27. Benarkah

[Now playing: Zara Larsson - Ruin My Life]

Hai, udah hari Senin aja. Sebagai penghiburan hari Senin yang gak adil krn harus memulai aktivitas dgn bangun pagi dan bermacet-macet ria, diriku persembahkan part terbaru [Ra?].

Paan dah gue ya wkwk

Voment!


Happy reading


"Karena sesuatu yang baik selalu berbanding lurus dengan sesuatu yang buruk juga."

***

Ameera berbaring memunggungi langit-langit kamarnya. Kemudian merubah posisinya lagi, lagi, dan lagi. Terus-terus berganti-ganti posisi tubuhnya di atas ranjang sudah dilakukannya beberapa jam ini.

Sejak jam 8 malam ia sudah berbaring. Namun sampai jarum jam menunjuk anga 11 ia belum bisa memejamkan matanya barang satu detik pun. Ameera mendesah lalu bangun menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang.

Pernyataan Theo tadi sore membuat Ameera benar-benar gelisah. Lebih gelisah dibandingkan dengan saat Fajar meminta Ameera untuk datang ke rumahnya.

Ameera mengingat saat Theo mengatakan bahwa dia menyukainya. Ia tadi sempat menertawakannya secara terang-terangan dan meminta Theo untuk menghentikan aksi jahilnya. Tapi ternyata itu bukan kejahilan seperti yang ia duga.

Theo serius.

Theo serius saat mengatakan bahwa dia menyukainya.

Tidak masuk akal.

Bahkan Duta pun tampak tidak kaget akan hal itu malah bersikap santai walaupun awalnya dia berpura-pura kaget.

"Lo bisa pikirin dulu. Gue tahu lo pasti mikir kalau gue bohong. Gue serius, Ra."

Apa yang Theo katakan sesaat sebelum dia pamit pulang pun masih terngiang-ngiang bagai kaset kusut di dalam kepalanya. Dan juga apa yang Duta katakan padanya setelah Theo pergi.

"Waktu Theo lagi dikabarkan deket sama Dian, dia sering lihatin lo. Kemudian gue menyimpulkan kalau apa yang dia lakukan supaya buat lo sama Fajar makin deket. Emang yah, bego tuh orang dari awal. Kalau gue, udah nyatain aja mumpung belum terlalu deket sama yang ditaksirnya."

Tapi, kenapa pemilihan waktu Theo menyatakan perasaannya terkesan tidak tepat sekali. Saat dia tahu bahwa Ameera masih patah hati. Bahkan beberapa jam kemudian Theo baru saja berantem dengan Fajar karena dirinya.

Theo seperti orang yang mengambil keuntungan di tengah bencana peperangan.

***

Ameera mengabaikan saja pesan masuk dari Theo yang mengatakan dia akan menjemputnya. Ia lebih memilih memesan grab daripada menunggu Theo.

Kejadian kemarin masih terngiang-ngiang membuatnya tak tenang semalaman. Jangan sampai dengan ia melihat Theo pikirannya semakin semraut. Menghindari Theo mungkin pilihan yang baik untuk saat ini.

"Lesu banget." tegur Duta yang baru datang dan langsung menghampiri Ameera di mejanya.

Ameera menghela napas.

"Kepikiran apa yang Theo bilang kemarin?" tanya Duta.

Ameera mengangguk.

"Kenapa juga dipusingin sih."

"Normal emang kalau gue fine fine aja?" balas Ameera sewot membuat Duta mundur karena takut.

"Kok lo jadi marah."

"Gue gak marah." Tukas Ameera. "Gue cuma... gimana yah jelasinnya." Ameera mengangkat bahu. "Gak tahu gue juga."

"Kalau gue jadi elo udah gue terima tuh si Theo." Perkataan Duta membuat Ameera menatapnya tajam.

"Yaudah! Kenapa gak lo yang terima dia aja!" ketus Ameera.

Duta menunjuk dirinya sendiri. "Kok gue?"

"Ameera."

Tiba-tiba saja seseorang berdiri di samping meja Ameera. Tepat di samping Duta.

Duta mengerjap tidak percaya gadis ini akan menghampiri Ameera setelah apa yang terjadi. Setelah berita yang menggegerkan tentang dia yang jadian dengan Fajar.

Dian.

"Ada yang mau gue omongin." Katanya.

Duta meringis kemudian undur diri dari sana perlahan-lahan tanpa diketahui.

Ameera yang sebelumnya menatap Dian tanpa berkedip menghela napas. Melipat tangan di depan dada, bersikap acuh tak acuh.

"Dengerin aja," Ucap Dian. "Lo gak perlu balik ngomong atau lihat muka gue. Asa lo denger gue gapapa."

"Eh Am..." Andini yang hendak menyapa terhenti, terdiam di depan pintu kelas melihat Dian berdiri di samping Ameera.

"Hm, oke gue dengerin." Kata Ameera terdengar malas.

