17. Time Zone Ala Theo

Soundtrack

~The Overtunes Ft. Monita Tahalea - Bicara~


Hai semuanya...

Jangan lupa vote sama komentarnya ya ;)


Bahagia itu memang sederhana. Saat kita bisa tertawa. Karena diri sendiri atau tertawa karena melihat orang lain tertawa.

***

Darah.

Dengan jemari yang gemetaran dan terasa kebas Ameera kecil merapatkan kedua ujung jubah judonya. Perlahan-lahan menekuk kakinya. Penampilannya sangat berantakan saat ini. Rambut-rambutnya yang dikepang mencuat kemana-mana. Pipinya basah dengan air mata. Seluruh tubuhnya bergetar hebat.

Tubuh Kak Rafi pelatihnya tergeletak menelungkup di hadapannya di dalam kubangan darahnya sendiri.

Tongkat baseball berlumur darah terlepas dari tangan Kak Bunga. Membuat suara benturan besi dan kramik terdengar memekakan telinga di keheningan ini. Tak lama tubuh Kak Bunga yang masih mengenakan jubah judo juga terjatuh menyusul.

Kak Bunga menatap Ameera yang duduk meringkuk di pojokan. Wajahnya pucat pasi. Tatapan matanya kosong.

"Ameera." Panggilan pelan itu berhasil membuat Ameera kembali dari alam bawah sadarnya.

Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Jantungnya berdebar sangat cepat. Seluruh tubuhnya banjir keringat. Rasa takutnya masih sama.

"Kamu gak apa-apa. Jangan takut." Ucapan lembut yang disertai senyum hangat Dokter Agnes membuat Ameera tersadar sepenuhnya dengan keberadaannya saat ini.

Ditatapnya Dokter Agnes yang duduk di kursi kebesarannya. Kursi dengan sandaran tinggi berwarna putih tulang yang tak jauh dari tempat Ameera berbaring.

"Darah, Kak Rafi, Kak Bunga, tongkat baseball." Ucap Ameera dengan dada naik turun.

Dokter Agnes menuliskan apa yang Ameera lihat dari penglihatan alam bawah sadar hasil rangsangan hipnoterapi pada kertas di pangkuannya.

"Saya cuma ingat kejadian hari itu sebatas itu saja." Lanjut Ameera. "Mau seperti apapun usaha saya untuk mengingat detail kejadian hari itu, saya selalu gak bisa."

Dokter Agnes mengangguk-angguk. Kemudian mendongak sambil menampakan senyum hangat yang masih sama seperti dua tahun lalu saat terakhir kali Ameera datang ke klinik ini untuk melakukan sesi hipnoterapi. Sebelum Ameera putus asa dan memutuskan untuk berhenti.

"Semuanya butuh waktu." Dokter Agnes menghela napas. "Saya bersyukur kamu mau datang lagi ke sini."

Ameera diam tidak menjawab.

"Sekarang kamu boleh pulang. Minggu depan ketemu lagi sama saya disini." Pungkas Dokter Agnes.

"Iya dok." Ameera menyambar tas selempangnya, menyampirkannya pada bahu kanan lantas keluar dari sana.

Di depan pintu ia dikejutkan dengan Theo yang sudah berdiri di depan pintu sambil mengangkat dua buah es krim di tangannya.

"Lo suka yang mana?" tanyanya.

Ameera hanya menunjuk asal salah satu es krim. Theo tersenyum sambil membukanya yang selanjutnya ia berikan pada Ameera.

"Gimana tadi?" tanya Theo sambil menjilat penutup es krimnya.

"Ya gitu." Ameera sendiri tidak tahu apa yang harus ia katakan. Bahkan setelah dua tahun berhenti melakukan sesi hipnoterapi ingatannya pada kejadian hari itu hanya sebatas itu saja. Mayat Kak Rafi, Kak Bunga, dirinya yang ketakutan, dan tongkat baseball berlumur darah. Ameera sama sekali tidak bisa mengingat keseluruhan hari itu. Dan bagaimana ia bisa berakhir di ruangan itu bersama mayat Kak Rafi dan Kak Bunga yang ketakutan.

"Yang terjadi di masa lalu yang buat lo punya phobia ini kan?" tanya Theo.

Ameera yang hendak membuka pintu kaca menuju keluar terhenti. Sepertinya tanpa Ameera menjawab pun Theo sudah mengerti. Maka dari itu ia melanjutkan membuka pintu dan keluar dari sana di susul oleh Theo.

Ameera mendongak menatap langit yang sudah berubah kejinggaan. Indah sekali. Ia ingat terakhir kali ia mendongak menatap langit sore saat ia berada di dalam mobil bersama papa dan mamanya menuju ke time zone sehari sebelum hari ulang tahunnya yang ke-10.

