01. PERTEMUAN PERTAMA
Sinar mentari menyapu sebagian isi bumi, memanaskan sampai manusia berpeluh keringat.
Kali ini, Adora Listiana, atau yang sering dipanggil Rara, pulang dari negara paman Sam. Dia berjanji pada ibunya, setelah lulus SMA disana akan melanjutkan sekolah di Indonesia.
Rara duduk berdampingan di mobil bersama ibunya, memandang jalan raya yang ramai oleh lalu lalang kendaraan. Bertumpu dengan sikunya, Rara memperhatikan suasana aneh didepan matanya.
Perlahan, laju mobil melambat, bersamaan dengan suara derap langkah kaki dan adzan Dzuhur berkumandang. Rara sedikit terkejut mendengarkan lantunan aneh itu, iya dia tahu itu adzan, tapi jarang sekali di Amerika adzan di kumandangkan.
Mengikuti ibunya yang keluar lebih dulu dari mobil, Rara turun sambil menyeret koper berwarna merah maroon. Menjejakkan kaki di tanah lapang yang tidak diketahuinya sama sekali. Matanya menyapu daerah sekitar, meneliti tiap sudur bangunan tua tanpa ada kesan modern sama sekali.
"Mom, kita dimana?" Tanyanya memcah keheningan siang hari.
Mereka menuju salah satu ruang kotak di salah satu ruang bangunan tua itu.
Ibunya membalikkan badan, tersenyum sekilas memandangi putrinya. "Kamu akan tahu nanti, Ra" dia menggandeng Rara agar berjalan disampingnya.
Tak lama, mereka sampai. Rara dan ibunya duduk disebuah kursi kayu berbahan jati dengan model kuno khas orang jawa. Lalu, keluarlah seorang laki-laki berperawakan tinggi, mengenakan kemeja berlengan panjang.
"Assalamu'alaikum bu Nandha, apa kabar?" Dia menyapa ibu Rara sambil tersenyum. Melirik sekilas Rara yang duduk di kursi kayu itu. "Ini yang namanya Rara?" Laki-laki itu bertanya.
Rara merasa di panggil namanya, mendongak, mengangguk sekilas sambil tersenyum.
Ibu Rara duduk disaat laki-laki itu juga duduk.
"Iya dia Rara, anak saya"
Laki-laki itu membulatkan bibir. "Dia yang akan masuk kepesantren?"
Dalam detik kelima, mata Rara terbuka lebar, membulat sempurna. "Apa?! Rara, harus tinggal di pondok, mom?" Dia bertanya dengan nada tinggi. Rambutnya yang tergerai panjang, tersibak kebelakang menggunakan tangan kanannya.
Nandha--ibu Rara--menenangkan anaknya yang mulai ada tanda-tanda memberontak. "Iya, kamu udah janji sama ibu buat sekolah di Indonesia setelah selesai sekolah di Amerika. Dan disinilah kamu akan menutut ilmu" jelasnya. Dia memegang pundak Rara.
Rara spontan menepis tangan ibunya di bahu, menampilkan wajah marah. "Iya, Rara udah janji. But, not in here. Rara nggak mau disini" dia menyentak ibunya. Suara melengking membuat dua orang didalam ruangan kotak itu terkejut.
Rara bangkit dari tempat duduknya, berjalan cepat meninggalkan ruangan kuno itu. Dia tidak peduli lagi dengan teriakan ibunya di belakang. Intinya dia tidak mau lama-lama di tempat bagai penjara tua menyeramkan ini.
Tanpa dia sadari, tubuhnya menabrak seseorang. Dilihatnya orang itu terhuyung kebelakang, namun tidak terjatuh, hanya beberapa buku saja yang bercecer di jalanan. Merasa bersalah, Rara membungkuk, ikut memunguti buku-buku itu, lalu menyerahkannya pada si pemilik.
"Sorry, I don't know" katanya dengan logat Amerika yang kental.
Setelah kejadian itu, dia terus berjalan menyeret koper, meninggalkan seseorang yang tertatih-tatih mengejarnya.
Rara berdiri sekarang berdiri didepan gerbang pesantren. Melihat daerah sekitar, sepi akan kendaraan. Dia baru sadar tempatnya berdiri itu ada dipelosok desa. Terpencil. Jauh dadi keramain kota. Dia merutuki dirinya, kenapa harus mau ikut ibunya sampai sini.
"Stupid!" Umpatnya sambil menghentakkan kaki ketanah, menyibak rambut hitamnya kebelakang. Tatapan matanya melotot, memperhatikan layar ponsel, mungkin ada seseorang yang bisa dia hubungi saat ini.
"Rara" suara lembut ibunya mengalun lembut menyapa pendengaran Rara.
"Ra, dengerin ibu" dia mengenggam erat tangan putrinya. Mengantarkan gelenyar keyakinan dari sana.
"No, mom. Please, jangan paksa Rara buat tinggal disini. Mom, you know, disina itu penjara, Rara nggak bisa kemana-mana" dia mengeluarkan semua pendapat dalam pikirannya. Menumpahkan semua kesal, karena ibunya tidak meminta persetujuan dari dirinya.
Nandha mencengkeram tangan anaknya lebih kuat. "Ini permintaan terakhir ibu, ibu nggak akan minta apa-apa lagi, setelah ini kamu bebas melakukan apapun. Tapi turuti yang satu ini, ibu mohon, Ra"
Melihat wajah sedih ibunya, hati kecil Rara merasa tidak tega. Mendadak hati dan otaknya tidak sejalan. Dia bingung harus memilih yang mana.
