05. AWAL CERITA

"Gue nggak suka dipaksa. Kenapa sih semua orang suka maksa gue? Nggak usah sok care deh sama gue." bentak Rara di depan cowo berpeci itu. Dia membuang muka, tidak mau melihat sesentipun wajah alim Rasyid. Baginya, lelaki yang baru saja menceramahinya sama dengan kebanyakan orang. Suka sekali menuntut!

Rasyid menghela napas, memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana panjang yang menutupi kakinya. "Cobalah untuk bersabar dan selalu syukuri apa yang terjadi." Ucapnya dengan penuh kesabaran. Memang, ini bukan hal baru lagi baginya, tapi menghadapi makhluk berspesies Rara ini, sama saja seperti menghadapi tumpukan batu di lereng gunung. Keras.

Gadis berambut panjang itu mendecak sebal. "Gimana bisa sabar? Tiap kali gue ngelakuin hal yang menurut gue bener selalu dianggep salah." Rara mendengus kasar. Alis matanya meninggi seiring emosi labilnya yang tak terkontrol.

"Kamu hanya melihat satu sisi dimana sisi yang kamu lihat itu adalah sisi buruk. Memang kamu pernah untuk melihat sisi baik dari peraturan?"

Diam. Sepi tidak ada pembicaraan diantara Rasyid dan Rara.

Rara memilih bungkam daripada berdebat dengan Rasyid. Bosan dengan keadaan ini, apalagi tak ada perubahan sedikitpun dari Rara, akhirnya lelaki melihat jam yang melingkar di tanganya, waktunya untuk kembali ke kamar dan mempersiapkan pelajaran untuk besok.

"Peraturan dipondok di buat agar para santri atau murid mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Inshaa Allah itu bisa digunakan sebagai bekal kita di akhirat. Peraturan memang dibuat dengan sifat memaksa, tapi itu untuk kebaikan diri kita sendiri. Agar kita menjadi orang yang disiplin dan lebih tanggung jawab. Kalo begitu saya pergi dulu, assalamu'alaykum." Pesannya pada gadis itu. Rasyid mengatakan hal penting pada Rara sebelum dia pergi meninggalkan gadis yang membawa buku di depannya. Tubunya berjalan menjauh dari lokasi menuju tempat beristirahat.

Rara termenung sejenak. Sekelebat persepsi menghujam perspektifnya. Dia nyaris gila oleh pikiran-pikiran yang masuk secara paksa ke dalam otaknya. Apalagi, dia belum tahu nama lelaki yang menceramahinya beberapa detik barusan.

Tak ingin rasa penasarannya memuncak, Rara segera mengambil keputusan. "Tunggu." kata Rara sambil melempar batu kecil dan mengenai punggung Rasyid. Seketika Rasyid berhenti dan membalikkan badannya.

"Nama lo Rasyid 'kan?" Rara menaikkan kembali alisnya sebagai tanda menanyakan sesuatu dan menunggu jawaban itu. Di tempatnya dia berteriak, "Gue Adora Listiana. Lo bisa panggil gue Rara. Jadi kalo lo nemuin buku gue yang ketinggalan, lo bisa balikin buku itu ke gue."

Bergegas, langkah besarnya berlari kecil ke arah Rasyid. Rara berdiri sembari mengulurkan tangannya. Berusaha berkenalan secara formal dengan lelaki kaku itu

Lelaki berpeci dan memakai baju koko tersebut melengkungkan senyum indah. "Hai, Rara. Nama saya Muhammad Ar-Rasyid. Kamu bisa panggil saya Rasyid." Rasyid menelangkupkan tangannya.

Karena Rasyid tidak membalas uluran tangannya. Segera ia menarik kembali tangannya yang hampa.

"Senang bisa berkenalan denganmu, saya harus kembali ke kamar. Kamu harus segera kembali ke kamarmu sebelum ada keamanan yang datang. Dan maaf, seperinya ini kesalahan saya.. sebenarnya ikhwan tidak diperbolehkan bertemu dengan akhwat bila tidak ada keperluan yang penting, tapi karena tadi saya melihat kamu di area ikhwan, jadi saya menegaskan tata tertib itu. Afwan, jika menyinggung perasaan kamu, Ra." Ucapnya lembut. Tatapan teduh mata itu tidak lepas dari bumi.

Rasyid berjalan meninggalkan Rara.

Selanjutnya, Rara mengangguk paham dan melanjutkan membaca. Tidak lama  bu Ayu  datang, gurat wajah tak suka tercetak jelas di sana. Tanpa basa basi, bu Ayu menggandengnya paksa untuk mengikuti kegiatan pondok. Rara meronta bahkan sempat menatap bu Ayu tajam, tapi mata Rara kalah oleh tatapan mata bu Ayu. Mau tidak mau dia berjalan mengikuti bu Ayu

⏪⏩

Rara sekarang berada di kamar dengan wajah yang ditekuk. Dihempaskannya tubuh lelah itu di atas kasur asrama. Matanya terpejam sejenak. Fatimah hanya tersenyum melihat Rara.

"Kakak lain kali jangan buat masalah dengan bu Ayu. Bu Ayu guru paling tegas di asrama." Ucapan Fatimah terdengar di sela-sela helaan napas Rara.

Dia bergumam, "Iya gue tau."  Rara merubah posisi tubuhnya, disenderkan punggung di pinggir kasur. Ia teringat kejadian tadi sore. "Gue tadi ketemu lagi sama Rasyid." kata Rara menatap Fatimah. Kilasan kejadian itu kembali terputar dalam memori jangka panjangnya. Entah kenapa dia terus memikirkan hal tersebut. Mungkin karena perkataan Rasyid yang bisa membuat pemikirannya berubah sedemikian rupa?

