Bab 3 - Aksi Bolos

Aku tidak pernah menduga kalau selama ini hanya membuat Kak Khara terbelenggu dalam emosinya. Sebenarnya, yang aku tahu, aku suka dengan Kak Khara. Sayang padanya, ingin dekat dengannya.  Terlalu sempurna, dua kata yang tepat untuk mengungkapkan segala sesuatu yang terlukis pada diri kakakku itu. Wajah terlampau cantik dan setara dengan artis-artis Korea yang katanya penuh operasi plastik, sedangkan Kak Khara tanpa oplas sana-sini sudah membuat kaum adam tergila-gila. Belum lagi molek tubuhnya yang memang aduhai, tidak gendut, tidak kurus. Tidak terlalu menonjolkan suatu bagian tubuh juga. Dengan egoisnya, Tuhan juga memberikan kepintaran yang luar biasa untuk Kak Khara. Kemampuan di luar rata-rata, IQ superior yang membuat iri manusia di bumi.

Terkadang aku merasa Tuhan terlalu egois, mungkinkah dia terlalu menyukai Kak Khara hingga begitu indahnya diciptakan? Aku bukannya iri, yah iri, tapi sedikit. Lebih banyak bangganya kok. Hanya saja, tidakkah Tuhan merasa kasihan padaku? Meletakkan manusia yang tidak memiliki kemampuan apa pun dalam keluarga ini.

Memang Kak Khira tak sehebat Kak Khara, bahkan tubuhnya juga cukup bantet meskipun begitu parasnya sangat cantik. Masih sebelas dua belas kok kalau dibandingkan Kak Khara. Sudah begitu, kemampuan Kak Khira dalam seni selalu diakui bahkan dia mulai menggeluti dunia make up. Sering diundang dalam workshop menjadi pembicara.

Jangan bandingkan deh sama aku. Cuma upil yang hinggap di kedua kakakku. Tinggi pas-pasan padahal tiap hari kerjaannya main basket di lapangan, kulit belang-belang kebanyakan nyemil matahari, rambut acak-acakan kayak orang gak pernah keramas (mandi aja males banget). Belum lagi lemak di perut yang cukup bikin mual kalau mau pakai baju agak seksi. Parahnya lagi, hobi banget remidi. Jelas banget otakku di bawah rata-rata. Kalau ditanya apa masa depanku? Mau kuliah apa? Mau kerja jadi apa? Jawabanku cuma nanti aja dipikir.

Bukannya berniat marah pada Tuhan atau bagaimana, tapi aku tidak salah ‘kan jika merasa ini tidak adil?

Aku tertawa miris, bukan saatnya memikirkan hal itu. Seharusnya, aku memikirkan di mana Kak Khara. Sudah lima hari berlalu, tapi tidak ada perkembangan apa pun. Kak Khira juga cukup membuat otakku mau pecah. Tiap hari yang dilakukan hanya mencari masalah denganku. Iya, iya, aku tahu kok, aku yang salah, aku pendosanya di sini. Hanya saja, apa dia tidak bisa sedikit memberiku dukungan? Memangnya, aku tidak depresi? Aku di sini juga pusing, depresi, mau marah juga, mau teriak-teriak, mau bunuh diri juga (tapi takut sama neraka).

Klaksonku terus berbunyi nyaring menembus kemacetan Kota Jakarta yang tidak ada istirahatnya. Nggak capek ya? Macet terus tiap hari, yang lihat tuh pusing. Lampu merahnya cuma satu tapi kenanya sudah lima kali, kalau gini caranya kapan sampainya? Ini salah satu alasan, aku tidak memilih sekolah di tengah kota. Bisa mati kena macet.

