Bab 9- Pelaku
"Kemungkinan besar pelaku semua ini adalah korban bully dari empat orang dewa besar itu," gumam Matt. Aku menatap matt yang masih sibuk dengan pemikirannya. "Gue bener kan? Mereka tertuduh utama. Dan lo, Vid, kurang lebih tahu siapa saja korbannya."
Hening. Kami berempat terjebak dengan dunia kami sendiri. Sibuk berspekulasi dan menebak siapa yang paling mungkin menjadi pelakunya.
Lo tahu konco lu si Gingsul? Dia salah satu korban.
Kata-kata David tadi terngiang di benakku. Mungkinkah? Benarkah? Apa mungkin Aldo ada sangkut pautnya. Ah, mana mungkin.
"Yah, gue tahu siapa aja yang menjadi korban mereka." Mata kami beralih pada David yang membuka suara."Mesya, anak kelas sebelas ipa lima. Ronaldo, yang sekelas sama Matt. April, anak kelas dua belas ips dua. Aldo yang sekelas sama kalian berdua, Mon, Khar. Dan, Eka anak perfect girl." Nama terakhir yang disebut berhasil membuatku terkejut. Bukankah mereka teman dan... pengakuan macam apa ini? Aku tidak bisa menyangka dengan ini. "Tapi korban paling parah itu, Aldo sama Eka."
Mata kami saling pandang mencoba menebak, apakah kami dalam pemikiran yang sama. "Benarkah dugaan gue ini?" tebak Khari.
"Kurasa yes?" sambungku. "Meski gue masih tidak percaya. Haruskah kita buktikan?"
"Tentu saja."
"Kalian jangan gila," sergah Matt,"jangan cari mati deh."
Aku memutar bola mata malas. Sikapnya yang overprotektif tidak jelas, lagi-lagi kumat. "Tenang aja, kita gak gila dan gak mau cari mati kok. Kalian berdua cari tahu deh tentang Eka. Aku cari tahu tentang Aldo."
***
Setelah mendapat pengumuman dari kepala sekolah untuk kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran seperti biasa, banyak desahan kecewa terdengar di lorong-lorong kelas. Aku dan Khari dengan santai kembali ke kelas.
Aku mencoba tersenyum pada Aldo, seraya meletakkan tasku. "Lo udah masuk?" tanya Aldo sedikit terkejut.
"Iya dong," jawabku seadanya. Mataku beralih pada plester yang tertempel di tangan kiri Aldo. "Tangan lo kenapa, Do?"
Aldo menaikkan alis dan melirik tangannya. "Digigit anjing," jawabnya singkat.
Digigit? Apa benar? Ada yang janggal di sini. Jika itu bekas gigitan, tidak akan seperti itu. Aku yakin itu bukan bekas gigitan.
Mungkin bekas... cakaran?
"Masa lo digigit anjing?" tanyaku to the point.
"Kenapa? Lo gak percaya?"
"Nggak. Sudah ah, gak usah dibahas. Lo gak sedih si Krisna meninggal?" tanyaku mengalihkan topik.
Aldo menaikkan bahu. "Gak. Lo aneh, Mon. Ngapain tanya-tanya?" Tatapan mata Aldo mengintimidasiku. Lekat menatap kedua bola mataku. Kenapa jadi aku yang salting ya? Aku mengalihkan pandangan ke tempat lain. "Mona," panggilnya dengan suara mengintimidasi.
"No problem. Lupakan. Cuma tanya," ujarku. Aku rasa, aku terlalu berlebihan pada Aldo. Mana mungkin dia itu pelakunya. Aku terlalu banyak menonton drama.
"Lo lucu."
***
Kami berempat kembali berkumpul di taman belakang sekolah untuk membahas kecurigaan kami. Matt dan David ternyata sudah memata-matai Eka.
"Gimana menurut lo? Aldo punya motif buat jadi pelaku?"
Aku bingung harus menjawab pertanyaan teman-temanku dengan apa. David dan Matt sedikit yakin dengan sikap Eka yang tidak jelas ketika dimata-matai.
Aku tak sepenuhnya yakin jika Aldo pelakunya. Dia terlalu... naïf untuk melakukan hal konyol seperti itu.
"Gue rasa bukan Aldo. Rasanya gak mungkin aja dia pelakunya."
"Masa?" potong Khari. "Lo gak lihat luka di tangan Aldo? Bukannya, lo cerita ke gue kalo lo nyakar tangan kiri pelaku yang udah bikin leher lo hampir putus."
Khari bodoh, kenapa dia harus mengatakan hal itu di sini. Matt dan David pasti langsung nuduh Aldo. Feeling-ku, Aldo tidak ada sangkut pautnya. Toh, Aldo orang pintar. Dia harusnya gak akan ambil resiko bahaya kan.
"Lo mulai naïf lagi ya, Mon," ejek Matt. "Pokoknya, tertuduh utama semua ini adalah Aldo dan Eka. Kita harus cari tahu lagi."
