30. Dian Membolos
[Now Playing : Lobow - Salah]
Selamat pagi!!
Hari Senin yang cerah
Sedikit cerita yah, tadi pagi ada kejadian lucu yg gue alami. Semalem gue kan tidur tengah malem. Pagi tadi gue bangun, gue kita hari minggu, gue matikan lampu kamar, niatnya mau tidur lagi. Baru beberapa detik gue bangun, lihat kalender. Ternyata hari Senin.
Berasa jadi tokoh novel tahu gak, bangun kesiangan, mandi buru-buru, gak make up-an, muka kucel, berangkat kerja. Duhh...
Gue benci Senin.
Jangan lupa vote sama komentnya
"Karena elo bukan dia makanya gak ngerti sama obsesinya untuk unggul dalam banyak hal."
***
Ilham sedang mengelap kaca depan Arjuna saat Ameera pulang. Ameera masuk ke dalam Arjuna. Duduk di balik kemudi. Ilham menatap putrinya dengan kening berkerut.
"Kenapa?" Tanya Ilham sambil meneruskan aktivitasnya yang sempat terhenti. Ia sudah faham kalau Ameera duduk di balik kemudi Arjuna pasti ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Papa punya keinginan gak aku harus jadi apa atau harus seperti apa?" pertanyaan Ameera cukup random membuat Ilham lagi-lagi menghentikan aktivitasnya. Berjalan menuju sisi besebelahan lalu duduk di jok samping Ameera.
"Maksudnya? Seperti apa kayak gimana? Jadi wonder woman? Hulk?" Ilham meletakan lap di tangannya di atas dashboard.
"Bukan itu. Misalnya papa pengen nilai-nilai aku sempurna terus. Pengen aku tak terkalahkan gitu." Ameera meringis karena ucapannya sendiri. Aneh sekali juga tiba-tiba ia menanyakan hal seperti ini pada Ilham.
Ini bukan Ameera sekali.
Namun, yang terjadi Ilham malah tersenyum lebar.
"Misalnya papa nentuin standar buat aku supaya nantinya aku bisa masuk kedokteran UI atau gimana gitu." tambah Ameera.
"Emang kenapa?" bukannya menjawab Ilham malah balik bertanya membuat Ameera gemas sendiri.
"Jawab aja Pah." Ameera bedecak. "Misalnya papa pengen aku jadi dokter atau apa gitu."
"Kalau papa sih terserah kamu aja. Kamu mau jadi apa itu hak kamu, itu kehidupan kamu. Tugas papa membimbing dan mengarahkan kamu supaya kamu mencapai apa yang kamu mau."
"Masa papa gak punya harapan aku harus jadi apa? Biasanya kan orang tua kayak gitu."
"Gak semuanya." Ilham meralat apa yang Ameera katakan. "Gak semua orang tua kayak gitu. Buktinya papa." Ilham menunjuk dirinya sendiri dengan bangga. "Papa bebasin kamu buat menentukan apa yang kamu mau lakukan."
"Kenapa?" Ameera memang senang mendengar hal itu dari Ilham. Tapi, ia juga penasaran kenapa pola pikir Ilham berbeda dengan pola pikir orang tua kebanyakan yang mengharapkan anaknya menjadi sesuatu.
"Karena kalau papa menentukan kamu harus seperti apa. Kamu harus jadi sesuatu. Papa takut membebani kamu. Buat apa memaksakan sesuatu sama orang yang gak mau, ujung-ujungnya takut gak berkah. Kayak di drama Sky Castle, orang tua bayar tutor mahal-mahal biar anaknya berhasil masuk kedokteran UNS tapi pada akhirnya... keluarganya hancur. Sia-sia."
Ameera mencebik. "Harusnya aku gak biarin Duta racunin papa sama Drama Korea."
Sumpah, Duta itu virus. Menyerang siapa saja yang bukan K-popers, meracuninya dengan lagu-lagu dan drama-drama korea. Bahkan Ilham saja yang hanya tahu film-film Rhoma Irama dan lagu-lagu tahun 90-an jadi tahu drama itu. Ilham tidak akan tahu drama Sky Castle kalau bukan Duta yang meracuninya. Duta memang virus.
Ilham tertawa. "Jangan nyalahin Duta. Lagian dramanya bagus. Mendidik, berfaedah, banyak pembelajarannya."
Ilham menghela napas. "Apapun yang kamu mau lakukan, jangan segan buat ngasih tahu papa. Biar papa tahu apa itu baik atau enggak buat kamu."
Ameera mengangkat kedua jempolnya. "Papa terbaik!"
