Bab 6 - Tiga Hari Sebelum Hari-H

"Minggir lo!" pekik Kak Khira yang lagi-lagi harus membuatku menghela napas. "Pergi dari kamar gue! Minggir lo!"

Percuma mau membalas ucapannya malah membuat Kak Khira jauh lebih emosi dan marah. Aku memilih keluar dari kamar dan menunggunya tidur. Yah, hari-hari kacau dan membuatku terus terserang insomnia. Para polisi tidak tahu di mana Kak Khara, Papa yang semakin hari semakin kacau, Mama yang juga sakit demam tinggi sampai harus dibawa ke UGD, dan kakak yang terus-menerus membuatku makin tersiksa.

Aku menyederkan kepala di sofa. Rasanya semua ini sangat berat. Untung saja, Mona dan David yang terus mendukungku. Memang Matt juga tahu masalahku karena ketidaksengajaan, tapi aku tidak peduli entah dia tahu ataupun tidak. Toh, dia tidak pernah menanyai keadaanku. Sibuk dengan dirinya sendiri yang semakin egois.

Mona dan David bahkan mengajakku bolos untuk mencari Kak Khara. Aku sampai tidak enak dengan mereka, jadi mereka yang repot sendiri. Kadang Mona juga mengajakku menginap di rumahnya, beberapa kali aku iyakan. Namun, beberapa kali kutolak juga, di saat aku sudah sangat depresi pasti aku akan pergi ke rumahnya. Aku juga bisa lelah, 'kan? Apalagi Tuhan terasa sangat tidak adil denganku, bukankah ini menyedihkan?

Aku melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam. Ah, aku mengantuk sekali. Pasti Kak Khira belum tidur. Aku tahu, sangat hafal, jam tidurnya itu di atas jam dua belas. Kakak yang terlalu sibuk dengan kuliahnya.

"Belum tidur?"

Aku terlonjak begitu suara itu muncul dari belakangku. "Papa!" omelku sembari memukul lengan papa.

Papa tertawa kecil sembari mengambil posisi di sebelahku. "Kok nggak tidur? Besok sekolah, 'kan?"

Aku menyenderkan kepala di bahu lebar papa. Rasanya nyaman, sudah lama tidak melakukan ini. "Belum ngantuk," bohongku, "masih mau di sini dulu."

"Tumben, dulu kalian kalo udah malem mana ada yang mau di luar nemenin papa sama mama. Udah gede-gede. Khira marah-marah ya? Maaf ya, papa belum bisa bantu kamu, malah ngerepotin kamu terus."

Aku memeluk erat papa dengan kepala yang masih menyeder di pundaknya. "Sst, Papa jangan bilang hal yang kayak gitu. Papa nggak salah, kita harus ngelewatin ini, Pa. Cuma kita harapan keluarga ini, di saat yang lain sudah tidak tahu arahnya, kita harus tetap berjuang, Pa. Jangan salahin diri sendiri, kalo Papa kayak gitu, berarti kesalahanku jauh lebih banyak, Pa."

Elusan lembut di helai rambut membuatku terasa nyaman. Saat kecil, papa sering sekali melakukan ini. Entah sejak kapan, semua ini sudah tidak pernah terjadi. Benar kata papa, kami sudah dewasa. Banyak kenangan-kenangan dan kebiasaan saat aku dulu kecil yang sudah tidak pernah kami lakukan. Contohnya saja, kami jarang berlibur bersama lagi. Bisa makan malam bersama saja sudah suatu kehebatan.

"Aku pengen jadi kecil lagi, Pa. biar kita bisa ngelakuin hal yang sudah lama nggak kita lakuin." Air mataku nyaris-nyaris tidak bisa kubendung. Dengan lebih erat kupeluk papa, berharap bisa menenangkan hatiku yang bergejolak. "Keadaan Mama gimana, Pa?"

"Sudah baikan, tapi ya gitu. Kondisi mentalnya makin lemah, Mamamu sering ngelamun dan hilang fokus. Berat banget ya, Papa butuh kamu buat dukung Papa. Di saat Papa mau nyerah, jangan biarin Papa nyerah ya?"

Aku mengangguk cepat. Sama, Pa. Ini juga sangat berat buat aku.

"Mau tidur di kamar Papa?" tanya Papa yang membuatku terkejut. Entah kenangan apa yang tahu-tahu datang, tapi satu kebiasaanku dulu adalah suka datang ke kamar Papa dan Mama. "Dulu kamu bisa nangis keras kalo nggak dibolehin tidur di kamar Papa. Kadang suka ngelindur jalan ke kamar Papa. Inget?"

Aku tertawa mengingat kejadian memalukan itu.

"Dulu Mama marah-marah kalo aku maksa tidur di kamar Papa sama Mama, tapi Papa pasti bilang boleh padahal Mama nggak kasih ijin." Aku memeluk erat papa. Ada desiran lembut di hatiku, seperti angin sejuk yang berniat membuatku nyaman. "Ayo, Pa tidur."

Papa mengelus puncak kepalaku. Malam ini, aku mau mengingat kenangan dulu. Betapa banyak hal yang sudah aku lupakan.

***

Hari ini aku senang sekali. Mama dan Papa mengajak aku, Khira, dan Khari pergi jalan-jalan ke Batu. Kata Mama, kami pergi ke Desa Sumber Brantas. Banyak sekali sawah di sana Kami diajak keliling-keliling dan menginap di pondok. Aku senang sekali, di sana orangnya sangat baik-baik. Tidak kayak di kota yang banyak orang jahatnya. Di Batu, semua orang baik padahal aku tidak kenal dengan mereka. Khira dan Khari main basah-basahan di sungai sampai Mama marah. Lucu sekali. Aku ingin tinggal di sini, sangat menyenangkan. Kalau aku sudah besar, aku akan beli rumah di sini dan tinggal dengan Papa, Mama, Khira, dan Khari.