"Gue gak naïf," dumelku pelan.
Matt dan David mulai menyusun rencana. Kami harus mengumpulkan semua bukti untuk menyatakan pelaku semua ini. Khari dan David bertugas untuk mengorek informasi dari Inspektur James. Sedangkan, aku dan Matt akan mengawasi gerak-gerik Aldo, juga Eka.
Khari dan David sudah pergi lebih dulu. Hanya aku dengan Matt yang masih berkutat sendiri.
"Kalau semua ini masih gagal. Plan B yang harus gue lakuin."
"Lo jangan gila. Gue tahu plan B yang lo maksud," sergahku.
"Gak ada rencana lain, Mon."
Diam. Kami masih sibuk dengan pemikiran kami sendiri. Aku selalu kehabisan kata-kata kalau harsu bersama Matt.
Matt sedari tadi mengetuk-ngetukkan jarinya di bangku taman. Suasana kami selalu menjadi awkward ketika sedang berdua begini.
"Ah... Calvin."
Aku mengerjapkan mata. Suara apa itu? Aku dan Matt saling pandang. Apa ada yang lain main plus plus di sini? Gila?
Aku berdiri berniat mencari tahu apa yang terjadi. Matt mencekal tanganku. "Lo mau ngapain, Mon?" tanyanya.
"Gue cuma lagi kepo."
Matt ikut berdiri dan menemaniku mencari asal suara itu. Dan... benar dugaanku. Ada yang sedang bermain aneh-aneh di sini.
Si Cewek bergerak-gerak dengan aneh dan si cowok asik bermain. Gila, ini kaya lihat adegan mesum di film. Aku berasa mual melihatnya.
"Calvin..."
Calvin? Aku mencoba memperhatikan dua objek menjijikkan itu dengan jelas. Aku merasa konyol sudah melihat ini. Calvin dan Marie.
"Mona, lo belum legal tujuh belas. Gak boleh lihat ginian," ucap Matt keras, pasti dia sengaja. Aku sampai kaget dibuatnya. Aku yakin dua orang itu mendengarnya, buktinya mereka menghentikan permainan mereka.
"Matt—"
Dengan cepat Matt memotong perkataanku. "Loh, yang main ternyata Calvin sama Marie. Gue kira siapa. Mon, pergi yuk. Rasanya kita ganggu banget deh."
Jujur saja, perasaanku tak karuan. Aku mengikuti Matt yang sudah menarik tanganku untuk mengikutinya. Aku pernah bilang jika perasaanku ke Calvin tidak jelas, tapi kenapa sekarang rasanya sakit? Melihat orang yang terkadang memainkan rambutku, kini mencumbui cewek lain. Rasanya, aku seperti tertipu.
"Mona." Samar-samar aku mendengar suara Calvin di belakang punggungku.
Aku mohon bawa aku pergi secepatnya. Aku nggak mau di sini.
Aku terus mengikuti Matt tanpa tahu dibawa ke mana. Sampai langkahnya terhenti. Aku mendongak mencari tahu keberadaanku. Ah, ke ruang seni.
"Ngapain ke sini?" tanyaku malas.
"Suka-suka gue lah," jawabnya sewot.
Aku berjalan ke dekat jendela. Entah kenapa perasaanku langsung memburuk. Aku bukanlah orang yang mellow yang akan menangis untuk laki-laki. Namun, air mataku tak bisa kubendung lagi. Seluruhnya jatuh begitu saja.
Ah, bodoh. Kenapa aku harus menangis? Bayangan mereka saat berciuman masih jelas di benakku. Menjijikkan.
Aku terkejut merasakan sentuhan tangan Matt yang tiba-tiba menutup mataku. "Jangan nangis buat dia. Air mata lo terlalu berharga buat dia."
Benar. Buat apa aku menangisi cowok macam Calvin?
Aku tergugu pelan. Tangisku sudah berhenti. Matt memutar tubuhku, dengan lembut tangannya mengusap air mataku hingga tak bersisa.
"Makasih, Matt."
"Your wel—"
Brakkk. Perkataan Matt terpotong oleh suara-suara berisik seperti barang dibanting. Mata kami bertemu pandang.
Matt berlari mendahuluiku. Dia berlari ke lorong ruang seni. Ruang seni memang sangat luas dan terbagi oleh sekat-sekat. Aku mengikuti Matt.
Aku nyaris terpekik jika Matt tidak segera menutup mulutku. Pemandangan di hadapanku benar-benar mengejutkan.
"Jangan teriak, Mon," bisik Matt pelan.
Kami berdua memperhatikan kedua objek itu dalam diam dan berharap tidak ada yang menyadari keberadaan kami. Mungkin saat ini kami tidak sadar jika nyawa kami akan segera dalam bahaya ketika kami dengan bodohnya melakukan kesalahan.
Tatapan marah dan penuh hawa membunuh dari kedua orang itu... membuatku bergidik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top