Bab 2 - Di Mana Khara?

"Khara mana? Siapa yang lihat Khara?!" Teriakan mama di pagi hari seolah menusuk gendang telinnggaku hingga berdarah. Dengan energi yang entah berasal dari mana, membuat mataku dipaksa membuka.

"Kenapa sih, Ma?" omelku. "Kak Khara kuliah, 'kan?"

"Iya nih apaan sih, Ma? Pagi-pagi teriak gitu. Aku ngantuk tahu, keluar dong, Ma. Jangan teriak-teriak di sini," tambah Kak Khira.

Aku merapatkan selimut yang sempat tertendang kakiku. Udara pagi ini terasa lebih dingin dari hari biasanya. Mama menarik selimutku, aku melirik Kak Khira selimutnya juga diambil mama. Duh, benar-benar deh. Mama ini kenapa, sih? Toh, Kak Khara emang biasa berangkat pagi. Lebay banget, sih.

"Kalian ini ngerti mama lagi khawatir nggak sih? Bantuin cari Khara. Telpon temennya, masa jam lima pagi gini udah nggak ada di rumah? Kan nggak mungkin. Mama tahu Khara rajin tapi nggak segila itu sampai udah pergi dari rumah jam lima kurang. Mobilnya juga ditinggal nggak dibawa. Naik apa coba anak itu?" Mama mulai mencubiti tubuhku yang tampaknya meninggalkan memar. Maklum, tangan mama tuh kayak capit kepiting, sakit banget.

Dengan masih bersungut-sungut, aku memaksa tubuhku untuk bangkit. Tanganku meraba-raba nakas mencari keberadaan ponsel kesayanganku, tentu saja dengan mata tertutup. Mama ini nggak tahu apa ya kalau aku baru tidur jam satu gara-gara tugas sialan dari Pak Sipri.

"Khira astaga! Bangun!" Aku bisa merasakan kemarahan mama yang sudah di ujung tanduk melihat Kak Khira yang masih bergelung manja dengan gulingnya.

"Apaan sih, Ma?!" bentak Kak Khira. Pecah deh perang dunia.

Aku mencoba menghubungi Kak Khara tapi suara yang muncul hanyalah nomor yang anda hubungi tidak dapat tersambung. Hem, Kak Khara ini ke mana sih? Kemarin juga nggak ada bilang apa-apa, malah kayak menghindar waktu aku ajak cerita. Apa lagi ada masalah ya? Nggaklah, ya kali dia kabur pagi-pagi buta. Udah mirip drama aja dong.

"Kamu ini ngerti dibilangin mama nggak sih, Khir?" Mama menarik tangan Kak Khira yang dihadiahi protes.

"Ya, ya, ya, duh! Giliran anak kesayangan aja yang hilang, bingung setengah mati!" pekik Kak Khira. "Coba kalo aku yang hilang, mana peduli," cibirnya pelan, tapi terdengar jelas di telingaku.

"Kak!" seruku yang ingin menunjukkan peringatan agar Kak Khira tidak melakukan hal-hal bodoh yang membuat mama lebih marah.

Aku melirik Kak Khira yang ikut-ikutan mencari ponsel. Mama keluar meninggalkan kami, aku bisa mendengar teriakannya memanggil papa. Tampaknya, papa juga dibangunkan untuk mencari Kak Khara. Ada-ada saja deh.

"Duh, mama pms pagi-pagi. Bikin gila aja," omel Kak Khira. "Kak Khara, ke mana sih? Bikin heboh aja deh. Jengkel, anjir!"

Kak Khira berjalan ke arah meja peralatan milik Kak Khara, entah apa yang mau dia lakukan.

"Lo tinggal nurut aja malah dibantah mulu, Kak," sahutku. "Nurut gitu kek. Lo keknya nggak pernah bisa akur sama mama kalo nggak lagi ada maunya."

"Ngantuk, Bego! Halah, lo juga gitu kok. Sok suci!"

"Kasar lo, Kak!"

"Apaan nih?"

Aku memperhatikan Kak Khira membuka sebuah kertas yang terlipat rapi. Kak Khira terdiam seolah sibuk membaca tulisan yang ada di kertas itu. Sebelum sempat kutanya apa isinya, wajah Kak Khira sudah memandangku dengan tatapan takut.

"Kenapa, Kak?"

"Mama! Kak Khara kabur!" pekik Kak Khira.

Tanpa sadar ponsel dalam genggamanku sudah jatuh bergesekan dengan lantai. Aku mengambil kertas di tangan Kak Khira untuk membuktikan semua itu adalah bohong. Namun, yang kutemukan hanyalah sebuah keputusasaan Kak Khara. Rasa tak suka saat aku terus mengganggunya. Dan keinginannya untuk ... bunuh diri.

Surat di tanganku sudah berpindah tangan ke mama, ada papa di sebelahnya. Aku bisa merasakan wajahku sudah basah oleh air mata. Mama berteriak histeris, aku sangat takut. Aku penyebab semua ini. Memang Kak Khara tak menyalahkanku sepenuhnya, tapi dia sudah muak denganku.

