Tunggu aja saya akan melaporkan masalah ini ke pihak berwajib!"

"Tunggu bu tunggu. Mari kita bicarakan dengan kepala dingin. Jangan grasak-grusuk main-main ke pihak berwajib dong." Ilham masih berusaha terlihat sabar.

"Kepala dingin?" Riana tertawa meremehkan. "Jangan harap!"

"Ma!" seru Dian kemudian berlari menuruni tangga dan menarik mamanya mundur. "Om, maafin mama ya."

Ilham hanya menghela napas. Mengangguk pelan.

"Tunggu besok. Surat panggilan kepolisian pasti sampai di rumah anda." Riana masih mengancam Ilham.

Ilham hanya geleng-geleng kepala. Ameera merasa salut dengan papanya yang tidak gampang tersulut emosi.

"Ma!" Dian berteriak memperingatkan.

Pandangan Riana kali ini tertuju pada Ameera yang masih berdiri di tempat semula. "Pasti kamu kan yang mempengaruhi Dian." tuduhnya bengis.

"Cukup bu cukup." Ilham terdengar lebih tegas. Sedikit emosinya pasti tersulut karena Riana menuduh Ameera mempengaruhi Dian.

"Kamu sengaja kan supaya kamu bisa nempatin posisi Dian di sekolah. Kamu sengaja kan pengen buat anak saya gagal?"

"Gagal menurut definsi tante itu seperti apa?" Ameera memberanikan diri mengangkat suara. Yang langsung mendapat tatapan penuh peringatan dari Ilham menyuruhnya untuk tidak ikut campur.

Namun Ameera mengabaikan peringatan Ilham. "Apa tante pernah nanya apa Dian tertekan selama ini sama standar tante itu?"

"Ameera!" sergah Ilham penuh peringatan.

"Tertekan?" Riana tertawa terbahak-bahak. "Omong kosong dari mana itu."

"Ma!" teriak Dian.

"Jangan sok tahu kamu yah!"

"Ma cukup!" teriak Dian histeris. Seketika apa yang akan Riana katakan tak jadi. "Kita pulang!"

"Mama belum selesai ngomong Dian!"

"Plis, pulang Ma! Aku malu!"

***

Andini memutar tubuhnya menghadap Ameera. "Harus banget yah Tante Riana monitor Dian kayak gitu?" tanyanya lalu melirik Riana yang duduk di samping Dian sambil berpangku tangan memperhatikan putrinya yang sedang menulis.

"Kayaknya dia takut Dian kabur lagi kayak dua hari lalu." Duta yang terpaksa pindah ke samping Ameera yang menjawab.

Sudah dua hari ini Riana memonitori Dian sepanjang hari. Mengikuti kemana pun Dian pergi bahkan duduk di kelas selama jam pelajaran berlangsung. Semenjak keberanian Dian menginap tanpa meminta izin Riana kelihatannya semakin protektif. Dian terlihat tidak nyaman, siapapun yang melihatnya pasti bisa langsung menyimpulkan ketidaknyamanan Dian.

Lebih daripada itu Ameera bersyukur karena ancaman Riana tentang melaporkan kepada pihak berwajib atas tuduhan penculikan tidak terbukti. Entah itu hanya ancaman kosong atau Dian berhasil membujuk Riana. Yang jelas, Ameera sangat bersyukur. Jujur saja kemarin ia sangat cemat memikirkannya walaupun Ilham berkali-kali mengatakan padanya untuk tenang karena Ilham punya banyak kenalan pengacara hebat kalaupun hal itu terjadi.

"Lebay banget sih." Ami ikut nimbrung.

"Stt." Ameera meletakan telunjuknya di depan bibir. Jangan sampai kebisingan ini memancing perhatian Pak Aep. "Jangan mancing insiden." ujarnya memperingatkan sambil menunjuk Pak Aep yang sedang menulis di papan tulis.

"Dari apa yang Dian ceritain ke elo gue kok jadi kasihan ya." gumam Andini setelah melirik Dian tak lebih dari dua detik.

"Udah ah udah." Ami memutar tubuh Andini kembali menghadap ke depan. "Jangan mancing indisen." Ami mengatakannya persis seperti Ameera.

