3. Fajar Renaldo
Seharusnya ini gue up besok. Tapi, dikarenakan besok gue ada keperluan dan gak bisa up tepat waktu makanya gue majuin jadi hari ini.
Hai, kenalan sama pemeran baru ini:
Fajar Renaldo:
Kapten tim futsal, food vloger, sahabat baik Theo sekaligus cowok yang Ameera suka.
Semoga semakin suka wkwk
Jangan lupa vote sama tinggalkan komentarnya ya, kalau berkenan bantu share juga ke temen-temennya yaa
Fajar bertepuk tangan. "Hebat! Gue belum pernah lihat cewek serakus lo."
***
"Masih marahan sama Dian?"
Ameera mendongak dan mendapati Duta tengah bertopang dagu menatapnya.
"Kalian kenapa sih? Ada masalah apa?" kali ini Ami yang bertanya.
"Udah hampir seminggu kalian gak ngobrol. Kita sekelas kaya lagi di tengah-tengah perang dingin " timpal Andini.
Duta dan Ami mengangguk bersamaan, menyetujui apa yang Andini katakan.
"Bukan urusan kalian." dengus Ameera lalu melangkah keluar kelas.
Di pintu kelas ia hampir bertabrakan dengan Dian. Mantan teman sebangkunya itu menatapnya dengan tatapan sendu. Ameera tidak memperdulikannya. Dia pintar akting. Jangan sampai tertipu lagi lalu dimanfaatkan, Ra.
"Ra,"
Repleks Ameera menjauhkan tubuhnya saat Dian hendak menarik tangannya.
"Jangan sampai gue pukul lo lagi. Jangan sampai gue lihat akting lo lagi yang buat gue bakalan makin benci sama lo." sarkas Ameera. Tatapannya mengarah tajam pada Dian.
"Maafin mama gue, dia terlalu sayang sama gue." Diam menunduk dalam. Lagi-lagi Dian bersikap seolah menjadi korban, menjengkelkan.
Permintaan maaf Dian malah membuat Ameera semakin muak melihatnya. "Bukannya urutannya salah ya?"
"Maksud lo?"
"Kalian lagi ngapain? Muka kalian serem banget."
Ameera mengalihkan tatapannya pada Dea yang baru datang sambil membawa tumpukan buku di tangannnya.
"Lagi kontes muka serem." jawab Ameera asal kemudian meninggalkan mereka dua cewek itu.
Ameera mengeluarkan earphone dari saku seragamnya lalu menyumbat telinganya dan menyetel lagu IKON – Apology.
Menghela napas.
Lalu menghembuskannya keras-keras.
Lagu moodbosternya kali ini tidak mampu untuk mengembalikan moodnya. Urutannya salah, seharusnya Dian meminta maaf terlebih dahulu karena sudah ngarang cerita pada mamanya. Setelah itu Dian meminta maaf atas perlakukan mamanya. Bukankah normal seperti itu?
Mendengar Dian meminta maaf terlebih dahulu atas nama mamanya membuat ia merasa bahwa Dian memang tidak merasa bersalah sama sekali padanya.
Tanpa ia sadari dari kejauhan seorang cowok dengan leher dan tangan bergips melambaikan tangan padanya. Begitu menyadari hehadiran cowok itu Ameera lagi-lagi menghela napas.
Cowok itu.
"Ameera!!" panggilnya.
Anak calon gubernur itu.
"Woyy!! Ameera!!!"
Cowok kemarin ia buat masuk rumah sakit.
"Lo lihat gue gak sih?!" jengkel cowok itu karena Ameera sama sekali tidak memberikan respon.
Ya. Dia. Antasena Theodore.
Dengan langkah gontai Ameera berjalan mendekat.
