5- Investigasi (ilegal)

"Siap?"

Aku mengenakan penutup hodie milikku. Ketiga koncoku juga melakukan hal yang sama. Kami sudah berencana untuk menyusup sekolah malam-malam. Eh, kenapa sudah berasa penjahat. Kami kan penegak kebenaran.

"Mon, lo sudah bilang?"

Aku mengangguk menanggapi David. "Sudah. Gue bilang ke rumah Khari."

"Khar?"

"Sudah dong. Gue sudah bilang kalo gue di rumah Matt."

"Matt?"

"Ke rumah lo lah."

"Dan gue bilang ke rumah Mona. Sip deh."

Jangan tanya apa yang kami lakukan karena kami memang agak-agak nggak jelas. Hanya untuk berjaga-jaga, semisal ada salah satu orang tua kami menelpon ke orang tua kami yang lain, bukankah akan membingungkan dan semakin terkesan membingungkan. Ngomong apa sih, Mon?

"Masuk lewat gedung sebelah?" tanya David. Kami bertiga mengangguk dan mengikutinya menuntun kami ke gedung tua yang menurut kabar burung, katanya angker.

"Kita manjat?" tanya Khari terdengar ragu.

"Terlihat ada pilihan lain?" jawab Matt ketus.

Dengan sempurna kami berempat sudah berhasil masuk ke dalam sekolah melalui gedung kosong di sebelah sekolah. Yah, kami memanjat dari gedung kosong. Keadaan sekolah benar-benar menakutkan. Apalagi sekolahku banyak terdapat lorong-lorong gelap yang membuat keadaan benar-benar menakutkan.

"Gimana sudah siap?" tanya Khari memecah kesunyian tempat ini.

Kami bertiga mengangguk tanda sudah siap. Baru aku mau berjalan ke tempat sesuai rencana, tapi tanganku dicekat. Matt?

"Why?" tanyaku setengah berbisik.

"Menurut gue, rencana berjalan sendiri-sendiri itu ide yang agak berbahaya, lebih baik kita bagi dua tim. Khari sama David. Gue sama Mona."

Aku sedikit bingung begitu mendengar perubahan rencana mendadak. Rencananya, aku akan memutari lantai satu, Khari lantai dua, David lantai tiga, dan Matt lantai empat. Ehm... tapi kini Matt tiba-tiba merubah rencana. Apakah Matt takut jika harus berkeliling sendirian di lantai empat?

"Kok diubah?" tanyaku bingung.

"Gue bilang ide jalan sendiri-sendiri itu bahaya. Lo mau jadi sasaran si psikopat aneh itu?" balasnya sedikit geram.

"Lo takut ya?" tebakku.

"Ck, lo bisa diem gak sih? Sudah deh, nurut sama gue."

Aku langsung terdiam mendengarnya, malas mendebatnya. Khari dan David menyetujui ide Matt, tapi tidak denganku. Maksudku, kenapa pasanganku Matt? Kenapa bukan David atau Khari?

***

Matt memimpin jalan. Sesuai perubahan rencana mendadak, aku dan Matt akan memutari lantai tiga dan empat sedangkan Khari dan David memilih di lantai satu dan dua.

Kami naik ke lantai tiga. Jujur, keadaannya benar-benar menakutkan. Aku berjalan di belakang Matt dengan perasaan was-was. Aku bukan penakut, aku bukan takut akan hantu tapi... hanya saja tak lucu jika bertemu seorang psikopat yang sudah membuat Ema dan Misa jadi kayak gitu. Itu menakutkan. Aku masih sayang wajahku.

Beberapa kali, celanaku bergetar. Oke ini terdengar ambigu. Maksudku, ponsel yang ada di kantong celana itu bergetar, hanya saja aku malas membukanya. Bisa-bisa aku diomeli Matt karena membuka ponsel di saat-saat begini. Dan dia mulai berceloteh, "Lo mau dibunuh psikopat selagi main hape." atau "Lo gila apa mainan hape? Lo kasih sinyal keberadaan lo ke psikopat."

Aku memeriksa ruang kelas dan memastikan masih dalam keadaan terkunci, serta mengintip melalui jendela jika mungkin saja ada oknum aneh di dalamnya. Ah, ini membuatku frustasi. Aku paling benci jika disuruh berdua saja dengan Matt karena suasana pasti terasa canggung, aneh, dan terlalu tenang.

Yah, tidak satupun dari kami berniat membuka pembicaraan yang pasti berakhir dengan cepat.

Lebih baik aku dipasangkan dengan Khari atau David karena pasti diselingi sedikit candaan. Pasti David dan Khari sibuk bercanda, tidak seperti aku dan... cowok menyebalkan ini.

"Mon!" Aku terkejut begitu Matt memanggilku dengan sedikit berteriak.rupanya, Matt sudah berada di depanku cukup jauh dan aku tidak menyadari itu, ah sial. Aku terlalu sibuk melamun.

Aku mengejar Matt yang sudah berkacak pinggang seolah siap menghujaniku dengan ribuan caci maki.

"Mau lihat ke ruang band?" ajakku.