Mengingat usia 10 tahun, rasanya serba suram bagi Ameera.

"Langitnya bagus." Seru Theo sambil mengeluarkan ponselnya untuk memotret langit.

"Gue inget, dulu sehari sebelum ulang tahun ke-10 gue sama mama-papa pergi ke time zone sore-sore gini." Ameera tersenyum hambar. "Itu sehari sebelum kejadian itu. Itu juga sehari sebelum mama pergi."

Theo yang tengah asik memotret langit mengerjap. Perlahan-lahan ia menarik ponselnya dan mengantonginya. Menatap Ameera dari samping yang masih mendongak menatap langit.

"Tepat sehari sebelum kejadian mengerikan yang buat orang yang gue anggap kakak gue sendiri mati tepat di depan mata gue." gumam Ameera lalu ia tertawa sambil menolehkan kepalanya pada Theo. "Kenapa lo diem?"

Bibir Theo terkatup rapat dengan mata mengerjap dengan cepat.

"Aneh banget muka lo."

"Mau main ke time zone bareng gue?" tanya Theo tiba-tiba.

Ameera terdiam.

"Main ke time zone bareng gue." ulang Theo.

Terdengar sederhana. Tapi, mampu membuat Ameera ketakutan setengah mati. "Gue takut buat keributan nanti."

"Tenang aja, time zone yang satu ini sepi kok. Cuma ada gue sama lo aja."

***

Ameera menatap keluar jendela. Pada rumah mewah bak istana bertingkat empat dengan gaya American classic yang berdiri megah di hadapannya. Ameera masih terpana pada bangunan itu sampai tidak sadar Theo sudah keluar dari mobil dan membukakan pintu untuknya.

"Rumah Pak Darmawan." Theo meringis. "Pak Darmawan kaya banget emang."

Ameera mendecih. "Bokap lo itu."

Theo terkekeh. "Ampun lupa!"

"Dasar." Ameera sekali lagi mendecih. Ia pun keluar dari mobil Theo. "By the way ngapain lo ngajak gue ke sini?"

"Kan kata lo pengen ke time zone." Theo berjalan mendahului Ameera.

"Tapi ini kan..."

"Udah ikut aja." Potong Theo.

Ameera pun memilih diam. Mengikuti langkah kaki Theo saat cowok itu berjalan menuju lift yang terletak tak jauh dari pintu masuk setinggi 2 meter itu. Rumah orang kaya mah memang beda. Tak hanya tangga yang artistik, lift pun tersedia.

Ameera mengikuti Theo memasuki lift dan berdiri di sudut yang berbeda. Dari tempatnya berdiri ia bisa melihat jemari Theo memencet angka empat. Angkat paling tinggi di tombol lift tersebut. Sebenarnya Theo ingin membawanya ke mana? Kenapa dia mengajaka Ameera ke rumah mewahnya ini? Walaupun begitu banyak pertanyaan berjejalan di kepalanya Ameera tidak menyuarakannya satu pun. Hanya diam. Terus diam. Sampai akhirnya lift pun berhenti dan tak butuh lama pintunya pun terbuka.

Seketika saja Ameera tercengang. Mulutnya bahkan tanpa sadar menganga membentuk huruf O yang saking besarnya mobil teronton pun akan masuk kesana. Bahkan saat melangkah pun ia tidak sadar, hanya mengikuti Theo. Ameera sungguh tak bisa berkata apa-apa dengan apa yang ada di hadapannya. Macam-macam permainan ala-ala time zone, seluncuran, mandi bola, mobil-mobilan, dan banyak lagi. Semuanya penuh di lantai ke empat rumah mewah ini. Seakan lantai empat ini memang dikhususkan untuk tempat permainan-permainan ini.

Orang kaya mah beda.

"Bengong terus." Theo menjentikan jarinya di depan muka Ameera.

Ameera mengerjap.

"Terkesan banget yah." Theo menaik turunkan alisnya.

Satu hal yang harus Ameera garis bawahi. Saat bersama dengan Theo ia tidak boleh menunjukan kekaguman karena jika itu terlihat oleh orangnya, maka imbalan yang didapat ia akan melihat kesombongan selangit dari Theo. Cowok ini memang gemar memamerkan kekayaannya. Ralat. Kekayaan papanya. Antasena Darmawan.

"Keren." Gumam Ameera. Ia tidak bisa menyembunyikannya. Peduli bangsat dengan Theo yang akan menunjukan kesombongannya lagi. Apa yang terhampar di hadapannya memang menakjubkan. Ia mungkin tidak akan bosen-bosen tinggal di rumah yang sepi ini.

"Rumah siapa dulu..." Theo membusungkan dadanya.