Ameera menatap Andini yang menatapnya dengan tatapan bertanya. Lalu ia tersenyum mengisyaratkan bahwa ia tidak apa-apa. Memang siapa Dian? Kenapa juga Dian harus selalu menjadi alasan ia ada apa-apa.

Walaupun memang senyum yang Ameera lontarkan pada Andini yang ia sendiri tahu kurang meyakinkan. Buktinya Andini sekarang menghampiri Duta. Dia pasti ingin tahu kenapa tiba-tiba Dian menghampiri Ameera.

Pura-pura baik-baik saja memang tidak semudah itu?

"Ada apa?" Ameera sebisa mungkin membuat suaranya terdengar biasa saja. Meskipun ia sendiri menyadari itu gagal, karena nada sewot masih terdengar.

Dan Dian menyadarinya.

"Gue minta maaf." Dian menunduk.

"Maaf untuk kejadian beberapa bulan lalu. Seharusnya gue gak bilang sama mama kalau lo iri sama gue. Gue keterlaluan."

Ameera diam.

Terlambat sih. Tapi lebih baik terlambat kan daripada tidak sama sekali.

"Bagus kalau lo nyadar itu salah." Ameera mencoba mencari titik yang akan ia gunakan untuk memusatkan pandangannya. Tidak ingin menatap Dian sama sekali.

"Gue yang iri sama lo." Akhirnya Dian mengatakan alasannya kenapa waktu itu ia memfitnah Ameera. Pasti selalu ada alasan kenapa orang lain melakukan keburukan.

Yah, alasan seseorang melakukan sesuatu yang salah memang pada dasarnya selalu karena iri. Lihat saja FTV-FTV Indosiar dimana di tokoh antagonisnya melakukan berbagai cara untuk menghancurkan si tokoh protagonis, kebanyakan karena iri kan?

Dan Dian mungkin salah satu penjelmaan manusia antagonis FTV dalam bentuk manusia nyata. Di kehidupan nyata.

"Gue gak bisa kalah. Gak mau kalah dari siapapun."

Sama seperti yang pernah Fajar katakan bahwa Dian selalu berusaha menjadi nomor satu dan tidak pernah suka ada orang lain yang lebih darinya, sekarang Ameera mendengar dari orangnya sendiri.

Ada yah, orang seperti ini di dunia nyata.

"Syukurlah kalau lo nyadar bahwa obsesi lo buat jadi nomor satu itu salah." Ameera tidak tahu harus merespon dengan cara apa. Ia hanya mengutarakan apa yang terlintas di pikirannya. "Orang gak bisa terus jadi nomor satu. Ada kalanya, dia harus kalah. Kenapa? Karena sesuatu yang baik selalu berbanding lurus dengan sesuatu yang buruk juga."

Dian mengulum bibir bawahnya. "Gue tahu."

Ameera menghela napas. "Oke. Kalau emang yang mau lo omongin ke gue cuma itu..."

"Ada lagi yang mau gue omongin." Potong Dian sebelum sempat Ameera menyelesaikan kalimatnya.

Ameera sedikit kaget. Ada lagi?

"Gue sama Fajar gak jadian."

Ameera menatap Dian seketika itu juga dengan mata membulat sempurna.

"Seperti yang lo tahu gue lagi deket sama Theo." Lanjutnya. "Tiba-tiba aja suatu pagi semua orang gosipin kalau gue jadian sama Fajar."

Ameera tidak ingin percaya.

"Jujur gue tertekan beberapa hari ini. Fajar juga." Ujar Dian. Memang jelas sekali wajahnya terlihat frustasi.

"Gue sama Fajar lagi nyari tahu siapa orang yang pertama kali nyebarin gosip itu. Dan kalau nanti udah ketemu, gue sendiri yang bakalan seret dia ke hadapan lo."

Ameera tidak ingin percaya. Bisa saja Dian berbohong lagi kan?

Namun, cara Dian menyampaikan hal tersebut padanya terlihat sangat meyakinkan. Dan lagi, ia mengingat pesan-pesan dari Fajar yang mengatakan bahwa ia salah faham. Dan juga Dian yang mengatakan lewat pesan juga untuk tidak percaya dengan gosip yang beredar itu.

Ada sekelumit rasa senang dalam diri Ameera. Ada banyak perasaan penuh harap dalam dirinya yang berharap bahwa hal itu benar. Bahwa memang ada seseorang yang sengaja menyebar gosip bahwa Dian dan Fajar jadian.

Tapi, untuk apa orang itu melakukannya?

Kurang kerjaan.

"Gue suka sama Theo." ujar Dian. Wajahnya memerah. Itu kebenaran. "Lo pikir kenapa gue deketin Theo kalau gue gak suka sama dia?"

***


Sampai jumpa hari Rabu!!

Tinggalkan komen sebanyak-banyaknya hha



110319

Flower flo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top