14. Satu Sore Bersama Fajar
Udah bulan Februari
Gak kerasa tahun 2019 udah satu bulan
Jangan bosen-bosen buat mengapresiasi cerita ini dengan cara vote sama komen. Gratis kok gak bayar
"Di dunia yang sebenarnya lo gak bisa terus jadi nomor satu. Karena pasti akan ada orang baru yang lebih baik."
***
Ameera sudah mulai gelisah. Bulak-balik ia melihat jam di ponselnya. Di depan sana, guru Bahasa Inggris masih mengoceh. Namun, tidak ada satupun kata yang berhasil Ameera tangkap. Bukan lagi masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Lain halnya dengan kasus Ameera, masuk telinga kanan, memantul lalu menghilang entah kemana.
Segelisah inikah cewek lain yang akan jalan dengan cowok yang dia sukai? Ia merasa akan gila. Gila karena tidak sabar sekaligus gugup.
Tuk.
Sesuatu mengenai kepalanya. Ameera membungkuk mengambil benda kecil berwarna hitam, tutup pulpen. Celingak-celinguk, lalu mendapati Duta sedang menatap ke arahnya.
"Kenapa lo?" tanya Duta tanpa suara. Hanya gerakan bibir, namun ia masih bisa menangkap pertanyaan cowok gempal itu.
Ameera menggeleng. Melirik guru pria berkopiah putih di depan kelas. Menilai situasi sebelum menjawab, "Gapapa."
Tiba-tiba Duta tersenyum jahil. "Gugup yah?"
Tidak ada satu rahasia pun yang bisa ia sembunyikan dari makhluk bernama Duta. Dia pasti tahu arti semua ekspresi wajahnya. Termasuk saat ini. Dia dengan mudahnya menebak. Kenapa kadang Ameera berpikir bahwa Duta adalah seorang cenayang? Cowok itu seperti bisa tahu apapun hanya dengan melihatnya.
"Kalem aja, Fajar gak gigit kok. Paling nerkam." Duta cekikikan.
"Duta!" Bapak berkopiah putih berkacak pinggang. Menatap Duta dengan mata menyala. "Malah ngobrol! Sini maju ke depan. Ulangin apa yang saya bicarakan!"
Duta menunduk dan memilih bungkam. Begitu juga Ameera yang ikut-ikutan merasa bersalah karena sudah meladeni Duta.
"Sini maju! Malah diem!"
Beberapa detik kemudian bel tanda berakhir seluruh aktivitas pembelajaran berbunyi. Saat itu juga Duta yang hampir menggelar pemakanannya terselamatkan. Lain halnya dengan Ameera yang merasa bahwa sekarang dirinya yang akan mati.
Dengan muka masih jengkel. Guru berkopiah putih keluar kelas. Duta mengelus dada sambil bernapas lega.
Saat semua sibuk beres-beres termasuk Duta, Ameera malah diserang rasa gugup yang lebih luar biasa dari sebelumnya.
Tok tok tok
Pintu kelas diketuk. Tapi tak ada yang peduli. Hanya Ameera saja yang peduli. Matanya membelalak karena orang yang mengetuk pintu adalah Fajar.
Fajar benar-benar menjemputnya ke kelas seperti yang cowok itu katakan padanya. Jika saja Duta tidak menggebrak mejanya Ameera mungkin akan terus melongo seperti orang bego.
"Terpesona banget lo lihat Fajar." Duta mencibir. Tangannya menarik tali tasnya yang kepanjangan. "Kalem aja Ra. Selow. Selama lo gak bersentuhan sama dia lo akan aman."
Masalahnya bukan hal itu yang Ameera khawatirkan. Ia sedang khawatir pada jantungnya. Apakah nanti ia akan mati serangan jantung. Berada bersama Fajar tidak baik untuk jantungnya.
Duta sudah berpamitan lebih dulu. Meninggalkan Ameera dan beberapa anak yang sedang masih bertahan di dalam kelas karena akan ekskul.
Ameera menarik napas berkali-kali. Bukan kah bagus? Akhirnya ia mempunyai harapan terhadap seseorang yang ia anggap tak tergapai sebelumnya?