"Rumahnya Pak Antasena Darmawan!" sahut Ameera bersemangat membuat Theo berdecak. Runtuh sudah tembok kesombongannya.

"Kakak!" seorang anak perempuan muncul dari bak mandi bola yang sekelilingnya dikelilingi jaring.

Anak itu berlari keluar dari sana begitu melihat Theo datang. Theo berjongkok merenggangkan tangan. Tubuh kecil itu sekejap melayang saat Theo mengangkatnya tinggi-tinggi. Anak itu tertawa-tawa. Lantas Theo mengangkat anak itu lebih tinggi dan menempakannya di pundaknya.

"Ini Grace. Adik gue." Theo memperkenalkan anak perempuan lucu berkucir dua yang duduk sambil tertawa-tawa di pundak cowok itu.

"Hai Grace!" Ameera melambaikan tangan. Namun rupanya Grace tidak tertarik sama sekali. "Usianya berapa tahun?"

"Dua bulan lagi 2 tahun." Jawab Theo.

Pantas saja sapaan Ameera diabaikan. Anak sekecil ini memang belum bisa merespon orang asing.

Tak lama seorang perempuan muda muncul dari balik tangga membawa mangkuk kecil di tangannya.

"Eh Theo kapan pulang?" tanya perempuan muda itu yang pernah Ameera lihat beberapa waktu lalu saat ia dan Theo video call. Kalau tidak salah namanya Sheryl.

"Barusan tante."

"Eh, sama pacarnya juga." Sheryl berjalan mendekat. Meletakan mangkuk kecil itu pada meja yang tak jauh darinya kemudian mengambil alih Grace dari Theo. Seketika saja Grace terkikik sambil mengalungkan lengan kecilnya pada leher Sheryl.

Sheryl mengerling jahil pada Theo.

"Bukan pacar kok tante." Ameera mencoba menjelaskan sambil mengibas-ngibaskan tangan.

"Bukan atau belum?" goda Sheryl. Membuat Theo merengut kesal.

Ameera meringis. Kenapa ia selalu terjebak di situasi seperti ini. Dianggap pacar orang. Tidak Fajar, tidak Theo. Kenapa mama dua cowok itu menganggap Ameera pacar mereka berdua?

"Enggak tante."

Sheryl tertawa terbahak-bahak. "Tapi, kok tumben kamu ngajak temen cewek ke rumah ini?"

Theo menggedikan dagunya ke arah Ameera. "Tuh, katanya pengen main."

"Oh, mau pacaran."

"Enggak kok tante.Gak pacaran." Rasanya lama-lama pita suara Ameera akan putus harus terus menjelaskan hal itu.

"Yaudah, pacaran yang nyaman ya." Sheryl mengedipkan matanya jahil.

"Udah ah. Tante kerjaannya rusuh terus."

Sheryl pun berlalu dari sana bersama dengan Grace di gendongannya.

"Aneh, kenapa semua orang nyangka gue pacar lo." ucap Ameera jengkel sambil meletakan tasnya di sembarang tempat.

Theo mengangkat bahu tidak tahu. "Cocok kali ya?" gumamnya sambil meletakan tasnya di samping tas Ameera.

"Kalau lo mau gak jadi pacar gue?" tanya Theo sambil lalu. "Tapi gue masih mau hidup." Lanjutnya.

Ucapannya itu membuat Ameera menghadiahi Theo dengan lemparan boneka kodok kecil di atas meja. "Sialan lo."

"Tuh kan." Theo membungkuk untuk memungut boneka kodok yang sebelumnya menghantam wajahnya. "Belum apa-apa gue udah babak belur."

"Siapa juga yang mau sama lo."

"Tapi gue mau sama lo."

"Plis, gak lucu."

Theo tertawa terbahak-bahak. "Gue lupa kalau hati lo udah tertambat kuat buat Fajar."

Mengabaikan percakapan aneh itu Ameera pun menghampiri mesin game balap motor dan memainkannya bersama Theo sebagai lawan. Walaupun Ameera sudah lama tidak memainkan permainan seperti ini ternyata keahliannya masih bagus. Entahlah, ia yang jago atau memang Theo yang payah.

Ameera meringis saat lagi-lagi Theo kalah skor permainan bola basket olehnya. Begitu juga permainan lainnya. Membuat Ameera semakin yakin bahwa Theo memang payah.

Walaupun begitu, harus Ameera akui kekalahan Theo membuat Ameera merasa sangat terhibur. Ia merasa jadi orang hebat. Berasa menjadi master karena berhasil menang dalam banyak permainan.