Andini akhirnya diam.

***

"Gue emang nembak Ameera!" suara yang sangat Ameera kenal membuat langkah Ameera yang hendak masuk ke perpustakaan terhenti.

Suara itu berasal dari lorong yang memisahkan tempat penyimpanan gamelan dan perpustakaan. Lorong yang jarang sekali di jamah oleh siswa/I Bumi Nusantara di jam-jam biasa. Mungkin hanya dilewati orang saat anggota ekskul kesenian mengambil gamelan untuk latihan lalu mengembalikannya. Selebihnya lorong kecil itu tak pernah tersentuh. Banyak rumor yang beredar bahwa tempat itu berhantu, maka dari itu tidak ada yang berani ke sana di jam-jam biasa. Bahkan ekskul kesenian pun tak berani latihan di sana.

Ameera berjalan dengan langkah yang tak menimbulkan suara.

Ameera melihat Fajar mendorong Theo ke dinding. Menahan supaya Theo tidak bergerak dengan meletakan lengannya di depan leher Theo. Sejenak Theo terbatuk-batuk, sedikit tercekik.

"Gue suka sama Ameera." Tambah Theo. "Kenapa masalah?"

Jarak Ameera cukup dekat. Bahkan ia bisa melihat dengan jelas luka di sudut bibir Theo yang ia lihat kemarin sudah membiru. Tapi dua cowok itu belum menyadari kehadirannya.

Kemarin Theo mendatanginya dengan luka di sudut bibir yang coba dia sembunyikan di balik masker sekali pakai. Ameera merasa aneh melihat cowok memakai masker. Maka dari itu ia menyuruh Theo melepasnya dan saat itu ia melihat luka itu. Theo mengatakan mendapatkan luka itu setelah bertengkar dengan seseorang.

Apa seseorang yang kemarin Theo maksud adalah Fajar?

"Lo gak ngerasa jadi temen palsu ha?" bentak Fajar.

Theo menggunakan kekuatannya untuk balas mendorong Fajar ke dinding yang berhadapan. Posisi beralih. Fajar sekarang yang terkunci oleh lengan Theo. Mata keduanya melotot, saling bersitegang. Urat-urat leher menyembul, menunjukan seberapa emosi masing-masing. Dua pria yang sehari-hari selalu terlihat jahil dan kompak terlihat menakutkan.

"Teman palsu? Lo sendiri gak suka sama Ameera. Lo cuma terus deket sama dia karena youtube lo kan? Karena Ameera buat rate lo naik, subscriber lo naik gara-gara Ameera, fans-fans lo suka lihat Ameera makanya lo terus deket sama dia. Emang lo pikir gue gak tahu!"

"Jaga mulut lo!"

"Niat lo deketin Ameera sejak awal gak pernah murni. Lo setuju buat deket sama Ameera karena lo lihat potensi bahwa dia bisa buat youtube lo naik."

"Emang! Emang niat awal gue terus deket sama Ameera karena itu."

Ameera merasa kakinya mendadak lemas mendengar apa yang Fajar katakan. Sejak awal niat Fajar dekat dengannya tidak murni. Karena obsesinya jadi youtuber sukses. Ameera dimanfaatkan. Mengetahui hal itu pertahanan Ameera runtuh. Matanya mengeluarkan air mata. Ingin pergi, akan tetapi kakinya seolah terpaku di sana menyuruhnya tetap tinggal. Entah kenapa. Seolah alam berkonspirasi menyuruh tubuhnya untuk tinggal karena ada sesuatu.

"Tapi gue gak munafik kalau kayaknya guesuka sama dia." lanjut Fajar.

Theo melepaskan kunciannya dari dada Fajar dan menghela napas. "Kenapa lo harus bilang sekarang?"

"Karena gue gak tahu lo gak bakalan main kotor dengan nyebarin rumor gak jelas itu!" bentak Fajar. "Lo nyebarin rumor kalau gue sama Dian jadian biar lo bisa lebih deket sama Ameera kan? Lo juga manfaatin keadaan. Lo gak lebih munafik dari gue, Yo!"

