Bab 1 - Kharita Aprillia
Kalau definisi pagi yang indah adalah bangun subuh dengan pose tidur syantik, kurasa itu hanyalah film-film karya Disney. Nyatanya, aku bangun dengan terkaget-kaget karena suara mama yang menggelegar di gendang telinnggaku. Aku merasa seolah jiwaku nyaris ditarik oleh Sang Maha Kuasa karena tidak sanggup menerima kenyataan. Kenyataan kalau sekarang sudah pagi.
Dengan mata setengah terpejam, aku menemukan Kak Khara yang sedang bercermin. Dia sibuk menyisir rambutnya. Aku bingung dengan kakakku satu ini, yang aku tahu masa kuliah adalah kita bebas menyusun jadwal dan datang sesiang mungkin. Beda dengan Kak Khara, sejak masuk kuliah, jadwal yang dia susun selalu masuk pukul tujuh pagi dan pulang pukul dua belas siang.
"Duh cantiknya," pujiku masih dengan mata setengah terpejam dan tubuh bergelung dalam selimut.
Kak Khara melirikku sembari tersenyum. "Sana bangun. Dasar kebo!" ejeknya.
"Kak, kok lo milih buat masuk pagi sih? Gue kalo jadi lo pasti baru masuk kuliah jam 12 terus liburnya kalo bisa dua hari," cetusku sembari tertawa. Aku memaksakan tubuh untuk bangun dari kasur.
Pandanganku beralih ke Kak Khira yang masih terlelap. Dia mah masih masuk kuliah siang, definisi anak kuliahan yang akan aku ikuti jejaknya.
Kak Khara memoles tipis bedak ke wajahnya. Sudah cantik, jadi makin syantik deh kayak lagunya Siti Badriah. "Biar bisa cepet-cepet di rumahlah. Emang gue suka keluyuran kayak lo sama Khira?" Kak Khara tertawa renyah.
Iya deh iya, anak sempurna mah beda sama aku. Kalau ditanya apakah aku menyangka punya kakak yang sangat sempurna seperti dia, jawabannya tentu tidak . Toh, aku sama Kak Khira ini berbanding jauh sekali dengan Kak Khara.
Tebak, siapa orang yang punya pikiran paling positif, bahkan ke orang yang benci dia? Kak Khara. Tebak siapa orang yang berusaha sendiri padahal punya orang tua yang bisa memenuhi? Kak Khara. Tebak siapa orang yang sudah diterima di perusahaan ternama padahal belum lulus kuliah? Kak Khara. Tebak siapa orang yang aku kagumi? Jelas, Kak Khara!
Aku juga nggak begitu paham kenapa Tuhan terlihat anggak tidak adil. Kak Khara punya tubuh ramping seperti artis-artis Korea yang suka joget-joget durutudurutu, apa sih liriknya? Biasanya Mona yang suka nyanyi sambil goyang-goyang. Belum lagi Kak Khara punya otak super encer sampai berkali-kali dapat beasiswa dan jelas banget ikut lomba di mana-mana. Woy, aku ini mirip eceng gondok kalau di sebelahnya. Wajar sih, papa dan mama sering banget ajak Kak Khara untuk pertemuan mereka dengan rekan kerja. Kalau bawa aku, yang ada acaranya buyar.
"Khar, dipanggil mama itu loh," ucap Kak Khara yang membuyarkan lamunanku.
"Eh? Iya iya ini gue mau mandi duh," dumelku. Aku menarik tubuhku turun dari kasur dan membiarkan selimut masih membungkus tubuhku. "Ma, Khari laper."
"Mandi dulu, Khar," omel Kak Khara dengan nada sewot.
Aku menanggalkan selimutku di lantai dan berlari ke arah kamar mandi. Aku bisa mendengar suara Kak Khara yang mengadu ke mama kalau aku tidak menata kasur. Paling juga nanti Kak Khara yang membereskan. Dia kan rajin.
Dari kecil juga sudah begitu, selalu Kak Khara yang membereskan kasur kami bertiga. Aku dan Kak Khira pasti sudah kabur duluan dengan seribu alasan. Mungkin dalam hati, Kak Khara mau punya kamar sendiri. Sayangnya, ruangan yang bisa dijadikan kamar sudah mirip dengan gudang tak terjamah.
Hanya saja, akhir-akhir ini aku mendengar kalau Kak Khira minta ke Mama dikasih kamar sendiri. Duh, aku anggak kesal dengan kakakku satu ini. Dia selalu bertingkah kekanakan dan manja. Padahal yang harusnya minta kamar pribadi tuh Kak Khara bukannya Kak Khira. Aku masih ingat Kak Khira yang merengek minta kuliah di kampus super duper elit, padahal Kak Khara masuk di kampus negeri ternama dengan jalur beasiswa biar Papa dan Mama tidak kesulitan membayar. Aneh memang, aku juga tidak suka dengan sifat Kak Khira yang berbanding terbalik dengan Kak Khara.
Aku menyeka wajah dengan air keran, langsung terasa menyengat di kulitku efek sensasi dingin yang mendadak membuat mataku jadi jreng kayak di iklan permen itu. Kalau begini sih nggak enak banget mau mandi, dingin cuy. Dengan cepat aku mencuci muka sembari menahan sensasi dingin yang tidak kunjung hilang. Setelahnya, aku menyiram air ke sembarang arah dengan gayung, biar dikira lagi mandi. Ogah banget disuruh mandi kalau airnya dingin kek kutub utara.
