11. Mimpi Theo
"Orang yang mau-mau aja lepasin mimpinya buat ngejar mimpi orang lain bukannya itu yang disebut bego."
***
"Lo gak bercanda!"
Duta memekik begitu Ameera menceritakan rencananya liburan nanti untuk pergi ke Amerika untuk bertemu dengan mamanya.
Duta menghentikan langkah tepat di bawah tangga begitu juga dengan Ameera. Cowok gempal itu mengerjap beberapa kali. Sebelah tangannya terangkat hendak menyentuh kening Ameera namun detik berikutnya ia meringis dan kembali menyimpan tanganya ke samping tubuhnya.
"Ada angin apa lo tiba-tiba pengen ketemu sama mama lo?" Duta yang masih tidak percaya dengan apa yang Ameera katakan mencubit sendiri pipinya. "Ini nyata? Gue kira lagi mimpi."
Ameera tekekeh lalu memukul bahu Duta menggunakan fotokopian di tangannya. "Ini nyata, Dut. Nyata."
"Tapi kok tiba-tiba ada ilham aneh yang buat lo lupa sama kebencian lo sama mama lo sih?" perkataan Duta yang ngasal itu membuat Ameera menghantamkan fotokopian itu lagi pada bahu Duta berkali-kali.
"Siapa juga yang pernah bilang kalau gue benci mama gue." Ameera menghela napas, sudut bibirnya tertarik namun bukan sebuah senyuman. "Gue cuma bilang kalau hubungan gue sama mama itu rumit. Gue gak pernah benci sama dia. Satu detik pun."
Duta mengangkat tangannya hendak menepuk bahu Ameera. Namun karena ingat hal yang mungkin akan mengantarkannya pada kematian jika ia melakukan niatnya ia malah bertepuk tangan gaje disertai tawa keras.
"Untuk alasan apa lo tepuk tangan girang kayak gitu?" Ameera menatap malas Duta yang sedang melakukan akdi absurdnya itu.
Tawa Duta kian menghilang. Sama halnya dengan tepuk tangannya.
"Tadinya gue mau nepuk pundak lo. Tapi daripada gue mampus yaudah gue tepuk tangan." Duta nyengir lebar. Membuat Ameera menatapnya tak habis pikir.
Duta tersenyum lebar. "Gue seneng banget dengernya, Ra. Dari dulu gue berharap lo bisa nemuin mama lo. Masalah gak bakalan selesai kalau lo terus menghindar. Lo harus menerima segala sesuatunya mulai sekarang."
"Ngomongin soal menerima Dut." Ameera yang sudah menaiki beberapa anak tangga berhenti dan memutar badan menghadap pada Duta yang berada di anak tangga di bawahnya.
"Ada seseorang yang ngajarin gue sesuatu yang berharga. Dia bilang kalau kita itu harus menerima hal buruk yang terjadi pada diri kita bukan malah menghindarinya apalagi membencinya. Gue pikir dia bener. Gue cuma harus belajar menerima apa yang udah terjadi. Selama ini gue selalu menghindar dari mama. Sekarang saatnya gue buat menerima apa yang sudah terjadi di masa lalu."
Ameera terdiam sama halnya dengan Duta. Cowok gempal itu menatap haru padanya.
"Hai, Ra!" sapa Theo yang baru saja datang. Seperti biasa menyapa dengan riang disertai cengiran aneh yang membuat orang lain berpikir bahwa dia adalah cowok tergaje di Bumi Nusantara.
"Kata-kata gue ternyata berguna banget buat lo." Theo terkekeh. "Lain kali curhat lagi sama gue ya. Gue punya DNA motivator. Lo cerita sama gue pasti adem rasanya." ujarnya dengan penuh kebanggaan.
Luntur sudah rasa kagum Ameera pada cowok ini karena perkataannya yang mungkin akan merubah Ameera ke depannya. Theo masih sama, gaje, pecicilan, konyol, dan... aneh. Ameera geleng-geleng kepala sambil menatap cowok itu menaiki tangga lalu berbelok untuk menuju kelasnya.
"Hai Ameera!" sapa cowok yang baru saja datang.
Ameera mengulum senyum. "Hai juga Fajar."
"Nanti malem gue telpon gapapa?" tanya Fajar.
Ameera mengerjap lalu tak sengaja menangkap basah Duta yang sedang menatapnya dengan tatapan jahil. Ia abai saja dengan Duta kembali pada Fajar.
"I...iya gapapa."
Fajar terlihat salah tingkah. Jelas sekali dari gesturnya yang menatap sekeliling sambil menggaruk belakang lehernya.
