3- Bestfriend(?)
Aku tak mempercayai mataku. Aku menemukan sebuah bukti penting yang mungkin saja ... membantu kami menemukan si pelaku.
Kami bertujuh memandang kertas yang dipegang oleh Inspektur James. Rasanya, tampak lucu ketika kami membentuk sebuah lingkaran seolah kami akan melakukan hom-pim-pa. Mona, apa sih? Abaikan diriku yang malah hilang fokus.
Aku meneliti surat di hadapanku. Membacanya satu persatu.
Kini aku datang untuk jiwamu
Aku telah menimbang jantungmu
Saatnya aku akan memangsa jiwamu
Engkaulah pendusta abadi
Luka kau torehkan di hati mereka
Untuk itu datanglah padaku
Dewa kematian, 1452301,weto
Apa ini? Apa artinya? Pendusta abadi, apa maksud semua kata-kata ini? Kesalahan apa yang sudah Ema lakukan? Kenapa aku justru memikirkan yang lain? Dan dewa kematian itu membuatku berpikir...
"Kenapa gue malah mikir tentang Anubis? Abaikan gue," bisikku pada Matt, tapi kurasa suaraku sedikit terlalu keras.
Semua mata menatapku, sudah kubilang abaikan kata-kataku. Kenapa mereka malah menatapku dengan tatapan pertanggung jawaban seolah aku sudah ngehamili anak mereka.
"Anubia itu siapa sih?" tanya Khari dengan tampang super bloon.
"Anubis, Dewa kematian Mesir itu ya kalo gak salah?" Inspektur James menimpali.
Aku mengangguk kaku, aku sama sekali nggak berniat membahas pikiran bodohku ini. Itu hanya terlintas begitu saja, apalagi novel yang kubaca kemarin tentang Dewa-Dewa Mesir.
"K-kok lo bisa mikir Anubis, Mon?" tanya David. Raut wajah aneh sempat terlintas pada David, aneh.
"Coba kamu jelaskan," ujar Inspektur James dengan nada suara bak seorang diktator.
Sudahlah, abaikan pernyataan bodohku. Kenapa semua makin menatapku dengan tampang penasaran? Aku tahu aku pasti tampak konyol jika menjawabnya.
"Coba baca kalimat pertama, kini aku datang untuk jiwamu, kalimat ini dia datang untuk ngambil jiwa Ema. Jelas kalian pahamlah. Dua kalimat setelahnya, ini sangat familiar dengan tugas Anubis untuk menimbang jantung dan memangsa jiwa bagi yang tak pantas. Dua kalimat selanjutnya membicarakan tentang dosa. Kalimat terakhir kalian pahamlah.
"Di sini tertanda 'dewa kematian' yaitu Anubis dengan angka dan kata 'weto' yang saya nggak paham," jelasku. "Tapi tunggu, kita nggak tahu ini surat untuk siapa pada siapa. Belum tentu ini dari pelaku ke Ema, bisa aja ini dari Ema ke pelaku atau ini juga bisa pesan dari Ema untuk nunjukin pelakunya."
Aku mendongak... astaga. Apa-apaan mereka? Mereka melihatku dengan tatapan super aneh dan gak jelas banget, serius itu ganggu banget. Inspektur James mengerjapkan mata beberapa kali dan berdeham.
"Analisis yang bagus tapi masih belum ada kejelasan, bukan? Hanya kesimpulan pribadi."
"Kan gue udah bilang abaikan aja, yang nyuruh jelasin siapa? Dasar," desisku pelan.
"Saya dengar," ucapnya dingin, gila ini Inspektur nakutin pake banget deh.
"Oh denger ya," jawabku tak kalah jutek. "Jadi menurut anda, bagaimana tentang surat ini? Dari si pelaku? Atau justru Ema yang menulisnya untuk si pelaku? Atau ini pesan dari Ema? Atau anda memiliki analisis yang lain, anda kan seorang INSPEKTUR," ucapku dengan menekankan kata-kata inspektur.
"Tidak mudah menyimpulkannya hanya dalam beberapa menit. Ini bisa saja menimbulkan kesalahan penyelidikan. Saya harus menyelidikinya lebih lanjut."
*
"DASAR INSPEKTUR BANGKE,TERONG,KEJAM!" teriakku frustasi.
Tuh orang bener-bener bikin aku naik darah, bisa-bisa habis gini aku menderita darah tinggi cuma gara-gara berdebat sama dia. Kalo aku nggak ingat kasus Ema, aku pasti sudah ngedebat mulu sama tuh Inspektur gak jelas.
