34. NEVER END
Di mulmed ada lagunya lhooo...
Baca sambil dengerin lagu. :))
⏪⏩
Jika hal yang membuatmu kuat adalah cinta, maka cinta terkuatmu ada pada Tuhan.
Rara memandangi secarik kertas yang berisi gambar denah lokasi tempat yang akan ia tuju. Ia senang sekali mendapatkan kertas penunjuk jalan itu, namun semua berubah disaat seorang pria berbadan tinggi besar dengan jubah hitam yang menutupi wajahnya mengambik secarik kertas itu dari tangan Rara dengan lembut. Terjadi tarik menarik kertas antara Rara dan pria itu, sayang beribu sayang kekuatan Rara tidak sekuat tarikan pemuda berjubah, kertas itu berhasil diambil oleh pria berbadan besar dan segera pergi meninggalkan sendiri Rara yang tengah menangis. Suasana semakin buruk, ketika hujan turun dengan lebat menguyur tubuh Rara yang berbalut gamis kesayangannya. Air matanya dan air hujan menjadi satu membasahi wajahnya yang sedih.
Rara merasa ada yang menyentuhnya, ia langsung bangun dengan gelagapan dan memperhatikan tangan yang menyentuh lengannya. Matanya beralih pada seorang pria berbaju koko yang duduk dikursi roda. Senyum Rara mengembang melihat wajah yang selalu membuatnya nyaman selama ini, wajahnya memerah ketika Rasyid tersenyum tampan padanya.
"Kamu tidur lama banget" kata Rasyid sembari menjauhkan tangannya dari lengan Rara.
"Maaf ya, aku nggak tau". Rara menyibak selimut yang menghangatkan tubuhnya saat tidur dan mendekati Rasyid dengan duduk di pinggir kasur.
Rara membalas senyum. Ia menopang dagu dan memperhatikan setiap inci wajah Rasyid yang menurutnya perfect. Ia mengelus pelan rahang Rasyid dengan lembut dengan mata yang mengikuti arah tangannya. Rasyid mencengkeram tangan Rara dan mencium tangan istrinya itu, lalu ia memindahkan tangan ke dadanya. Rara bisa merasakan debaran jantung yang cepat dari dada Rasyid, kemudian ia terkekeh pelan melihat tingkah Rasyid yang selalu salting jika didekatnya, padahal mereka berdua sudah menikah.
"Ra, kita jalan-jalan ya. Udah seminggu kita tinggal disini, tapi nggak pernah kemana-mana" pinta Rasyid sembari melepas tangan Rara yang ditarik oleh pemiliknya.
"Iya, iya kita jalan-jalan. Apa sih yang enggak buat suami tercinta" goda Rara. Ia menarik senyum manis sambil mencubit pipi Rasyid yang terasa dingin. "Kamu belum minum obat ya?" Tanya Rara.
"Baru saja"
"Yaudah, kamu tunggu diluar. Aku mau ganti baju dulu"
Rasyid mengangguk dan memutar roda kursi rodanya untuk keluar dari kamarnya. Dengan cekatan, Rara mengganti pakaiannya dengan menggunakan hijab yang senada dengan gamisnya. Tidak sengaja ia menatap keluar jendela kamar yang tergambar langit mendung, entah kenapa ada gemuruh ketakutan yang menghiasi hati Rara, ia teringat mimipinya tadi. Bukan, Rara hanya ingin mimpi tadi bukan sebuah perpisahan tapi, sebuah takdir yang akan membawanya untuk tidak salah jalan.
Semoga ini bukan pertanda buruk darimu ya Rabb. Aku harus selalu positive thinking.