Terkadang aku setuju dengan ucapan Kak Khara yang memilih untuk tinggal di kota kecil, di mana cuma ada sawah dan pedesaan. Di dekat gunung lebih baik, udaranya sejuk. Ah, aku kangen sekali sama Kak Khara. Coba saja aku sadar kalau semua yang kulakukan itu salah. Harusnya aku tidak egois, aku kira semua yang aku lakukan ini sudah benar. Aku hanya ingin dekat dengan Kak Khara. Kalau harus dekat dengan Kak Khira, nggak mau. Aku nggak mau. Jahat, bawel, egois, siapa yang mau dekat-dekat sama dia? Baik kalau ada maunya aja.

Tanganku merogoh saku mengambil ponsel yang terus-terusan berbunyi nyaring. Siapa sih yang telepon? Satu nama yang kubaca di sana. David. Ternyata ada yang nyariin, kirain sudah lupa semua sama aku. Hahaha.

“Halo, Vid?”

“Lo di mana? Kok bolos terus sih? Dari tadi gue telepon juga!” Aku bisa merasakan nada suara David yang sedang bete abis.

“Ada urusan. Gue udah chat ‘kan? Lo kangen ya sama gue?” jawabku mencoba melucu meskipun aku tahu tidak ada yang lucu. Tidak satu pun peristiwa ini yang lucu.

Aku bisa mendengar David menggeram, mirip macan. “Lo udah tiga hari bolos, Bego! Lo ada masalah apa sih? Bilang gue!”

“Apa sih? Lo kok kasar gitu sih,” jawabku sembari tertawa. “Gue cuma ada urusan gitu. Besok gue masuk deh. Bye. Udah lampu hijau ini,” bohongku dan langsung mematikan telepon secara sepihak. Aku melemparkan ponsel ke bangku sebelah yang kosong.

Bukannya aku tidak mau cerita. Jujur saja, menahan semua ini sendiri rasanya berat. Butuh tempat bersandar. Mau cerita ke Mona tapi doi lagi banyak masalah sama Matt. Kayaknya, nggak pantes juga numpuk-numpukin beban pikiran dia. Kalau cerita ke David, yah, bisa sih. Hanya saja, aku takut. Takut dengan apa yang dia pikirkan tentang aku, takut dengan apa yang dia pikirkan tentang keluargaku. Aku takut dia malah menjauhiku. David itu orang terobjektif yang pernah aku kenal, aku takut kalau ceritaku bakalan membuat hubunganku sama dia merenggang. Di saat-saat begini, Mona sudah tidak bisa diharapkan, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan David.

“Ah, gak tahu deh!” pekikku bersamaan suara klakson yang tidak sengaja kupencet. Bisa kurasakan hawa-hawa ingin membunuh dari para pengendara motor di dekatku. Ups.

Aku menancapkan gas dan segera menuju satu-satunya lokasi yang ingin segera kudatangi. Kantor polisi. Tadi pagi, Inspektur James menelponku –sebenarnya, aku dulu mengingatnya dengan sebutan Inspektur Terong gara-gara kebiasaan Mona yang selalu menyebut si Inspektur dengan nama yang tidak sepantasnya— katanya, ada kabar tentang kak Khara. Aku memang sudah melaporkan kejadian Kak Khara langsung ke Inspektur James, karena aku tahu dia pasti mau membantuku. Memang sih dia agak ngeselin setengah mati, apalagi temannya yang kapan hari ikutan dalam penggebrekan gedung dekat sekolah.

Hari-hari di rumah membuatku ingin meringis saja. Apalagi melihat keadaan mama, yang hanya terbaring di kamar tidak mau makan, tidak mau bicara, hanya memeluk foto Kak Khara. Papa sudah memanggilkan psikolog untuk membantu menangani mama, tapi belum ada hasil apa pun. Mama masih sama saja, tidak mau melakukan apa pun. Badannya pun sudah terlihat semakin kurus, padahal baru beberapa hari kejadian ini. Seolah setiap harinya, mama menunjukkan keingin untuk mengakhiri hidup. Papa harus membujuk mama mati-matian untuk mau makan, itu pun hanya beberapa suap saja. Kak Khira juga tidak banyak membantu, selain mengajakku berkelahi, dia sama sekali tidak berusaha mencari Kak Khara, papa tidak terlalu ambil pusing dengan Kak Khira dan hanya mendiamkan saja. Mungkin papa sendiri sudah terlalu lelah mengurus ini dan itu, belum juga urusan kantor.