Matt diam tidak menyahutiku, terlalu gelap, membuatku tidak bisa melihat ekspresi macam apa yang ditunjukan Matt. Kurasa dia sudah keder begitu mendengar ruang band disebut-sebut.

"Mau ngapain? Jangan aneh-aneh," kilahnya.

Aku menyikutnya. "Bilang aja takut. Ayo ah, ke sana. Kan kita harus ngelihat semua ruangan." Aku berjalan mendahului Matt, memimpinnya ke ruang band.

Tik. Tok. Tik. Tok.

Suara jam membuatku sedikit keder juga, masalahnya lorong ruang band terlalu seram. Selain itu, aku dan Matt berjalan terlalu tenang tanpa perbincangan sehingga membuat suara langkah kami dan suara jam terdengar menyeramkan di telingaku.

Brakk.

Suara apa itu?! Aku dan Matt saling berpandangan. Tidak, tidak, bukan dari ruang band. Aku yakin itu. Suaranya terdengar sedikit jauh di belakang kami.

"Ke sana!" pinta Matt dan mendahuluiku berlari ke belakang.

Aku mengikuti Matt berlari di belakangnya. Sayup-sayup, aku mendengar suara langkah naik dari tangga, semakin jelas... tampaknya ada orang yang menuju ke sini.

Belum aku sempat memberitahu Matt, dia sudah bertubrukan dengan orang itu. Tunggu. Matt meringis memegangi tangannya dan secepat kilat bangkit dan sudah memasang bogeman di tangan siap mengarahkan pada oknum yang menabraknya.

"Aw-" pekik lelaki itu. Tunggu, suaranya tidak asing. Ada seorang yang berdiri di belakang lelaki itu.

"David? Khari?" tebakku.

"Loh, kalian toh," ucap Matt kaget.

"Sudah deh, buruan. Kita di bawah tadi denger ada suara dari atas. Kita kira kalian kenapa-kenapa. Jadi ada apa?" tanya Khari .

"Suaranya dari sana dan kita mau ke sana," jelasku. Kami pun bergegas berlari ke asal suara yang tidak lain berasal dari... ruang komputer?

Benar, dugaan kami. Ada orang di dalam sana. Terdengar beberapa kali suara pukulan yang cukup keras yang pasti sangat menyakitkan. Matt dan David sudah membuka pintu ruang komputer. Membuat satu, tunggu, dua orang itu terkejut. Kukira hanya seorang ternyata pelakunya ada dua.

Tanpa perintah siapapun, dengan cepat aku membuka ponselku. Heh?! 15 missed call dari Calvin. Mau apa dia? Ah, masa bodoh. Aku segera menelpon Inspektur terong yang sempat memberiku nomor telponnya padaku.

"Halo?"

"Halo, cepetan ke sini. Ke Entra High School. Penjahatnya ada di sini, buruan." Aku langsung memerintahnya tanpa membiarkannya sadar siapa penelponnya atau sebelum dia menginterupsiku dan membuat waktu terbuang sia-sia.

Aku baru sadar jika ketiga temanku itu sudah masuk di dalam dan meninggalkanku di luar sendirian. David melawan seorang... lelaki? Atau wanita? Entahlah tidak jelas, tapi tubuhnya agak sedikit pendek dan gerakannya cukup lincah dengan senjata pentung yang dibawanya.

Sedangkan Matt, dia melawan seorang yang juga aku tidak jelas dengan gendernya tapi tubuhnya jauh lebih tinggi daripada partner-nya, tidak terlalu tinggi -setara dengan tinggi Matt. Dan kurasa, dia lawan yang susah untuk dihadapi Matt karena dia tampak benar-benar jago dalam melancarkan pukulan pada Matt.

Ah, hampir saja aku melupakan Khari dan korban kali ini. Aku memicingkan mata mencari keberadaan dua orang itu. Ah, itu mereka.

"Khar-"

Suaraku terputus begitu menyadari kondisi Khari yang sudah tak sadarkan diri. Apa-apaan ini?! Kapan Khari terkena pukulan? Semoga saja keadaannya baik-baik saja.

Aku menggeret Khari ke ujung ruangan, takutnya, dia bisa menjadi sasaran yang salah dalam adu kekuatan empat orang itu. Aku beralih pada korban yang entah belum kulihat. Aku menyalakan flashlight dari ponselku dan cukup terkejut dengan sosok lelaki yang sudah setengah sadar atau sudah tak sadar atau bahkan mati. Tidak, tidak.

Tunggu, ini Robert.

Robert tampaknya masih sadar, tadi matanya berkedip dan dia mengerang beberapa kali.

Pemenang olimpiade akuntansi ini adalah korbannya. Tapi, kenapa? Apa kesalahan orang ini sampai diperlakukan seperti ini?

Aku cukup kenal dengannya. Dia bukan tipe pencari masalah, dia juga bukan orang sombong. Memang dia orang cuek dan pendiam.

Kepalanya terus mengeluarkan darah yang tak berhenti mengucur. Pelan-pelan, aku menarik Robert --yang jujur saja sangat berat-ke ujung ruangan, tempat aku meletakkan Khari.