Rara berjalan menyusul Rasyid yang sudah berada didepan rumah. Untuk mengejutkan Rasyid, Ia menutup kedua mata prianya itu agar Rasyid tidak bisa melihatnya. Senyum jail terukir dibibir Rara, Rasyid menggenggam tangan Rara lalu ia melepaskan tangan tersebut dari matanya. Ia menengok kearah Rara yang sudah cantik dengan jilbab berwarna pink pastel. Tanpa ada aba-aba senyum terukir di kedua wajah pasangan itu, Rara mendorong kursi roda Rasyid dan membawanya menuju taman dekat rumahnya.
Sesampainya disana, taman hanya berisikan dua orang anak kecil yang bersepeda dan seorang lansia yang sibuk dengan buku bacaannya.
"Ternyata sepi" ucap Rara dengan nada lesu, ia membayangkan jika taman ramai akan manusia yang melakukan aktivitasnya, seperti olah raga, memotret atau aktivitas yang lain. Tapi apalah daya, jika itu yang sudah terjadi Rara hanya bisa memakluminya.
Rasyid menarik tangan Rara sampai menyentuh bahunya, ia menghadapkan wajahnya melihat wajah Rara yang cemberut. "Masih ada aku, Ra" ucap Rasyid merasa tidak dianggap oleh Rara.
"Enggak, bukan itu maksud ku. Ku pikir ditaman akan ramai, ada yang berjualan, ternyata nggak ada" Rara mendengus pelan, sepertinya ia salah bicara dan membuat Rasyid ngambek. "Maksud aku itu...."
"Iya aku tau, Ra. Kita duduk disana aja" ucap Rasyid membenarkan maksudnya, ia menunjuk bangku kosong dekat pohon.
Mereka berdua menuju kearah bangku kosong tersebut. Rara duduk di kursi bangku, sedangkan Rasyid masih duduk di kursi rodanya. Semilir angin pagi yang menyejukkan, juga cerahnya sinar matahari yang menghangatkan tubuh keduanya. Rara mengeluarkan ipod yang berisi murotal yang pernah diberikan oleh Rasyid padanya. Ia menyumbal telinganya dan telinga Rasyid dengan earphone. Keduanya hanyut dalam lantunan ayat suci Al-Qur'an yang menggema di gendang telinga. Rara menjatuhkan kepalanya pada bahu Rasyid, ia menggenggam erat tangan suaminya. Begitu juga Rasyid, ia meletakkan kepalanya dia atas kepala Rara sambil mengenggam erat tangan Rara yang begitu hangat. Apalagi, sinar mentari hari ini sangatlah cerah.
Sempurna.
Mereka tetap dalam posisi tersebut sampai beberapa menit, sebelum Rasyid angkat bicara.
"Ra" panggil Rasyid pelan, namun penuh dengan kelembutan.
Rara mendongakkan kepalanya menatap manik mata berwarna coklat milik Rasyid yang selalu membuatnya terpikat. "Kenapa?"
"Ra, kamu pernah menyesal saat apa yang kamu inginkan tidak kamu dapatkan?" Tanya Rasyid pelan
Ditatapnya mata Rasyid yabg menyiratkan keingintauan dari jawaban yang keluar dari mulutnya. Rara mengalihkan pandangannya menatap awan yang bergerak bebas di langit biru yang cerah. "Entah, mungkin akan sakit" tutur gadis berjilbab itu. Rara hanya mengikuti kata hatinya, jika hatinya berkata 'ya' pasti Rara akan mengakatan 'ya', namun jika tidak, ya berarti tidak.
"Lalu apa yang kamu inginkan?" Pertanyaan Rasyid membuat Rara terdiam sejenak, lalu ia melepaskan genggaman tangan dari Rara yang sudah menegakkan tubuhnya.
"Apa ya?" Rara mengetuk dagunya menggunakan jari telunjuk. Ia berpikir keras, terlihat dari matanya yang menyipit dan dahinya yang berkerut. "Banyak, tapi,aku tidak begitu memprioritaskannya. Karena menurutku aku lebih 'butuh' dari pada 'ingin'" ucap Rara yang masih memandang indahnya langit biru.