"Yaudah, gue ke kelas duluan ya." Setelah mengatakan hal itu Fajar menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa menyusul Theo lalu merangkul leher sahabatnya tiba-tiba.
Masih dengan senyum yang ia tahan Ameera menatap Duta penuh peringatan. "Kenapa sih?"
"Ada yang lagi PDKT nih. Dia udah gak takut lagi sama lo ternyata." Goda Duta masih dengan wajahnya yang terlihat sangat menjengkelkan.
Ameera melangkahkan kakinya. Berniat untuk tidak mendengarkan godaan Duta. Jantungnya berdetak tak karuan saat ini. Tidak ada waktu untuk dirinya mengurusi godaan receh Duta.
***
"Alhamdulillah." Theo berucap lega sambil membaringkan tubuhnya pada hamparan rumput hijau di halaman rumah peninggalan kakek-neneknya.
Ameera melirik Theo yang berbaring di sampingnya. Ia pun ikut membaringkan tubuhnya dan menggunakan tangan kirinya sebagai bantalan.
"Seperti yang lo bilang. Gue cuma harus menerima. Dan ternyata menerima gak seburuk itu. Malah gue sedikit merasakan perasaan lega." ia menoleh pada Theo yang ternyata saat itu sedang menatapnya dengan senyum tertahan.
Ameera mengerjap, ditatap oleh Theo sebegitu intensnya dan dengan senyum yang tertahan entah kenapa tiba-tiba saja membuat Ameera merasakan sesuatu yang aneh. Jantungnya berdebar sangat cepat. Disertai perasaan gugup yang mendadak muncul.
"Gue seneng dengernya." ujar Theo masih dengan tatapan dan senyum yang sama.
Meskipun merasakan sesuatu yang aneh. Tidak tahu kenapa Ameera tidak lekas memutus kontak mata dengan Theo.
"Gue ganteng banget yah? Sampe ke enakan gitu lihatin gue nya."
Mata Ameera membelalak. Saat itu juga kesadarannya muncul. Ia bangun sambil terbatuk-batuk. Melirik Theo yang kali ini terkikik geli melihat apa yang baru saja terjadi pada Ameera.
"Lo boleh kok jatuh cinta sama gue." ucap Theo.
"Gak akan!" tegas Ameera sambil mengipas-ngipasi wajahnya menggunakan kedua tangan. Wajahnya tiba-tiba terasa panas. Seperti kamu kepergok sedang melakukan hal tak senonoh. Uhhh...
"Kalau gue yang jatuh cinta sama lo boleh kan?" tanya Theo. Tidak ada nada bicara yang seperti sedang bercanda, seperti biasa. Malah terdengar serius dan...tulus.
Ameera tidak berkata apa-apa hanya menatap wajah Theo.
Theo yang sebelumnya sedang menatap lurus pada langit sore yang terlihat berwarna jingga beralih menatap Ameera. Berbeda dari biasanya. Wajah Theo pun sepertinya sangat serius.
"Tapi gue gak mau saingan sama Fajar."
Apa maksudnya Theo mengatakan hal itu padanya? Apa maksudnya dengan dia mengatakan bahwa dia tidak mau saingan dengan Fajar? Apa maksudnya?
Apakah Theo menyukainya?
Ameera segera mengenyahkan hal itu dari pikirannya. Kalaupun iya, ia akan bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Dan bersikap seperti biasa ia memperlakukan Theo. Namun,tak bisa dipungkiri, apa yang Theo katakan membuat batin Ameera berkecamuk tak jelas. Seperti ada sebuah tornado memporak-porandakan segalanya. Segalanya yang Ameera pikir masih tak beraturan di dalam sana.
Tak lama Theo tertawa terbahak-bahak seolah-olah di hadapannya ada Sule dan Andre sedang melawak. Dia bangun dan menatap Ameera dengan tatapan jenaka.
"Bingung ya?" tanyanya sambil duduk bersila di hadapan Ameera. "Gue gak suka sama lo kok. Tenang aja."
Ameera ingin membunuh Theo saat itu juga jika itu diperbolehkan. Tapi itu dilarang dan dosa besar pula. Maka dari itu Ameera hanya menghela napas sambil menatap jengah Theo.
"Den Deo!"
Ameera dan Theo menoleh secara bersamaan pada mobil van yang baru saja berhenti tepat di depan rumah. Yang membuat Bi Ratih berteriak heboh seperti itu. Ameera melihat Theo yang beranjak dari duduknya lalu berlari kecil menuju depan rumah. Ia pun mengikutinya.