Kuseka tangan dan kaki dengan air biar terlihat seperti orang baru selesai mandi. Aku membungkus tubuh dengan handuk.
"Duh segernya sih, jadi syantik," candaku sembari keluar dari kamar mandi.
Sebelum perjalanan menuju kamar, tahu-tahu saja aku sudah tersesat di dapur. Aku memeluk Mama dari belakang dan mencomot daging rendang yang baru selesai dimasak.
"Khari, pake baju dulu duh. Jangan dimakanin gitu, yang lain belum makan. Ayo cepetan sana kamu, telat loh ya. Abis ini David dateng kamu belum siap."
"Duh, Mama ngomel aja," dumelku lalu berlari-lari kecil ke kamar. Biar kayak film India gitu.
***
"Lo lama banget sih, ndut," omel David sembari melahap roti Sari Roti rasa kacang yang tadi Mamaku beliin buat sogokan soalnya nunggu aku makan.
Aku meliriknya dengan malas, sembari menaiki tangga. Tega banget sih bikin kelas di lantai dua, jadi terpaksa olah raga pagi.
"Halah, lo dapet roti aja gara-gara mak gue. Kalo gue nggak lama, lo nggak dapet roti."
David berusaha menoyor kepalaku namun dengan gaya ala-ala Bruce Lee, aku menghindari toyorannya. Aku bisa mendengar desahan kecewa dari David.
"By the way, si Raya keknya beneran suka sama Matt," celoteh David, "Soalnya pas gue perhatiin makin kelihatan gitu kalau dia emang modus. Cuma si Matt nggak percaya gue bilangin gitu."
"Haduh, pusing gue kalo udah bahas mereka berdua. Mana sekarang ketambahan Raya. Udah pacaran aja masih bikin pusing."
Aku benar-benar nggak paham sih dengan hubungan Mona dan Matt yang ribet, lebih baik punya hidup kelam daripada hubungan ribet kayak mereka. Mana si Matt kadang kalau bego itu kebangetan, tapi si Mona super duper gengsi.
"Kasihan si Mona keknya badmood mulu bawaannya," tambah David.
"Ya makanya kasih tahu Matt, Vid. Lo tuh yang deket sama Matt, sama-sama cowok. Gampang ngasih tahu. Mona tuh berusaha nggak cemburu tapi ya gimana lagi, cowoknya bego sih," ucapku dengan kesal. Memang Matt keterlaluan dan dia yang salah. Pepatah yang mengatakan kalau lelaki selalu salah itu benar dan berlaku untuk Matt.
"Matt tuh polos, Khar. Ga—"
"Duh belain aja terus ya, males gue dengernya," potongku lalu berlari ke kelas meninggalkan David yang pasti memandangku dengan bingung.
"Woi, tungguin," teriak David.
***
"Mon, lo mending putus aja sama Matt kalo kek gini terus. Males gue lihatnya," bujukku yang langsung diberi death glare oleh Mona.
"Resek lo, Khar."
"Ya Matt bego sih, lo nerima orang bego berarti lo lebih bego. Dan gue nggak mau punya temen yang super duper bego."
Aku tahu, Matt tuh sayang sama Mona. Sayang banget malah. Hanya saja, kalau dia sekarang cuma nyakitin Mona terus kerjaannya. Buat apa dong? Kisah cintaku aja tidak berkembang dan harus ngurusin kisah cinta temanku. Bisa-bisa aku jadi Bunda Teresa nih.
"Khar, tuh cewek emang sengaja bikin gue kesel, tapi gue kok kepancing terus, sih?"
"Soalnya lo mau aja dibegoin," ucapku kesal.
"Jahat," gerutunya yang membuatku tertawa.
"Maaf deh, Mon."
Suara bel yang meraung nyaris membuatku terpekik kalau aku tidak sadar ini jam pelajarannya si gundul yang suka sensi. Yah, aku dan Mona baru saja sesi curhat saat pelajarannya si gundul. Siap-siaplah remidi di depan mata.
"Kantin yuk, Mon," ajakku.
Mona hanya mengekor saja tanpa semangat sedikit pun. Wajar sih, baru sebulan pacaran, tapi mereka sudah berantem mulu. Apalagi, Raya akhir-akhir ini kentara sekali sedang memonopoli Matt. Mona bahkan dimusuhi di ruang Osis lantaran mulutnya Raya yang bercerita aneh-aneh. Kayaknya sih temenku ini jadi korban fitnah. Mona kalau ditanya pasti jawabannya cuma 'Tauk deh', kan nyebelin bikin pengen makan orang.
Mataku mencari keberadaan David dan Matt dari keramaian kantin. Serius deh, punya kantin kecil dengan murid yang beratus-ratus tuh bikin sakit kepala. Belum lagi kalau sudah antri beli makan, mana jam istirahat cuma lima belas menit.
"Tuh, mereka di sana," tunjuk Mona yang menarik tanganku menuju meja kantin di pojokan.
Aku melihat Matt yang melirik sekilas ke Mona lalu sibuk bermain ponsel lagi. David mengajakku beli makan, kayaknya sih sengaja mau kasih waktu buat mereka berdua.
"Berantem mulu, bosen gue."
"Gue juga, Khar. Lama-lama gue jadi motivator aja deh, cocok keknya buat gue. Keseringan jadi konseling cinta."
Aku tertawa menanggapi ocehan receh dari David. Tolong, selera humorku miskin sekali.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top