6- Lelaki labil
"Kalian ini!"
Inspektur terong dan bawahannya datang, lalu membuat ribut ketika melihat keadaan kami semua yang sangat menyedihkan.
Matt menggendongku dan membawaku ke tandu. Awalnya, Inspektur ingin menyuruh kami bertiga menjelaskan yang terjadi tapi begitu dia melihat keadaanku -yang aku sendiri tak tahu bagaimana-dia mengijinkan Matt mengungsikanku. Padahal, aku sudah bilang aku tak apa-apa, eh, si Inspektur justru ikut-ikutan kalang kabut dan menyuruh Matt segera membawaku ke tandu.
Beberapa orang berpakaian putih segera membersihkan lukaku dan melakukan -apalah aku tak mengerti. Lalu aku berakhir dengan perban putih yang melilit leherku. Aku bangkit dan bersiap mendatangi si Inspektur, tanganku dicekal.
"Loh mau ke mana? Ini cuma nutupin luka kamu sementara, kamu harus ikut ke rumah sakit buat dijahit."
Aku terbelalak mendengar kata-kata terakhir yang diucapkan orang ini. Dijahit?! Leherku?!
"Hah?!" Aku menggeleng namun itu hanya membuat leherku semakin sakit. "AKH-" pekikku. Leherku benar-benar terasa sakit. Bodoh sekali kamu,Mon.
"Lo kenapa, Mon?" Matt berlari menghampiriku meninggalkan Inspektur terong dan David.
Baru aku mau membuka suara, tenggorokanku terasa tercekat. Tidak ada yang keluar. Apaan ini? Suaraku hilang? Demi apa?
Aku menunjuk mulutku dengan jari telunjuk lalu dengan kedua telunjuk membentuk 'X'. Aku menggunakan isyarat yang berarti jika suaraku tidak bisa keluar.
Aku mengerjapkan mata berusaha meyakinkan jika adegan yang terjadi saat ini bukanlah mimpi. Matt hari ini benar-benar aneh. Dia langsung panik begitu sadar maksud isyaratku. Dia terlihat cemas dan memaksa para suster untuk memeriksaku.
Tidak seperti biasanya, apa otak Matt sedang error. Dia bukanlah orang yang akan mempedulikan keadaanku. Dia orang yang suka sekali menggangguku dan tega terhadapku, aku jamin itu. Apakah mungkin kejadian yang terjadi pada Ema membuatnya sedikit keder? Tapi kan nggak mungkin, aku bukan Ema, juga buat apa dia ngecemasin aku.
Seorang wanita berpakaian serba putih mendatangiku. "Coba buka mulut," pintanya yang langsung kuturuti. Wanita itu memerika mulutku dengan alat yang dimilikinya. Sesaat, aku melirik Matt dan dia memandangku serius. Benar, aneh.
"MONA!!" Aku sedikit berjengkit karena terkejut. Iyalah, siapa yang nggak kaget jika tiba-tiba suara cempreng berteriak memanggil namamu, sedangkan kamu sedang serius memperhatikan orang yang tiba-tiba menjadi aneh.
Aku ingin sekali mengumandangkan protes, namun aku sedang dalam posisi tak bagus. Mulut terbuka dan seorang wanita -aku tidak tahu dia dokter atau suster-sedang memeriksaku. Matt menjitak kepala Khari begitu dia datang menghampiriku dan Matt.
Rahang dan lidahku terasa lelah. Berapa lama aku harus dalam posisi tak enak ini.
Cepat sekali dia sudah sadar. Lihat, tadi dia tertidur tak berdaya tapi sekarang dia sudah berteriak kesana- kemari.
"APA SIH?" omel Khari.
Matt memandang Khari geram. "Lo tuh ya, nggak lihat apa? Konco lo tuh lagi diperiksa," balas Matt dengan nada sinis. Seperti biasa.