"Ngapain lo ke sini?" sembur Theo tajam setelah berhadapan dengan cowok 20-an yang duduk di kursi roda dengan seorang wanita paruh baya di belakangnya.
"Kakak kamu baru pulang dari Swiss bukannya disambut malah di ajak ribut." wanita paruh baya yang berdiri di samping pria berkursi roda berujar disertai senyum manisnya.
Theo berhambur memeluk wanita paruh baya itu. "Kenapa mama sama Kak Deo ke sini dulu bukannya langsung ke rumah?" tanya Theo sambil menatap wanita paruh baya dan pria dikursi roda yang Theo panggil Kak Deo secara bergantian.
"Gue sama mama ke sini gara-gara Bi Ratih bilang kalau lo sering banget di rumah ini sama cewek. Gue sama mama cuma mau mastiin kalau lo gak berbuat gak senonoh di rumah nenek." ucap Kak Deo sekenanya.
Theo menatap pada mamanya dengan muka panik. "Tenang aja ma, jangan dengerin Kak Deo. Putra bungsu mama ini soleh banget kok ma. Taat menjalankan syariat agama juga."
Mamanya Theo tertawa lalu mengusap kepala putranya dengan sayang. "Tapi kok Bi Ratih bilangnya kayak gitu."
Ameera hanya memperhatikan interaksi antara Theo dan mama serta kakaknya dari tempatnya berdiri. Tersenyum-senyum sendiri seperti apa yang Bi Ratih lakukan. Ternyata di tengah keluarganya pun Theo menjadi bahan bullyan yang menyenangkan.
"Bi Ratih ngadu apa aja ke mama. Penuh dusta banget."
"Gak bilang apa-apa kok den. Cuma bilang kalau den Theo sering ke rumah ini sama pacarnya." Bi Ratih melirik ke arah Ameera.
Saat itu juga mama dan kakaknya Theo mengarahkan tatapannya pada Ameera. Dan tersenyum jahil pada Theo.
"Please, mama sama kakak pulang dari Swiss jadi aneh." Theo berkata heboh. "Bi Ratih panggilin ustadz, mama sama Kak Deo kesurupan angin Swiss."
"Eh, ada pacarnya Theo juga." mamanya Theo tersenyum lebar sambil berjalan mendekat pada Ameera.
"Bukan pacar Theo kok tante. Aku masih waras." ujar Ameera lalu tertawa hambar menyadari kebodohan dan perkataannya.
Theo mendelik pada Ameera. "Maksudnya cewek gila aja yang mau sama gue gitu?"
Ameera hanya menggedikan bahu.
"Kamu Ameera ya?" wanita paruh baya itu mengulurkan tangannya. "Nama tante Ayana. Panggil aja Tante Aya."
Ameera menatap telapak tangan Tante Aya—mama Theo yang baru saja mengenalkan dirinya secara resmi itu. Bimbang. Tidak ingin menjabat tangan wanita ini karena takut ia melakukan hal buruk. Tapi juga merasa ia sangat tidak sopan menolak untuk besalaman dengannya.
Tanpa disangka Theo bergerak menghalangi Ameera sambil membentuk tanda silang di depan dadanya. Ameera berada di balik punggung cowok bullyable ini saat dia memperingatkan mama dan kakaknya. "Jangan sentuh dia. Kalau mama sama kaka masih pengen hidup."
"Segitunya amat bocah bau kencur. Baru pacaran juga lagaknya udah kayak jagain istri aja." cibir Kak Deo.
"By the way gue Antasena Tadeo, kakaknya Theo. Lo bisa panggil gue Deo."
"Ameera tante, kak." ujar Ameera memperkenalkan diri sambil mengangguk sopan pada Tante Aya dan Kak Deo.
"Yaudah yuk masuk udah mau maghrib." Tante Aya menginterupsi sambil mendorong kursi roda Kak Deo. Sebelum sempat menuju pintu Tante Aya berbalik dan menatap Ameera. "Jangan pulang dulu ya. Makan dulu di sini. Tante mau masak sekalian mau ngerayain kepulangannya Deo."
Ameera tersenyum kemudian mengangguk. Tidak enak untuk menolak. Namun yang menjadi kekhawatirannya adalah Ilham. Ia tadi hanya meminta izin sampai sesudah maghrib. Ia tidak tahu apakah papanya akan memperbolehkan kalau ia mengatakan akan pulang sedikit terlambat.