"Kenapa kamu tiba-tiba bahas kayak gini? Ini bukan kamu banget." Ilham menatap Ameera penuh selidik.
Ameera nyengir. "Gak kenapa-kenapa kok." Jawabnya sebisa mungkin membuat suaranya terdengar meyakinkan.
Dan rupanya Ilham percaya. Ilham keluar dari Arjuna dan melanjutkan aktivitas rutinnya setiap hati itu. Mengelap Arjuna sampai mengkilap.
Membebani. Ilham takut membebaninya jika ia menentukan standar tertentu untuk ia capai.
Apa Dian juga merasa terbebani?
Ameera mendengus. "Kenapa juga gue harus peduli."
***
Ameera bergegas menyusul Dian keluar kelas beberapa saat setelah Pak Aep keluar kelas. Hasil ulangan fisika tadi dibagikan. Dan Ameera merasa bahwa raut muka Dian berubah kelam setelahnya.
Dian berjalan lurus setengah berlari berbelok ke kanan. Ameera yang tadinya takut ketinggalan memelankan langkahnya. Tahu kemana tujuan Dian. Tidak ada tempat lain selain toilet jika seseorang berbelok ke kanan dari koridor ini.
Ameera melangkah sepelan mungkin supaya langkah kakinya tidak terdengar. Samar-samar ia mendengar Dian menangis.
Dian berdiri di depan westafel sambil memandangi kertas ulangan di tangannya. Detik berikutnya Dian meremas-remas kertas itu menyobek-nyobeknya dengan penuh emosi. Dan saat Dian hendak melempar potongan-potongan kertas itu ke tempat sampah gerakannya terhenti karena menyadari bahwa Ameera sejak tadi berdiri di depan pintu.
"Mau buang kertas ulangan lo lagi?" Ameera melipat tangannya di depan dada. Menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu. "Segitu memalukannya ya gak dapet nilat sempurna?"
Dian memutar bola mata. "Bukan urusan lo." Dian melempar kertas ulangannya ke dalam tong sampah.
Ameera membungkuk memungut potongan-potongan kertas ulangan itu dari tempat sampah. "97 gede lho." Ameera menunjukan potongan kertas dimana nilai tertulis tinta merah pada Dian.
"Bersyukur Di." Ucap Ameera sambil menyusun potongan kertas itu di wastafel. "Duta dapet nilai pas KKM aja bahagianya udah mau nraktir satu sekolah."
"Urus aja urusan lo."
Ameera tertawa. "Dasar batu. Lo hidup selama ini kayak gimana sih? Bersyukur Di bersyukur."
"Jangan komentarin hidup gue. Lo gak tahu apa-apa." Sergah Dian marah. Matanya berkaca-kaca.
"Gue emang gak tahu . Tapi gue tahu kalau elo terobsesi buat sempurna dalam semua hal."
Dian menunduk. Meletakan tangannya di depan wajah untuk menutupi matanya yang berlinang air mata.
"Apa karena mama lo?" suara Ameera melembut. Ia tahu, sikapnya yang peduli sekarang nantinya bisa dimanfaatkan lagi. Tapi, setidaknya Ameera melakukan hal ini sebagai manusia walaupun bukan sebagai teman.
"Lo gak tahu rasanya mimisan tiap malem, gak tahu rasanya muntah tiap baca buku gak berhenti-berhenti." Dian mendongak. Menghapus air matanya dan menunjukan wajahnya yang mengesalkan seperti biasa. "Jadi, stop urusin hidup gue. Karena lo bukan gue."
Dian keluar dari toilet. Meninggalkan Ameera yang mematung di tempatnya. Sekarang ia tahu, obsesi Dian untuk sempurna dalam banyak hal, ingin menjadi nomor satu dan tak terkalahkan karena Riana, mamanya.
Ameera merenung. Teringat apa yang Ilham katakan padanya kemarin sore. Bahwa standar yang ditentukan oleh orang tua pada akhirnya akan membebankan anak itu sendiri.
"Seberapa besar sih beban lo?" gumam Ameera sambil meletakan potongan terakhir kertas ulangan Dian.
***
Tidak seperti Dian, anak itu membolos pelajaran. Bukan karena Ameera peduli. Melainkan heran. Dian bukan tipe anak yang suka melanggar peraturan apalagi membolos pelajaran. Ditambah fakta bahwa Dian terobsesi untuk menjadi yang terbaik.
Duta menoleh padanya. "Apa?" Tanya Ameera hanya berupa gerakan bibir.
"Lo tahu orang ini kemana?" Tanya Duta sambil menunjuk kursi di sampingnya.
Ameera mengangkat bahu.
"Kan lo bilang tadi ketemu Dian di toilet." Lanjut Duta.