Khari mendekatkan tubuhnya padaku dan memperhatikanku.
"Loh?! Mona kenapa? Kok lehernya dililit perban. Juga memang mulutnya Mona kenapa? Kok diperiksa gitu? Mon, mulut lo ditusuk pisau?" cerocos Khari bagai kereta api.
Wait, ditusuk pisau?! Mulutku?! Gila apa ya? Opini macam apa itu?! Gila sekali. Ingin sekali aku mengomel pada Khari, namun aku sedang tidak bisa. Pertama, mulutku sedang diperiksa bahkan kini rasanya rahangku terasa capek karena terus disuruh membuka mulut. Kedua, suaraku belum bisa keluar.
"KHARI! Lo bisa diem gak sih? Nyet, lo rame banget sih? Mona tadi itu ditahan sama orang nggak jelas itu, terus lehernya disabet pake pisau. Oke? Sekarang dia nggak bisa ngomong karena tiba-tiba suaranya nggak keluar. Dan, hentikan berspekulasi yang aneh-aneh, dia nggak ditusuk. Gila apa ya, mulutnya ditusuk. Dan, please, jangan buat gue makin panik, oke?" jelas Matt panjang kali lebar kali volume. Eh? Gak pake volume ding. Memangnya, rumus matematika.
Betewe, baru saja Matt berkata dia panik. Dan aku jauh lebih panik karena dia makin aneh.
"Saya rasa ada luka pada tenggorokan..." Wanita tadi menggantungkan kalimatnya.
"Ramona Andrew." Matt berujar.
"Iya, pada tenggorokan Ramona yang menyebabkan suaranya hilang. Mungkin ini akan terjadi pada beberapa hari ke depan. Untuk itu, lebih baik agar tidak mencoba berbicara dalam seminggu ke depan."
What?! Seminggu? Gila apa. Aku kan bukan orang bisu.
"Seminggu?!" ulang Khari sedikit shock. Si wanita yang tampaknya dokter, menggangguk menanggapi Khari. Sebuah senyum tersungging dari bibir Khari, begitu juga Matt. Apa ini? Mereka bahagia? Apa-apaan ini. "Akhirnya, Mona diberikan hukuman dari Tuhan karena selama ini terlalu cerewet," ujar Khari.
Aku terbelalak mendengar perkataannya. Diberikan hukuman?! What the-
"Mungkin ini memang takdir dari Tuhan. Dok, bisa nggak kalo sekalian dibuat bisu selamanya," cetus Matt.
Dibuat bisu? Aku memelototi Matt yang justru memasang wajah tak berdosa. Aku berdiri menghampiri Matt dan memukulinya. Teganya. Apa salahku sampai mereka berbahagia? Jahat.
"Aw, aw, sakit tauk, Mon."
Aku terus memukulinya, tak peduli dengan rintihannya. Dia menyebalkan sekali. Tangan Matt berusaha menggapai tanganku yang terus memukulinya.
Ouch, aku merasakan sakit yang luarbiasa ketika tangan Matt menyentuh leherku secara tak sengaja. Aku berjongkok, tanganku memegangi leherku yang terasa sakit. Rasanya, seperti leherku akan putus saja. Ini menyebalkan.
"Mon, Mon, lo gapapa?" tanya Matt panik. Dia sudah ikutan berjongkok. "Dok, Dok, tolong temen saya. Duh, Mon, sorry sorry, gue nggak sengaja banget. Lo juga sih." Terdengar nada panik di sana. Apa ini? Dia mengkhawatirkanku, lagi.
Wanita tadi langsung membantuku berdiri dan membawaku duduk. Dia memeriksa keadaan leherku. Rasanya, lukaku yang bahkan belum kering ini membuatku ingin mati saja.
"Loh, kenapa Mona?" Aku mendengar suara David. David sudah ke sini? Berarti si Inspektur terong juga ke sini. Lalu mereka pasti akan menertawakanku yang tiba-tiba jadi bisu. Dan si Inspektur akan merasa menang karena hipotesanya tidak ada yang melawan. Cih, menyebalkan.
