Bonus Chapter- David Rian

Kupikir surat itu hanya kebetulan semata, namun setelah melihat Misa dan juga surat yang sama di sampingnya, membuatku yakin ini ada kaitannya dengan Black Shadow. Aku tahu tapi aku tak bias mengatakan apa pun. Aku yakin, semua orang yang terlibat pun akan bungkam.

Sejak kemarin Pak Reno terus mengawasiku. Aku sadar, dia takut aku membocorkan semuanya. Aku memang tak terlibat jauh tapi untuk mengatakan aku pernah terlibat itu bukan hal mudah. Aku tak tahu bagaimana nanti ketiga temanku ini melihatku, setelah tahu rahasiaku.

Memang sekali lihat surat itu bisa diduga ini kelakuan salah satu anak Black Shadow yang dendam ke para petinggi itu. Tapi aku tidak bisa diam dan membiarkan korban terus berjatuhan. Aku yakin incaran selanjutnya Krisna dan Robert.

Aku benar-benar tidak bisa diam saja.

“Vid! Woy!” Aku tergelak dari pikiranku begitu mendengar ada yang memanggilku. Ah, sial aku tidak bisa fokus. Aku menaikkan alis pada si Orang Pemanggil Itu. Siapa lagi kalo bukan Matt. “Lo mikirin apa sih? Serius amat. Lo jangan-jangan …”

“Apa?”

Wajah Matt memandangku curiga seolah dia tahu rahasia besarku. Jangan bilang dia tahu kalau aku bekas anggota Black Shadow. Paling parah kalau ternyata dia sekarang anggota Black Shadow.

“Jangan-jangan lo naksir Mona ya!” tebaknya ngawur.

Pikiran orang ini memang tidak pernah dekat dengan kata beres. Apalagi kalau ada hubungannya sama Mona. Hobinya curhat tentang Mona setiap detik tapi disuruh nembak orangnya malah takut. Paling bodohnya, dia ngejodohin Mona sama Calvin. Orang sok baik.

Aku tertawa hambar menanggapi Matt. “Kalo gue naksir kenapa? Bukan punya lo kan?” tanyaku.

Matt mengubah ekspresi wajahnya menjadi kesal. Lihat, ini orang memang aneh.

“Gak lucu, Vid,” ucapnya sambil pergi dari hadapanku. Cemburu untuk alasan yang tidak jelas.

Back to the topic, aku harus cari cara biar aku bisa memberi tahu isi surat itu tanpa dicurigai oleh teman-temanku.

Aku membaca ulang pesan yang ditinggalkan pelaku untuk Ema. Sangat mudah bagiku untuk menebak maksud dari pesan ini, tapi tidak dengan polisi dan temanku. Mungkin polisi bisa menebak lokasi pertemuannya tapi aku tidak yakin dia mengerti tentang kata weto.

Bagaimana caraku mengatakan pada temanku kalau 1452301 adalah urutan untuk membaca surat ini? Ini sangat menyebalkan.

Bagaimana caraku mengatakan bagian yang harus dibaca hanyalah huruf pertama setiap bait? Aku bisa gila jika begini.

Bagaimana caraku mengatakan jika kata ‘untuk itu datanglah padaku’ adalah kata kunci dari setiap surat Black Shadow? Ini benar-benar tidak mudah.

(1)Kini aku datang untuk jiwamu

(2)Aku telah menimbang jantungmu

(3)Saatnya aku akan memangsa jiwamu

(4)Engkaulah pendusta abadi

(5)Luka kau torehkan di hati mereka

(0)Untuk itu datanglah padaku

Dewa kematian, 1452301,weto

Aku mencoret-coret kertasku dengan berbagai metode yang sebaiknya kucoba. Ini benar-benar tidak mudah. Ini seperti permainan detektif yang menjadi kenyataan. Mengapa aku harus hidup di dunia yang serumit ini?

(1)K

(4)E

(5)L

(2)A

(3)S

Untuk mengatakan jika lokasinya adalah di kelas masih sangatlah mudah tapi untuk mengatakan lokasi kelas yang mana sangat sulit dijelaskan. Kenapa anggota Black Shadow pendahulu harus membuat kode serumit ini sih? Ini tak mudah dikatakan.