Fatimah terkejut mendengar nama itu. Dia memalingkan wajahnya dari Rara. Dinda mulai mendekat dan menyikut bahu Fatimah.

"Ciye Fatimah cemburu nih." goda Dinda. Teman sekamar Fatimah itu menyipitkan mata.

"Lo suka sama si Rasyid?" Rara nyaris tak percaya. Ralat, memang hal biasa sih. Orang baik untuk orang baik. Itu sudah biasa.

"Enggak kok kak. Dinda boong. Jangan percaya." Elaknya menyikut Dinda untuk diam.

Rara tertawa renyah melihat ekspresi Fatimah yang mulai memerah. Rara mendekat kearah dua orang temannya. Ia berdiri di depan Fatimah dan menatapnya nakal.

"Gimana kalo Rasyid buat gue aja? Katanya lo nggak suka sama dia?" Goda Rara dengan menaik turunkan alis tebalnya.

Fatimah tambah tidak karuan dan menatap heran Rara. Ia mundur dan kembali duduk ketempat awal ia tadi duduk. Rara benar-benar senang melihat Fatimah yang bingung.

"Tenang aja kali. Rasyid bukan tipe gue. Jadi gue nggak bakalan ambil dia dari lo. Dia terlalu.... polos, menurut gue." Rara kembali duduk di pinggir kasur.

Dinda tertawa kecil melihat Rara dan Fatimah. Memang sejak kejadian Rara sering pergi saat kegiatan,tidak sengaja ia melihat Fatimah bertemu dengan Rasyid.

"Bang Rasyid, dia santri terbaik di pondok. Dia ketua keamanan disini, Kak." Fatimah angkat bicara.

Mata Rara melotot mendengar perkataan Fatimah. "Serius? Dia ketua keamanan? Tapi kenapa dia nggak ngehukum gue waktu cabut?"

"Entahlah kak. Saya juga tidak tau." Kata Fatimah mengherdikkan bahu.

"Oh iya kakak sekolah di Amerika, tapi kok saya jarang denger kakak pake bahasa Inggris kalo ngomong. Jangan-jangan kakak nggak bisa bahasa Inggris?" Cerocos Dinda.

"Sotoy lo Din. Sekarang gue yang tanya, ini dimana?"

"Indonesia." Jawab Dinda serta merta.

"Lah itu tau. Kita di Indonesia ya pakenya bahasa Indonesia, beda lagi kalo kita di Amerika ya pakenya bahasa Inggris."

"Oh". Dinda asyik ber-oh riya. Tawa muncul di ketiga sahabat yang baru terjalin itu.

⏪⏩

Pukul 5 pagi. Kali ini Rara harus ikut kegiatan pondok karena bu Ayu sudah ada didepan pintu. Fatimah melihat Rara yang dari tadi membenarkan jilbab yang ia akan kenakan. Fatimah mendekat dan merapikan jilbab Rara.

"Kak Rara cantik banget. Nih paskan dengan jilbabnya?" Kata Fatimah menyelesaiakn jilbab Rara.

"Ah ribet! Gue nggak suka. Kenapa gue harus pake beginian?"

"Kakak nanti akan terbiasa kok. Saya dulu juga begitu. Apalagi ini perintah dari Allah. Kita sebagai umat muslim harus menuruti Allah bukan? Jilbab juga bukan semata kain yang menutupi aurat, tapi juga sebagai identitas kaum muslimah" kata Fatimah dengan senyum yang mengembang.

Setelah selesai membenarkan jilbab, Rara keluar bersama Fatimah dan teman-temannya.

Rara masih memperhatikan jilbab yang ia pakai. Ia memperhatikan Fatimah dan jilbabnya. Besar, longgar dan tidak transparan. Rara mulai bingung kenapa harus menutup aurat yang indah untuk dilihat.

"Fatimah, kenapa lo mau nutup aurat lo? Apa lo nggak iri lihat cewe yang rambutnya tergerai dan memakai pakaian masa kini?"

"Insyaallah enggak kak. Semua yang melekat pada wanita adalah aurat dan aurat itu harus ditutup agar tidak menimbulkan fitnah kak"

Rara mengangguk paham. Dilihatnya teman-teman Fatimah yang sedang berjalan bersamanya. Mereka menggunakan pakaian yang sama dengan yang dikenakan oleh Fatimah.

Saat memasukki halaman masjid dilihatnya para santri yang memakai pakaian yang sama dengan Fatimah. Semua orang yang berlalu lalang saling menyapa dan tidak sedikit saling berjabat tangan. Ini adalah pemandangan yang baru untuk Rara.

"Apa lo nggak panas gitu? Pake baju panjang kayak gini" Rara menunjuk gamis yang Fatimah kenakan. "Terus bahannya tebel banget. Berasa dikutub ya lo?" Ejeknya.

Fatimah menggeleng sebagai tanggapannya. Lalu Fatimah melihat Rara. "Kalo kita lakukan karena Allah, aku yakin tidak akan merasa kepanasan. Karena memang Allah memerintahkan kita untuk menutup aurat, kak"

Rara melongo. Sial. Kata-kata Fatimah barusan berhasil membuatnya tersindir. Perintah dari tuhannya? Tidak pernah terpikir sama sekali untuk menuruti perintah tuhannya. Rara diam, ingin sekali ia membela diri, tapi apalah daya jika sudah menyangkut tuhannya dia tidak bisa apa-apa lagi.

⏪⏩
Maaf kepanjangan ya? Maaf juga kalo ceritanya mulai ngebosenin :(. Jangan lupa komen dan vote terus ya ceritanya.

Terima kasih....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top