5. Pantai Menjadi Saksi Bisu
"Aku menyukai laut yang menyimpan begitu banyak rahasia dan misteri."
"Tapi aku tidak menyukai rahasia yang akan menenggelamkanku ke dasar Samudera. "
— Adinda Sekar Prastantri
****
"Kar, nanti jangan lupa minta sama Budhe kamu untuk bikin dua jenis kue berbeda, seperti yang ibu bilang kemarin." Maryam sedang membereskan beberapa bungkus tepung yang akan dibawa Sekar ke rumah kakaknya dalam sebuah tas jinjing.
"Iya Bu, Sekar ngerti."
Maryam tersenyum. Dia memandangi anak gadisnya yang sebentar lagi akan menikah. Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Dan Sekar akan segera menjadi seorang istri. Dia merasa lega. Walaupun begitu dia masih belum tenang mengingat Kasih yang sampai sekarang masih belum mau memikirkan tentang pernikahan.
Anak pertamanya itu sedikit tertutup tentang kehidupan cinta apalagi dengan pernikahan. Walaupun dirinya tidak pernah menyinggung tentang pernikahan pada Kasih, tapi dia tetaplah seorang ibu yang ingin melihat anak sulungnya menikah lebih dulu. Maryam menghela napas berat kemudian mengembuskan, seolah melepas beban berat yang sedang dipikulnya.
"Ada apa, Bu?" tanya Sekar yang melihat ibunya seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Ibu cuma berpikir tentang mbakyu-mu."
"Ada apa dengan Mbak Kasih?" tanya Sekar yang sedikit tidak mengerti.
"Kamu sudah akan menikah Kar, tapi Mbak-mu itu...," Maryam tidak melanjutkan kalimatnya.
"Ibu khawatir Mbak Kasih yang belum mau nikah?" Sekar tersenyum kemudian mengelus lengan ibunya.
"Kamu tahu sendiri gimana sifat Mbakyu-mu itu."
"Iya... Sekar ngerti kok Bu, tapi kata Mbak Kasih kalau sudah ketemu jodohnya pasti akan dikenalkan pada ayah dan ibu."
"Sampai kapan, Kar?" terdengar nada putus asa dari bibir wanita yang telah melahirkannya itu.
"Bu, jodoh itu sudah diatur oleh Allah, seperti Sekar dan Mas Dimas, jadi ibu tidak perlu khawatir, cukup berdoa saja." Sekar mencoba menenangkan hati wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya itu. Dia bukan tidak memikirkan kakaknya, tapi Sekar juga tidak ingin terlalu ikut campur dengan urusan percintaan Kasih.
"Ya, sudah kamu berangkat dulu sudah siang," ucap Maryam.
"Sekar berangkat ya Bu, assalamualaikum...,"
"Wa'alaikumsalam...,"
Sekar segera memakai helm setelah mengucapkan salam dan mencium punggung tangan ibunya. Hari ini Maryam menyuruhnya untuk pergi ke rumah Budhenya yang tinggal tidak jauh dari pantai Klayar. Budhenya itu pintar membuat aneka jenis kue dan sering mendapat pesanan. Dan dia diminta Maryam untuk memesankan kue basah dan kering untuk acara pernikahannya nanti. Ah, rasanya dia sudah tidak sabar untuk segera bersanding dengan Dimas. Laki-laki yang telah membuat hatinya berbunga-bunga selama delapan bulan terakhir.
Sekar segera melajukan motornya sendirian, membelah jalanan kota Pacitan yang ramai. Sebenarnya tadi pagi dia sudah mengajak Kasih, tetapi kakaknya itu sudah lebih dulu ada janji reuni dengan teman sekolahnya.
Jalanan kota terlihat cukup ramai membuat Sekar harus lebih berhati-hati. Apalagi ini hari adalah hari minggu. Jalan manuju pantai Klayar pasti akan bertambah ramai. Di sepanjang jalan dia melihat muda-mudi yang berboncengan dengan mesra. Bibirnya tersenyum. Dirinya teringat Dimas.
Gadis berjilbab itu tidak pernah berpelukan atau melakukan hal yang dilarang agama. Mereka tidak pernah lebih dari sekedar berpegangan tangan. Mungkin dirinya terlalu kuno. Namun, itu adalah bentuk pertahanan agar tidak terhasut bujukan setan. Lagipula dia nyaman dengan hubungan seperti ini. Dimas pasti juga berpikiran sama, karena laki-laki itu tidak pernah terlihat menginginkan lebih.