14523 adalah urutan letak yang tepat. 0 adalah zonk untuk kalimat terakhir. Dewa kematian dan angka 1 di akhir adalah penunjuk lokasi yang berarti 11 Ipa 1. Tapi bagaimana bisa aku mengatakan arti kata dewa kematian berarti kelas ipa.  Andaikan mengatakan itu bisa semudah sekarang, pasti aku sudah berkoar-koar jika Black Shadow terkait dalam masalah ini.

1  2  3  4  5  6  7 8 9 0

Q W E R T Y U I O P

Dan untuk kode weto hanyalah semudah ini. Itu hanyalah kode yang menunjukkan jam bertemu. Sangatlah mudah jika lebih teliti lagi. Weto menunjukkan pukul 23.59.

2  3  5  9

W E T O

Sedangkan surat yang ditinggalkan di samping Misa. Itu bahkan jauh lebih mudah lagi dibandingkan surat untuk Ema yang lebih berbelit-belit ketika ditebak. Surat untuk Misa dengan mudah menunjukkan perpustakaan rak ketiga pukul 23.59.

Aku benar-benar bisa gila. Mungkin umurku sudah terpotong beberapa tahun hanya karena kebanyakan memikirkan ini, tapi mana bisa aku mengabaikan ini. Sekejam-kejamnya mereka, aku masih merasa mereka tidak pantas diperlakukan sekejam itu.

“Vid! Buruan woy! Khari sama Mona dah sms nih!” Lagi-lagi aku tergelak karena panggilan Matt.

“Iya! Iya!” Aku mengejar Matt yang sudah lebih dulu di depan sana. Aku harus bisa memberi tahu mereka jika tidak aka nada korban selanjutnya. Polisi harus segera menangani ini.

Kami berdua bergegas pergi ke ruang band, temaot di mana dua cewek itu mengajak bertemu. Kenapa di tempat seram itu? Aku selalu penasaran dengan rahasia yang ada di balik cerita misterius ruang band.

"Matt, Vid," panggil Khari semangat.

Aku melambaikan tangan pada kedua orang itu. Matt segera menghampiri Mona dengan wajahnya yang sokcool. Khari tersenyum menahan tawa, aku tahu arti senyumnya itu.

"Mon." Matt mendekat ke Mona. "Kenapa di sini? Lo tahu kan nih tempat... ya begitulah."

Matt paling jago berakting, mungkin di masa depan aku akan melihat wujudnya di layar televisi dengan peran ala-ala sinetron jaman kini.

"Lo takut? Gila, seorang Matthew Jeffrey ternyata takut isu-isu hantu tentang ruang band," ejek Mona dengan bangga. Melihat dua orang ini yang sebenernya sangat cocok, kadang membuatku geli sendiri.

Pletak! Matt menjitak kepala Mona. Drama lagi, drama lagi. "Mulut lo lama-lama gue tabok pake laptop gue ini." Dia memamerkan laptop di tangan kirinya.

"Asik kali Matt di sini. Sekalian menguak misteri ruang band," sahutku dengan seringai khas milikku. Mona justru tertawa terpingkal-pingkal melihatku aksi sok kerenku. "Ah, Mon. Lo ketawa mulu, ntar si Calvin milih Marie juga lo ngakak tapi ngakak ngenes."

Khari dan Matt langsung tertawa mendengar penuturanku. Matt benar-benar tertawa bahagia kalau perkataanku jadi kenyataan.

"Sudah ah. Ayo, kita bahas." Mona mengalihkan pembicaraan ke tujuan awal keberadaan kami di sini.

Kami sudah duduk melingkar di depan ruang band. Matt memindahkan foto surat yang tadi pagi di foto Mona ke laptop miliknya.

Aku harus mulai berpikir bagaimana cara mengalihkan mereka untuk berpikir sama seperti Black Shadow. Ini tidak mudah. Mungkin  aku bisa mencobanya pada Mona, karena dia yang paling menyukai misteri.

"Matt, kalo lo punya alasan ngebuat Ema sama Misa jadi kayak gitu. Apa alasan lo?" tanya Mona tiba-tiba. Matt melirik Mona bingung karena pertanyaan Mona memang agak you know lah. "Gue serius."