"Berarti kamu tidak menginginkan ku?" Tanya Rasyid. Rara menatap Rasyid teduh menghantarkan kehangatan dari tatapan Rara.
Rara menarik senyum manis miliknya sambil menempelkan kedua tangannya di pipi Rasyid,sehingga mereka bedua saling menatap lama. "Aku butuh kamu, bukan aku ingin kamu. Kamu tau perbedaan butuh sama ingin 'kan?" Tanya Rara menurunkan tangannya.
Rasyid tersenyum puas mendengar perkataan istrinya. Ia baru sadar, jika ia sangat membutuhkan Rara daripada segalanya. Namun, ia juga sadar jika keberadaannya di dunia ini tidaklah kekal.
"Lalu bagaimana jika aku pergi meninggalkan dunia ini?". Lagi-lagi Rasyid menanyakan pertanyaan yang membuat Rara berpikir keras.
"Aku juga nggak tau harus gimana. Tapi, aku yakin pasti pilihan Allah adalah yang terbaik. Jika memang Allah mengambilmu dari sisiku, lantas aku harus bagaimana, selain mengikhlaskanmu pergi bersama-Nya" kata Rara lembut.
Rasyid menarik tangan Rara, ia mengcengkeram jemari kecil Rara yang sangat cantik saat menghiasai sela-sela jarinya. "Aku butuh kamu"
Rara tersenyum malu mendengar perkataan Rasyid yang berhasil membuat perutnya geli. Ia mencubit pipi Rasyid,sampai sang pemilik memgaduh. "Rasyid gombal, ih"
"Nggak pap dong sama istri sendiri" goda Rasyid sembari menarik hidung Rara sampai berwarna merah.
"Sakit Rasyid" .Rara mengelus pelan hidungnya yang sudah berubah warna. Mukanya cemberut melihat Rasyid yang tertawa puas setelah melihat hasil karyanya di hidung Rara. "Kamu, ih. Jahat banget"
Tak mau membuat Rara tambah marah, Rasyid menarik kepala Rara ke bahunya. Lalu ia mengusap dam mencium kepala Rara. "Maaf ya Ra" lafal itu berhasil membuat Rara kesemsem wajahnya mungkin sudah berwarna merah.
"Iya aku maafin, jangan cubit lagi, entar kalo aku mancung tambah cantik, jangan salahkan lhoo" kata Rara polos.
Rasyid terkekeh pelan mendengar perkataan Rara yang kelewat polos itu. Ia hanya mengangguk dan tangannya menggenggam erat jemari Rara yang sudah bertautan dengan tangannya. Keduanya menikmati indahnya pagi yang telah Allah ciptakan untuk mahluknya. Berapun nikmat yang kau hitung yang telah tuhanmu berikan, tidak akan pernah sampai pada akal manusia, karena ilmu Allah dengan ilmu manusia sangatlah berbeda. Tak lupa juga nikmat cinta yang Allah berikan pada hambanya. Cinta hanya tumbuh di taman hati. Cuma hati yang suci yang dapat memupuk cinta sejati.
Kedua insan tersebut tenggelam dalam keheningan pagi yang dihiasi sinar mentari sebagai penerang dan rasa cinta sebagai kenyamanan. Semua itu berlangsung agak lama, sebelum Rara menegakkan posisi duduknya. Ia menatap wajah Rasyid yang aneh, wajahnya pucat pasi, prianya juga memgang perut menahan sakit.
"Ra, laper". Rasyid memperlihatkan cengiran khasnya yang selalu membuat Rara menahan tawa setiap menonton cengiran imut suaminya itu.
Rara berdiri dari tempat duduknya, ia membenarkan jilbabnya yang agak lusuh seraya mencerca Rasyid. "Ngerusak suasana aja"
Rara berjalan kebelakang Rasyid dan mendoronh kursi roda suaminya. Mereka berjalan pulang menuju rumah.
