Bab 4 - Momen Berharga

Hal yang masih tidak bisa, juga tidak mau kupercayai adalah hari-hari yang terus bergerak maju. Kalender di ponselku menjadi bukti jika hanya seminggu tersisa sebelum Kak Khara berulang tahun, sekaligus tanggal yang dipilih untuk hari kematiannya.

Aku mengetukkan pensilku dengan cemas, pelajaran Pak Sipri terasa sangat lama. Memang harusnya tadi aku bolos saja, tapi aku jadi kepikiran kalau David akan tanya-tanya. Aku melirik Mona yang tampak sibuk mencatat tiap ucapan yang keluar dari bibir Pak Sipri.

"Mon, jam berapa?" tanyaku berbisik.

Mona mengecek jam di tangan kirinya. "Masih kurang sejam lagi, Khar. Ngantuk gue," balasnya. Katanya sih dia ngantuk, tapi wajahnya kayak orang siap tempur di lapangan.

"Masa lama, omaigat. Lo ngantuk? Gue apa?" cetusku sewot.

"Makanya nulis, Khar, biar nggak bosen. Senin kayaknya bakalan ulangan deh, Khar."

"Bodo amat," balasku tak peduli. "Gue lebih pentingin urusan lain. Bolos dah bolos, gue nggak mau sekolah."

Mona tidak memedulikan ucapanku karena tampaknya Pak Sipri baru saja memberi catatan penting. Tidak seperti ucapanku yang sangat tidak penting. Aku mendengkus bosan, melihat teman-teman sekelas kebanyakan sedang sibuk seperti Mona. Serius mencatat.

"Nah, sekarang coba Khari. Ayo maju sini kerjain nomor empat."

Hah? Pensil di tanganku terlempar pelan, saking terkejutnya namaku dipanggil Pak Sipri. Mati aku.

Aku melirik Mona yang hanya meberikan senyum gue-turut-bersedih-buat-nasib-lo. Sama sekali tidak membantu. Aku berdiri dan mebawa buku paketku ke depan papan tulis. Meskipun sudah diberi spidol oleh Pak Sipri, mataku hanya mampu menatap soal nomor empat dengan tatapan kosong. Nge-blank, cuy.

"Ayo, Mbak, dikerjain bukan diliatin aja," cetus Pak Sipri dengan logat Jawa yang masih kental terdengar di telingaku. Aku meneguk ludah dengan berat. Ini kerjainnya gimana?

Aku menulis angka-angka di papan tulis. Lebih tepatnya menyalin doang.

"Aduh, Mbak, kamu ini nulis apa toh? Dengerin saya jelasin gak tadi? Kalau kayak gini gimana ujianmu nanti, Mbak?" sindirnya ketus. Aku masih diam yang memasang wajah blo'on yang emang blo'on beneran sih kalau kerjain matematika. "Sudah sana kamu duduk, Mbak. Pinter main basket, tapi prestasi di kelas juga diperhatiin, Mbak. Bisa gak naik kamu ini lama-lama."

Aku hanya berlalu saja, tidak mendengar ucapan Pak Sipri. Yah, memang dari dulu nilaiku selalu tragis kok. Mau bagaimana lagi coba? Aku 'kan tidak pintar seperti Kak Khara. Air mataku nyaris keluar, benar-benar sensitif tanpa alasan.

Aku mendaratkan pantatku di kursi. Ah, sial, air mataku rasanya mau menetes. Aku menundukkan kepala agar Mona tidak menyadarinya.

"Lo nangis, Khar?" tanya Mona berbisik.

Ah, sial. Pasti Mona sempat melihat mataku yang berkaca-kaca. Dengan cepat aku mengedipkan mata agar tidak ada air mata yang keluar. "Gila lo?" balasku dengan mengibaskan rambut ke arahnya. "Pusing gue. Gak mau sekolah."