"HWA!" Refleks aku berteriak begitu rambutku ditarik dengan kasar, membuat aku melepaskan tanganku dari Robert. Aku merasa bersalah pada Robert yang kepalanya terjatuh menghantam lantai padahal keadaan sudah sangat buruk, kuharap dia tidak mati.

Aku mengerang begitu rambutku ditarik seseorang -yang aku tidak tahu-tapi ini sangat menyakitkan. Aku nyaris terjatuh karena tarikannya yang kasar, aku meraih-raih tangannya dan mencoba menyerangnya tapi percuma. Aku terus berusaha melepaskan diri tapi itu justru membuatku semakin kesakitan.

"Yah! Lo mau apa, bang**t," teriak Matt. Aku tidak menemukan di mana Matt, juga kepada siapa teriakannya itu.

"Gue," -tubuhku ditarik sehingga punggungku menempel di dadanya sedangkan tangan kirinya menahan leherku-"mau bunuh dia."

Kurasa orang ini adalah lelaki. Dadanya sama sekali tidak ada tonjolan dan sangat-sangat rata. Mana mungkin perempuan memiliki dada sebegini ratanya, kecuali anak kecil.

Suaranya terdengar bising dan tak jelas. Terdengar seperti mesin rusak dan membuat telingaku berdengung. Kedua tanganku yang bebas, berusaha melepaskan tangannya dari leherku.

Aku nyaris berteriak begitu melihat dia mendekatkan benda yang tampaknya tajam... tepat ke leherku. Ya Tuhan, tolong aku. Aku tidak mau mati.

"Lo... jangan macem-macem, bang**t," ancam Matt dengan suara rendah namun terdengar menyeramkan. Beberapa umpatan telah keluar dari bibir Matt. "Lo... berani nyakitin dia satu centi, gue pastiin lo gak bakal tenang sampai mati."

"Lo ngancem gue? Hahaha. Lo aja kalah telak dari gue," balas lelaki ini.

Pisau itu menggores kulit leherku tipis tapi dilakukan berkali-kali dan menimbulkan rasa yang teramat perih. Bodohnya, aku tak berani bergerak dan hanya mematung. Apakah dia berniat membunuhku dengan menggoreskan pisau itu berkali-kali sehingga aku kesakitan? Astaga, aku benar-benar belum siap mati.

"HEY!" teriakan Matt tampaknya mengejutkan orang yang menahanku karena dia baru saja menggores leherku sedikit lebih dalam.

Kuku-kuku panjang milikku mencengkeram erat pergelangan tangan orang ini yang kuyakini akan berbekas, karena ini sangat menyakitkan. Leherku terasa nyeri, seolah sedikit lagi dia akan menyentuh nadiku, padahal aku tak tahu letak nadiku ada dimana.

Sayup-sayup, aku mendengar suara sirene polisi. Baguslah, akhirnya polisi kemari untuk menangkap dua orang ini.

Brakk!

Tubuhku dijatuhkan begitu saja hingga menghantam lantai, seluruh tubuhku terkulai lemas.

Orang itu berlari keluar meninggalkan temannya yang masih melawan David. Matt menghampiriku dan memangku kepalaku.

"Lo gak apa-apa?" tanyanya cemas.

"Gapapa! Tapi lo mending kejar dia deh," saranku.

Matt menggeleng. "Keadaan lo parah."

"Hey!" teriakan David mengagetkanku. " Jangan kabur lo!" Aku berusaha melihat apa yang terjadi, David berlari keluar, kurasa lawan David pergi kabur mengejar partner-nya.

Leherku benar-benar terasa amat perih. Aku menggigiti bibirku menahan rasa sakit dari leherku.

"Lo gak apa?" tanya Matt cemas.

"Iya," jawabku singkat karena rasa perih menyeruak setiap kali aku berbicara. Tenggorokanku terasa kering dan perih.

Tak lama David kembali masuk dengan sebal. "Sial! Dia kabur ke mana, gue gak lihat. Sial! Harusnya para polisi itu bisa menangkap mereka, lo gak apa-apa, Mon?" David berdecak sebal.

"Heeh, lo mending lihat si Robert. Dia rasanya parah banget keadaannya," perintah Matt.

Ctak.

David menyalakan lampu dan membuatku mengerjapkan mata karena terlalu silau. Mataku melebar sempurna, begitu sempat mengintip keadaan Robert yang beneran mengenaskan.

"Lo gila ya?! Bilang gak apa-apa?! Luka lo dalem banget," bentak Matt tiba-tiba. Gila ya nih orang?! Mau bikin aku jantungan apa?!

"G-gue gak apa-apa kok," balasku meski aku merasa sedikit kesusahan berbicara karena tenggorokanku semakin terasa kering dan perih.

Aku memperhatikan Matt dan kutemukan keadaannya sama buruknya. Beberapa siletan di tangannya, wajahnya yang memar seperti terkena pukulan beberapa kali.

Kepalaku yang menopang di tangan Matt membuatku sedikit aneh. Aku berusaha duduk tapi Matt menahanku seolah menyuruhku tetap dalam posisi ini.

"APA INI?!"

*Tbc*



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top