Hanya aku dan papa yang berusaha mengusahakan semuanya. Padahal kami butuh tangan yang lebih banyak untuk membantu.

Aku keluar dari mobil begitu tiba di kantor polisi. Mataku sudah bisa menemukan orang yang kucari. Tubuhnya memang terbilang tinggi dan atletis, juga wajahnya yang masih muda dan cukup tampan. Aku akui jika Inspektur ini mirip dengan yang ada di drama-drama Korea. Hari ini, dia tidak mengenakan seragam polisi, hanya kaos polos hitam yang memamerkan bentuk tubuhnya secara jelas.

Tangan kulambaikan pada Inspektur James yang langsung dibalas dengan anggukan. Dia sempat berbincang sebentar dengan rekannya sebelum mendatangiku.

“Gimana keadaan di rumah?” tanyanya yang pasti cuma basa-basi.

“Makin parah dari yang terakhir kali aku ceritain. Udah mirip neraka,” jawabku. Memang Inspektur James tahu tentang keadaan rumah karena dia bertanya padaku. Mungkin dia sering menangani masalah anak remaja, waktu itu dia sangat mendukungku yang memang sangat depresi.

“Tapi kamu keliatan lebih baik dari kapan hari, kamu harus kuat. Kalau tidak ada yang bisa diandalkan, cuma bisa andalkan diri sendiri. By the way, dari dugaanku dan pastinya, kakakmu sudah tidak ada di Jakarta. Dia cukup pintar, uang di atm dia ambil dari jauh-jauh hari. Dia tidak naik pesawat atau pun kereta. Namanya tidak tertera di stasiun dan bandara mana pun. Saya sudah coba hubungkan dengan CCTV, tapi jejaknya hilang. Terakhir tercatat, dia sedang pergi ke kampusnya. Namun, kampusnya juga waktu saya datangi, saya tidak bisa menemukan apa pun. Mereka mengaku tidak ada yang melihat Khara. Jejak CCTV-nya juga yah, tidak ketemu. Tim saya masih mencoba mencari lagi jejaknya. Untuk saat ini kamu tetap bantu dengan hubungin semua teman-temannya, kamu ingat-ingat lagi mungkin Khara sempat mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa ini.”

Inspektur James menunjukkan rekaman CCTV yang sudah di-print. Di sana ada Kak Khara yang membawa ransel cukup besar. Dilihat dari tampilannya, sudah pasti akan pergi jauh. Aku mendesah pelan, rasa pusing terus menghinggap di kepalaku.

“Jangan lupa jaga kesehatan. Kamu nggak ada cerita ke teman-temanmu?” tanya Inspektur sembari menepuk punggungku pelan.

“Nggak cerita, rasanya kayak mengumbar aib.”

“Yah, saya tahu rasanya kok. Dulu juga adik saya pernah kabur dari rumah, katanya dia iri sama saya. Makanya, sekarang saya jadi polisi, gara-gara peristiwa itu. Konyol sih. Dulu saya maunya jadi dokter, tapi sejak kejadian itu pikiran saya berubah. Saya mau jadi polisi, seolah bisa melakukan satu langkah di depan dibanding dengan dokter. Saya tahu ini berat buat kamu, tapi saya pasti bantu kamu kok. Jangan khawatir, bilang sama papamu juga ya.”

Aku hanya mengangguk pasrah, tidak berniat menjawab. Seolah bibirku kelu, bahkan mataku sudah berkaca-kaca. Kenapa sih harus terjadi padaku? Apakah Tuhan memang membenciku?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top