"Eh iya, lo banyak bolos tahu. Kenapa sih kemaren-kemaren bolos?" selidik Mona dengan tatapan curiga.

"Males ketemu lo."

"Jahat," cibirnya. "Gue terluntang-lantung tahu. Cuma ditemenin David. Punya pacar tapi sibuk sama gebetannya. Duh ngenes banget sih."

Aku mengelus-elus puncak kepala Mona lembut terus berubah menjadi kasar. "Makanya putus, ogeb banget sih."

Mona mencebikkan bibirnya. "Lo ngeselin. Dukung kek, malah nyuruh putus."

"Ini salah satu cara gue buat mendukung lo. Lupa ya? Dulu lo ngurusin kisah cinta lo sendiri, gak mikirin gue, ninggalin gue mulu. Rasain tuh. Karma 'kan? Dulu lupa temen, sekarang dapet pacar tapi berengsek, ups, lupa gue kalo Matt masih temen gue," ucapku dengan nada sarkas.

Mau bagaimana lagi? Memang aku agak sakit hati, dulu Mona benar-benar sibuk dengan Matt. Aku mah cuma apa sih? Kalau inget didatengin, kalau lupa ya sudah. Sekarang malah Matt kayak orang super menyebalkan. Lucu memang, dulu Matt depresi banget lihat Mona yang nggak peka, tapi sekarang malah bertingkah jadi orang berengsek.

"Ya maap."

Aku tertawa kecil melihat respon Mona yang merasa bersalah.

"Gue terserah lo, Mon. Ini baru sebulan tapi cowok lo kayak kepelet sama Raya. Apa kabar dua tahun nanti? Bisa-bisa diperbudak lo."

Mona hanya diam seolah tidak ingin membalas ucapanku.

***

Hari ini aku absen latihan basket lagi. Yah, aku sudah menceritakan masalah pribadiku ke pelatih kesayangan itu. Dan dia menyemangati agar masalah yang kualami bisa cepat selesai, aku tahu, dia tidak akan memberi ijin bolos kalau tidak tahu masalah apa yang kualami. Meski begitu, aku merasa rahasia ini aman di tangannya.

Aku berjalan ke arah ruang makan, berharap ada masakan yang tersaji di sana. Sayangnya, tidak ada. Aku sudah bisa menebaknya, tapi masih berharap seperti orang bodoh.

Langkah kakiku berhenti di depan pintu kamar mama. Samar-samar aku mendengar isakan dari bibir mama. Tubuhnya terbalut selimut dan menggenggam pigura foto Kak Khara.

"Ma, sudah makan?" tanyaku lembut. Aku mendatangi mama dan mengelus lembut puncak kepalanya. Tidak ada reaksi apa pun dari mama.

Kamar beraroma bunga mawar ini selalu menjadi kesukaan mama, entah kenapa kamar ini terasa sendu dan memilukan. Aku memandangi mama dengan miris. Tubuhnya benar-benar menjadi kurus.

"Khari lagi berusaha cari Kak Khara. Mama harus kuat biar bisa ketemu Kak Khara," hiburku.

"Ini salah Mama. Khara gak bakal mau ketemu Mama," racaunya.

"Aku cariin makan ya, Ma?" ucapku lembut dan mengelus punggung mama pelan.

Tanganku membuka ponsel mencari aplikasi pesan antar makanan online. Ada yang jual bubur siang-siang gini gak ya? Jariku terus men-scroll turun rekomendasi-rekomendasi restoran yang diberikan aplikasi ini. Jariku berhenti begitu nama restoran yang sangat tidak asing, ah restoran kesukaan Kak Khara. Apa aku belikan mama makanan di sini aja ya?

"Ma, aku belikan mama makanan ya. Mama tunggu ya."

Aku memesan satu nasi goreng dengan ayam saos inggris kesukaan Kak Khara. Mungkin mama bisa lebih bersemangat makan.

Selagi menunggu abang ojek memesan makanan. Aku kembali ke kamar. Hari ini hanya mama yang ada di rumah.