Dari jarak sedekat ini ia bisa melihat wajah cowok ini babak belur dengan lebam keunguan di sekitar wajah dan bibirnya. Daripada terlihat habis dipukuli seorang perempuan, dia malah terlihat seperti habis dipukuli sekelompok preman. Tanpa sadar Ameera meringis. Antasena Theodore, anak calon gubernur ini ternyata memang orang yang paling parah diantara korban-korbannya sebelumnya.
"Maaf, gue udah buat lo babak belur." ucapnya tulus lalu tersenyum manis. "Biaya perawatan lo berapa? Nanti gue ganti."
Theo mengibaskan tangan kirinya yang tak bergips di udara. "Udahlah, papa gue kaya kok."
Ah, Ameera lupa papa dari cowok ini kaya raya.
"Terus lo mau ngapain manggil gue kalau gak mau minta ganti rugi?" tanya Ameera. Bukannya menjawab cowok ini malah mengangkat tangan kanannya yang bergips.
"Tangan gue patah."
"Gue tahu."
"Buat ngelakuin beberapa hal remeh gue pun sulit."
"Itu pasti." timpal Ameera. Tanpa mengatakannya pun Ameera tahu.
"Dan lo yang buat tangan gue kayak gini."
Ameera mengangkat sebelah alisnya. Untuk apa cowok ini membahas hal itu. Membuat Ameera semakin jengkel dan merasa bersalah saja.
"Gue belum makan dari pagi." ujar Theo membuat Ameera semakin bingung dengan maksud cowok ini.
"Terus?"
"Gue bukan orang kidal, dengan tangan kiri gue gak bisa ngapa-ngapain."
"Ya terus?" Ameera semakin kehilangan kesabaran. Cowok ini berbicara mutar-mutar kesana-kemari tidak bisakah langsung ke intinya saja.
Sungguh, atmosfer dalam diri Ameera saat ini sedang tidak baik. Jangan sampai pukulannya melayang kembali pada wajahnya yang lebam-lebam keunguan itu.
"Bantuin gue makan?"
"Bantuin?" Ameera memicing curiga.
"Suapin gue!" ujar Theo langsung membuat Ameera membulatkan matanya.
"Gila!" Ameera mendengus.
"Terus lo mau nya gimana? Mau gue tuntut?"
Mata Ameera semakin membelalak. "Lo ngancam gue?"
"Nga...ngancam?" Theo gelagapan, detik berikutnya dia tertawa. "Lo ngira gue ngancam lo?" Theo menunjuk Ameera.
Ameera mengangguk sambil melipat tangannya di depan dada.
"Bukannya ngancam, gue cuma ngasih lo pilihan. Lo bantuin gue makan atau gue tuntut lo. So!" Theo tersenyum miring. "Keputusannya ada di tangan lo."
"Lo..." Ameera memicing curiga. "Gak lagi mau modusin gue kan?"
Ingin rasanya Ameera memukul kepalanya sendiri. Darimana juga datangnya pemikiran seperti itu.
Theo tertawa terbahak-bahak. "Gue gak salah denger? Mo-dus-in lo?" tanyanya tak percaya.
"Sorry, lo gak ada dalam taraf buat gue modusin." bantah Theo dengan yakin.
Ameera memutar bola mata.
"Jadi gimana? Lo pilih apa?"
Ameera menggigit kuku jarinya. Bingung. Sebenarnya pilihan untuk membantu Theo makan bukan hal sulit. Hanya saja... hanya saja, bagaimana jika mereka berdua tak sengaja bersentuhan. Itu akan menjadi petaka bagi cowok itu. Kena pukul saat makan, tidak ada yang mau mengalaminya.
"Kebiasaan lo kalau bingung makan kuku lo ya?"
Ternyata Theo memperhatikan kebiasaannya.
"Ha?" segera Ameera meletakan tangan ke samping tubuhnya.
"Gue kelaparan nih." Theo mecebikkan bibirnya sambil memegangi tangannya.
"Yaudah!" putus Ameera. "Dengan syarat, lo gak boleh bersentuhan sama gue?"
