My Side [End]
Di sebuah ruangan yang gelap dan pengap, ia terduduk di lantai dengan kedua tangan diikat ke belakang.
Tak henti-hentinya ia melemparkan tatapan tajam pada lelaki yang sedang mengetuk-ngetukkan pisau ke telapak tangannya.
Beberapa kali ia mencoba untuk membebaskan diri dari ikatan tali yang mengikat tangannya, namun tidak bisa. Ikatan tali tersebut terlalu kencang.
Lelaki itu sangat tahu bahwa, korban yang sedang berlutut di hadapannya mempunyai kekuatan yang hampir sama dengannya. Mengikatnya dengan tali sebanyak 2 lapis memang tidak salah.
"Kau ... mau apa?"
Lelaki berambut biru--yang merupakan korban bertanya dengan nada dingin, tersirat kekesalan di setiap katanya.
Di depannya, lelaki berambut merah--Karma-- terdiam sebentar, lalu menodongkan pisau yang mengkilap itu di depan wajah si lelaki berambut biru.
"Menjadikanmu boneka."
Dengan entengnya ia menjawab, lalu menyeringai lebar. Mendengar hal itu, si biru memberontak dan berusaha untuk melepaskan diri.
"KAU GILA!"
Ia berteriak dan tetap memberontak agar bisa melepaskan diri dari tali yang mengikatnya itu.
"Memang."
Karma menempelkan mata pisau tersebut ke pipi si biru, lalu menggoresnya membentuk sebuah garis panjang sampai ke ujung bibirnya.
Warna merah pun mengalir perlahan dari goresan tersebut, membuat si biru meringis kesakitan.
"BANGSAT!"
Ia berteriak lagi dan memaki lelaki berambut merah itu. Karma menjauhkan pisaunya lalu memicingkan mata.
Tiba-tiba saja kaki kanannya tergerak atas kehendaknya dan menginjak kepala si biru cukup keras--membuat wajahnya menyentuh lantai.
Gesekan antara luka goresan dipipinya dan lantai yang dingin itu membuat rasa sakit di dadanya bergejolak. Rasa perih dari gesekan itu tidak bisa tertahankan.
Kaki kanan yang berada di kepala si biru, ia injak berkali-kali lalu alas sepatunya ia gesekkan pada rambut si biru.
"Kau yang bangsat."
Karma membalas dengan nada datar. Kakinya berhenti, namun masih berada di atas kepala si biru.
Pisau yang sudah ternodai darah lelaki di depannya itu, ia ketuk-ketukkan pada telapak tangannya.
"Apa kau lupa, kejadian 7 tahun yang lalu?"
Si biru membelalakkan mata. Bagaimana bisa, kejadian yang sudah lama terjadi, diungkit-ungkit kembali?
Dia pikir ... lelaki bermarga Akabane itu ... tidak mempunyai dendam padanya.
Kejadian itu ... dimana ia mengalahkan Karma pada saat bertarung untuk menentukan nasib guru mereka itu. Dibunuh, atau diselamatkan?
Pada akhirnya, lelaki berambut biru itulah yang menang.
Dia pikir ... Karma benar-benar mengakui kekalahannya...
Ternyata tidak.
Karma ... memang mengakui kekalahannya. Tapi, tidak tulus dari dalam hati.
Ia menurunkan kakinya, lalu menggunakan ujung sepatunya untuk mengangkat paksa dagu si biru.
Tatapannya ... menatap Karma kesal. Tidak, lebih tepatnya--ia marah.
Jika saja tangannya tidak diikat oleh tali bodoh itu, ia sudah bisa melawan sekarang.
"Hee~ Lihat wajahmu itu."
Karma tersenyum. Semakin ia menunjukkan ekspresi bahagianya itu, semakin kesal si biru melihatnya.
Ia mendecih. Menggerakkan kepala--agar kaki laknat lelaki berambut merah itu menjauh dari wajahnya.
Melihat hal itu, Karma menjauhkan kakinya. Menatap lawan bicara dengan tatapan datar dan berkacak sebelah pinggang.
"LEPASKAN AKU!"
Si biru berteriak lagi, membuat Karma terdiam dan menunduk.
Kali ini ia benar-benar memberontak. Mengingat kedua kakinya yang tidak diikat, ia bisa saja melakukan kekerasan dan melawan Karma menggunakan kakinya.