Tanpa sadar Ameera juga lupa dengan kesedihan yang ia rasakan sebelumnya. Lupa dengan masa lalunya. Lupa kejadian itu, dan lupa juga tentang kepergian mamanya. Lupa pada sesi hipnoterapi tadi yang ternyata tak mengalami perkembangan apapun semenjak dua tahun lalu.

"Theo." Tante Sheryl kembali muncul dari balik tangga bersama Grace di gendongannya.

"Kenapa tante?" Theo yang sedang menari di atas papan menoleh.

"Grace katanya mau main sama kakaknya." ujar tante Sheryl sambil merendahkan tubuhnya yang langsung membuat Grace meloncat turun dan berlari pada kakaknya. Theo lagi-lagi merenggangkan tangannya bersiap menangkap Grace. Dan lagi-lagi Theo mengangkat Grace tinggi-tinggi.

Grace terkikik geli saat Theo mencium wajahnya di banyak tempat.

Rasanya hangat melihat sosok Theo yang seperti ini.

"Ra, maaf yah gara-gara Grace pengen main sama kakaknya jadi ganggu pacaran kalian." Sheryl tersenyum tak enak pada Ameera.

Kenapa ibu-ibu ini terus mengira ia dan Theo... Ameera merapatkan bibirnya. Sudahlah kenapa juga susah-susah menjelaskan kalau anggapan Sheryl tetap sama. Ameera pun hanya tersenyum tipis.

"Theo, tante di bawah ya. Kalau ada apa-apa teriak aja." ujar Sheryl sebelum dirinya kembali menghilang dari lantai empat ini.

Ameera pun mengalihkan pandangannya pada Theo yang sedang tertawa karena Grace mencolok-colok lubang hidungnya.

"Grace mau main apa?" tanya Theo.

Grace hanya menunjuk seluncur yang langsung jatuh ke bak mandi bola.

"Oke berangkat!!" Theo memangku Grace dengan gaya kapal terbang.

Theo pun menuruti permintaan Grace. Membawa anak kecil lucu itu keseluncuran dan berseluncur bersama dengannya. Ameera hanya tertawa-tawa di pinggir kolam melihat interaksi dua kakak beradik beda ibu itu. Theo yang menjaga Grace dan membuat Grace tertawa terbahak-bahak seperti itu membuat Ameera yang melihatnya seperti sedang melihat dirinya yang masih kecil bersama Ilham.

Dulu juga Ilham tidak pernah menolak saat Ameera memintanya ikut permainan anak kecil. Seperti Theo.

Dan posisi Ameera juga sama persis seperti posisi mamanya. Yang berdiri di pinggir kolam sambil ikut tertawa-tawa.

Theo ayahnya, Grace anaknya, dan Ameera ibunya. Tunggu, apa yang Ameera bayangkan. Sudah ngawur memang seisi kepalanya.

Theo memunculkan tubuhnya dari lautan bola warna warni. "Sini ikutan main!" teriaknya sambil melambai-lambaikan tangan pada Ameera.

Grace muncul tepat di hadapan Ameera dan menatapnya seolah mengatakan bahwa dia ingin Ameera ikut main bersama mereka berdua.

"Sini!" Theo lagi-lagi melambaikan tangan.

Ameera pun menurut. Memainkan permainan seperti inibisa membuatnya bernostalgia pada masa lalu yang masih penuh warna buatnya. Saat ia, Ilham, dan mamanya masih berada di dalam hubungan segitiga yang membahagiakan. Saat Ameera selalu marah melihat Ilham bersama mamanya yang kemudian berakhir ia berada diantara keduanya.

Ameera meluncur dari seluncuran menabrak bola warna-warni lalu muncul dari bawahnya. Yang langsung mendapat serangan lemparan dari Grace dan Theo. Ameera tidak mau kalah, ia juga menimpuk Theo dan Grace.

Garace mulai bosan bermain seluncuran. Sekarang Grace menarik tangan Theo pada jungkat jungkit. Ameera mengekor mereka menuju permainan itu. Theo dan Grace duduk di sisi yang berbeda dengan Ameera. Begitu jungkat jungkit naik Grace tertawa terbahak-bahak bersama Theo yang memeluknya dibelakang. Keadaan berbalik, Ameera yang berada di atas, giliran ia yang tertawa.

Bahagia itu memang sederhana. Saat kita bisa tertawa. Karena diri sendiri atau tertawa karena melihat orang lain tertawa.

"Makasih." Gumam Ameera pelan sambil tersenyum lebar pada Theo dan Grace yang tertawa-tawa di seberangnya.

***



Kalian tim siapa?

Ameera - Theo

Ameera - Fajar

Dian - Theo

Ameera - Duta (paan lagi ini wkwk)


Sampai jumpat di update-an berikutnya ;)


150219

Flower flo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top