Matt mengedikkan bahu. "Mungkin karena topeng yang mereka pake? Ah, itu bukan urusan gue. Prestasi mereka? Tapi gue juga nggak merasa iri sama prestasi mereka. Kalo gue tahu rahasia mereka, yah mungkin kalo ada rahasia dari mereka yang membuat gue kesal. Gue jadi kayak psikopat gini sih," jawabnya sekaligus disertai dumelan tak jelas ala Matt.

"Kalo lo, Khar?" tanyanya pada Khari tanpa mempedulikan dumelan Matt yang semakin panjang kali lebar jika tidak dihentikan.

"Gue? Ehm, meskipun aneh dan gue gak bakal mau ngelakuin, tapi mungkin sifat mereka yang kadang semena-mena. Kalo gue jadi korban bully mereka, gue gorok satu-satu."

"Vid?"

"Kalo gue, entahlah, gue gak nemuin alasan. Mungkin kalo gue deket sama mereka atau tahu rahasia mereka baru ada alasan. Yah, rahasia."  Sial, aku barusan ngomong apa sih? Lihat aja tatapan mereka bertiga sudah mulai curiga. "Kalo lo sendiri?"

"Gue, ehm," Mona seperti sedang menerawang segala kemungkinan, "alasan gue mungkin jelas. Gue sering di-bully mereka, itu bisa jadi alasan jelas kalo gue dendam, tapi gue gak pernah peduli hal aneh begituan."

Aku mengetuk-ngetukkan jari berpura-pura sedang berpikir. Aku harus mengalihkan pikiran mereka sekarang, kalau tidak mala mini korban bertambah. "Coba kita persempit pelaku. Korban bully, rahasia antara mereka, dan orang yang iri sama prestasi mereka."

"Mungkin ada korban lagi nggak?" tanya Khari tiba-tiba.

Pasti. Itu sudah jelas.

"Kemungkinan besar," jawab Matt.

"Korban selanjutnya, kira-kira anak perfect girl lagi?" tanya Mona menerka-nerka.

Bukan. Bukan jelas bukan. Karena pelakunya para anggota Black Shadow. Bagaimana aku harus mengatakan hal itu?

"Marie?" tebakku pura-pura. "Dan bisa jadi pelaku semua ini..."

"Eka?" jawab mereka bersamaan.

Aku memang curiga pada Eka karena dia adalah anggota Black Shadow juga. Dan dia paling memiliki motif untuk balas dendam karena perlakukan para petinggi yang benar-benar kejam. Setidaknya saat ini, mereka bertiga mulai berpikir.

"Eka masuk dalam list pelaku, Marie masuk dalam list korban. Kembali ke surat dan bagaimana cara mereka ketemu?" Aku membuat topik kembali membicarakan soal surat itu. "Jujur, gue ngerasa curiga ini semua ada hubungannya sama..."

"Sama?" ulang Matt.

Jangan mengatakannya, Vid. Jangan membocorkannya.

"Ah, lupakan. Ini cuma pemikiran konyol gua."

"Vid," rengek Mona.

Aku berdecak, enggan menjawabnya. Dan tidak akan pernah menjawabnya.

"Satu, empat, lima, dua, tiga, nol, satu." Mona menyebutkan angka-angka dalam surat pertama. "Hanya ada enam baris, tapi jumlah angkanya ada tujuh dan juga ada angka nol. Membuat semua analisi gue kabur."

"Pendapat lo emang gimana?" tanya Khari.

"Coba perhatiin surat ini. Kita ambil setiap kata dari angka-angka ini dari tiap baris. Gini, angka satu berarti kata pertama dibaris pertama 'kini', angka empat berarti kata keempat dibaris kedua 'jantung', dan selanjutnya. Gue udah nyoba tapi gue bingung dibaris keenam justru angka nol dan ada angka satu, gue coba abaikan baris keenam justru ketemu K-J-J-P-T. Kalo kata yang digabung makin gak nyambung kini jantungmu jiwamu pendusta torehkan," jelas Mona sembari terkekeh sendiri.

Analisisnya sudah bagus dan mendekati, aku bisa mengarahkan Mona untuk sedikit mengubah analisinya.

"W-e-t-o juga apa maksudnya? Juga kalo dewa kematian nunjukin si pelaku kenapa di surat kedua tipenya berubah dan nyebutin nama... Shu? Si Shu, emang Dewa apa Mon?" Matt tampak makin frustasi dengan kedua buah surat itu.

