31. MAAF

Rara sekarang berada didepan cermin yang besar dan pipinggirnya dihiasi oleh lampu neon agar wajah Rara terlihat lebih jelas. Ibu Rara merias sendiri anaknya yang hari ini akan menikah dengan Rasyid, sang pujaan hati.

"Rara cantik, Rara cantik, anak ibu cantik" kata ibunya sambil memberi bedak di pipi Rara.

"Ah ibu, Rara cantik karena ibu" Rara membalikkan badannya agar sejajar dengan ibunya.

"Jika Rara bukan anak ibu, pasti Rara udah jelek" Rara memanyunkan bibirnya untuk mendapatkan lipstic warna pink dari ibunya.

"Iya terserah deh. Pokoknya kamu harus cantik hari ini. Karena ini hari yang sangat penting dan bersejarah untukmu Ra" sekarang ibu Rara mengoles bibir anaknya dengan lipstic.

Rara hanya mengangguk dan kembali membalikkan badannya kearah cermin yang ada didepannya. Ia sangat cantik hari ini. Mata yang tajam karena air liner yang menghiasi pinggiran matanya dan pipinya merah merona karena blush on yang ia pakai.

"Sekarang tinggal tunggu calon suamimu saja" goda Ibu Rara. "Ibu masih tidak menyangka kamu akan menikah dan mendapatkan suami yang masyaAllah seperti Rasyid, sudah baik perilakunya dan ahlaknya yang tidak mau kalah. Padahal dulu kamu urakan, nekat dan bandel" menyikut bahu Rara.

"Ih, ibu kok jadi ngejek Rara sih. Rara menikah karena Rara ingin menyempurnakan agama Allah, right? Ya memang Allah maha kuasa, bu. Rara juga masih tidak menyangka dipertemukan dengan Rasyid sampai ke pelaminan" Rara mengeherdikkan bahu.

"Yasudah ibu tinggal dulu ya. Para tamu sudah menunggu ibu. Kamu disini jangan kabur" Ancam ibunya.

"Kabur? Memang Rara mau kabur kemana? Rumah Rara ada disini, apalagi nanti Rasyid datang. Rara nggak bakalan mau kabur" Rara menarik senyum dan pipinya tambah merah karena mengingat Rasyid.

"Uh, anak ibu sekarang suka ngegombal. Ibu turun dulu ya" ibunya pergi meninggalkan Rara.

Rara mengangguk dan kembali menatap dirinya yang ada didepan cermin. Ia membenarkan riasan yang belum perfect menurutnya dan merapikan baju pengantin yang mulai kusut karena ia duduki.

Ia berdiri dan menatap sekeliling kamarnya. Mungkin setelah menikah dengan Rasyid, ia akan kembali ke Amerika karena Rasyid bekerja disana ditambah lagi dirinya yang masih ada tanggungan pekerjaan sebagai sekertaris ayahnya dan anak-anak dari yayasan yang sangat ia rindukan. Ia melihat ponselnya yang tergeletak di atas kasurnya. Segera ia mengambil ponselnya dan menscroll kebawah mencari sesuatu. Kemudian ia mendekatkan ponselnya di telinga.

"Assalamu'alaikum" terdengar suara disebrang sana.

"Wa'alaikumus salam  warahmatullah, Rasyid" kata Rara dengan wajah yang mulai memanas setelah mendengar suara Rasyid.

Diam. Tidak ada yang memulai pembicaraan,padahal ada banyak hal yang ingin Rara sampaikan pada Rasyid. Namun, sudah kelewat malu, yah jadi seperti inilah. Blank space.

"Kamu telfon saya kenapa Ra? Kangen sama saya?"

"Hah?!" Rara nyaris teriak setelah mendengar perkataan Rasyid.

"Loh kok kaget? Oh bukan ya?"

"Ehm, iya aku kangen sama kamu Rasyid" mengulum bibirnya. "Tapi itu tadi sekarang enggak" Rara menggelengkan kepalanya malu.

"Oh kangennya tadi? Wah telat dong kalo gitu. Padahal saya mau beri kamu kejutan, jika kamu kangen sama saya" kata Rasyid dengan suara besarnya yang khas, juga tak lupa tawa kecil yang keluar dari mulutnya.