Theo membelalak tampak terkejut.

Ameera pun sama terkejutnya mendengar hal itu. Theo? Jadi Theo yang menyebarkan rumor tersebut? Kalau dipikir-pikir lagi, darimana Ameera tahu lebih dulu adalah dari Theo malam itu yang kemudian pagi harinya rumor tersebut menyebar.

Sekali lagi, Ameera merasa dinding kepercayaan yang ia bangun untuk Theo runtuh.

Dinding yang tadinya kokoh, yang sempat ia pikir tak akan pernah runtuh seketika saja hancur, rata dengan tanah.

"Gue gak..." ucapan Theo terhenti karena matanya lebih dulu melihat Ameera berdiri tak jauh dari mereka.

Mata Ameera yang masih mengeluarkan air mata menajam menatap mereka berdua. Tak mengatakan apapun Ameera melangkah pergi dari sana.

Theo mengejar dan mencekal pergelangan tangan Ameera. Tak peduli dengan phobia cewek ini. Theo melakukannya hanya karena ingin mencegah Ameera pergi.

Satu pukulan mendarat di rahangnya. Tubuh Theo bahkan sempat terjatuh lalu dia bangkit lagi, menghadang langkah Ameera.

Ameera mundur memberi peringatan supaya Theo tidak melangkah lebih dekat.

"Dengerin dulu." Theo mencoba meraih pergelangan tangan Ameera namun cewek itu berjengit mundur.

"Lo bakalan mati kalau nyentuh gue lagi!" teriak Ameera histeris.

Theo melangkah maju. Ameera mengangkat tangan menyuruh Theo berhenti. "Jangan mendekat!"

"Ra, gue gak pernah..." kalimat Theo terpotong karena seorang siswi berlari dari belakang dan menabrak punggung Theo.

Theo pikir siswi itu sengaja ingin menginterupsi pertengkarannya dengan Ameera. Tapi ternyata beberapa orang lainnya ikut berlari keluar dari perpustakaan dengan wajah yang tak bisa dideskiripsikan. Sama halnya dengan Fajar yang berlari sekuat tenaga melewati mereka berdua. Fajar terlihat sangat panik. Bahkan seperti tidak peduli dengan Ameera marah setelah mendengar pertengkarannya bersama Theo.

Tanpa sadar Theo mendorong tubuh Ameera mepet ke balkon menghindari tabrakan dari siswa/I yang berlarian itu. Mereka berdua tidak sadar bahwa Ameera tidak bereaksi apapun saat Theo menyentuhnya. Dia tidak memukul. Hanya diam.

"Dian beneran?" Tanya seorang siswi yang baru sampai di anak tangga terakhir pada salah satu siswi yang berlari dari arah perpustakaan.

"Beneran. Gue baru lihat fotonya di grup kelas. Dian bunuh diri di toilet."

Dua siswi itu kemudian berlari lurus.

Ameera menatap Theo yang berdiri di hadapannya. Tanpa ada yang masing-masing katakan, Theo menarik tangan Ameera berlari ke arah yang sama dengan siswa/I itu.

Lagi-lagi Ameera tidak bereaksi dengan sentuhan Theo. Bahkan Theo juga sepertinya tidak sadar sedang memegang tangan Ameera, menariknya ikut berlari ke arah yang sama dengan orang-orang berlarian.

***



Mau cerita agak horror nih

Kan gue kerja di kantor kecil gitu. Tempatnya di rumah gede, di salah satu ruangan yang dijadikan kantor, di samping ada butik kecil. Nah, butik itu diliburkan selama seminggu. Atasan gue jarang ke kantor, otomatis gue sebagai karyawan tunggal harus menghabiskan waktu sendirian.

Bayangin aja, tempat yang tadinya rame mendadak sepi.

Gue denger suara dari ruangan sebelah. Kayak orang bersin. Gak cuma itu, gue juga denger kayak ada yang lagi nyapu. Gila kan

Horror tapi gue sudah terlatih kayaknya



Sekian dan terimakasih

Nantikan kelanjutan cerita ini Senin depan yaa


220319

Flower flo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top