Seringai lebar muncul di wajahnya. Kaki panjangnya itu terangkat lalu menendang si biru pada bagian wajah. Membuat ia terpental cukup jauh dan meninggalkan memar biru disertai warna merah yang mengalir dari dahinya.
Tubuh kecilnya yang terpental itu menabrak dinding dengan sangat keras. Ia merasakan tubuhnya yang mati rasa. Tak kuat menahan rasa sakit yang dialaminya saat ini.
Tak masalah jika ia mati sekarang. Daripada harus disiksa secara perlahan seperti ini.
Karma berjalan perlahan menuju lelaki kecil yang sudah terduduk lemas disana. Ia menggenggam erat pisau yang di pegangnya.
Kakinya berhenti di depan si biru, berjongkok dan menatap korbannya yang hampir mati itu.
Tangan besarnya meraih rambut si biru yang sepanjang bahu lalu menariknya. Membuat si pemilik rambut meringis kesakitan.
"Dia punya selera yang bagus ya."
...siapa?
Pisau yang berada digenggaman, ia arahkan pada rambut yang dipegangnya dan benda tajam itu pun memotong helai-helai biru tersebut.
Rambut biru yang baru saja di potong, ia jatuhkan ke lantai.
Kini, tinggal bagian kanan rambutnya yang masih panjang. Dirinya tak mampu melawan. Pandangannya pun mulai mengabur.
Ujung pisau ia letakkan di bawah dagu si biru dan mengangkatnya--agar ia dapat melihat wajah lelaki itu dengan jelas. Ia tersenyum.
"[Name] pasti menyukainya."
Mata si biru membulat saat mendengar apa yang dikatakan Karma tadi.
"[Name]...? Siapa dia?"
Ia bertanya dengan nada lirih. Matanya ia gerakkan dengan susah payah untuk menatap Karma.
Sebagai teman dekat Karma, ia sudah pasti tahu siapa saja orang yang mendekati lelaki berambut merah itu.
Tapi, ia tidak pernah mengingat ada seseorang bernama [Name] yang berada di dekat Karma.
Jadi ... [Name] itu siapa?
"[Name]? Siapa?"
Karma mengulangi pertanyaan si biru sambil menusukkan ujung pisau ke dagunya--membuat cairan merah gelap mengalir di pisau tersebut dan si biru kembali meringis kesakitan.
"Kau tidak mengenalnya?" Ia bertanya lagi, namun si biru hanya terdiam tanpa bisa merespon apapun. "Dia pacarku."
"T-Tapi [Name] itu t-tidak ada!"
Ia berkata sambil menahan rasa sakit masih bertahan. Mendengar hal itu, Karma terdiam dan menghentikkan aktivitasnya.
Itu ... hanyalah sebuah tipu daya agar Karma berhenti menyakitinya. Begitu?
Karma menarik rambut si biru yang belum sempat ia potong. Ujung pisau yang berada di dagu si biru kini berada di depan dada kirinya. Seringai lebar muncul di wajahnya.
"Kau ... bisa membuktikan bahwa [Name] tidak ada?"
×××
Pisau yang dipegangnya, ia campakkan begitu saja. Rambut merahnya diacak--menghilangkan cairan merah yang berada disana.
Ia berdiri lalu merapatkan jaket. Menatap temannya yang sudah tak bernyawa dengan kondisi yang mengenaskan. Terlalu banyak goresan dan lubang yang cukup besar akibat tusukan pisau.
"Kalau sudah seperti ini mana bisa diberikan pada [Name] ..."
Bergumam lalu menghela napas. Karma berjalan meninggalkan mayat tersebut.
Di dekat pintu, tong plastik berukuran besar berisi bensin ia pegang. Membuka tutup lalu menendangnya dan isi tong tersebut pun mengalir keluar.
Setelah itu ia membuka pintu dan meninggalkan ruangan. Korek api gas yang berada di saku jaketnya ia keluarkan.
Dihidupkannya korek api tersebut dan dilemparkannya pada rumah kecil yang berada di depannya. Api pun menyambar dengan cepat dan membakar rumah tersebut.
Tatapannya datar. Ia tak memiliki perasaan bersalah sedikitpun.
Karma berjalan menjauh dari rumah yang sudah terbakar itu. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku jaket agar terlindung dari dinginnya angin malam.
"[Name] tidak ada?" Ia mendengus, "Itu adalah hal terbodoh yang pernah kudengar."