"Kenapa?"
"Gue gak mau dosa gue nambah." celetuk Ameera.
"Ah..." Theo mengangguk-angguk. "Bukan muhrim ya?"
***
"Minum-minum." Theo menunjuk es teh.
Dengan malas Ameera menggeser es the cowok itu mendekat pada pemiliknya.
"Suapin." ucap Theo suaranya sengaja dimanja-manjakan membuat Ameera rasanya ingin memukulinya lagi.
"Kenapa?" Theo mengerjap. "Gak mau?" suaranya terdengar penuh ancaman.
Ameera menghela napas. Mengarahkan sedotan tepat di depan bibir Theo. Cowok itu tersenyum bahagia.
"Baksonya."
Ameera meletakan es the, memotong baso dan menyuapkan pada mulut cowok menyebalkan ini.
"Pesenin gue mie ayam." ucap Theo angkuh.
"Ini aja belum habis setengahnya." Ameera menatap bakso porsi jumbo yang belum termakan setengahnya itu.
"Tenang aja, gue bakalan habisin semuanya."
"Tapi,"
"Pesenin aja kenapa? Gue gak nyuruh lo bayar juga kan?"
"Oke." Ameera bangkit dari duduknya. Belum dua langkah Theo sudah memanggilnya lagi.
"Pake lontong tiga."
Ameera mengangguk.
Lagi-lagi Theo memanggilnya. Ameera berbalik.
"Tambah jus alpukat sama empat gorengan."
Ameera tersenyum semanis mungkin lalu mengangguk.
"Ra!"
Entah untuk apa lagi cowok itu memanggilnya, dengan perasaan jengkel ia berbalik dan menatap tajam Theo.
Theo nyengir memamerkan seluruh jajaran giginya. "Hati-hati."
Ameera menghentakkan kakinya.
Sementar itu Theo yang duduk di kursinya terkikik. Menjahili orang memang selalu semenyenangkan ini. Dengan tangan kiri, Theo menusuk bakso dengan garpu dan memasukannya ke dalam mulut. Belum juga tergigit seseorang sudah menarik garpu dari tangannya.
"Eh, inget kata Bang Zaki, jangan makan pake tangan kiri. Gak sopan." cowok yang baru saja menarik garpu dari tangannya ini tersenyum jahil.
"Fajar, gak lucu! Jar sumpah!" Theo merebut garpunya. Namun lagi-lagi cowok bernama Fajar mengambilnya.
"Lupa Bang Zaki cenayang? Mau kena hukum Bang Zaki?" Fajar meringis menatap penampilan Theo. "Lari keliling sekolah kayaknya bakalan sukses bikin lo masuk rumah sakit lagi."
Nafsu makan Theo berkurang saat mendengar kapten tim futsal ini membahas Bang Zaki. Pelatih futsal mereka yang memiliki semacam obsesi pada peraturan dan tata krama. Tak hanya itu, Bang Zaki juga selalu tahu segala hal meskipun tidak pernah ada yang melapor padanya. Maka dari itu, semua anak futsal sepakat mengakui bahwa Bang Zaki itu sejenis cenayang.
"Mau gue suapin?" tawar Fajar sambil tersenyum sangat manis tak lupa mengedipkan sebelah matanya.
Theo ingin muntah melihatnya. "Gak perlu, tangan kanan gue bentar lagi dateng."
Belum sempat Fajar bertanya, Ameera sudah datang lebih dulu dengan muka jengkelnya. Di tangannya nampan bersisi pesanan Theo yang makan seperti kuli itu.
"Nih, tangan kanan gue." Theo nyengir menatap Ameera sejenak lalu kembali pada Fajar.
"Kenalin temen gue." Theo menunjuk Fajar.
Ameera mematung. Matanya mendadak tak fokus. Tangannya terasa dingin. Cowok ini.