"Ra"
"Hm?"
"Ayah tadi pagi telpon"
Rara hanya diam menunggu Rasyid melanjutkan perkataannya.
"Dia bilang, kita harus kembali ke Amerika" tutur Rasyid halus.
"Oh" Rara ber-oh ria sebagai tanggapan dari penuturan Rasyid.
Rasyid menghentikan paksa laju kursi rodanya dengan tangan. Ia menatap wajah Rara yang terkesan datar. Banyak sekali perspektif yang memenuhi otakknya tentang Rara, apa mungkin Rara tidak setuju dengan perkataannya, atau mungkin Rara tidak bisa memilih, atau mungkin, atau mungkin. Terlalu banyak 'atau mungkin' di otak Rasyid, iamemijit keningnya yang mulai berdenyut nyeri memikirkan jalan pemikiran Rara.
Rasa nyerinya semakin menjadi-jadi. Rara mulai gelagap melihat wajah pucat Rasyid. "Kamu nggak papa?"
Rasyid hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda--ya--. "Jadi gimana kamu mau kembali ke Amerika?" Rasyid mengulanginya sekali lagi.
"Kamu seharusnya nggak usah tanya akupun, kamu sudah tau Rasyid" Rara menghela napas sebal. "Pasti aku mau lah, pekerjaanmu disana masih banyak, ditambah aku yang juga harus membantu ayah dan mengurusi tempat yayasanku berkerja"
Rasyid menghadapkan kembali tubuhnya kedepan, ia lega Rara tidak menolak tawarannya. "Alhamdulillah, ku kira kamu nggak akan mau, Ra"
"Itu amanah Rasyid, Allah nggak suka dengan orang yang meremehkan amanah yang telah diberikan. Bener nggak?" Ucap Rara semangat.
"Seratus buat istriku" balas Rasyid antusias
⏪⏩
Rara masih betah duduk di tempatnya dan memfokuskan pandangannya ke buku yang ia baca. Sama halnya dengan Rasyid, ia duduk bersandar di kasur sambil membaca buku. Hembusan angin dingin menemani keduanya yang fokus dengan benda yang dipegangnya.Mereka berdua tenggelam dalam buku masing-masing sampai pada akhirnya Rasyid mulai bosan. Ia melirik kearah Rara yang fokus kebukunya. Ia membenarkan posisi duduknya dan menutup buku yang ia baca.
"Ehem, fokus banget sama buku" kata Rasyid nyaring.
Rara tidak merespon perkataan Rasyid sama sekali, ia tetap membaca bukunya.
"Ra, kamu mendengarkan aku tidak?" Rasyid sedikit berteriak jengkel.
Rara tetap tidak merespon.
"RARA! ADORA LISTIANA!!" Rasyid benar-benar berteriak.
Yang dipanggil tidak merespon sedikitpun. Rasyid langsung menyobek kertas, kemudian menggulung kasar dan melemparkan kertas yang sudah berbentuk bulat kasar kearah Rara.
Rara merasa ada yang menyentuh tubuhnya, spontan ia melihat kearah Rasyid yang menatapnya tajam. Ada sedikit rasa takut dihatinya saat melihat Rasyid yang sepertinya marah. Ia langsung mencopot earphone yang terpasang ditelinganya.
Rasyid membulatkan matanya melihat benda yang keluar dari jilbab panjang istrinya. Ia mendengus kasar dan memutar bola matanya. Ia tidak habis pikir, kenapa istrinya senang sekali mendengarkan lagu dan mengacuhkannya.
Hadeh! Pantesan Rara tidak merespon panggilan saya,ternyata di telinganya disumpali earphone. Gagal dong gombalin Rara. Batin Rasyid sambil menepuk jidatnya pelan.
Rara menatap aneh sikap Rasyid, yang tadi marah sekarang jadi pasrah.
"Ada apa sayang?" Tanya Rara hati-hati.