Ia berbicara sendiri--mengulangi kata-kata yang diucapkan temannya yang sudah dibunuhnya tadi.
"Karma!"
Merasa dirinya terpanggil, ia menoleh pada asal suara. Mendapati gadis kecil dengan jaket coklat yang tebal membaluti dirinya.
"[Name]?" Karma berbalik, "Apa yang kau lakukan disini?"
Kau menyengir lebar sambil menggaruk kepalamu dan berkata,
"Ah, aku mengikutimu."
Karma terkejut mendengar perkataanmu. Mengikuti? Jarak dari rumah menuju tempat ini sangat jauh. Jika berjalan kaki, membutuhkan waktu yang lama. Maka dari itu, ia menggunakan mobil untuk pergi ke tempat ini.
Ia menghela napas pelan lalu tersenyum kecil. Karma menepuk puncak kepalamu dan berkata,
"Lain kali jangan seperti itu ya? Beritahu aku jika kau mau ikut."
Kau mengangguk mengiyakan. Menarik lengannya dan kalian berdua pun berjalan menuju mobil.
×××
"[Name]?"
Di pagi harinya, Karma terbangun dengan perasaan gelisah.
Dirimu tidak tertangkap oleh pandangannya.
Biasanya, kau akan selalu berada di sebelahnya atau membangunkannya.
Tapi sekarang tidak.
Ia berjalan menyusuri setiap ruangan. Namun, dirimu tidak ditemukan.
Duduk di sofa dan mengacak rambut frustasi, Karma tak tahu harus mencari kemana. Dapur--tempat kesukaanmu--pun tidak ditemukan keberadaan dirimu.
Jika kau pergi keluar, kau pasti meninggalkan pesan atau membangunkan Karma sejenak dan memberitahu bahwa kau akan pergi ke suatu tempat.
Tapi sekarang tidak.
"[Name] ... kau dimana?"
Ia bergumam dengan nada gelisah. Ponsel yang berada di tangan ia genggam erat-erat.
Menghela napas. Ibu jarinya menggeser layar ponsel dan membuka kontak--mencari kontakmu.
Setelah sekian lama mencari, hasilnya nihil. Kontakmu pun tak ditemukannya. Membuat matanya membulat.
"Ke-Kenapa tidak ada?"
Tangannya terus meng-scroll kontaknya dan mengetik namamu disana. Hasilnya sama saja. Tidak ada kontakmu disana.
Ia frustasi. Tangannya mengangkat poni dan ia menggigit bibir bawah kesal. Ponsel yang berada di tangannya ia genggam dengan erat lalu ia lemparkan asal.
Tak peduli dengan ponselnya yang sudah retak pada bagian layar, ia berdiri dan mengacak rambut kesal.
BRAK!
Seseorang membanting pintu apartemennya, membuatnya menoleh pada sumber suara. Dilihatnya seorang lelaki berambut spiky hitam dengan napas terengah-engah.
"Sugino-kun?"
Karma memanggil nama lelaki itu saat melihat sosoknya yang seperti sedang dikejar anjing galak.
Merasa dirinya dipanggil, ia menoleh pada Karma. Matanya pun membulat seketika.
"Ka-Karma!"
Sugino berjalan menuju Karma dan tiba-tiba saja kedua tangannya menggenggam kedua bahu lelaki berambut merah itu dan menggoncang tubuhnya.
"Na-Nagisa! Di-Dia--"
"--Aku tahu."
Sugino yang belum selesai berbicara pun sudah di potong oleh Karma. Ia terdiam, menatap Karma tidak percaya.
Kenapa ... wajah Karma terlihat setenang itu?
"Kau tahu? Kau tahu kalau dia sudah dibunuh?!" Karma mengangguk.
"Aku yang membunuhnya," Ia berucap sambil meletakkan tangannya di depan dada--memberi isyarat bahwa dia sudah membunuh temannya itu. "Kenapa?"
Sugino menjauhkan kedua tangannya dari bahu Karma--menatap Karma tak percaya.
Hari ini, dia baru saja mendapat kabar bahwa Nagisa--teman dekatnya--tewas secara mengenaskan di sebuah rumah.
Dan hari ini juga, ia sudah mengetahui pembunuhnya. Tepat di depan matanya.
"Ke...Kenapa?"
"Kenapa?" Ia berpangku tangan, "Kenapa yaa?~"
Karma mengatakannya dengan nada menyebalkan, membuat Sugino menahan napas saat itu. Kedua tangannya mengepal. Ingin rasanya ia memukul lelaki di depannya.