Senyum di bibirku terbentuk saat aku membaca diary yang ditulis Kak Khara waktu dia masih SD. Sebenarnya, tadi aku tidak sengaja membuka lemari Kak Khara dan menemukan buku hariannya saat masih kecil. Banyak tulisan-tulisan Kak Khara yang membuatku tertawa sembari mengingat kenangan itu. Aku hanya ingin melihat-lihat meja Kak Khara karena malas juga pergi ke sekolah kalau sudah telat, ternyata aku malah menemukan pion-pion kenanganku di sini.

Saat kami bertengkar karena bolpoin yang hilang, saat kami bertiga pergi liburan di Dufan, banyak hal yang membuat senyumku mengembang. Terutama tentang liburan kami dulu ke Batu. Aku sangat ingat Kak Khara yang terus menerus bilang suka, suka, dan suka saat kami ke Batu dulu. Tampaknya, Kak Khara sangat bahagia sekali dengan liburan kami.

Tunggu. Batu. Kak Khara. Suka. Jangan-jangan, Kak Khara ada di sana? Mungkinkah? Aku tahu ini sedikit konyol, tapi bukankah Kak Khara bilang jika dia sangat suka Batu bahkan ingin membeli rumah untuk kami tinggali bersama.

Aku harus bilang ke papa.

Dengan buru-buru, aku menghampiri papa yang ada di dapur. Untung saja, Kak khira sudah pergi kuliah sehingga aku tidak perlu berdebat dengannya.

"Pa, lihat ini. Aku nemuin ini di kamar Kak Khara."

Papa tergupuh-gupuh menghampiriku dengan tangan kiri memegang gula dan tangan kanan memegang centong sayur.

"Papa ngapain?" tanyaku bingung melihat penampilan papa.

Senyum di wajah papa mengembang. "Mau masak dong. Kenapa tadi kamu bilang apa?"

"Ini, Pa. Aku nemuin ini, buku hariannya Kak Khara. Coba Papa baca." Aku menunjukkan isi buku harian yang tadi kubaca, tentang liburan kami ke Batu. Papa membacanya dan sebuah senyum tercipta di bibirnya lalu berganti menjadi wajah sedih.

"Khara di mana ya? Papa kangen Khara, Papa nyesel sudah bikin dia kecewa dan benci sama kita semua. Tiga hari lagi sudah tanggal satu." Papa memandangku dengan wajah yang berkaca-kaca.

"Khari juga, Pa. Coba Papa baca ini tadi Papa mikir nggak, kalo mungkin aja Kak Khara ada di Batu, Pa?" ucapku bersemangat.

Papa menggeleng pelan. "Mana mungkin? Terlalu jauh, dan mana mungkin dia ingat tempat itu. Sudah lama sekali, Papa juga sudah lupa dengan pondok itu. Kita hanya sekali ke sana. Mustahil Khara ada di sana."

"Tapi Pa ...,"

Ucapanku dipotong papa dengan gelengan kepala. "Papa nggak bisa ke sana buat suatu hal yang nggak pasti, Khar. Kalau ternyata di sana nggak ada? Waktu Papa terbuang, kita harus melihat kemungkinan juga."

"Aku mau ke sana."

"Khari, itu bahaya. Kamu juga pasti nggak ingat, 'kan? Lagian mau naik apa kamu? Jangan aneh-aneh, Papa nggak kasih ijin." Nada suara papa terdengar mengintimidasi sampai aku takut mendengarnya, tapi tekadku sudah bulat. Aku harus ke sana. Kemungkinan sekecil apa pun. Aku harus coba.

"Aku bakalan ngajak Mona dan David, Papa nggak usah khawatir. Aku yakin Kak Khara di sana, Papa jagain yang di sini dan terus berusaha cari Kak Khara. Aku percaya dengan kemungkinan kecil, Pa."

Papa menghela napas dengan pasrah. "Terserah kamu."

Aku tahu itu pertanda Papa sedang marah tapi aku nggak peduli. Bukannya, cuma ini yang namanya harapan?

Dengan cepat aku pergi ke kamar dan mengirim pesan ke Mona juga David. Sengaja aku tidak mengirim pesan di chat grup, karena aku malas ada Matt di sana.

Kharita A. : Mau ikut gue ke Batu? Cari Kak Khara. Abis jam pulang sekolah, mau?

Aku mengemasi beberapa barang milikku ke dalam tas ransel. Hanya beberapa baju dan keperluan mandi. Jangan lupakan uang tabungan yang harus aku korbankan untuk hidup mati keluargaku. Aku ini orang pelit, semua orang bilang begitu, tapi bukankah ini sebuah pengorbanan? Membawa uang-uangku untuk mencari Khara Mikaela.

David : Serius lo? Jauh banget. Naik apa? Tapi, kita ikut, sekarang kita ke rumah lo. Tungguin.

Aku melongo membaca pesan balasan dari David. What? Sekarang? Mereka ini gila ya? Mau alasan apa ke guru coba? Mana sekarang baru jam delapan pagi loh. Berhubung aku juga malas mendebat mereka dan lebih berterimakasih atas pengorbanan besar itu, lebih baik aku menerimanya saja.

Kharita A. : Naik mobil, nanti gantian setir ya? Oke, bawa baju ganti. Kita nginep. Ijin dulu!

David : Beres! Satu jam lagi kita ke rumah lo!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top