"Ini semua salah kalian!" ucap Kak Khira yang membuat hatiku semakin perih. "Kalian penyebab semua ini. Kenapa papa sama mama selalu nuntut Kak Khara? Apalagi lo! Cuma bisa nuntut dan ngemis doang, Khar!"

"Dua minggu lagi ulang tahun Khara," ucap mama dengan nada sendu. "Khara nggak boleh mati!" seru mama. Nada suara mama sangat sendu, mendengarnya membuat hatiku seolah teriris.

***

Aku tidak pernah menyangka jika keluarga yang selalu kubanggakan, bahkan terlalu bahagia karena memiliki mereka. Dalam sekejap, semua itu hancur berantakan. Aku tidak pernah menyangka kalau semua ini akan terjadi.

Papa sibuk menenangkan mama dan menelpon polisi. Papa juga sempat menenangkanku. Namun, kata-kata yang terus keluar dari bibir Kak Khira menghantamku dengan kenyataan. Aku dan Kak Khira di dalam kamar sempit ini ditemani semua makiannya.

"Dasar benalu nggak tahu malu! Sadar nggak lo? Kak Khara kabur gara-gara lo, dia udah nggak kuat tapi lo bikin dia makin kesiksa. Ngemis mulu kerjaan lo! Manja mulu! Punya otak nggak? Lo tuh saudara apaan sih? Hah?!" bentak Kak Khira.

Aku tidak tahu kalau ini semua salahku. Harusnya aku tidak seperti itu, harusnya aku tidak memaksa Kak Khara, harusnya aku bisa menghentikkan semua ini. Namun aku egois.

Aku tahu ucapan Kak Khira tidak salah. Semua benar. Cuma benalu yang menggesekkan dirinya di bunga cantik sembari berharap bisa menjadi bunga itu. Yah, itu aku. Mungkin di waktu lain, aku hanya menganggap kata-kata Kak Khira hanya anjing menggonggong. Namun, kali ini semuanya terasa menusuk dan menyakitkan.

Rasa sakit yang menjalar tiba-tiba di rambutku membuatku memekik. Yah, Kak Khira menjambakku dan menarik tubuhku sampai terjatuh di lantai. Aku berusaha melepaskan diri, tapi tarikan yang kurasakan lebih kuat dari sebelumnya.

"Tolong!" jeritku tak karuan.

Pintu kamarku dibuka dengan keras. Ada suara pekikkan papa, dia mungkin kaget melihat Kak Khira yang memang biasanya kasar menjadi beringas. Aku pun ketakutan setengah mati. Aku merasakan tangan papa yang menyentuhku dan berusaha menyingkirkan Kak Khira.

"Khira, jangan keterlaluan gitu!" seru papa.

"Papa masih mau belain dia? Dia yang bikin Kak Khara hilang! Ah, atau papa karena papa juga pelaku di sini? Makanya, para pelaku saling bela? Coba papa pikir, karena ulah siapa semua ini? Kita bahkan sudah telepon semua temen Kak Khara, tapi apa? Nggak ada yang tahu dia di mana! Setidaknya, kalau papa masih punya hati nurani, harusnya papa tahu! Kita harus nyingkirin anak ini, Pa. Biar Kak Khara balik! Kita cuma punya waktu dua minggu, Pa," ucap Kak Khira dengan nada yang meremehkanku dan terkesan jijik.

"Kalian bertiga itu anak papa. Nggak ada yang harus dibuang. Sekarang ini kita harus lebih kuat dari sebelumnya, bukan bertengkar seperti ini. Papa tahu, ini berat buat kita semua. Papa tahu, ini salah papa. Mama kalian sudah depresi. Tolong, kalian jangan membuat semuanya lebih buruk lagi. Tolong, kalian bantu papa. Sungguh, papa butuh kalian berdua. Papa janji akan berubah."

Aku hanya diam di dalam pelukan papa. Menahan isak tangis yang ingin kukeluarkan saat ini, tapi aku tahu ini bukan waktu untuk menangis.

Papa membawaku keluar dari dalam kamar. Mungkin biar Kak Khira lebih tenang tanpa ada aku di dalam. Semuanya mendadak kacau hanya dalam hitungan jam.

"Tolong, kamu bantu papa ya. Bantu cari di mana kakakmu. Sekarang kamu mending sekolah dulu, belum telat, 'kan? Biar Khira juga bisa lebih tenang. Nggak apa-apa?" tanya papa lembut sembari mengelus puncak kepalaku. Hanya sebuah anggukan yang mampu kuberikan.

***

Kharita: Vid, nggak usah jemput gue. Otw sendiri aja ya.

Aku mengambil tasku pelan-pelan tanpa menimbulkan suara. Kulihat Kak Khira tengah tertidur, mungkin dia juga lelah pikiran dan tenaga. Semua orang sedang syok. Aku tidak mau membuatnya lebih membenciku lagi.