"Kejutan?!" Rara kali ini benar-benar berteriak karena terpancing perkataan Rasyid yang membuatnya penasaran dengan kejutan dari calon suaminya.

"Kejutan apa? Kasih tau dong Rasyid, jangan buat aku penasaran. Kalo aku udah penasaran pasti aku telfon kamu terus"

"It's not problem. I like you always call me everytime"

Rara blushing seketika mendengar perkataan Rasyid. Ia tidak menyangka jika Rasyid adalah orang yang romantis, ini adalah hal baru yang Rara ketahui dari Rasyid.

"Uumm, romantic". Rara melihat kearah jam dinding yang tergantung didinding kamarnya. Pukul 09.30, kurang 30 menit lagi acara sakral akan dimulai.

"Rasyid, kamu cepat sampe rumah ya. Ini mau jam 10, para tamu sudah datang. Jangan ngebut dan selalu ingat Allah! Jaga diri baik-baik. Assalamu'alaikum"

"In Shaa Allah saya akan datang tepat waktu. Wa'alaikum salam Ra"

Rara mematikan ponselnya setelah mengecek bahwa Rasyid selesai berbicara. Sekarang Rara duduk dipinggir kasur sambil membaca bukunya untuk menghilangkan ketengngan acara pernikahan dan agar ia tidak bosan menunggu Rasyid.

Rara tersenyum sendiri, ia tidak fokus dengan bukunya. Ia membayangkan akan memiliki keluarga dengan Rasyid. Memang Allah adalah sebaik-baik perencana.
⏪⏩

Jam berdetak begitu cepat tanpa diberi aba-aba, waktu berlalu tanpa disadari kepergiannya, seolah tidak memberi kesempatan untuk menikmati setiap menit, bahkan setiap detikpun tidak diperbolehkan. Dilantai bawah terdengar suara yang menggema ditelinga sicalon pengantin wanita, yang kini tengah duduk menanti kepastian. Rara terus memperhatikan jam yang terpasang didindingnya dan sesekali melirik ponselnya yang masih berlayar hitam. Ini sudah ke 10 kalinya ia menelfon Rasyid, tapi hasilnya nihil.

Sekarang pukul 12.00. Waktu pernikahan sudah terlambat selama dua jam dan para tamu sudah tidak sabar menunggu. Kacau. Rara takut jika terjadi sesuatu dengan Rasyid, ia membayangkan hal-hal buruk tentang Rasyid. Astagfirullah, Rara memukul pelan dahinya. Ia harus husnuzon dengan Rasyid. Mungkin Rasyid terlambat karena jalanan macet atau ada telfon dari klien yang mendadak ingin mengecek pekerjaannya, mungkin saja hal lain yang membuat Rasyid terlambat. Rara duduk lagi dipinggiran kasur dan membaca Qur'an untuk menenangkan hatinya.

"Rasyid sudah ada kabar Ra?" Tanya ibunya yang tiba-tiba muncul dari pintu yang juga khawatir.

"Belum bu. Mungkin Rasyid kejebak macet" kata Rara meyakinkan ibunya.

"Iya benar, kita harus husnuzon bu" kata Farkhan, ayah Rara merangkul bahu istrinya.

"Yasudah. Para tamu sudah tidak sabar menunggu lagi. Semoga Allah melindungi Rasyid"

"Aamiin". Hanya kata itu yang terucap dari mulut Rara selebihnya hanya ada keyakinan dari yang maha kuasa.

Dddrrrttttt

Ponsel Rara bergetar, dengan cekatan Rara mengambil ponselnya dan ia dekatkan ke telinga.

"Wa'alaikumus salam Fatimah. Ada apa?"

"...."

Mata Rara terbelalak setika dan ia menjauhkan ponselnya dari telinga agar ia tidak mendengar suara Fatimah. Tangisannya pecah. Ibu dan ayahnya dibuat bingung dengan perilaku Rara yang tiba-tiba menanggis.

"Ada apa Ra?" Tanya kedua orang tuanya.

