Bab 5 - Cerita Dalam Tangis
Mata Mona dan David menyorotku dengan tajam. Rasanya aneh dilihatin dua orang ini dengan tatapan yang bikin super awkward.
"Apa?" ujarku dengan nada agak nyolot.
Aku sudah merasakan hawa aneh dari Mona sejak kelas tadi. Nggak mau diajak ngomong, cuek bebek, diem mulu kerjaannya. Sekarang, bertambah satu oknum lagi yang ikut-ikutan kayak Mona. Aku mendesah panjang melihat kelakuan mereka. "Apaan sih?" ucapku, kali ini dengan nada super nyolot.
"Males gue. Pengkhianat," sahut Mona. Nada suaranya yang datar bikin aku keder juga.
Tunggu dulu, pengkhianat? Aku bikin salah ya sama mereka? Tapi, rasanya akhir-akhir ini ya, aku tidak pernah berhubungan dengan manusia-manusia di sekolah selain David, Mona, dan juga makhluk berengsek bernama Matt. Dan sekarang, tiba-tiba Mona dengan nada sarkas berusaha menyindirku. Sayangnya, aku sama sekali tidak sadar untuk dasar apa dia berkata seperti itu.
Aku melirik David yang cuma mendesah pelan, kelihatan sekali kalau dia lebih tertarik dengan nasi goreng si kantin baru ketimbang aku.
"Maksud lo?" tanyaku.
"Pikir aja sendiri, Khar. Jelas banget nggak mau kasih tahu kita, buat apa juga maksa." Lagi-lagi dengan nada super datar dan sarkas, Mona menyindiriku.
"Gue nggak paham. Kayaknya gue nggak ada cari masalah sama orang, ataupun bikin kalian jengkel deh. Gue sibuk sama urusan gue dan kayaknya gue gak ada waktu buat ngurusin kalian."
"Ya itu ... masalahnya," sahut David disela-sela makannya, aku sempat melihat ada nasi yang muncrat dari mulutnya. Menjijikkan sekali. David yang kelihatannya sadar kalau aku sudah memergoki nasi muncrat itu, buru-buru mengunyah cepat makanan di mulutnya.
"Apa sih? Kalo ngomong jangan setengah-setengah, Ogeb," cecarku. "Kalo gak suka sama gue, sama kelakuan gue, bilang! Jangan diem-dieman gak jelas. Gue tuh lagi banyak pikiran, banyak masalah, lagi nggak bisa kalo disuruh nebak kode-kodean dari kalian. Ngerti nggak sih?!"
Mona menghela napas panjang, diikuti David yang meletakkan sendok di piring hingga terdengar suara tinggg yang cukup keras. "Ya itu masalahnya. Lo itu masalahnya, Khar. Kita tuh temen bukan, sih? Kok lo tega sih pendem sendiri semua masalah lo? Papa lo nelpon gue semalem." Napasku tercekat mendengar ucapan Mona. "Papa lo nanyain keadaan lo di sekolah gimana? Dia takut nanya ke lo. Lah gue nggak tahu apa-apa kayak orang bego. Temen gue punya masalah dan gue nggak tahu! Papa lo lebih kaget lagi ternyata lo pendem semua itu sendirian dan beliau cerita tentang Kak Khara. Lo kok tega, sih? Lo kok sok kuat, sih? Gue tahu kok lo muak, pengen marah, pengen banting barang. Dengan bodohnya, tiap hari gue malah curhat tentang keadaan gue dan Matt. Bego banget ya gue? Gak peka banget sama temennya!"
Mona mulai memaki-maki dirinya sendiri. Aku mau marah, membela diri, semua bayangan itu sudah tercetak jelas di pikiranku, tapi bodohnya ... semua itu buyar ketika mataku mulai mengeluarkan cairan yang membuatku terlihat lemah. Air mata. Sial, aku merutuki diriku sendiri yang justru menangis dengan meraung-raung, tapi sisi diriku yang lain tidak mau berhenti menangis. Dan semua akal sehatku lenyap entah ke mana.