Aku tidak pernah tahu dewa Shu itu dewa apa. Aku tidak tahu kenapa Misa mengambil codename itu.

"Dewa, ehm, Dewa cahaya... apa ya? Bener nggak ya? Akh, gue lupa. Intinya... eh, gue inget Dewa cahaya dan penyokong langit," jawab Mona berpikir keras.

"Penyokong apaan tuh?" tanya Khari dengan tampang super bloonnya.

"Semacam penunjang atau penopang," jawab Mona sabar.

"Apa hubungannya Dewa cahaya sama pelakon? Gak nyambung amat,” ujarku begitu tahu kalau surat untuk Misa dan codenamenya selama ini tidak nyambung sama sekali. Pasti ini karena dia tukang ngedrama, sampai yang nulis surat untuk dia aja bingung mencari kesamaannya."Gue gagal paham sama nih pelaku, serius deh. Eh, tunggu tadi kan waktu tuh surat pake caranya Mona kan gagal, gimana kalo... eng, meletakkan kalimat di tempatnya yang benar? Semacam pelajaran mengurutkan kata waktu SD."

"Maksud lo?" Matt tampak makin tak paham dengan kata-kataku yang belibet. Aku mengakuinya kata-kataku super belibet.

"Satu, empat, lima, dua, tiga, nol, satu." Kusebutkan angka-angka dalam surat pertama. Aku menghembuskan napas berat, jangan sampai mereka curiga. "Kalimat pertama sudah di tempatnya, kalimat kedua pindah ke urutan keempat, kalimat ketiga pindah ke urutan kelima, kalimat keempat ke urutan kedua, kalimat kelima ke urutan ketiga, abaikan dua angka selanjutnya. Atau letakin kalimat keenam di atas kalimat pertama, atau arti nol adalah zonk—"

"Ah! Ribet," protes Khari, "abaikan dua angka itu. Anggap nol dan satu gak ada."

"Gak bisa gitu lah. Siapa yang tahu maksud dari nol dan satu? Angka nol derajatnya jauh lebih tinggi dari satu, juga angka satu yang kedua juga apa tandanya?" bantah Matt sok pintar.

Khari melotot pada Matt menyadari protesnya dibantah begitu saja. Bukan Matt namanya jika dia tidak membalas Khari, Matt balik menatap Khari dengan tatapan menyebalkan.

"Sebetulnya, abaikan aja, itu bukan kalimat penting kok," ujarku. Matilah aku.

Mata mereka bertiga tertuju padaku. Mati. Pasti mereka curiga. Bodoh sekali kamu, Vid. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. "Lupakan."

Mona mengambil laptop dari tangan Matt. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya tapi dia seperti sednag mengetikkan sesuatu. Semoga saja dia paham maksudku.

(K)ini aku datang untuk jiwamu

(E)ngkaulah pendusta abadi

(L)uka kau torehkan di hati mereka

(A)ku telah menimbang jantungmu

(S)aatnya aku akan memangsa jiwamu

Aku melirik sedikit pada layar laptop Mona. Jadi ini yang dilakukannya. Dia pintar memahami kode dariku.

"Ketemu kan?" ujarku berkata dengan pongah saat ikutan membaca surat yang dia urutkan. "Tapi kalo hanya segini masih kurang jelas. Menurut pendapatku angka nol itu beneran zonk."

"Setuju. Kemungkinan Dewa kematian dan Shu itu menunjukkan spesifiknya. Jangan lupa, w-e-t-o."

"Bingo. Misteri mulai terkuak."

Aku dan Mona saling bersahutan tentang misteri yang mulai terbuka baginya. Padahal sudah kupahami sejak hari pertama. Wah, ini mulai baik.

"Ehem, kita berdua cuma cengo nih? Kalian bahagia banget." Dehaman Khari menyadarkanku jika dua orang dihadapanku ini sangat tidak suka cerita misteri.

Aku menjelaskan apa yang baru saja ditemukan Mona mengenai isi suratnya. Ini baru bagian pertama. Kami belum naik ke level berikutnya untuk menebak sisa misteri.

"Mon, coba lo cek surat kedua," pintaku agar terlihat meyakinkan.

Mona buru-buru mengecek surat kedua. "Vid, gue ngecek surat kedua dan tepat sasaran juga," ucapnya bangga.

"Nah kan," pekikku pura-pura gembira.