"Nggak jadi deh" ketus Rasyid.
"Kamu marah ya?" Rara mulai kalang kabut dengan jawaban Rasyid yang mulai ketus.
"Itu udah tau"
Rata meletakkan buku dan ponselnya di sofa. Ia mendekati Rasyid dan berdiri didepannya. Rasyid memalingkan wajahnya dari Rara dan menatap keluar jendela yang indah dengan pemandangan perumahan yang rapi. Rara duduk dipinggir kasur, menatap lekat suami tercinta.
"Jangan marah Rasyid, entar gantengnya luntur. Jangan marah bagimu surga" Rara tersenyum manis menghadap Rasyid yang mengarahkan pandangan kearah istrinya sembari membacakan Hadist dari Rasulullah.
"Lagian kamu keasyikkan baca buku sambil denger lagu, aku merasa diduakan Ra" rengek Rasyid.
"Hahaha, aku nggak akan ngeduain kamu kok sayang. Aku sayang sama kamu" goda Rara dengan mengedipkan matanya.
Rasyid terkekeh melihat kelakuan unik istrinya. Ia mencubit pipi chubby istrinya dan memeluknya erat. Rara terkejut kaku mendapatkan pelukan hangat dari Rasyid, semakin lama ia luluh dalam dekapan Rasyid. Rasyid mengecup sayang puncak kepala istrinya dan memeluknya erat.
"Jika Allah mengambil seseorang yang nggak kamu duga. Percayalah, Allah akan memberikanmu penggantinya yang lebih baik" tutur Rasyid lembut sembari mengelus pelan kepala Rara.
Merasa ada yang aneh dari perkataan Rasyid, Rara melonggarkan pelukannya. Ia mengerutkan dahi mencerna perkataan Rasyid barusan. "Kok kamu ngomong kayak gitu?"
"Semua mahluk yang bernyawa pasti mati. Aku hanya ingin kamu tidak menanggisiku saat pergi" jeda Rasyid. Ia mengelus pipi Rara lembut. "Udah jangan dipikirin lagi, nanti kamu cepet tua" ejek Rasyid.
"Apaan coba" Rara memutar kedua bola matanya. Dilihatnya Rasyid yang semakin hari semakin romantis.
Mata keduanya saling menatap. Tak perlu kata yang tersirat, tak perlu juga berbisik. Hanya saling memandang satu sama lain sudah dapat membaca isi hati satu sama lain.
Nyut
Kepala Rasyid terasa sakit. Ia mencengkeram keras kepalanya, wajahnya dipenuhi keringat yang muncul dan giginya saling bergetak . Bibir Rasyid terus berucap istigfar kepada Rabnya. Rara langsung ketakutan setengah mati, ia memegang tangan Rasyid yang mencengkeram keras kepalanya.
"Aku telpon dokter dulu" kata Rara sambil meraih ponselnya.
Rasyid menarik tangan Rara dan menggelengkan kepalanya agar tidak menelpon dokter. Mau tidak mau Rara menuruti kata-kata suaminya. Sebenarnya ia ingin sekali menolak titah Rasyid yang ini, tapi wajah Rasyid sangat tidak ingin ia menelpon dokter.
"Kalo gitu aku ambilin obat sama air putih"
Rasyid mengangguk sebagai balasan dari permintaan Rara. Rara berjalan kearah pintu kamar, dilihatnya sekilas Rasyid yang masih memegang kepalanya nyeri. Dengan setengah hati ia mengambil air minum di dapur. Kakinya berhenti didepan dispenser, ia mengambil gelas dan mengisinya penuh dengan air putih. pikiran Rara kalang kabut, seketika air matanya menetes mengingat wajag Rasyid yang kesakitan. -Pasti Rasyid sangat menderita-. Kemudian Rara kembali kekamar.