"Fa..." Theo hendak memperkenalkan Fajar namun Ameera lebih dulu menyela.
"Gue tahu. Fajar. Fajar Renaldo." ujar Ameera sambil mengerjap. Wajahnya mendadak kaku. Di bawah sana kakinya bergerak gelisah.
"Dia itu..."
Belum sempat Theo menyelesaikan, lagi-lagi Ameera menyela. "Gue tahu."
"Kapten tim futsal, kelas XI IPS 3. Rumah lo di Cempaka Hijau kan?"
Fajar kaget sampai-sampai mulutnya menganga membentuk huruf O.
Jauh dalam hati Ameera mengutuk kebodohannya. Seharusnya ia pura-pura tidak tahu saja. Mengatakan hal itu barusan membuat ia terlihat sangat bego. Kenapa ia tidak bisa bersikap alami saja seperti tidak mengenal Fajar.
"Kok lo tahu?" Theo menatap Ameera penuh selidik.
Karena gugup Ameera mengambil jus alpukat milih Theo yang belum tersentuh dan menenggaknya sampai habis tak bersisa. Diakhiri dengan ia mengelap bibirnya yang basah. Theo dan Fajar yang melihatnya hanya bisa menganga. Gelas besar jus alpukat itu habis dalam satu kali tegukan dalam waktu kurang dari lima detik.
Fajar bertepuk tangan. "Hebat! Gue belum pernah lihat cewek serakus lo."
Yang dikatakan Fajar malah membuat Ameera gelisah. Wajahnya memerah karena malu.
"Jus gue..." Theo hanya bisa meratapi gelas kosong yang sebelumnya berisi minuman favoritnya itu.
Fajar mencondongkan tubuhnya, matanya berbinar kagum. "Lo mau jadi bintang tamu gue gak?"
"A...apa?" tanpa sadar ia menarik mangkuk mie ayam Theo.
"Gue food vloger. Khusus mukbang gitu."
"Gue tahu." Sahut Ameera cepat. Yang lagi-lagi membuat ia harus benar-benar mengutuk dirinya sendiri menjadi batu. Lagi-lagi keceplosan.
Sementara itu Theo meneguk ludah melihat Ameera melahap mie ayamnya tanpa memperdulikan dirinya yang sejak tadi meneteskan air liur.
"Sabtu nanti rencananya gue mau ngerekam food street dan bakalan makan dengan versi jumbo ala-ala mukbang Korea. Kalau lo mau, lo jadi bintang tamu gue. Gimana?"
"Oke!" Ameera berdiri secara tiba-tiba.
"Apa?" Fajar tak menyangka Ameera akan menyetujuinya secepat ini. Walaupun begitu dia senang.
Dengan pandangan tidak fokus Ameera menatap Theo yang sedang meratapi mie ayamnya yang baru saja habis dilahap orang lain.
"Gue balik ke kelas." Pamit Ameera.
Setelah itu, Ameera ngacir secepat kilat. Membuat Theo semakin merasa berduka melihat mangkuk mie ayam dan gelas jus alpukatnya. Habis tak bersisa satu tetes pun.
"Lo kenal dia dari mana? Kapan? Gue gak pernah lihat dia sebelumnya. Dia bukan pacar lo kan? Kalau gue nanti jadiin dia partner tetap channel youtube gue dia bakalan mau gak ya? Menurut lo dia cocok gak jadi partner acara gue?" Fajar memberondong Theo dengan banyak pertanyaan, akan tetapi yang ditanya tidak merespon sama sekali. Sibuk meratapi nasib mie ayam dan jus alpukatnya.
"Yo, jawab ngapa."
"Diem, saat ini gue lagi berkabung." ucap Theo dengan nada galak sambil menatap nyalang mangkuk dan gelas yang sama-sama kosong itu.
***
Gimana sama part ini?
Nantikan part terbaru di Hari Jumat minggu depan yaa...
See U
Flower Flo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top