Brak! Suara ynag berasal dari ruang band membuat kami bungkam seketika. Aku yakin banget kalo ruang band ini sedang kosong loh. Ini sebenarnya seru sekaligus seram.

"Dia ngamuk nih," ucap Khari dengan tatapan horror. "Satu, dua, hwa..."

Khari berlari mendahului kami bertiga. Aku ikutan berlari mengajr Khari.

"Harusnya laptop lo tadi gue tinggal aja," cibir Mona yang kesal karena dia tadi berlari sambil membawa laptop Matt.

"Siapa suruh lo bawa, dasar bodoh," ejek Matt yang pasti diam-diam senang.

Sekarang harus bagaimana aku memberi kode pada mereka jika sasarannya bukan Marie tapi salah satu anggota Black Shadow.

"Kalian tahu kan cerita ruang band?" tanyaku. Mungkin aku bisa memancing dengan pertanyaan ini.

Mereka mengangguk menanggapi pertanyaanku. Pasti mereka berpikir, siapa sih yang nggak tahu cerita seram dibalik ruang band.

"Cowok yang di-bully itu ya?" sahut Khari.

"Vokalis yang di-bully sama anggota bandnya dan akhirnya dia mati kan? Tapi... dia mati kenapa? Dibunuh pembullynya atau bunuh diri?" jawab MOna seraya melontarkan pertanyaan lain.

"Iya, cerita itu. Gue juga kurang paham,Mon. Ada dua versi dari cerita itu. Gue... kok merasa kasus ini kok ada hubungannya sama cerita itu ya?" Ini topik yang tepat untuk membawa mereka berpikir tentang kemungkinan lain. "Di-bully karena dianggap berbeda. Di-bully karena dianggap istimewa. Di-bully karena iri. Di-bully yang seharusnya tidak di-bully.”

"Maksudnya, di-bully yang seharusnya tidak di-bully?" Mona mengerutkan dahi.

"Bodoh," cibir Matt. "Maksudnya itu kayak lo, bego. Lo itu berbeda, juga istimewa karena lo beda. Dan mereka iri. Jadi lo itu seharusnya nggak dibully tapi dibully padahal lo... cantik."

Well, aku baru saja mendengar apa ini?

Mona mengerutkan dahi. "Apa? Gue cantik? Emang."

"Hah?!" Matt kaget, kurasa dia baru sadar kalau salah ucap. "A-apa? G-gue? Ah, jelas gak mungkinlah. Tadi... tadi maksud gue bukan lo kok, tadi gue... mau bilang padahal lo beda, tapi... gara-gara ada... cewek cantik lewat jadi bilang cantik," jawab Matt gelagapan seolah dia sedang diinterograsi dalam sidang. Susah amat sih ini orang buat ngakuin perasaannya.

Mona mendengus sebal. "Oh ya, gue kok ngerasa sesuatu yang berhubungan dengan weto, tapi mungkin konyol." Aku menaikkan dagu tanda meminta jawaban, bagus kalau dia sudah bisa menebaknya. Mona mengambil laptop Matt. "W-E-T-O."

Dia memencet tombol dua, tiga, lima, dan Sembilan.

Aku membelalakkan mata seraya menatap Mona. Dia benar-benar di luar dugaan, dia bisa berpikir secepat itu.

"Mungkin, banget. Dan gue merasa tebakan awal kita salah karena gue sekarang tahu, ini mengarah ke siapa. Dugaanku, itu terjadi lagi malam ini."

Aku menyusun rencana untuk menyusup ke sekolah malam-malam. Ini harus dihentikkan. Bagus jika mereka bertiga sudah sepikiran denganku. Mona sangat membantuku dalam menyelesaikan ini.

 ****
Setelah memberi php berbulan-bulan akhirnya satu bonus chapter kelar.  Bonus chapter satunya secepatnya aku tulis. Otewe nulis udahan. Beberapa hari ini aku badmood parah soalnya. Ceritaku yang the story about seventeen itu udah tamat lama banget dan lagi kurevisi tapi data hilang semua itu rasanya badmood parah.

Mending kalo cuma satu cerita. Semua cerita hilang. Dulu aku kalo buka workku di laptop bisa di scroll sekarang jangankan di scroll, jumlahnya aja bisa dihitung jari.
/curcol/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top