Kira-kira satu jam perjalanan, Sekar telah sampai di sebuah rumah dengan halaman yang cukup asri. Ada pohon cemara yang dipangkas rapi, juga beberapa pot bunga mawar dan melati yang tengah mekar. Rumah itu adalah milik kakak dari ibunya Sekar. Sudah lama dia tidak main ke rumah saudara ibunya itu karena kesibukan mengajar. Dulu saat akhir pekan dia sering menginap di rumah budhenya hanya karena ingin jalan-jalan ke pantai Klayar keesokan harinya. Karena rumah budhenya yang hanya berjarak 3 kilometer dari pantai.
"Loh..., Sekar."
Seorang wanita muncul dari dalam setelah membalas salam dari Sekar. Wanita yang lebih tua lima tahun dari sang ibu. Sekar biasa memanggilnya dengan Budhe Siti.
"Iya, Budhe." Sekar menunduk kemudian mencium punggung tangan wanita yang dipanggilnya budhe tersebut.
"Walah, Nduk..., harusnya ndak usah rene,[1] cukup lewat telepon saja kalau mau pesan kue," ucapnya sambil menggiring Sekar untuk masuk ke dalam ruang tamu.
"Mboten nopo-nopo Budhe, [2] lagipula Sekar sudah lama tidak main ke sini," ucapnya kemudian duduk di salah satu sofa di ruang tamu tersebut. Wanita itu tersenyum simpul mendengar ucapan Sekar.
"Oh ya..., ini titipan dari Ibu." Sekar menyerahkan tas jinjing yang berisi bahan-bahan untuk membuat kue.
"Ya ampun..., Mbok ndak usah repot-repot to Nduk, [3] budhe bisa beli sendiri bahannya," ucap wanita itu sambil menerima tas jinjing dari tangan Sekar.
"Mboten nopo-nopo Budhe, ini bahannya tidak beli, tapi ibu nyelip sendiri dari hasil panen bulan lalu." Sekar menjelaskan sambil tersenyum.
"Ibumu itu selalu saja begini, tunggu budhe ke dalam dulu mau nyimpan ini, sekalian ngambilin minuman buat kamu, pasti haus 'kan?"
"Mboten usah repot-repot [4] Budhe," ucap Sekar sedikit sungkan.
"Ndak popo..., ndak repot, [5] kamu duduk saja dulu."
Sekar menatap punggung wanita yang tiga tahun lebih tua dari ibunya tersebut masuk ke dalam, meninggalkan dia sendirian di ruang tamu. Dia menghela napas. Matanya memandang sekeliling ruang tamu. Masih sama seperti terakhir kali dia ke sini. Ada foto Pakdhenya yang gagah memakai seragam kepolisian. Dan juga foto kedua sepupunya yang sedang memakai baju toga. Tak berapa lama Budhenya kembali dengan membawa nampan yang berisi segelas minuman.
"Gimana panennya? Lancar 'kan? Pasti Ayahmu repot harus kerja, ngurusin panen juga ngurus persiapan pernikahan kamu," ucapnya setelah meletakkan gelas minuman di atas meja.
"Alhamdulillah lancar, Budhe."
"Alhamdulillah... hitung-hitung bisa buat nambah modal pernikahan kamu."
Sekar hanya tersenyum menanggapi perkataan wanita yang sudah dianggap seperti ibu kedua baginya.
"Ndak terasa waktu begitu cepat, kedua kakakmu sudah menikah dan sekarang giliran kamu," ucapnya memandangi foto kedua anaknya yang telah menikah, kemudian beralih menatap Sekar.
"Iya..., Budhe."
"Oh ya..., katanya Mbakyu-mu pulang kok gak kamu ajak ke sini?"
"Sebenarnya kemarin Sekar sudah mengajak Mbak Kasih, tapi sudah keburu ada janji dengan teman satu sekolahnya, Budhe," jelas Sekar.
"Mbakyu-mu itu dari dulu ndak berubah, padahal terakhir kali ke sini dua tahun yang lalu saat pernikahan Tyas."