Papa mengizinkanku membawa mobil, mungkin biar aku bisa membantu papa mencari Kak Khara nanti usai pulang sekolah.

Aku bahkan melewatkan sarapan pagi yang memang tidak mungkin bisa disediakan. Sebelum berangkat, aku sempat berpamitan ke mama yang hanya tergeletak lesu di kasur seperti tanpa ada harapan hidup.

Yah, sungguh buruk.

Hal yang harus kulakukan di sekolah pun adalah bertindak seolah semua baik-baik saja. Tidak mungkin aku mengatakan soal Kak Khara yang kabur. Semua orang bisa mengira yang tidak-tidak tentang Kak Khara. Apalagi ini semua gara-gara salahku.

Tidak pernah kurasakan perasaan begitu berat seperti sekarang ini. Apakah hidupku terlalu bahagia selama ini? Atau mungkin ini semua karena aku terlalu menikmati semua kebahagiaanku tanpa memikirkan orang lain? Aku rasa, aku tidak tahu jawaban mana untuk permasalahanku.

Semua ini mencekikku. Memang aku bisa bernapas tapi setiap embusan ini sangat menyiksa.

Aku melangkahkan kakiku ke dalam kelas dengan mencoba membuat ekspresi seperti biasanya.

"Khari," pekik Mona dari bangkunya. "Sini buruan!"

Aku setengah berlari mendatanginya. "Apa sih, Mon?" tanyaku bingung. Dari raut wajahnya, dia bukan mau menceritakan sesuatu yang bagus.

"Matt bikin kesel deh. Serius gue udah nggak kuat."

"Ya udah putus aja," balasku singkat. Aku mendaratkan pantat di bangku sebelah Mona. "Daripada beban pikiran."

"Dia bilang kalo gue kayak gini terus dia mau putus."

"Ya bagus, 'kan."

"Kok gitu sih, Khar? Please, bantuin gue dong. Kasih solusi kek."

"Solusi gue buat lo cuma putus atau buang Raya ke rawa-rawa."

Mona berdecak sebal namun tidak berniat membantahku. Maaf ya, Mon. Aku sendiri juga sedang pusing. Lebih baik masalahmu dibandingkan yang kuhadapi. Aku bahkan tidak tahu di mana Kak Khara dan sangat takut jika dia benar-benar akan bunuh diri.

"Gue pusing, Mon."

"Lo pusing kenapa, Khar?" Nada suara Mona terdengar khawatir.

"Kurang tidur keknya. Gara-gara Pak Sipri," jawabku sembari tertawa.

"Dasar! Gue kira lo lagi kenapa-kenapa."

Memang, Mon.

***

"Mau lo sama Mona apa sih? Lo jangan giniin Mona terus dong, Matt. Gue pusing kena masalah kalian," ucapku pada Matt. Mona sedang tidak ada di kantin gara-gara urusan OSIS, jadi aku bisa membahas masalah percintaannya dengan Matt dan David.

"Ya jangan diurusinlah. Urus masalah lo sendiri." Matt menjawabku dengan nada super pongah. "Sok bijak banget sih ngurusin masalah orang."

"Lo kok kasar banget sih? Lo lupa dulu gimana setiap hari gangguin gue? Padahal, lo harusnya tahu Raya suka sama lo, lo tinggal jauhin Raya. Sayangnya, otak bego lo malah bikin semua ini rumit. Kalo lo cuma pacaran buat nyakitin Mona, mending lo nggak usah pacaran. Lo kayak gini terus, gue nggak yakin sama kata-kata lo dulu," balasku. "Gue sayang banget sama Mona. Makan tuh tai, Matt."

David melirikku dengan tatapan seolah mengatakan tolong, jangan kasar banget kata-katanya. Padahal yang mulai duluan itu Matt, aku mencoba bicara baik-baik.

"Khari bener, Matt. Gue juga sadar kalo Raya suka sama lo. Dan kok kayaknya lo kasih ruang Raya buat deketin lo. Lo suka diperhatiin dia? Hargain perasaan Mona juga, Matt," tambah David dengan nada yang jauh lebih enak didengar daripada aku.

"Kok gue terus, sih? Salahin Mona juga dong. Masa kerjaannya tiap hari curiga mulu, ngajak berantem mulu. Gue juga nggak tahan kalo gini! Memang harus gitu ya? Cewek mulu yang dibelain! Coba dong, hargain posisi gue!"

Matt bangkit berdiri meninggalkan kami berdua. Bahkan makanannya masih belum habis setengah. Aku memperhatikan Matt yang terus menjauhi kami, sampai mataku bertemu dengan gadis yang menghampiri Matt. Sialan, gadis itu lagi.

Matt menurut saja saat tangannya disentuh gadis itu. Ah, kasihan banget Mona. Aku menghela napas panjang. Masalah yang tidak akan pernah berakhir.

"Lo capek nggak sih?" tanya David membuyarkan lamunanku.

"Banget, Bangs*t."

"Ih, kasar banget lo, Khar."

"Banyak masalah dan gue muak."

"Lo lagi ada masalah?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top