"Tenang aja nanti Theo nganterin elo." ujar Kak Deo namun tidak membantu sama sekali. Karena bukan hal itu yang mengganggu Ameera.
"Biar nanti gue yang telpon papa lo. Jangan khawatir." ujar Theo pelan sambil berjalan melewati Ameera dan memasuki rumah menyusul Tante Aya, Kak Deo dan Bi Ratih.
Ameera masih diam di tempatnya berdiri memperhatikan Theo yang baru saja mengambil alih kursi roda Kak Deo dari Tante Aya.
"Ayo masuk." Kak Deo menoleh kebelakang. Dia menyadari bahwa Ameera masih berdiri di luar rumah. "Gak baik di luar rumah pas adzan maghrib, pamali."
"Ah, iya." Sesegera mungkin Ameera berjalan menyusul dua kakak beradik itu masuk rumah tak lupa menutup pintu jati setinggi dua meter itu.
***
Ameera menatap punggung Theo yang sedang berbicara dengan Ilham melalui telpon di luar jendela besar samping meja makan. Lalu kembali beralih pada Tante Aya dan tersenyum menanggapi cerita Theo yang entah karena alasan apa Tante Aya ceritakan padanya.
"Waktu kecil Theo kalau lagi ngambek pasti larinya ke rumah ini, minta perlindungan sama neneknya. Tante inget banget, waktu itu Theo baru kelas 3 SD. Dia ngambek gak tahu kenapa. Dia ngungsi lah ke rumah ini. Anak itu kalau ngambek pasti susah banget di bujuknya. Sampai-sampai dia gak mau pulang dan gak mau berangkat ke sekolah selama satu minggu. Tante sama papanya sampai kehabisan akal buat bujuk dia supaya mau sekolah." Tante Aya menggeleng. "Percuma, Theo kalau udah ngambek. Tante sekeluarga bisa pusing."
"Kalau ngambeknya itu kenapa?" tanya Ameera meletakan sendok dan garpu untuk mendengarkan cerita Tante Aya lebih seksama.
"Bentar dulu belum selesai." Tante Aya juga meletakan sendok dan garpunya menatap Ameera dengan penuh semangat.
"Jangan kaget nanti pas tahu penyebabnya apa ya." ujar Kak Deo sambil menahan tawa.
"Jadi kenapa tan?"
"Sejak kecil Theo emang aneh. Gak tahu maunya apa. Kalau dia punya masalah atau punya keinginan itu gak pernah bilang sama siapapun, dia pendem itu sendirian. Dia gak cerita sama orang lain tapi mau orang lain tahu tanpa dia kasih tahu."
"Ya kali kita cenayang. Iya gak ma?" potong Kak Deo lalu menatap Tante Aya meminta persetujuan.
Tante Aya mengangguk. "Kamu tahu gak dia kenapa waktu itu?"
Ameera repleks menggeleng. "Kenapa?"
"Pengen beli Barbie dia." Tante Aya menggedikan dagunya pada Theo yang baru saja kembali dari luar.
Semua orang yang ada di meja makan langsung tertawa terbahak-bahak termasuk Ameera yang sampai hampir menyemburkan minumannya.
"Ada apa nih?" tanya Theo menatap curiga orang-orang yang sedang tertawa terbahak-bahak itu.
"Ra, mama ngomongin apa sama lo?" Theo menjatuhkan pantatnya pada kursi di samping Ameera.
Ameera menatap Theo sambil menahan tawa. "Yo, kapan-kapan main ke rumah gue ya. Banyak Barbie di rumah."
Theo menatap horror pada Tante Aya. "Mama ceritain itu sama Ameera?"
"Emang kenapa? Lucu tahu." Tante Aya membela diri.
"Itu aib ma. Aib." Theo menggebrak meja lalu melipat tangannya di depan dada.
"Yo, nanti kalau ke rumah gue bawa aja semua Barbie punya gue. Gue gak suka kayak gituan." Ameera masih belum puas menggoda Theo. "Daripada mubadzir gak pernah gue sentuh mending gue kasih ke orang yang emang suka banget sama Barbie."
"Iya Yo, bungkus aja semua barbie nya Ameera." Kak Deo ikut-ikutan menggoga Theo.
"Ya yo ya yo, Theo." Tegas Theo. "Panggil nama orang yang lengkap." Seperti kelakukannya, saat dia tak tahan menjadi bahan bullyan Theo beranjak dari duduknya menyisakan Ameera dan Kak Deo yang masih sesekali tertawa. Tante Aya, beberapa detik sebelum Theo beranjak dia sudah pergi entah kemana.