Tyas adalah anak kedua Siti yang seumuran dengan Kasih.
"Kapan mbakyu-mu itu mau nikah?" tanya Siti seolah menyimpan keingintahuan lebih mengenai Kasih.
Sekar diam, bingung mau menjawab apa, karena dia juga tidak tahu apa-apa tentang kehidupan pribadi Kasih.
"Mboten ngertos,[6] Budhe." Akhirnya kata tidak tahu yang keluar dari bibirnya.
Siti menghela napas. "Malah kamu yang duluan mau nikah, ngelangkahin Kasih."
Sekar menunduk. Dia tahu kalau tidak baik melangkahi kakak perempuan untuk menikah duluan. Tapi apa daya jodohnya sudah datang dan Kasih setuju saja ketika Maryam meminta persetujuannya.
"Bagaimana kabar calon suami kamu?" Kali ini Siti tersenyum lebar ketika menanyakan kabar Dimas.
"Alhamdulillah... baik Budhe." Sekar tersenyum hangat.
"Kamu itu beruntung Kar... dapat calon suami ganteng, pegawai negeri dan juga punya penghasilan lain. Pinter kamu cari calon suami."
Pipi Sekar bersemu merah, mendengar pujian Siti tentang Dimas. Ya, dia memang beruntung apalagi sifat Dimas yang sopan dan tidak terlalu menuntut membuat Sekar mantap melabuhkan hatinya pada pemuda jangkung itu. Dia mencintai Dimas. Sangat.
"Mulai dari sekarang kamu harus pinter jaga baik-baik suami kamu, biar ndak digoda wanita lain," nasihatnya pada Sekar.
Sekar hanya mengangguk dan tersenyum membalas perkataan wanita berjilbab lebar tersebut.
"Banyak loh yang kepengen punya suami kayak Dimasmu itu, jadi ingat nasihat budhe ya, Nduk."
"Iya, Budhe."
Sekar akan selalu mengingat nasihat orang-orang yang menyayanginya. Begitu pun dengan nasihat Kasih berapa hari lalu, yang isinya kurang lebih sama dengan perkataan Siti. Dia harus menjaga baik-baik Dimas.
Obrolan pun berlangsung lama. Tidak terasa satu jam lebih mereka habiskan untuk mengobrol. Dari membahas tentang kue pesanan Maryam sampai pada Tyas yang tengah hamil anak pertamanya.
Dan Sekar harus pamit sekarang karena dia harus mampir ke percetakan untuk mengambil undangan pernikahan yang sudah jadi.
Setelah berpamitan, ia langsung melajukan motornya meninggalkan rumah bercat putih tersebut. Namun, entah kenapa, seperti ada dorongan pada hatinya untuk mampir sebentar ke pantai. Lagipula sudah lama dia tidak pergi ke Klayar.
****
Mio merahnya telah terparkir dengan sempurna di antara jejeran motor lainnya. Ramai sekali suasana pantai hari ini. Maklum saja hari libur.
Sekar meninggalkan parkiran, kemudian berjalan menuju pasir putih yang seolah ingin sekali dijejaki oleh kakinya.
Hamparan pasir putih yang begitu indah dipandang mata dengan perpaduan batu-batu karang dan karts. Deburan ombak yang menerobos dari bawah celah-celah batu karang dan menyembur ke atas membentuk semacam air mancur diiringi suara mirip seruling. Mereka menyebutnya ocean flute atau Seruling Samudera. Dan Sekar sangat menyukai bunyi mirip seruling tersebut.
Dia merasa tidak salah dengan keputusannya yang ingin jalan-jalan sebentar ke pantai untuk melepas segala penat sebelum hari pernikahannya. Matanya menelusuri deretan batu karang yang tidak goyah sama sekali ketika air laut menerjangnya dengan kuat. Dia ingin seperti batu karang yang kuat dan kokoh walaupun ombak menghempasnya jutaan kali.
Jilbab merah mudanya berkibar akibat sapuan angin. Bibir mungil itu tersenyum. Dia bahagia, mengingat pertama kali Dimas mengajaknya kemari. Kemudian menyatakan perasaannya. Romantis.
Wajahnya merona jika mengingat kejadian tersebut.