Ya. Ameera tadi sempat mengatakan pada Duta bahwa ia bertemu dengan Dian. Ia juga menceritakan tentang kertas ulangan Dian. Duta sempat kaget saat dia tahu bahwa Dian membuang kertas ulangannya. Akan tetapi Ameera tidak menceritakan tentang kejadian kemarin sore saat ia mendapati Dian dimarahi habis-habisan oleh Riana di parkiran karena hal yang sama. Karena menurut Ameera untuk urusan keluarga orang, ia tidak punya hak untuk menceritakannya pada orang lain.
"Mana gue tahu." Jawab Ameera dengan mimik kesal. Duta merengut seolah terluka lalu kembali menghadapkan tubuhnya ke depan.
"Dia pasti malu." Ujar Ami yang duduk tepat di depan Ameera. Detik berikutnya Ami berbalik. "Orang kayak dia ketahuan buat kesalahan, pasti malu buat ketemu orang."
Tak lama Andini pun ikut berbalik. "Tapi, kenapa harus malu sih dapet nilai kurang dari 100?"
Ami berdecak. "Ya namanya juga Dian. Ya kan?" Ami menggedikan dagunya pada Ameera.
Ameera mengangguk. "Orang yang punya obsesi buat unggul dalam banyak hal."
Ami mengangguk menimpali lalu menatap Andini. "Gak dapet nilai sempurna pasti bagai bencana buat dia, dan lagi dia ketahuan sama Ameera buang kertas ulangannya. So, dia mungkin ngerasa dunia udah kiamat karena ada yang tahu kesalahan dia."
"Tapi, kok gue masih belum bisa kepikiran yah. Kita-kita aja yang dapet nilai 80 atau tuh si Duta yang dapet nilai pas KKM aja bahagianya udah kayak dapet lotre. Salah satu soal aja, gapapa kali." Sepertinya Andini belum mengerti apa yang Ameera dan Ami bahas.
Ami berdecak. "Karena elo bukan dia makanya gak ngerti sama obsesinya untuk unggul dalam banyak hal."
"Tapi, kenapa harus selebay itu sih dia."
Ami semakin terlihat kesal. Namun, baru saja Ami ingin menyahuti apa yang Andini katakan mereka berdua sudah lebih dulu di tegur Bu Nelia. Seketika itu juga mereka berbalik ke depan dan mengunci mulutnya.
Di belakang Ameera menghela napas. Ia jadi mulai merasa kasihan pada Dian. Tidak bisa membayangkan seandainya dirinya menjadi Dian, Ameera pasti merasa tertekan.
Tunggu.
Tertekan?
Apa perasaan seperti itu yang Dian rasakan.
Tak lama Bu Nelia keluar kelas karena jam mengajarnya sudah usai. Guru yang lain masuk. Bu Wita guru Bahasa Indonesia. Lagi-lagi Dian tidak kelihatan batang hidungnya. Membuat Bu Wita menanyakan keberadaan Dian padanya karena Duta memberitahu orang yang terakhir melihat Dian adalah dirinya. Begitu juga dengan guru-guru selanjutnya. Dian tidak masuk pelajaran lagi. Anak itu membolos seharian, hanya masuk di jam pertama kemudian menghilang. Bahkan saat jam mengajar sudah selesai pun Dian tidak datang ke kelas untuk mengambil tasnya. Sehingga Duta berbaik hati akan mengantar tas tersebut ke rumahnya. Namun, Ameera melarang hal tersebut.
"Biar nanti gue aja." Ucap Ameera setelah merebut tas navy itu dari Duta.
Duta tampak keheranan dengan sikap Ameera yang tiba-tiba tersebut. Cowok ini pasti heran kenapa ia tiba-tiba mau berurusan dengan Dian.
"Sekalian ada sesuatu yang mau gue omongin sama dia." Elak Ameera sedikit tak jujur.
Dan akhirnya Duta mengiyakan Ameera yang akan mengantar pulang tas Dian tanpa bertanya apa-apa lagi. Ameera menghela napas lega. Akan gawat sampai Riana tahu bahwa putrinya membolos pelajaran. Dian, pasti akan kena amuk lagi. Mendapat nilai tak sempurna saja Riana sudah marah besar, apalagi jika dia tahu Dian membolos pelajaran seharian.
Dian yang membolos seharian mendadak menjadi perbincangan hangat satu kelas yang dari mulut kemulut menyebar menjadi topik hangat satu angkatan. Semua orang tahu pada Dian. Semua orang tahu jiwa kompetitif Dian untuk menjadi yang terbaik dan tidak pernah mau melewatkan kelas apapun. Semuanya keheranan.