"Udah berapa lama pacaran sama Theo?" tanya Kak Deo tiba-tiba membuat tawa Ameera terhenti seketika. Menatap Kak Deo dengan alis saling bertautan.
"Kenapa Kak Deo mikirnya kayak gitu? Gue masih waras kali kak mau pacaran sama cowok aneh dan doyan Barbie kayak dia." ujar Ameera. Entah kenapa Ameera yang kurang bisa akrab dengan orang baru bisa mudah akrab dengan keluarga Theo. Entah karena mereka berdua memang sama-sama hobby membully Theo atau karena memang mereka berdua asik dan nyaman untuknya.
Kak Deo mengangkat bahu. "Aneh aja." lantas ia tersenyum. "Theo itu orangnya anti banget berteman sama cewek. Dari SD temennya cowok semua. Dan waktu gue denger dari Bi Ratih kalau Theo bawa temen cewek ke rumah ini gue pikir lo ceweknya. Ternyata bukan ya?"
Ameera tertawa hambar. Tak tahu harus merespon dengan cara apa lagi.
"Gimana awalnya lo bisa temenan sama Theo?"
Pertanyaan yang Kak Deo ajukan membuat Ameera meringis mengingat awal mula pertemuannya dengan Theo. Apa jadinya jika Kak Deo tahu bahwa pertemuannya dengan Theo bermula saat ia membuat tangan Theo patah dan babak belur. Entah apa yang akan Kak Deo katakan mengenai tindakan anarkis yang pernah ia lakukan pada Theo. Pasti dicaci maki habis-habisan.
"Ya begitulah." Ameera tersenyum masam. "Intinya gue deket sama Theo karena dia nawarin bantuan sama gue dan dengan imbalannya gue harus ngajarin dia bela diri."
"Bela diri?" Kak Deo tampak kaget. "Theo minta lo ngajarin dia?"
Ameera menangguk.
"Gue pikir dia udah gak kepikiran lagi masalah itu." Kak Deo menoleh ke samping pada punggung Theo yang duduk di sofa ruang tamu.
"Emang ada apa?"
"Dulu Theo punya cita-cita buat jadi pesilat. Dia udah mau daftar ke salah satu perguran saat tiba-tiba gue kecelakaan." Kak Deo tersenyum hambar. "Gak tahu kenapa tiba-tiba dia masuk tim basket bukannya daftar ke perguruan silat."
"Plin plan banget." Komentar Ameera.
Kak Deo menggeleng. "Dia bukannya plin plan." Menunduk menatap kakinya yang tak bsia digerakan sama sekali sambil tertawa pelan. "Theo itu adik gue yang paling bego."
"Bego?"
"Iya, bego." mata Kak Deo berkaca-kaca membuat Ameera yang melihatnya penasaran.
"Orang yang mau-mau aja lepasin mimpinya buat ngejar mimpi orang lain bukannya itu yang disebut bego."
Sekarang Ameera sedikit mengerti kenapa Kak Deo mengatai adiknya bego.
"Gara-gara gue lumpuh dia lepas impiannya. Masuk tim basket supaya gue seneng karena waktu itu gue lagi suka banget main basket. Tapi saat itu gue belum tahu alasan dia tiba-tiba masuk basket." Kak Deo lagi-lagi tertawa. Miris.
"Pas masuk SMA, gue pikir dia mau lanjut di basket. Gak tahunya dia malah masuk tim futsal. Dan saat itu gue sadar. Theo melakukan semua itu buat gue. Karena gue lagi suka sepak bola. Bego banget kan dia? Tapi gue tahu impiannya buat jadi pesilat masih kuat. Diam-diam gue lihat Theo nonton pertandingan silat di youtube, dan diam-diam juga dia belajar beberapa teknik dasar silat sendirian di kamarnya."
Ameera hanya diam, mendengarkan yang Kak Deo katakan. Tentang Theo tentang mimpinya menjadi pesilat. Dan kebodohannya-kebodohannya yang lain.
"Gue bersyukur dia ketemu lo dan ngajarin dia. Gak ada keinginan apapun buat gue supaya lihat Theo ngejar mimpinya sendiri."
Dengan senyum tipis yang tertahan ia menatap Theo yang masih duduk membelakangi di sofa ruang tamu.
Kenapa lo harus terlihat menyedihkan kayak gitu, Yo?
***
Gue jatuh cinta sama Kak Deo ;*
Jangan absen dari cerita ini ya, di update seminggu sekali tiap hari Jumat. Tinggalkan vote sama komentarnya juga
180119
Flower flo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top