Kakiku berhenti di meja milik Kak Khara. Kamu di mana sih, Kak? Jangan melakukan hal bodoh, kamu orang yang paling aku kagumi. Aku nggak mau lihat kamu melakukan hal bodoh itu, Kak.

Dengan lancang, tanganku membongkar barang-barang milik Kak Khara. Mungkin aku bisa menemukan sesuatu. Meski terakhir kali melakukannya, aku tidak bisa menemukan apa pun.

Aku membuka laci Kak Khara. Banyak foto-foto diri Kak Khara dengan teman-temannya, foto denganku dan Kak Khira, juga foto papa dan mama. Aku mengambil fotoku dan Kak Khara. Di sana kami berekpresi konyol, aku ingat peristiwa ini. Kak Khara menghiburku yang baru saja putus dari cowok brengsek tukang selingkuh. Memang aku tidak punya minat untuk jalan-jalan, tapi Kak Khara memaksaku. Hingga kami berakhir dengan photo box.

Tanpa aku cerita, Kak Khara selalu tahu apa yang aku rasakan. Pernah dulu, aku tidak sengaja menggunakan uang sekolah untuk membeli bola basket. Yah, saat-saat aku baru tergila-gila dengan basket. Kak Khara meminjamiku uang tabungannya, padahal uang itu mau dipakai Kak Khara untuk membeli novel Harry Potter.

Aku benar-benar merepotkan sekali, ya?

Suara ponsel berdering mengagetkanku dari kilasan-kilasan masa lalu. Buru-buru aku mengangkat telepon dari nomor tidak dikenal itu.

"Halo?" tanyaku.

"Halo, Mbak. Saya sudah di depan rumah. Dari tadi diketuk, tidak ada yang bukain pintu, Mbak," ucap lelaki di seberang sana.

"Oh, abang ojek ya?" tebakku semangat dan setengah berlari menuju pintu depan. Sambungan teleponku sudah mati sejak beberapa saat lalu. Tampaknya si abang ojek nggak mau buang-buang pulsa.

Sosok lelaki yang masih cukup muda dan jaket berwarna hijau cerah menampilkan senyum bahagia begitu aku membuka pintu. Mungkin dia takut kalau aku melakukan pesanan iseng yang membuatnya rugi.

"Ini, Mbak. Lima puluh ribu, Mbak."

Aku memberikan abang ojek selembar lima puluh ribuan dan bonus senyum manis dariku. Siapa tahu nanti doi makin semangat kerjanya. Ya 'kan?

Dengan segera aku berlari kecil ke meja makan. Aku mengambil piring dan sendok, mengambil nasi goreng dan ayam saos inggris ke piring. Tentu saja tidak semuanya, mama tidak akan bisa menghabiskannya.

Aku benar-benar berharap bisa membuat perasaan mama menjadi lebih baik.

Aku mengetuk pelan pintu kamar mama. Tampaknya, mama tadi tertidur, tubuhnya menggeliat kecil.

"Ayo makan, Ma," ajakku. Aku menghampiri mama dan duduk di ranjang.

Tanganku mencoba menyendokkan nasi ke mama. Meski tampak enggan, mama membuka mulutnya. Tahu-tahu mama menangis keras, aku sampai kaget dibuatnya.

"Ini kesukaan Khara," ucap mama sembari terisak-isak. "Khara di mana? Sudah makan belum?"

Damn. Kamu bodoh, Khari. Kalau begini caranya, mama malah tidak mau makan. Otak cuma sebiji sih begini, nggak bisa mikir dengan benar.

Aku berusaha menenangkan mama, tapi nihil. Mama terisak dan tidak mau makan. Tubuhnya dibungkus masuk ke dalam selimut.

"Ma, jangan gini dong. Mama makan dulu ya? Aku beliin yang lain ya, Ma?" bujukku.

"Mama maunya Khara, bukan kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top