29. Maafkan Aku

"Kata maaf saja tidak cukup untuk menutup lubang yang telah kau berikan padaku."

~~~***~~~

Sudah lebih dari lima menit yang lalu Sekar memutus panggilan telepon dengan Bima. Laki-laki itu berjanji akan segera datang, dia hanya perlu untuk menunggunya.

Sementara itu, ketukan di depan pintu rumahnya masih terus terdengar. Walaupun sedikit lebih lambat dan tidak sekeras tadi.

Sekar berdiri di depan pintu. Hatinya masih ragu untuk membuka pintu kayu yang terlihat sudah termakan usia tersebut. Dia takut.

Akhirnya dengan membaca basmallah dan menarik napas dalam-dalam. Jemarinya meraih anak kunci dan memutarnya ke kanan. Memegang knop kemudian pintu pun terbuka sehingga langsung menampilkan sosok Dimas.

Keadaannya lebih buruk dari terakhir kali mereka bertemu. Dan Sekar dapat mencium bau alkohol dari mulut laki-laki yang sedang mencoba berdiri tegak di hadapannya.

"Mas Dimas," panggil Sekar lirih.

"Akhirnya kamu bukain pintu untuk aku." Dimas tersenyum lebar.

"Mas Dimas kenapa? Mas Dimas mabuk?" tanya Sekar setelah mengamati keadaan Dimas.

"Aku cuma minum sedikit," katanya sambil terkekeh.

" Astagfirullah haladzim, Mas. Mas tahu miras itu dosa." Sekar menggeleng tidak percaya dengan kelakuan Dimas.

"Persetan dengan dosa! Kamu tahu apa yang dilakukan mbakmu terhadap aku, suaminya?" teriak Dimas.

Sekar menggeleng.

"Dia selingkuh...! Dia selingkuh, Kar," Dimas berteriak kembali. Suaranya lebih keras dan tersirat amarah di sana.

Sekar langsung beristiqfar dan menggeleng tidak percaya atas perkataan Dimas.

"Itu nggak mungkin Mas."

"Pasti kamu tidak percaya, tapi itu kenyataannya, Kar."

Dimas mulai kehilangan keseimbangan sehingga hampir jatuh, tapi dengan cepat Sekar menolongnya. Gadis itu kemudian mendudukkan Dimas di kursi teras.

"Biar, Sekar ambilkan minum dulu ya, Mas," ucap Sekar sebelum melesat pergi ke dapur.

Lima menit kemudian Sekar sudah kembali dengan membawa gelas yang berisi teh hangat.

"Ini Mas, minumlah dulu."

Sekar menyodorkan gelas yang berisi teh hangat ke arah Dimas dan langsung saja bibir Dimas menyeruput teh tersebut. Setelah dirasa cukup, Sekar meletakkan gelas tersebut di atas meja.

"Mas sebaiknya kembali ke tempat penginapan dulu. Sudah malam, tidak enak dengan tetangga. Biar Sekar teleponkan taksi," bujuk Sekar setelah melihat Dimas yang sedikit lebih tenang.

"Kamu ngusir aku?" tanyanya.

"Bukan begitu, Mas. Tapi ini sudah tengah mal-."

"Bilang saja kalau kamu tidak suka aku berada di sini," potong Dimas telak.

Sekar menghela napas. Dia memang tidak suka dengan keberadaan Dimas di rumahnya. Apalagi tengah malam seperti ini.

"Kalau iya, terus Mas Dimas mau marah?" tanya Sekar menekan kesabarannya.

"Kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" tanya Dimas. Wajahnya kini mendekat ke arah Sekar.

Sekar mencoba menjauh.

"Mas Dimas sedang mabuk. Lebih baik kita bicara setelah Mas Dimas telah sadar."

"Aku nggak mabuk dan aku sadar atas apa yang telah kuucapkan," tegas Dimas menatap lekat-lekat wajah Sekar.

Sekar semakin terasa tidak nyaman. Keputusannya untuk membuka pintu ternyata salah. Seharusnya dia tidak pernah membuka pintu untuk Dimas.

"Aku sudah dikhianati oleh Kasih dan sekarang kamu juga."

"Mas...." Suara Sekar tercekak di tenggorokan.

"Ibu yang nyuruh aku, untuk datang ke Jakarta. Tapi apa yang aku dapatkan. Aku dikhianati, Kar!" Suara Dimas lantang.

Tangan Dimas mengepal. Rahangnya mengatup.

"Aku semakin mantap untuk menceraikan Kasih." Suara Dimas terdengar tegas.

Sekar hanya diam mendengarkan cerita Dimas. Otaknya mencoba mencerna semuanya. Apa benar semua yang dikatakan Dimas padanya. Kalaupun itu benar, pengkhianatan yang dulu dia rasakan kini juga dirasakan oleh Dimas.

"Mas, jangan gegabah dalam mengambil keputusan," sergah Sekar.

"Aku sudah mantap dengan keputusanku, Kar."

Sekar memejam.