Ameera berbenah kemudian menghampiri Fajar yang menunggunya di depan kelas. Sedang mengobrol bersama Dian.
Dian?
Ameera hampir saja masuk kembali ke dalam kelas. Tak ingin berhadapan dengan Dian. Itu menyebalkan. Ya, menyebalkan. Kenapa ia harus berhadapan dengan orang yang jelas-jelas levelnya berada jauh di bawahnya.
"Ameera." Fajar tersenyum begitu ia menyadari kehadiran Ameera.
Ameera balas tersenyum.
Fajar berpamitan pada Dian sebelum dia mengajak Ameera untuk melangkah.
"Ra." Panggil Dian. Ameera berhenti, tanpa berbalik.
"Gue suka sama Theo."
Sudut bibir Ameera tertarik. Ia berbalik. Menatap Dian dari atas ke bawah dan kembali lagi ke atas. "Emang Theo bakalan suka sama lo?" tanyanya dengan nada meremehkan.
***
"Lo ada masalah apa sama Dian?" tanya Fajar setelah ia melajukan mobilnya meninggalkan lingkungan sekolah. Matanya melirik Ameera di sampingnya lalu kembali mengarah pada jalanan. "Dian orangnya emang nyebelin. Tapi dia itu baik."
Seketika saja Ameera yang sedang menatap jalanan menatap Fajar penuh protesan.
"Dia itu anaknya gak mau kalah sama siapapun. Dia penuh ambisi. Karena itu dia nyebelin. Kadang dia sendiri gak tahu kenapa banyak orang yang gak suka sama dia."
"Lo lagi belain Dian?"
"Hah, apa?"
"Lo belain Dian." ulang Ameera tak suka. Kenapa cowok ini harus membela Dian?
Entah hanya perasaan Ameera saja, tiba-tiba Fajar terlihat tak fokus.
"Bukan belain, gue guma ngasih tahu. Kalau Dian gak semenyebalkan itu. Dian anak baik. Dia cuma terlalu takut sama sesuatu."
"Takut kalah maksud lo?"
Fajar mengangguk. "Sejak kecil dia selalu jadi nomor satu."
"Aneh. Di dunia yang sebenarnya lo gak bisa terus jadi nomor satu. Karena pasti akan ada orang baru yang lebih baik." Komentar Ameera tak habis pikir dengan ambisi Dian untuk jadi nomor satu sampai segitunya.
Sampai membuat teman sendiri menjauh. Dan itu yang terjadi antara Ameera dan Dian. Bahkan sekarang Andini dan Ami pun ikut menjauhi Dian.
"Terus masalah lo sama Dian itu apa?"
Ameera menghela napas. Mengatupkan bibirnya tak mau menjawab.
"Lo harus tahu, harga dirinya tinggi. Dia itu orang yang gue kenal yang paling anti minta maaf. Dia gak mau minta maaf karena menurut dia minta maaf itu lemah."
Ameera memicing. "Lo kayaknya tahu banget soal Dian?"
Fajar tidak menanggapi lagi karena ternyata mobilnya sudah masuk ke halaman sebuah rumah mewah. "Ini rumah gue." ujar Fajar sambil mematikan mesin mobil.
Ameera mengintip rumah bergaya mediteranian Fajar melalui kaca depan. Lantas membuka pintu dan menyusul Fajar yang sudah berada di teras rumah. Papan tulis kecil bertulikan 'Welcome to Renaldo's House' berdiri di samping dua daun pintu dengan bagian atas melengkung setinggi 2.5 meter.
Ameera memutar bola mata. Apa yang ia tanyakan sebelumnya belum terjawab. Sehingga saat ini terasa sedikit mengganjal. Tentang kenapa Fajar seperti membela Dian. Tentang Fajar yang sepertinya tahu banyak tentang Dian. Itu mengganggu sekali.
"Ayo masuk" Fajar membuka pintu. "Anggap aja rumah sendiri."
"Dijual boleh?" tanya Ameera asal.
Fajar tertawa. "Ra, gue gak tahu lo jago ngelawak."