Ia membuka pelan pintu kamar, dikasur tidak terdapat Rasyid. Matanya menerawang seisi kamar dan didapatinya Rasyid yang tengah duduk dikursi roda seraya membaca tasbih menghadap keluar jendela yang besar. Rara mengambil obat suaminya di nakas dan berjalan kearah Rasyid.
"Diminum dulu Rasyid". Rara memberikan obat keRasyid.
Wajah Rara kaku menatap Rasyid yang mulai memucat, bibirnya membiru kulitnya putih pucat dan matanya mulai sayu. Ingin sekali ia menanggis melihat keadaan suaminya saat ini. Seulas senyuman tercipta di bibir pria idaman Rara itu, ia tau betul apa yang dipikirkan Rara tentang kesehatannya. Ia tidak ingin menambah beban istri tercintanya, mungkin dengan senyum tampannya dapat mengurangi beban Rara.
Rasyid mengambil obat dari tangan Rara dan meminumnya satu persatu, setelah itu ia meminum air putih yang Rara bawakan.
"Udah selesai. Nggak enak banget minum obat ternyata". Rasyid memulai pembicaraan diatas suasana yang hening.
"Memang tidak enak, tapi kalo nggak minum obat nanti tambah sakit, terus nanti imbasnya wajah tampan kamu jadi jelek" goda Rara.
Rasyid memanyunkan bibirnya, tanda tak senang. Rara tertawa kecil melihat tingkah Rasyid yang seperti anak kecil. Ia mencubit pelan lengan kekar suaminya. Alhasil Rasyid menjerit pelan dan mengelus lengannya sakit akibat cubitan tajam Rara.
"Jangan pasang muka kayak gitu imut banget. Pingin dicubit rasanya" cibir Rara.
"Kalo aku nggak imut, entar kamu nggak suka"
"Terserah deh". Rara memutar matanya.
Keadaan kembali hening. Kedua suami istri itu menatap keluar jendela. Suasana didalam kamar cukup dingin karena diluar rumah sedang hujan deras, keduanya berdoa kepada Rab-Nya dalam turunnya hujan. Salah satu nikmat dari Allah yang jarang sekali disyukuri oleh hamba-Nya, yaitu turunnya hujan.
Rasyid memeluk dirinya sendiri karena badannya belum terbiasa dengan keadaan dingin dalam ruangan.
"Ra, dingin banget" Kata Rasyid seraya mengelus pelan lengan besarnya.
"Kedinginan ya? Bentar aku tutup jendelanya". Rara melangkah menuju jendela yang tengah terbuka sehingga udara dingin masuk menguasai ruangan.
"Dih nggak peka" cibir Rasyid.
Rara membenarkan jendela, kemudian membalikkan badannya dan mengernyitkan dahi, karena tidak mampu mengenali kode Rasyid. Sesaat kemudian ia tersenyum malu dengan pipi yang memerah. Ia berjalan kearah Rasyid dan mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan tinggi tubuh Rasyid yang tengah duduk dikursi roda.
"Aku tau maksud kamu" Rara tersenyum tipis pada Rasyid.
Rasyid membuka lebar kedua tangannya. Rara langsung jatuh kepelukan hangat Rasyid. Dirasakannya tubuh Rasyid yang dingin karena tidak kuat dengan dinginnya udara hujan. Keduanya saling berpelukan, menyalurkan kehangatan yang tercipta karena CINTA. Rasyid mengelus pelan kepala Rara.
"Sayangku, terima kasih telah mempercayaiku membimbingmu ke jalan-Nya. Terima kasih kamu selalu setia bersamaku dalam keadaan apapun. Terima kasih karena kamu, aku dapat menjalani hidup penuh dengan keikhlasan dan mengharap ridho-Nya. Kamu yang telah mengenalkanku apa arti cinta sesungguhnya. Rela berkorban demi orang kamu cintai. Kamu yang selalu menghibur dan menyemangatiku disaat semua orang menghinaku dan menjatuhkanku.