Di kantin yang super ramai dengan puluhan manusia, ada seorang Kharita yang sedang menangis keras.
Aku tidak pernah tahu kalau kebodohan yang telah kulakukan adalah tidak pernah menceritakan masalahku pada mereka. Aku terlalu kalut dalam diriku sendiri sampai tidak percaya pada mereka. Nyatanya, justru mereka yang membantuku.
Mona memelukku seraya mengajakku ke luar kantin. Entah ke mana dia membawaku, pikiranku sibuk sendiri dan berkelana tentang semua kejadian yang menimpaku. David mengekori kami dari belakang sembari mengelus-elus pundakku.
Tangisku makin pecah dengan kelakuan dua orang ini. Bisa-bisanya mereka membuatku makin merasa bersalah pada mereka.
Pemandangan di depanku sudah dipenuhi dengan tumbuhan hijau dan sebuah kursi kayu panjang. Taman belakang sekolah. Ah, aku jadi ingat tentang kasus Black Shadow, pengakuan David dan aksi nekat kami. Semua ada di sini. Mungkin tempat ini cocok dijadikan tempat pengakuan bagi kami, karena aku akan menceritakan masalahku di sini.
David dan Mona menungguku hingga tenang. Dengan sabar mereka mendengar ceritaku yang masih disertai sesegukan tak jelas. Aku saja jijik mendengar suara sesegukanku, kayak tikus sekarat yang sedang kecepit di ban sepeda. Aku menceritakan usahaku mencari Kak Khara yang tidak menemukan hasil, betapa gilanya Kak Khira setiap kali melihatku sampai setiap malam aku harus rela mengidap insomnia karena ketakutan setengah mati dengan Kak Khira, juga dengan mama yang enggan hidup dan keadaan semakin parah karena tingkah sok tahuku.
Aku selalu takut dengan reaksi yang akan diberikan David. Jika Mona, aku tahu dia akan mendukungku. Namun, pikiranku saja yang terlalu berlebihan. Nyatanya, kalimat yang keluar dari bibir David begitu menyejukkanku.
"Lo kuat, Khar. Ada kita di sini, lo pasti bisa lebih kuat."
Nyaris saja air mataku tumpah ruah kembali tapi dengan susah payah aku menahannya. Malu, astaga malu sekali kalau harus menangis terus-terusan. Cengeng sekali. Nggak cocok banget dengan predikat cewek tomboi dan galak yang menempel padaku. Mungkin beberapa orang sering mengataiku dengan sebutan anjing gila.
Duh, mengingat kejadian di kantin tadi, mau gila saja. Malu sampai ke ubun-ubun. Nggak mau muncul di hadapan semua orang.
Suara bel memekakkan telingaku sampai David ikut-ikutan latah tak jelas.
"Bolos aja yuk," usul Mona. "Nggak mungkin lo masuk kelas dengan muka sembap gitu, gue juga nggak mau ninggalin lo di sini sendirian. Kalo lo kelas aja, Vid."
"Enak aja, gue ya mau bolos. Males gue ketemu Matt, bikin emosi," cecar David. Mona menyunggingkan senyum remeh, seolah sudah biasa mendengar kalimat itu.
"Ya sudah tunggu bentar, gue beliin minum buat lo ya, Khar," ucap Mona sembari sok-sokaan mengelus kepalaku seperti anak kecil. Aku memasang wajah galak tapi malah ditertawai Mona.
***
Terjebak dalam keheningan. Itu yang kurasakan dengan David, kejadian langka. Tidak biasanya kami terjebak dalam situasi canggung begini, sampai mengharuskan kami saling diam dan tidak tahu harus berkata apa. Tebakku, David juga merasa aneh dengan situasi canggung ini.
"Tumben ya diem." Ucapan David memecah keheningan di antara kami. Aku meliriknya sembari menyunggingkan senyum simpul. "Tumben lo bisa mewek."
Aku memukuli lengan David dengan ganas akibat ucapannya yang terakhir. Dikira aku ini robot ya? Jahat banget.