Rara hanya bisa menggelengkan kepala.
Ia mendonggakkan kepalanya dan membersihkan air mata yang sempat membasahi pipinya yang sudah merah.  Segera ia mengambil kunci mobil yang tergantung dan berlari menuju garasi. Semua tamu terkejut melihat Rara yang mencincing pakaian pengantin dan berlari meninggalkan rumah. Ia masuk kedalam mobil dan menghidupkan mesin mobil itu. Rara mendekatkan ponsel yang sedari tadi bersuara karena tidak ada yang menjawab.

"Fatimah kamu masih disana?" Tanya Rara.

"......"

"Oke aku kesana. Thanks"

Rara menutup pembicaraan dan melajukan mobilnya menuju tempat yang akan dia kunjungi. Rara menyetir dengan pikiran yang masih kalang kabut, ia tidak bisa menenangkan hatinya. Sesekali ada mobil yang mengklaksonnya karena laju mobil Rara yang melambat atau ia yang hampir menabrak mobil yang ada didepannya.

15 menit perjalanan. Rara berlari sekuat tenaga, ia menenteng sepasang sepatu hak tinggi dan mencincing rok agar kakinya leluasa untuk berlari. Semua terkejut dengan kehadiran Rara ditempat itu. Ini adalah tempat yang salah jika melakukan pernikahan disini apalagi Rara belum melepas pakaian pengantinnya. Ia menghiraukan semua tatapan dan bisikan orang-orang tentang dirinya, lebih tepat penampilannya saat ini. Tidak lama ia berlari, sosok Fatimah dan Dinda sudah ada didepannya juga ayah Rasyid dengan dua polisi yang berdiri disebuah ruangan yang tertutup. Rara memperlambat larinya bisa dibilang ia berjalan gontai dengan wajah yang dipenuhi oleh keringat. Mungkin wajah cantiknya sudah berubah menjadi ladang keringat, tapi Make upnya tidak luntur oleh keringat.

Rara menatap Fatimah penuh harap.

"Dimana Rasyid?" Tanya Rara lirih.

Fatimah terdiam dan melirik kearah pintu. Kepala Rara mengikuti arah lirikan mata Fatimah. Ia berjalan mendekati pintu dan mengintip dari balik kaca pintu yang tranparan. Dilihatnya Rasyid yang terbaring dengan alat bantu pernapasan, tak tertinggal alat pemacu jantung yang didekatkan didada Rasyid. Wajah tampan Rasyid dihiasi oleh lumuran darah dan badannya kaku tak bergerak. Tangisan Rara menghiasi seisi ruangan. Ia belum bisa menerima ini, ini seharusnya menjadi hari terbaik untuknya dan Rasyid, bukan hari yang paling buruk. Fatimah dan Dinda mendekat menenangkan Rara.

"Kak,bang Rasyid adalah orang yang kuat. Saya yakin bang Rasyid bisa melewati masa kritisnya. Ingat kak cinta kakak yang membuat hidup bang Rasyid berwarna. Sesungguhnya Allah tidak pernah mengambil sesuatu yang kita sayang tanpa menggantinya dengan yang lebih baik" kata Fatimah mengelus bahu Rara.

"Iya kak. Bang Rasyid akan sembuh itu karena kakak. Kakak harus yakin jika bang Rasyid akan sadar. Berdoalah kak pada Allah"

Rara mengangguk. Hatinya mulai tenang dilihatnya Rasyid yang masih tidur. -ya Rab sembuhkanlah Rasyid, sadarkan dia dari masa kritisnya-

"Kecelakaan ini memang murni kecelakaan tunggal. Dari penyelidikkan yang kami lakukan kecelakaan terjadi karena anak bapak tidak fokus dalam mengemudi dan dipastikan kecelakaan terjadi sekitar pukul 09.30" kata salah satu polisi.

"Oh jadi seperti itu ya pak" kata Hartanto dengan mendengus pasrah.

Mata Rara terbelalak mendengar perkataan salah satu polisi tersebut.

09.30? Bukankah itu... tidak mungkin ya Rab, apalagi ini kecelakaan tunggal.

Kepalanya pening, pandangannya mulai kabur dan ia tidak kuat menahan tubuhnya. Rara jatuh seketika dan membuat semua orang cemas. Tak terkecuali ayah dan ibunya yang baru datang. Ia dibawa keruangan untuk diperiksa.

Maafkan saya Rasyid.














Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top