Rara, maaf jika selama ini aku selalu mengecewakanmu, membuatmu menunggu terlalu lama bahkan aku pernah menyakiti hatimu. Aku benar-benar menyesalinya, Ra. Kamu yang menjaga hatimu untukku disaat semua pria bisa memasukki hatimu dengan bebas, aku sangat berterima kasih untuk itu. Ra, kamu telah berjuang memberikan aku rumah terbaik didunia. Tapi jangan lupa membangun rumah disurga, karena dunia ini hanya sementara dan aku ingin tetap bersamamu disurga nanti. Jika aku meninggalkanmu suatu saat nanti maukah kamu tetap menjaga hatimu untukku?" Tanya Rasyid dalam bisiknya.
Rara mengangguk pelan. Air matanya sedari tadi keluar dengan deras mendengarkan kata-kata indah suaminya. Ia tidak menyangka Rasyid adalah orang yang sangat romantis. Dalam hatinya, ia sangat bersyukur Allah telah memberinya pasangan hidup didunia, bahkan bukan hanya didunia namun juga diakhirat yang kelak akan bersama dengannya di surga-Nya.
Rasyid menenggelamkan kepalanya di pundak Rara, istrinya. Terdengar bisikan tak jelas dari mulut Rasyid. Seketika tubuhnya melemas. Rara menyadari ada hal aneh yang menimpa suaminya langsung melonggarkan pelukan dan ditatapnya Rasyid lekat. Matanya tertutup tenang, wajah pucatnya kembali segar ditambah seulas senyum manis di bibir Rasyid. Namun, kulitnya sangat dingin. Diguncangnya pelan tubuh Rasyid. Hasilnya nihil Rasyid tidak bergerak sama sekali. Air matanya tumpah melihat kejadian yang dialaminya saat ini.
"Aku mencintaimu karena Allah Rasyid" kata-kata itu terucap pelan dibibir Rara.
Ia kembali menarik Rasyid dalam dekapannya agar memberikan kehangatan pada tubuh Rasyid yang dingin. Ia mengelus pelan punggung Rasyid sayang, tangisannya meledak memenuhi kesunyian kamar. Rara segukan tidak bisa menahan kepergian sang kekasih selamanya didunia ini, tapi ia yakin akan bertemu dengan Rasyid disurga-Nya kelak. Karena hanya Allah lah yang dapat memisahkan keduanya juga yang mempersatukan keduanya. Rencana tuhan bagaikan sebuah film, hal baik dan hal buruk diaturNya sedemikian rupa agar menjadi ending yang bagus.
⏪⏩
Seorang wanita duduk disofa sambil memperhatikan gerakan awan yang bebas dari balik kaca besar yang transparan. Ia menyesap sedikit demi sedikit teh hangat yang menemaninya sendirian. Kehangatan teh itu mampu mencairkan suasana dingin dan hening akibat turun salju di belahan Amerika. Namun kehiningan itu sirna seiring terdengarnya langkah kaki yang menuju keruang tamu dimana tempatnya berada.
"Assalamu'alaikum ummi, Nuha udah pulang" ucap gadis belia berusia 16 tahun yang membawa tas dipunggungnya dan sesekali membenarkan hijabnya yang lusuh akibat butiran salju yang jatuh diatas kepalanya.
Rara meletakkan cangkir tehnya dan membiarkan Nuha duduk di sampingnya. "Gimana les hari ini?"
"Alhamdulillah, excelen. Alex always accompany me" balas Nuha dengan senyum yang mengembang sempurnya dibibirnya. "Astagfirullah, I forget about something" ucap Nuha sambil menepuk jidatnya. Kemudian ia mengaduk isi tasnya mencari sesuatu untuk ia berikan pada ibunya.
"For you ummi, ini dari aunty Fatimah" tutur Nuha seraya memberikan amplop berwarna coklat dengan hiasan bunga tulip di pinggirnya.