"Aku ingin kembali padamu, Kar. Kita mulai lagi dari awal," pinta Dimas lembut.

Sekar mematung. Otaknya tiba-tiba tidak bisa berpikir.

Kenapa?

Hatinya terasa ngilu. Luka lama yang dulu telah kering kini terkoyak kembali.

"Mas benar-benar mabuk." Akhirnya Sekar bersuara setelah beberapa saat termenung.

"Aku nggak mabuk, Kar. Astaga... Berapa kali aku bilang kalau aku nggak mabuk."

Dimas bangkit dari kursi kemudian mendekati Sekar yang sedang duduk.

"Maafkan aku, Kar. Aku mohon. Aku janji tidak akan mengulangi kesalahan yang dulu pernah kulakukan."

Sekar menghindar. Menarik tangannya yang hampir dipegang oleh Dimas kemudian bangkit dari kursi.

"Maaf, Mas. Sekar nggak bisa."

Dimas memejam. "Kenapa?"

"Mas tahu jawabannya."

"Apa karena laki-laki itu?"

Sekar terkejut. Maksud Dimas bukan Bima, 'kan?

Dan gadis itu baru teringat bahwa Bima belum juga tiba hingga sekarang.

"Aku mencintaimu, Kar."

Deg

"Aku masih mencintaimu. Aku ingin kembali padamu. Aku mohon, Kar."

Dimas berlutut di belakang Sekar. Posisi Sekar sekarang sedang membelakangi Dimas.

"Maaf, Mas. Sekar tidak akan goyah dengan keputusan yang sudah Sekar ambil apa pun alasannya," tegasnya.

"Kenapa?" tanya Dimas yang kini telah bangkit dan memaut lengan Sekar.

"Lepasin, Mas," erang Sekar.

Lengannya terasa ngilu dan panas. Dimas benar-benar kuat memegangnya.

"Kenapa? Kenapa, kamu menolakku, hah?" bentak Dimas. Matanya menatap tajam ke arah Sekar.

"Lepasin, Mas," ucap Sekar mulai kesakitan. Tangannya yang bebas mencoba melepaskan tangan Dimas dari lengannya.

"Nggak. Aku nggak akan lepasin kamu. Aku nggak akan menjadi manusia bodoh lagi."

Sekar meringis karena tangannya semakin sakit.

Bug

Tiba-tiba Dimas tersungkur di atas lantai. Mata Dimas langsung menatap laki-laki yang baru saja memukul wajahnya.

Bima.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Bima terlihat khawatir. Tangannya langsung memeriksa bagian tubuh Sekar.

"Nggak apa-apa, Mas."

Sekar memegangi lengannya yang sedikit nyeri.

"Jadi, gara-gara dia," ujar Dimas yang sudah berdiri kembali.

"Lebih baik Anda pergi sekarang juga, sebelum saya telepon polisi," ancam Bima.

Dimas tersenyum sinis.

"Apa hubunganmu dengan Sekar?" tanya Dimas melirik tajam ke arah Bima.

"Dia calon istri saya."

Sekar terkejut mendengar pernyataan Bima.

Bima mengeratkan genggamannya pada tangan Sekar. Dia tahu gadis yang di sampingnya terkejut dengan ucapannya barusan. Nanti, dia akan meminta maaf setelah urusan ini selesai.

Mata Dimas nyalang. Hatinya menolak pernyataan laki-laki yang mengaku sebagai calon suami Sekar.

"Aku nggak percaya," ujarnya menatap tajam mata Bima, " sebelum Sekar sendiri yang berbicara."

Raut wajah Bima sedikit berubah. Dia tadi hanya reflek berkata seperti itu. Dan kemungkin kecil, Sekar akan berkata sama dengan dirinya.

"Benar dia adalah calon suami Sekar."

Bima langsung menoleh ke arah Sekar. Gadis itu hanya tersenyum simpul dan mengedipkan mata.

Dimas menatap pasangan di hadapannya dengan perasaan kecewa dan marah. Hatinya meradang. Seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Dimas telah dikhianati oleh Kasih. Sekarang Sekar yang berkata bahwa telah mempunyai calon suami. Lalu dia sendiri.

"Sekarang, Mas Dimas bisa pergi dari sini," usir Sekar tegas.

"Baik." Kepala Dimas manggut-manggut. "Aku akan pergi dari sini, tapi ingat, aku tidak akan menyerah sebelum janur kuning melengkung."

*****

Bagaimana?

Apakah ada yang pengen gebukin Dimas?

Tapi selow gess... Kayak di pantai.

Kalian pilih pak dokter Bima atau Dimas?

Kalau saya mah jelas pilih pak dokter walaupun duda tapi keren 😎 😎😎😎

Jangan lupa vote dan komen, ya....

Kalau komentarnya buanyak part selanjutnya bakalan cepet update....

Peluk cium 😘 😘 😘 😘
Vea Aprilia
Ta, 22 Oktober 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top