"Mona kok lama ya," cibirku. Padahal lokasi kantin dan taman belakang ini nggak jauh kok, dekat banget malahan. Juga, kantin pasti sepi. Aku bisa melirik koridor-koridor kelas yang sudah sepi sekali, tapi belum ada tanda-tanda kehadiran Mona.
"Mau nyusul?" tanya David yang sudah berdiri sebelum kujawab. Ini sih bukan nanya, tapi maksa. Aku mengekori David yang memimpin jalan mendahuluiku.
Suara ketukan sepatu kami yang bersahut-sahutan, entah mengapa menarik perhatianku. Otakku sudah sinting, jarang-jarang aku memedulikan hal abstrak seperti ini. Nyaris saja aku menabrak David kalau aku tidak memerhatikan kakinya yang tahu-tahu berhenti tanpa aba-aba.
Baru saja bibirku mau mengeluarkan makian sejenis 'lo ngapain berhenti, bego?!' tapi David lebih dulu menempelkan telunjuknya di bibirku. Eh, kenapa?
Aku menimbrung di sebelah David, penasaran dengan apa yang dilihatnya. Namun, yang kutemukan justru sosok Mona yang sedang berkacak pinggang dengan wajah sebal. Eh? Dia ngapain? Aku menengokkan kepalaku lebih dekat lagi dengan David sampai kutemukan sosok yang menjadi lawan bicara Mona. Hem, Raya.
"Apa sih?" Aku bisa mendengar suara Mona yang malas dan bete.
"Depresi banget ya? Punya pacar tapi nggak peduli. Wajar sih, Matt emang pantesnya buat gue. Lo harusnya sadar dirilah! Jangan sok lemah, sok nangis mewek nggak jelas. Matt tuh keganggu banget sama tingkah lo itu." Suara tawa Raya entah mengapa terdengar seperti lagu penghantar kematian. Mematikan sekali.
Di sebelahku, David sibuk dengan ponselnya yang ternyata dia mau merekam kejadian ini. Aku menyengolnya dan mengucapkan 'buat apa?' tanpa suara. Namun, David hanya mengibaskan tangan seolah aku ini tidak perlu memahami tingkahnya karena otakku dan dia berada di level yang berbeda. Sialan.
"Nggak usah sok tahu tentang hidup gue. Pergi lo!"
Haduh Mona, kasihan sekali temanku ini. Coba saja aku yang di sana, aku sudah maki-maki tuh cewek bernama Raya. Sayangnya, Mona orang yang nggak sepintar itu buat balesin omongan orang sirik itu.
Aku mendesah panjang.
"Gue nanti mau nemenin Matt jalan-jalan. Bye, kekasih bayangan," ujar Raya sembari cekikikan dengan gaya centil. Raya mengibaskan rambut hingga helaiannya mengenai wajah Mona. Wanita sialan. Nyaris saja aku berlari mengejar Raya, kalau David tidak mencengkeram lenganku.
"Nggak usah ikut campur dulu," kata David dengan volume suara pelan. "Kita lihat dulu hubungan mereka, Khar. Kalo emang parah dan perlu banget, gue bakalan kasih video ini ke Matt. Seenggaknya, sudah ada bukti, 'kan?"
Aku hanya mengangguk pasrah. Percuma juga otakku dan David beda level. Aku mah main labrak sampai tuh orang mampus, sedangkan David lebih memilih membunuh targetnya tanpa dia mengotori tangan.
"Gue kasihan banget sama Mona." Aku menghela napas begitu melihat Mona yang terlihat lusuh sekali. Aku tahu dia berusaha menahan tangis, dia itu cengeng. Cewek yang paling cengeng tapi selalu sok kuat, selalu sok keren. Padahal yang keren di sini tuh cuma Khari. "Gue harus bantu Mona, apa pun caranya. Nyesel banget gue udah bantuin Matt, nyesel nggak ketulungan. Kayak dosa banget gue ke Mona."
"Gue juga, Khar. Matt tuh emang udah sinting."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top