"Astaga, lo sama tuh Inspektur sama-sama panas. Parah, kalo nggak kejadian Ema pasti gue udah ngakak liat kalian debat gak jelas gitu," cetus Khari.
Aku mengacak rambutku frustasi. Dasar om-om, sudah tua masih aja hobi debat.
"Om-om terong," geramku.
"Sudah ah, sekarang gimana cara kita buat nyari tahu tersangkanya dengan bukti yang minim?" tukas Matt. Matt sudah lebih baik dari tadi, dia sudah dapat memulihkan dirinya dari rasa shock kejadian Ema.
Aku masih merasa sesuatu yang janggal sama Ema tapi... aku nggak tahu apa itu. Aku sudah mengingat-ingat keadaan Ema tapi tetap saja aku nggak mendapat jawaban dari kejanggalan itu.
"Kacaunya, gue sama Khari nggak lihat keadaan Ema," dumel David. "Coba kalian deskripsiin keadaan Ema."
"Haruskah gue menjelaskannya? Okelah, jadi tadi gue lihat Ema dalam kondisi duduk di lantai dan kepalanya nunduk. Tangan sama kakinya memar-memar juga di tangannya... penuh silet-siletan yang nggak jelas. Kepalanya... entah dia dipukul pake apa, tapi rasanya dia dipukul keras dari belakang sampai berdarah gitu."
"Serius?" tanya Khari yang tampak sudah bergidik ngeri.
"Wow, gila. Sadis amat sih. Entah kenapa gue kok ngerasa gak asing sama isi surat yang tadi itu ya." David bertopang dagu, seolah sedang berpikir keras.
"Gue gak tahu," jawab Matt. Aku mengangguk menyetujui Matt.
"Sudah, ah. Abaikan aja. Eh, gengnya si Ema apa namanya?" David mengalihkan topik.
"Perfect Girl?" jawabku ragu.
"Gimana kalo kita tanya ke gengnya?" usul David. Aku dan kedua koncoku langsung menyetujuinya.
Dengan gaya pongah kami memasuki kantin. Mataku menelusuri tiap sudut kantin sampai mataku menemukan target yang sedang kucari.
Kami berempat menghampiri mereka.
Kulihat mata ketiga cewek itu agak sembab, mungkin mereka tadi sedang menangisi kondisi Ema. Ah, aku baru ingat aku baru saja masuk ke lubang para haters-ku berkumpul. Haters yang benar-benar membenciku. Terutama... cewek itu.
"Kita mau minta waktu kalian bentar," ujar Khari.
"Mau ngapain kalian? Berasa detektif kesiangan? Grup detektif payah kalian mau sok beraksi?" ucap cewek berambut sebahu yang kukenali sebagai Misa, suaranya lirih namun tetap terasa begitu sombong.
"Terutama lo, cewek aneh kayak lo mau cari kepopuleran? Jangan ngimpi. Lo juga Matt, lo ngapain sih bergaul sama manusia-manusia aneh ini," tambah gadis bertubuh agak berisi dengan rambut panjang sepinggang, itu Marie. Yah, Marie. Gebetan Calvin? Itu gosip yang beredar.
Ah, tapi kata Calvin jika Marie yang mengejar-ngejarnya. Seharusnya, aku tidak peduli tapi tidak tahu kenapa aku merasa terganggu. Apakah benar aku jatuh cinta sama Calvin? Ah, tidak mungkin. Mona, back to the topic.
Aku bingung sama cewek-cewek ini, bisa-bisanya masih berlagak sombong. Entahlah, aku malas meladeninya. Childish banget. Harusnya mereka bisa lebih bekerja sama, mengingat Ema dalam kondisi kritis.
"Hell?! Kalian bikin emosi banget sih. Kita cuma minta kerjasama kalian bentar doang. Emang kita kenapa? Mona kenapa?" tegur Khari dengan nada luarbiasa nyolot seraya menggebrak meja.
Ketiga cewek itu langsung keder. Mereka saling tatap dengan wajah cemas melihat tingkah brutal Khari. Yah, Khari memang brutal pake banget.
"Lagian gue juga emang udah temenan sama mereka dari SMP, Mar. Lo gak tahu apa-apa, jangan sok tahu deh, Mar. Mona? Dia gak aneh, dia normal. Kalo pun kita konyol, kenapa Pak Arya milih kita buat kasus yang sama sekali nggak bisa dianggap remeh?" tambah Matt.
Jujur deh, Matt kelihatan keren pake banget.
Ketiga cewek itu melirikku tajam, aku menaikkan sebelah alisku. Terdengar jelas suara bisik-bisik dari kantin ini, itu jelas banget. Aku sempat meliriknya dan melihat banyak dari mereka memandangku dengan tatapan mencemooh. Oh God. Bahkan beberapa orang sudah mengekuarkan smartphone mereka dan merekam adegan ini.