Matt menjelaskan apa yang kualami. Dan Khari menimpali bagian aku menjadi bisu selama seminggu dengan nada riang gembira. Yah, dia memang sahabat yang 'baik'.
"Gue harap memang lo bisu selamanya, Mon," cetus David dengan wajah sok perhatian yang membuatku mual.
Aku memelototi mereka bertiga yang terus saja mengabaikanku.
"Saya juga setuju dengan teman kamu. Kamu memang dibisukan aja," timpal si Inspektur terong yang tiba-tiba sudah nongol di belakang David.
Aku merasakan kantong celanaku bergetar, siapa lagi sih. Aku mengambil hapeku dan telpon masuk dari Calvin. Haruskah aku menjawabnya? Sedangkan suaraku tak keluar.
Tak kusangka, Matt tiba-tiba merebut ponselku dan menekan tombol hijau. Loh? Untuk apa dia yang menjawab telepon Calvin.
"Halo?"
"..."
"Loh, ya suka-suka gue. Apa urusan lo?"
"..."
"Emang. Kenapa kalo gue lagi sama dia? Apa peduli lo?"
"..."
"Gue tutup."
Terakhir, kudengar suara teriakan dari dalam ponselku. Calvin berteriak. Kenapa? Apa sih perbincangan mereka.
"Nih. Hape lo. Lo gak usah deket-deket lagi sama dia. Calvin cowok gak bener." Tadi siang dia menggodaku. Sekarang dia melarangku dekat-dekat Calvin. Apa sih maunya?
Cowok labil.
"Ehem." Si Inspektur terong berdeham, mata kami semua langsung tertuju padanya. Dan bukannya segera membuka pembicaraan, dirinya justru tampak salah tingkah. Astaga, Inspektur ini. "Bisa kalian jelaskan, apa yang sudah kalian lakukan malam-malam begini? Hah!" ucapnya sedikit membentak.
Aku terkesiap mendengarnya. Ingin aku membuka suara, tapi yah you knows lah. Ini menyebalkan. Suaraku tidak bisa keluar.
"So, siapa yang mau jelasin? Pokoknya, jangan gue ye." Khari membuka suara. Lihat, lihat, ini menyebalkan. Mereka nggak ada yang membuka suara. Akh, ini membuatku frustasi.
Kenapa aku harus mengalami hal semenyedihkan ini? Matt, Vid, Khar, ayolah kalian bela tim ini.
"Jadi..." Matt akhirnya bersuara. Yes. "Alasan kami, membuktikan jika analisis kami ini nggak salah. Melihat korban pertama dan kedua memiliki kurun waktu tiga hari dalam peristiwanya, membuat kami menduga adanya kejadian yang serupa malam ini. Jadi, kami berempat ke sekolah dan analisis kami benar, kan?"
Aish, siapapun coba lihat. Betapa pongahnya Matt saat ini, dia menyunggingkan senyum miring seraya mengangkat alis kirinya. Uh, sombong sekali dia.
"Tapi..." Inspektur terong menarik nafas panjang. "KALIAN MANA BISA MELAKUKANNYA SENDIRIAN! Huft! Kalian bisa menghubungi saya. Kalian ini ceroboh sekali, coba lihat teman kalian sudah menjadi korban. Seandainya, jika kalian tidak di sini mungkin korban hanya laki-laki itu tapi sekarang Mona ikutan jadi korban."
Jujur, aku sama sekali tak berani berkedip ataupun bernafas. Nih Inspektur nakutin pake banget banget banget. Parah kan ya? Kurasa bukan hanya aku yang cukup terkejut, orang-orang di sekitarku pun terdiam tanpa sebuah respon.