Dengan menelan egonya untuk tidak bertemu dengan Fajar dulu Ameera menghampiri Fajar ke kelasnya. Dan jelas saja ia bertemu dengan Theo yang langsung tampak bete karena ia menghampiri Fajar bukan dirinya.
Theo melangkah pergi tanpa mengatakan apapun. Punggungnya semakin menjauh sebelum akhirnya menghilang dari pandangan. Ada sedikit perasaan tak nyaman saat melihat Theo bersikap seperti itu padanya. Harus Ameera akui melihat Theo menunjukan rasa cemburunya secara terang-terangan membuat Ameera merasa tidak enak, seolah-olah dirinya baru saja melakukan kesalahan fatal.
"Ada apa?" Tanya Fajar terlihat senang karena Ameera mau menemuinya lagi.
"Ada yang mau gue tanyain sama lo." Ujar Ameera namun Fajar malah melangkah melewatinya.
"Fajar!" panggil Ameera menyangka Fajar akan meninggalkannya.
Fajar berbalik. Menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Jangan ngomong di sini." Fajar menggedikan kepalanya menyuruh Ameera mengikutinya.
Ameera pun menurut.
Fajar menghentikan langkahnya setelah mereka berada di lapang futsal yang masih sepi karena kegiatan ekskul belum dimulai.
"Gue juga ada yang mau diomongin sama lo." Ujar Fajar sesaat setelah ia menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Ameera. "Tapi, lo duluan aja."
"Lo tahu Dian menghilang?" Ameera memicing. Ia sendiri heran kenapa dirinya sepeduli ini sampai harus menanyakan pada Fajar.
Fajar mengernyitkan alis. "Dian?" nada suaranya terdengar jelas keheranan. Fajar pasti belum tahu tentang Dian yang membolos seharian.
"Dia bolos seharian." Lanjut Ameera.
Fajar tampak terkejut. Dia juga pasti merasa tidak menyangka hal tersebut terjadi.
"Lo gak bercanda kan?" Fajar tidak percaya. "Dian bolos?"
Ameera mengangguk. "Lo pasti gak percaya. Tapi itu kebenarannya. Bahkan satu angkatan udah tahu hal itu."
"Dian bukan tipe anak yang bakalan bolos pelajaran."
"Gue tahu." Timpal Ameera. "Makanya gue heran dan nanya ini sama lo. Karena mungkin sebagai pacarnya lo tahu dia dimana."
Fajar mengangkat tangannya isyarat supaya Ameera menghentikan ucapannya. "Ini nih yang mau gue omongin sama lo."
Ameera mengenyit.
"Gue bukan pacar Dian. Gue gak jadian sama Dian."
"Tunggu." Potong Ameera. "Apa lo harus jelasin hal ini sekarang?" Ameera merasa tidak tepat tiba-tiba Fajar membahas hal ini di saat Dian menghilang.
"Karena gue mau lurusin persepsi lo bahwa gue pasti tahu dimana Dian. Gue bukan pacarnya makanya gue gak tahu."
"Gue juga gak tahu kenapa tiba-tiba gosip berbedar dan bilang kalau gue jadian sama Dian. Gue pikir ada orang yang sengaja nyebarin berita bohong itu. Supaya gue gak bisa deket lagi sama lo."
Ameera diam. Dadanya bergemuruh. Namun bukan rasa senang yang bergejolak di dalam sana mendengar penjelasan yang persis sama seperti yang Dian jelaskan padanya waktu itu. Tapi, malah perasaan tak nyaman. Ia tidak suka, malah seperti tidak ingin peduli apakah mereka pacaran atau tidak.
Kenapa?
Ia sendiri tidak tahu kenapa. Apa karena sekarang hatinya sudah tidak bersama Fajar lagi?
Lupakan tentang masalah itu sekarang. Dian menghilang. Dan itu fokus utama kenapa Ameera menemui Fajar.
Tiba-tiba saja ada panggilan masuk ke ponsel Fajar. Cowok itu merogoh ponsel dari saku celananya dengan pandangan tak teralihkan dari Ameera.
"Hallo."
Seseorang menyahuti dari ujung sana. Suara yang langsung bisa Ameera kenali. Theo.
"Dian nemuin gue. Dia sama gue sekarang."
***
Nah lho, kenapa Dian bisa sama Theo?
Nantikan cerita ini hari Rabu ya
Follow
iistazkiati
Wa: 085314206455
Fb: Iis Tazkiati N
Fp: Book's Slide (gue buat cerita juga disana)
Makasih buat kalian yang berbaik hati memencet tombol bintang dan mengetikan komenan
180319
Flower flo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top