Aku benci ini, harusnya aku menggunakan soflen ke sekolah tapi... aku takut. Entah kenapa aku memandang wujud soflen itu tampak menakutkan dan nggak meyakinkan.
"Daripada lo banyak mulut buat hal gak guna, mending lo jawab pertanyaan kita." Khari menggebrak meja untuk kedua kalinya yang makin mengundang tontonan sejak gebrakan yang pertama.
"Kalian balik kelas sana gih. Gak usah lihat-lihat," bentak Matt pada oknum-oknum yang menjadikan ini sebagai tontonan gratis bahkan merekamnya.
"Dasar kalian. Kalian tuh mau apa sih? Berasa keren gitu?" cemooh cewek berkacamata yang bernama Eka. Cewek yang sedari tadi bungkam kini mulai bersuara.
"Heh! Kalian punya hati gak sih buat temen kalian yang lagi kritis? Percuma aja kalian nangis-nangis bawang kalo... kalian bahkan nggak berniat buat nyari si pelaku," cetusku.
Entah kenapa kata-kata itu keluar dari bibirku. Memalukan, sok bijak banget aku.
"Lagian kalian itu siapanya Ema sih?" tanya Marie dengan nada luarbiasa nyolot.
"Gak usah bacot deh," geram Matt.
Wah, si Matt mulai mengeluarkan taringnya. "Kalo kalian temennya, kalian tinggal jawab, oke? Bagi gue, ini bukan sekedar nyari pelaku. Ini nyangkut hidup mati Ema. Kalian tahu?"
Ketiga cewek dengan gaya songong kuadrat, kini tampak keder mendengar Matt yang mulai menunjukkan wujud aslinya. Yah, Matt nggak lebih dari seorang iblis dengan gaya sok cool. Aku sudah tahu semua tentang Matt, makanya aku lebih memilih untuk move on. Kenapa aku seolah mengatakan kalo Matt benar-benar iblis? Oke, maksudku iblis tadi hanya perumpamaan tentang sifat asli Matt.
"Coba deh kalian inget-inget, ada sikap Ema yang aneh dari biasanya nggak?" tanya Matt dengan suara lebih lembut namun tetap terdengar sinis.
Mereka tampak memeras otak seolah dia berusaha mengingat kejadian beribu-ribu tahun yang lalu. Padahal kalo mereka deket sama Ema nggak perlu pakai mikir dong.
"Gue gak tahu," jawab Misa dengan nada tak acuh, "lagian juga, Ema juga jarang kumpul bareng kita. Maklum, dia kan penggila buku. Kita mah apa kalo dibandingin dia."
Aku memandangi Misa tak percaya yang kutahu mereka cukup dekat, apalagi Misa dan Ema. Kok, Misa bisa-bisanya ngomong kayak gitu sedangkan kondisi Ema saat ini sedang kritis. Seolah hubungan pertemanan mereka sudah hilang dari benaknya. Padahal, seluruh isi sekolah juga tahu jika Ema dan Misa itu terbilang sangat dekat.
Uh-oh. Aku merasa baru saja bertemu kawanan serigala berbulu domba. Kumpulan manusia bertopeng tebal.
"Eh, lo itu konconya atau bukan sih? Kata-kata lo kayak lo itu musuhnya, bukan temennya. Busuk banget ya ternyata kalian."
Uh-oh, aku baru ingat di sampingku ini cewek yang tingkat nyolotnya ngalahin emak-emak lagi nawar di pasar.
"Please deh, kalian ini bisa seriusan gak sih!" bentak Matt.
Wah, calm down bro.
"Ema, dia baik..." Eka membuka suara, "dia juga asik, gue suka bergaul sama dia." Sesaat, Eka mengalihkan pandangannya pada Misa dan Marie. "Tapi dia memang beda dari kita, dia lebih sibuk dengan dunianya sendiri. Lo sendiri juga harusnya tahu kan, Matt?"
Misa dan Marie tampak sedikit berang. Suasana tampak canggung, mereka bertiga diam dan saling tatap yang entah aku tidak tahu arti tatapan itu. Ini membuatku bingung.
"Misa lagi berantem sama Ema." Aku terbelalak mendengar pengakuan Eka yang tiba-tiba, bahkan kedua temannya tampak kesal terutama Misa. "Mereka berantem soal Ema yang lebih suka sibuk sendiri."
"Lo kok ember sih, Ka?" bentak Misa kesal. "Lagian kan Marie duluan yang nyuruh gue buat negor si Ema."