"INSPEKTUR JAMES!" teriak salah seorang bawahan si Inspektur terong. Dia terengah-engah dan mengambil kandungan oksigen di sekitarnya sebanyak mungkin. "P-pelakunya ada di sana."
Dia menunjuk ke gedung belakang sekolah. "Kenapa gak ditangkap?!" geram si Inspektur terong. Tanpa aba-aba lagi kami berlari ke gedung belakang sekolah.
***
Pemandangan pertama yang kutemukan di sana adalah tumbangnya dua orang polisi. Aku nyaris tak sanggup berkata-kata, mereka berani melukai polisi. Dua polisi lagi. Gila.
Sampai aku tahu siapa dia. Aku nggak akan mengampuni orang-orang yang benar di luar akal. Belum cukup melukai dua orang, masih berani mencelakai polisi.
Matt dan Inspektur terong berusaha membangunkan kedua polisi yang sedang tak sadarkan diri. Tapi... kenapa dua polisi kalah sama dua orang itu? Sehebat itukah mereka?
"Apa yang terjadi? Dan mana pelakunya?" tanya Inspektur terong begitu rekannya sadar.
Polisi tersebut masih mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadaran diri. "S-saya nggak tahu. Mereka menyerang saya dengan pentungan. Mereka ada dua orang dan menggunakan sepeda motor."
"Kalian ini... payah sekali," geram si Inspektur terong.
Akhirnya, kami kembali ke tempat ambulan-ambulan itu berada seraya membopong dua orang polisi yang sedang kondisi lemah.
"Inspektur James!" panggil seorang suster. Inspektur terong melesat mendatangi suster yang terbilang cukup cantik itu.
Eh? Jangan-jangan pacarnya. Suster itu membisikkan sesuatu ke telinga Inspektur terong dan si Inspektur hanya mengangguk-angguk. Ajakan kencan? Pasti.
"Berani taruhan, kalo itu pacarnya?" cetus Khari. Aku mengangkat jari seraya tersenyum.
"Masa?" Matt memandangi dua orang itu. "Serius pacaran?"
"Gue rasa gak pacaran." David ikutan bersuara. "Taruhan?"
"Gue setuju sama lo, Vid."
Aku menyikut Khari dan menunjuk dua orang polisi yang tadi tumbang dengan daguku. Khari langsung mengerti maksudku dan menghampiri mereka.
"Pak Polisi, itu... Inspektur James sama cewek itu pacaran?" tanya Khari terang-terangan.
Kedua orang itu terkesiap mendengar pertanyaan Khari. "Kok kamu tahu?" kata seorang dari mereka.
"Bingo. Makasih, Pak Polisi." Khari berlari kembali pada kami. "Gue bener kan? Feeling cewek tuh gak pernah salah. Ya gak, Mon?"
Aku mengangguk menyetujui Khari.
David dan Matt mendengus sebal. Yeah, traktiran makan selama seminggu. Lumayan nih. Hahaha.
"Diem mulu, Mon. Ngomong dong," goda David.
Aku mengerucutkan bibir bukan karena malas menjawab. Tapi... karena aku memang tidak bisa menjawabnya. Ketika aku mencoba berbicara justru membuat tenggorokanku perih.
"Robert sudah melewati keadaan kritis." Inspektur terong datang dengan kalimat itu.
Jadi, dia nggak mati? Ya Tuhan, terima kasih.
Ah, aku lupa sesuatu. Bukankah, harusnya ada surat? Ya kan? Aku buru-buru mengeluarkan Hpku dan menulis di note 'Bukti surat seperti korban pertama dan kedua, ada?' tulisku. Aku menunjukkan pada si Inspektur terong.
Dia menepuk dahinya, kuyakin dia juga lupa tentang surat itu. "Kalian pikir saya lupa? Nggak dong." Dia mengambil sesuatu dari kantongnya. Sebuah kertas putih di dalam plastik. Wew. Hebat.
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top