Apa yang telah dilakukannya itu, benar-benar tidak bisa dipercaya.
"Karena ... aku suka?"
Telinga Sugino semakin panas mendengarnya. Ia langsung melompat ke arah Karma dan mencengkram kerah bajunya. Membuat keduanya terbaring di lantai.
"KAU GILA YA?!"
Ia berteriak tepat di wajah Karma. Membuat lelaki itu menatap tajam Sugino dan menggenggam kedua tangan yang mencengkram kerah bajunya.
"Kau ini berisik sekali, Sugino-kun."
Karma berusaha untuk melepaskan tangan Sugino yang berada di kerah bajunya dan berdiri. Menyadari hal itu, Sugino semakin mencengkram kerah baju Karma dan juga menekannya.
Kepalan tangan Sugino yang menekan tulang lehernya, membuatnya sesak sekaligus nyeri disana. Karma mendecih.
Kakinya terangkat dan menendang Sugino, membuatnya terlempar ke sudut ruangan. Berdiri lalu mengelus daerah lehernya. Kilatan tajam muncul di kedua iris merkurinya.
"Kau mau membunuhku?"
Karma bertanya. Sugino yang terbatuk-batuk di sudut ruangan memaksakan diri untuk membuka matanya. Kepalanya terasa berat untuk diangkat.
"IYA! KARENA KAU SUDAH TIDAK WARAS!"
"Oh?" Memiringkan kepala, lalu mengeluarkan sebuah pisau yang entah dia simpan dimana, "Coba ulangi lagi."
Satu langkah ia berjalan, membuat jantung Sugino berpacu lebih cepat.
"Aku bilang, ulangi."
Ia berjalan pelan, namun bisa membuat lelaki berambut spiky hitam itu mati rasa. Yang berada di hadapannya sekarang, bukanlah Karma yang ia kenal.
Semakin dekat, ia pun terasa sudah mati. Seringai lebar, aura gelap yang mengelilinginya, semuanya tidak biasa.
Ia, seperti sedang dihadapkan dengan seorang malaikat maut.
Apa yang harus ia lakukan? Semua anggota tubuhnya benar-benar tak bisa digerakkan. Syarafnya sudah tak berfungsi. Bibirnya pun sulit untuk digerakkan.
Disaat itu juga, ia mendengar Karma menggumamkan sebuah nama yang sangat asing di telinganya.
[Name]? Siapa?
"Ka-Ka-Karma?"
Sugino memaksakan diri untuk mengeluarkan suara. Walau terdengar gagap, ia berharap bisa menyadarkan lelaki itu.
Namun Karma tidak memperdulikan panggilan tersebut dan terus menggumamkan nama yang tidak pernah Sugino dengar dimanapun.
"KARMA! [NAME] ITU TIDAK ADA!"
Ia berdiri dan berteriak. Membuat Karma tersentak dan menghentikkan langkahnya.
"Apa? [Name] itu tidak ada?"
Tangannya mengeratkan pisau, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Membuat Sugino menahan napas.
"BUKTIKAN KALAU DIA MEMANG TIDAK ADA!"
Tubuhnya kaku, hanya bisa melihat gerak-gerik Karma yang akan mengarahkan pisau padanya.
Seseorang, tolong sadarkan dia!
-End-
Oke, Mari kita perjelas.
[Name] benar-benar gak ada. Itu cuma halusinasi Karma aja.
Yha, bahasa kerennya sih, Karma jones H4H4 //ga.
Iya, Karma cuma berhalusinasi kalo dia punya pacar dan pacarnya ngebunuh gadis yang di chapter 1. Padahal, Karma sendiri yang bunuh.
Untuk seterusnya? Iya sama. Karma cuma berhalusinasi kalo dia punya [Name]. Padahal, [Name] sendiri benar-benar gaada.
Terinspirasi dari sebuah komik yang saya lupa judulnya. Sempat numpang lewat di fb soalnya.
Okee~ Maap kalo rada gaje. Ini horror gagal kali ya? Saya nahan2 diri buat gak nge kasihanin nagisa :") dan buat yang sempat nebak dua orang itu di chapter pertama, jawabannya Nagisa sama Kayano. Soalnya cuma 2 cebol ini yang deket sama Karma~ ;)
Sipp segitu aja dulu,
See you next project!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top