Ameera ikut-ikutan tertawa, menertawakan kekonyolannya sendiri.
"Fajar sama siapa? Sama Dian?" wanita paruh baya—Tante Eka—dengan apron menggantung menghampiri mereka berdua dari arah ruangan yang sejak masuk menguarkan aroma harum. Dapur mungkin.
Tunggu. Dian?
Tente Eka mengerjap cepat melihat Fajar pulang membawa seorang gadis. Dengan wajah lucu ia bertanya pada putranya. "Siapa?"
"Temen." Fajar mengedipkan sebelah matanya.
Tante Eka tersenyum penuh arti. Entah memiliki arti seperti apa. Ameera tidak mengerti kode yang saling diberikan pasangan ibu dan anak itu.
Tante Eka beralih pada Ameera. Tersenyum ramah sambil menguluran tangannya. Namun sedetik kemudian ia tarik kembali karena menyadari tangannya penuh tepung. "Tangan tante kotor, gak jabat tangan gapapa kan?"
Ameera mengangguk. Justru ia sangat senang dengan keadaan seperti itu.
"Siapa namanya?"
"Ameera ma." Bukan Ameera yang menjawab. Melainkan Fajar. "Ra, ini mama gue."
"Saya Ameera tante." ucap Ameera memperkenalkan dirinya sendiri sambil mengangguk sopan. Gugup sekali berdiri diantara ibu dan anak ini.
"Ameera?" mata wanita paruh baya itu membelalak. "Ameera yang sama dengan yang buat tangan kamu patah kan?"
Fajar mengangguk singkat.
Tante Eka malah tertawa keras bahkan sampai bertepuk tangan. Sementara itu, Ameera mematung di tempatnya. Malu sendiri karena Tante Eka tahu tentang kejadian menyebalkan itu. Berkurang sudah satu poin sosok dirinya sebagai menantu untuk Tante Eka.
"Kerja kamu bagus banget Ra. Fajar sekali-kali emang harus tahu rasanya dihajar. Biar gak lembek terus."
"Siapa juga yang lembek." Fajar membantah tak terima dikatakan lembek oleh mamanya sendiri. Lagipula ibu mana yang tega menjelek-jelekan anaknya sendiri, di depan orangnya pula. Mungkin hanya mamanya saja yang suka melakukannya. Runtuh sudah dinding ke kerenan yang selama ini Fajar bangun sebagai imagenya.
Tante Eka mencebik. Mencemooh Fajar. Ia lalu beralih pada Ameera. "Ngomong-ngomong kalian mau kerja kelompok?"
"Mau rekam buat youtube." Jawab Fajar sambil melepas dasi sekolah dan memasukannya asal ke tasnya.
"Youtube aja terus mainannya. Belajarnya kapan?"
"Terus tadi Fajar ke sekolah ngapain? Dagang seblak?" sinis Fajar.
Ameera mengulum senyum. Ingin tertawa melihat interaksi ibu dan anak ini.
"Ra, ke samping aja ya. Kita rekam videonya disana. Gue ke atas dulu mau ganti baju." Setelah Ameera mengangguk, Fajar berlalu menaiki tangga kemudian menghilang di balik tangga melingkar itu.
"Kamu mau tahu bukti kalau Fajar itu lembek?" bisik Tante Eka. Tanpa sadar Ameera mengangguk. "Kalau dia turun pake kaos kuning, itu buktinya."
Dan benar saja seperti yang Tante Eka katakan, Fajar menghampiri Ameera yang sudah menunggu di kursi samping rumah dengan mengenakan kaos kuning lengan pendek bergambar Spongebob dan Patrick.
***
Fajar itu mirip gue, penyuka warna kuning.
Apa jangan-jangan....
Aku dan Fajar berjodoh?
Omona!! aigo!!
Harus di follow ya biar kalau ada info apa-apa seputar cerita ini kalian bisa tahu. Sekali lagi gratis, gak dipungut biaya apapun. Gak bakalan ada kata Coba Lagi juga kayak undian di bungus ale-ale.
Support terus penulis, karena menulis itu gak gampang;)
Ig: iistazkiati
010219
Flower flo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top