Rara mengangkat kedua alisnya saat tangannya sudah menerima amplop tersebut. Ia bingung, kenapa Fatimah mengirimkan barang yang menurutnya jarang sekali Fatimah lakukan. Paling-paling Fatimah membungkusnya menggunakan kertas kado yang warna warni atau dengan kotak kecil. Rara mengenyahkan semua pemikiran tersebut, ia langsung membuka amplop coklat tersebut.
Rara mendapati beberapa foto berukuran 5R dan secarik kertas.
Agar nggak lupa wajah bang Rasyid aja ya. Biar tambah cinta
Rara membalikkan kertas foto ditangannya. Beberapa foto close up yang diambil saat sang model tidak mengetahuinya. Rara mencermati satu persatu foto yang ia pegang, sampai tangannya berhenti pada foto yang menggambarkan sepasang pengantin. Kenangannya berputar bak kaset tua yang dipaksa untur berputar, mengingat kejadian masa lalu yang selalu ia simpan dalam memori otaknya, juga rasa yang selalu ia pendam dalam hatinya. Kini mencuat tanpa ijin. Air mata Rara menetes tak terkendali, andai saja waktu dapat berputar, ia akan mengulangi kejadian yang lalu dengan baik dan menepis semua yang buruk.
Nuha mengenggam tangan ibunya erat. Ia bisa merasakan apa yang ibunya rasakan. Rindu. Satu kata yang tidak perlu didefinisikan untuk mengerti maknanya. Ya, ibunya rindu dengan suaminya yang sudah berada dialam lain.
"Ummi, jika ada dua orang memang benar-benar saling menyukai satu sama lain, bukan berarti mereka harus berpisah saat ini juga. Tunggulah diwaktu yang tepat, disaat semua sudah siap. Maka kebersamaan itu akan jadi hadiah yang terindah untuk orang-orang yang bersabar. Sementara menanti, sibukkanlah diri untuk menjadi yang lebih baik. Waktu dan jarak akan menyingkap rahasia besarnya apakah rasa suka itu semakin besar atau memudar" kata Nuha menyemangati Rara.
Rara tersenyum. Ia tidak bisa membayangkan Nuha bisa berkata semanis itu. Mengingatkan dirinya dengan Rasyid yang selalu menceramahinya dengan kata-kata yang bijak.
"Anak ummi sekarang sudah besar ya. Udah bisa ngerangkai kata-kata indah kayak tadi. Makasih Nuha, akan ummi ingat kata-kata kamu". Perhatian Rara kini teralihkan ke Nuha. Rencananya berhasil.
"Hehe, itu Nuha ambil dari Tere liye Ummi" Nuha tertawa.
Rara menggelengkan kepanya dan tertawa kecil melihat tingkah Nuha. Semoga Rasyid tenang dialam sana dan semoga Allah mempertemukannya dengan Rasyid di syurga nanti. Aamiin.
Mencintai tak hanya sekedar untuk dicintai. Tetapi bagaimana menjaga dan menghargai perasaan yang disebut cinta. Ketika dua hati saling tulus mencintai, mereka akan selalu temukan cara tuk tetap bertahan, tak peduli betapa sulitnya tuk terus bersama.
⏪⏩
Alhamdulillah akhirnya selesai. Makasih buat kalian yang setia membaca cerita pertamaku yang rada absurd. Kalo masih ada typo dan salah kata, mohon maklum karena penulis junior.
Maaf juga kalo endingnya gaje bgtbgt... sama sad ending.
Karena menurutku semua kehidupan nggak harus happy ending mulu. Harus ada rasa untuk mengikhlaskan orang yang kita cinta.
Ya segitu aja ya. Aku nggak punya banyak kata. Sekali lagi makasih buat kalian para pembaca yang masih setia :)
Jangan lupa baca cerita lainku juga yaw :*
Sekian dan terima kasih.
Assalamu'alaikum.
Mutiara Millenia Rizceni
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top