"Gue kan gak maksud gitu, Mis," kilah Marie, "gue kan nyuruh lo ngajak Ema buat gabung, bukan buat dilabrak. Lagian bisa aja lo iri, soalnya Ema dipilih buat ikut olimpiade fisika. Dan... bukan lo."
"Emang Ema sibuk apaan?" tanyaku. Rasanya, tidak ada yang mempedulikan kata-kataku atau lebih tepatnya tidak mendengarnya dan mereka sibuk adu mulut. Serius, ini sakit.
"Lagian juga lo pikir gue yang ngebikin Ema jadi kayak gitu? Hah?!" sergah Misa.
"Ya bisa aja, lo bermotif tahu," balas Eka.
"Lagian kan si Marie juga bermotif," tuduh Misa.
"Kok gue? Ya lo lah yang lebih bermotif Mis," balas Marie.
"HEY!" bentak Matt yang membuat mereka bertiga bungkam seketika. "Telinga kalian tuli? Lo pada gak denger kalo Mona lagi nanya?"
Sedetik kemudian, enam pasang mata menatapku dengan tatapan sinis bercampur bingung.
"Hmm... emang Ema lagi sibuk apa? Dan, kalian tahu kira-kira orang yang mungkin ngelakuin itu ke Ema?" tanyaku dengan suara pelan, beda dengan Matt juga Khari yang nyolot luarbiasa.
"Dia sibuk belajar pastinya, apalagi dia kan mau ikut olimpiade, tapi kalo soal pelaku..." Eka menggeleng, "Entahlah, semua orang bermotif sih menurutku."
"Jadi menurut lo, kalian bertiga bermotif buat ngebikin Ema jadi gitu?" tanya Khari dengan nada galaknya.
"Who knows?" jawab Eka. "Lagian, lo juga tahu kan Ema pinternya gimana? Paralel rangking satu juga kapten dance. So, siapa yang gak iri?"
Entah kenapa aku merasa kata-kata itu ditujukan untuk Misa. Misa mulai tampak panik dan kesal, dia melempar buku yang ada di tangannya pada Eka, nyaris membuat kacamata Eka terjatuh. Eka membenahi letak kacamata dengan takut-takut.
"Lo itu busuk. Temen macam apa sih lo? Mau mojokin gue? Mau nuduh gue? Lo itu gak pantes hidup!" teriak Misa tanpa perintah lagi, dia menghambur pergi diikuti Marie.
Matt menahan Eka yang tampaknya berniat kabur juga.
"Tertuduh kabur, gak kuat," ejek Khari. "Sekarang coba lo ungkapin semua kecurigaan lo. Jadi menurut lo, Misa kemungkinan besar terlibat dalam kejadian Ema?"
"Who knows?" sahut Eka. "Tanpa Misa ngomong pun udah jelas, dia iri sama Ema. Dia takut dia nggak bisa ikut olimpiade fisika lagi gara-gara Ema ditunjuk buat gantiin dia. Apalagi, Misa kan kabarnya pernah naksir lo, Matt. Kali aja dia masih naksir lo terus rasa irinya makin menjadi-jadi. Padahal Ema gak pernah bilang soal hubungan lo sama dia."
Ini baru informasi bukan sekedar omong kosong gak berisi.
"Jadi dia takut disaingin sama Ema?" tanya Khari.
Eka mengangguk pasti. "Yah, lo lihat aja. Mereka memang tampak luar deket banget tapi dalemnya banyak lubang dipertemanan mereka. Dan, Misa juga sering banget ngomongin Ema di belakang Ema. Dia ngejelek-jelekin Ema, juga dia bilang kalo Ema tuh ngerasa sok cantik cuma gara-gara Matt naksir Ema. Pokoknya, banyak lah. Misa sama Marie kan hobi banget gosip terutama soal lo,Mon. Lo sama Calvin yang selalu bikin Marie kesal. Maklum, Marie naksir berat sama Calvin, juga Calvin seolah kasih harapan ke dia. So, dia overprotektif banget setiap Calvin sama lo lagi berduaan."
Tepat bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Yah, rasanya kami sudah kehabisan bahan pertanyaan juga dan kita juga nggak tahu harus mencari tahu apalagi.
Maklum, Marie naksir berat sama Calvin, juga Calvin seolah kasih harapan ke dia. Aku benar-benar jadi kepikiran kata-kata Eka. Calvin kasih harapan ke... Marie. Ah, bodoh.
"Oke, thanks ya. Kalo kita ada apa-apa lagi, kita harap lo bisa bantu," ucap David setelah selama sepekan bungkam seribu bahasa.
"Gimana menurut kalian?"
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top