Ada jeda diantara mereka. Menunggu keputusan siapa yang menang atas perdebatan ini. Rara menimbang, terus menimbang pendapat mana yang bisa diterima, hati atau otak. Setelah dirasa sudah mendapatkan keputusan, Rara akhirnya memilih.
"Fine. Rara bakal turutin permintaan mommy, tapi, mommy janji bakal biarin Rara melakukan hal yang Rara suka setelah ini?" Tanyanya memastikan ulang yang dijanjikan ibunya.
Nandha mengangguk. "Iya"
Lalu, dengan berat hati, Rara kembali ke ruangan kuno berbentuk persegi itu. Duduk ditempat semula sebelum dia kabur.
Laki-laki yang menanyainya tadi tersenyum sumringah. "Alhamdulillah, Rara mau masuk ke pondok"
Rara mengangguk patah-patah, dihadiahi senyum manis ibunya.
"Sebentar, saya panggilkan teman sekamar kamu, biar langsung bisa kenalan" kata laki-laki itu. "Bu Nandha, disini dulu, mengisi biodata dan administrasi Rara. Tafadhal"
Laki-laki itu berdiri dari tempat, keluar dari ruangan. Dia seperti memanggil seseorang dari balik pintu, tangannya mengayun meminta seseorang mendekat. Tidak lama, seorang gadis sekitar 17 tahun menampakkan diri diambang pintu. Dia memakai hijab hijau tua dengan baju kebesaran.
"Iya pak Kyai, ada apa memanggil ana?" Tanyanya maju mengahadap laki-laki itu yang dia panggil pak kyai.
Rara menangkap pemandangan janggal. Lalu, otaknya berpikir, membayangkan Rara memakai hijab besar dan baju kedodoran mirip gorden itu, lurus tanpa bentuk sama sekali. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika dia memakai pakaian tersebut, dan menjadi bagian dari mereka.
Gadis muda itu melirik sekilas Rara dan melempar senyum ke Rara. Yang di senyumi malah membentuk wajah keki. Sok kenal. Batinnya.
"Ana paham pak kyai" dia mengangguk, kemudian berjalan mendekat kearah Rara. "Assalamu'alaikum, nama ana--maksudnya saya, Annisa Fatimah, anti bisa memanggil saya Fatimah. Dan saya teman sekamar anti" dia menjelaskan dan mengajak Rara beranjak dari tempat duduk ke kamar. "Ayo saya antar ke kamar, nanti anti bakalan betah"
Rara menyeret koper, sebelumnya dia berpamitan dengan ibunya.
Dia memasang wajah lempeng. Mana bisa gue betah di tempat kayak penjara gini? Rontanya dalam hati.
Tanpa Rara ketahui, dari tadi gadis yang bernama Fatimah itu bercerita banyak hal, mulai dari sejarah pondok sampai tata tertib yang harus dipatuhi selama hidup dan belajar di pondok.
"Anti maaf sebelumnya, namanya siapa ya?" Dia mendadak menghentikan laju kaki melangkah, menghadapkan tubuhnya ke Rara.
"Gue Adora Listiana, panggil aja gue Rara. And you know, I don't like you call me anti. My name is Rara, no anti" dia melayangkan protes, soalnya dari tadi si Fatimah memanggilnya anti, padahal namanya Rara.
Fatimah tampak terkekeh pelan mendengarkan ucapan Rara. "Anti itu sebutan kamu dalam bahasa Arab, kak. Maaf deh kalo kakak terganggu dengan panggilan saya. Afwan kak" dia meminta maaf, lalu menampilkan senyuman manis lagi. "Tadi nama kakak, Adora ya? Saya panggil anti--maksudnya kamu, jadi kak Rara, begitu?"
Rara mengangguk. Boleh juga gadis disampingnya ini, baru saja mereka berkenalan dan dia menangkap pribadi Fatimah sebagai gadis manis yang ramah. Rara akui, dia nyaman dengan gadis disampingnya, walaupun cerewetnya nggak ketulungan.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju kamar. Tetapi ada satu bangunan yang membuat kaki Rara terhenti. Bangunan itu terpisah dengan lorong dan satu buah papan berisi peringatan. Selain santri ikhwan dilarang masuk. Kecuali ada surat ijin dari pak kyai. Itu salah satu bunyi peringatan yang tertulis di papan itu. Satu hal lagi, ada seseorang yang membuat mata Rara familiar, tapi dia tidak tahu siapa nama orang itu.
"Kak Rara, ayo kesini" Fatimah memerintahkan Rara untuk tidak berhenti berjalan dan melamun.
Suara Fatimah membuyarkan pandangan Rara dari lorong penghubung misterius itu. Dia segera mensejajarkan langkah dengan Fatimah.
"Kakak jangan sekali-kali masuk ke dalam sana. Nggak boleh" kata Fatimah memperingatkan, masalahnya, pandangan mata Rara tidak bisa lepas dari bangunan khusus santri laki-laki.
Rara mengerutkan dahi. "Emang kenapa nggak boleh?" Sepertinya dia belum paham rules pondok pesantren disini.
"Nanti kakak akan tahu" Fatimah menampilkan cengiran jahil.
-------
Assalamu'alaikum para readerku ;). Buat kalian juga yang baru mampir di lapakku ini. To the point aja yah. Karena aku kasih tulisan on editing di sinopsisnya, jadi akan aku edit-edit dikit. Maaf ga beritahu kalian sebelumnya. Itu aja sih. Eh, betewe, kapan2 mampir lapak aku yang lain ya, sekalian baca gitu. #promosidiperbolehkan. Dan gimana kalo ganti judul? Komen okey? Kalo ada typo komen yaa...
Salam dari.
Rara dan Mutiara. :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top