Setengah jam dia berjalan menyusuri bibir pantai yang ramai oleh pengunjung. Sinar matahari pun sudah mulai tidak bersahabat lagi. Teriknya mampu membakar tubuh siapa pun yang tidak ingin menghindar. Gadis ayu itu pun mengalah. Panas matahari itu akan membuat tubuhnya kegerahan.
Kakinya beranjak dari butiran pasir putih, menuju ke arah si merah berada. Matanya menyapu sekitar sebelum memakai helm. Manik hitamnya menangkap sesuatu yang tidak asing baginya.
Motor Vixion merah dengan plat nomor yang Sekar hafal di luar kepala. Dan siapa itu? Seorang laki-laki yang mirip dengan calon suaminya. Lalu di jok belakang ada seorang wanita yang sedang memeluk punggungnya dengan sangat mesra. Dan wanita itu mirip dengan seseorang yang ia kenal.
Mbak Kasih
Desiran aneh tiba-tiba muncul. Pikiran-pikiran negatif pun mulai merasuk ke dalam otak dan hatinya. Mungkinkah?
Matanya masih menatap dua sejoli yang tidak menyadari keberadaannya. Hingga motor merah itu menghilang, Sekar masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Hingga suara klakson dari sebuah mobil membuyarkan lamunannya. Dia menatap kembali tempat di mana matanya melihat dua orang yang sangat mirip dengan Dimas dan Kasih. Tapi nihil, mereka telah menghilang.
Sekar menghela napas dan mengembuskan dengan kasar. Dia mencoba menghalau segala pikiran negatif tentang kakak dan juga calon suaminya. Pagi tadi Dimas sudah berpamitan pergi ke luar kota untuk membeli beberapa peralatan servis handphone. Dan Sekar percaya. Jadi tidak mungkin yang ia lihat tadi itu Dimas. Lalu mbak Kasih, kakaknya itu pamit pergi ke acara reuni.
Sekar menggeleng. "Mungkin aku cuma salah lihat," gumamnya lirih.
Ia lalu menghidupkan motornya, meninggalkan hamparan pasir putih dan juga dugaan negatif yang baru saja terlintas dalam pikirannya.
***
Tiga jam kemudian Sekar tiba di rumah, setelah mengambil undangan pernikahan yang sudah jadi. Dia melihat Kasih yang sedang duduk di ruang tengah sambil menonton tv. Sekar mengamati sekilas penampilan kakaknya. Tidak ada yang aneh. Seperti biasa, Kasih dengan celana pendek dan juga kaos ketat yang membungkus tubuh langsingnya.
"Baru pulang, Dek?" tanya Kasih setelah menyadari kehadiran Sekar.
"Iya, Mbak."
Sekar tidak berkata apa-apa lagi kemudian masuk ke dalam kamarnya. Meletakkan undangan yang baru saja diambilnya dari percetakan di atas meja. Kemudian dia duduk di kursi. Tangannya mengambil satu lembar undangan tersebut.
Matanya mengamati undangan tebal berwarna putih dengan hiasan keemasan yang bertuliskan namanya dan juga Dimas. Pikirannya teringat kejadian tadi sewaktu di pantai.
"Ah, mungkin aku cuma salah lihat motor yang mirip dengan milik Mas Dimas."
Sekar tersenyum dan meletakkan kembali undangan tersebut di atas meja.
Dimas Aditya
§
Adinda Sekar Prastantri
*~~~*
***
Andaikan laut bisa bicara dengan ombaknya maka tidak akan ada rahasia yang dapat disembunyikan.
###
Pantai Klayar
Sumber ; Google
***
Kamus bahasa
1. Tidak perlu ke sini
2. Jangan repot-repot
3. Tidak apa-apa
4. Tidak perlu repot-repot
5. Tidak apa-apa, tidak repot
6. Tidak tahu
Ps: saya menggunakan bahasa jawa yang lebih halus atau istilah jawanya Krama Alus.
Part ini saya dedikasikan untuk mbak Tyaswuri 😍😍😍
Dan untuk gen 3 tunggu undangan dari Sekar dan Dimas ya.
brynamahestri MethaSaja SerAyue Jagermaster sicuteaabis YuiKoyuri Bae-nih EnggarMawarni JuliaRosyad9 holladollam NyayuSilviaArnaz CantikaYukavers xxgyuu
Vea Aprilia
Tw, Selasa 25 Januari 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top