25. Aku Rela Meminjamkan pundakku
***~~***
"Jika kau lelah bersandarlah pada pundakku."
~ Bima Andika Sanjaya
***~~***
Wajah Sekar terlihat berbeda hari ini. Bu Rani pun menyadari akan hal itu. Sekar terlihat lebih murung dari biasanya. Bibirnya yang biasa tersenyum, hari ini nampak tidak terlihat.
"Bu Sekar, kelihatannya kurang sehat?" tanya Bu Rani.
"Tidak apa-apa, Bu. Cuma sedikit capek," ucap Sekar seraya memberikan senyum tipis.
"Kalau Ibu capek bisa istirahat di rumah. Wajah Ibu sedikit pucat." Nada suara Bu Rani terdengar cemas.
"Tidak apa-apa, Bu. Cuma kangen rumah saja, kepikiran ayah dan ibu."
Bu Rani tersenyum. "Saya mengerti kalau itu masalahnya."
Percakapan pun harus berhenti ketika suara Rere memanggil Sekar. Gadis kecil itu meminta Sekar untuk melihat hasil tulisannya.
Apa yang terjadi tadi malam sungguh di luar dugaan. Sekar tidak mengira Dimas akan tiba-tiba datang ke Jakarta dan langsung menuju rumah kontrakannya. Alasannya, ingin mencari Kasih, tapi ternyata itu hanyalah kebohongan belaka.
Ternyata apa yang diceritakan oleh Maryam benar adanya. Kehidupan rumah tangga Dimas dan Kasih tidak harmonis. Bahkan setelah kehilangan bayi hasil cinta mereka. Cinta, ah apa bisa disebut cinta jika akan berakhir seperti ini. Mereka juga telah memulai sesuatu yang salah jadi wajar jika akan berakhir seperti ini.
Apakah Sekar bahagia?
Tentu saja tidak.
Dia tidak sejahat itu. Sekar tidak akan menari di atas penderitaan kakaknya sendiri. Walaupun kakaknya telah melukai hati dan kepercayaannya. Malah hatinya semakin prihatin dan sedih.
Sekar memang belum bisa melupakan kejadian satu tahun yang lalu. Namun, bukan berarti dia menyimpan dendam. Lingkungan pesantren mengajarkan untuk memaafkan orang yang telah melukai hatinya walaupun sulit. Belajar ikhlas dan bersabar menghadapi masalah. Tetapi, dalam prosesnya, Sekar harus rela menelan rasa pahit.
****
Seperti biasa Sekar menemani Rere untuk menunggu sang ayah datang menjemput. Sedikit canda dan keceriaan gadis kecil tersebut mampu mengurangi beban pikiran Sekar. Jujur hatinya merasakan sakit kembali.
Di saat dia ingin memulai kehidupan yang baru tapi, kenapa, luka lamanya hadir kembali. Sungguh Allah begitu sayang kepadanya hingga memberikan cobaan demi cobaan yang begitu besar.
"Papa...!" Teriakan Rere membuyarkan pikiran Sekar yang sedang mengembara entah ke mana.
Dia melihat seorang laki-laki yang selalu tampan dan gagah sedang berjalan ke arah mereka. Namun, Rere, gadis kecil itu segera berlari menyongsong ayah tercintanya.
"Selamat sore, Bu," sapa Bima dengan sopan setelah sampai di depan Sekar.
Walaupun mereka sering keluar bersama tapi Bima selalu menghormati Sekar. Selain sebagai guru Rere, juga sebagai seorang wanita muslimah.
"Selamat sore, Pak," balas Sekar tak kalah sopan.
"Ibu, bareng yuk," ajak Rere sambil memegang tangannya.
"Kalau ibu bilang tidak mau, kamu pasti akan terus memaksa. Jadi apa boleh ibu menolak kali ini?"
"Enggak boleh."
Sekar tersenyum mendengar jawaban Rere. Bagaimana caranya, Rere sudah seperti magnet untuk dirinya. Setiap kali anak itu merengek, dia tidak bisa menolak. Namun, kali ini berbeda. Sekar ingin sendiri. Dia ingin pergi ke suatu tempat untuk memikirkan masalahnya.
"Ada sesuatu yang mengganggu Ibu?" tanya Bima setelah lama mengamati Sekar yang seperti sedang melamun.
Sekar tergagap, "Oh... Tidak Pak."
Bohong sekali, tapi wajah Sekar tidak bisa berbohong.
"Benarkah?" tanya Bima menyelidik.
"Benar, Pak. Saya baik-baik saja," ucapnya tersenyum sambil membuang muka ke mana saja asal tidak melihat wajah Bima.
"Tapi wajah Ibu terlihat tidak seperti itu."
Sekar langsung menyentuh pipinya. Dia menunduk malu karena ketahuan berbohong. Ternyata dia bukan pembohong yang baik.
"Papa, ayo pulang," ajak Rere.
Hampir saja mereka melupakan kehadiran bocah kecil itu.
"Baiklah. Mari, Bu."
Bima dan Sekar berjalan berdampingan dengan Rere yang digendong ayahnya.
"Ibu sedang ada masalah?" tanya Bima tiba-tiba ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
"Tidak ada, Pak." Sekar menolak untuk menjawab, karena baginya itu bukan urusan Bima atau orang lain perlu tahu.
"Baiklah, kalau Ibu tidak mau cerita."
Bima melajukan mobilnya meninggalkan pelataran sekolah. Kepadatan Jakarta langsung menyambut mereka. Suara bising klakson mobil seolah menjadi alunan musik wajib setiap hari.
Sekar menatap ke luar jendela. Matanya terpaku pada kesibukan orang-orang di pinggir jalan. Namun, sebenarnya pikiran dan hatinya sedang berkelana jauh.
Bima mengemudikan mobil seperti biasa tapi matanya sesekali menatap Sekar. Dia melihat seperti ada kegalauan yang sedang melanda gadis cantik berjilbab di sampingnya. Bima sering bertemu dengan banyak orang berbeda setiap hari. Harinya dihabiskan untuk merawat bermacam pasien dengan latar belakang dan tingkah laku berbeda. Jadi, dia bisa menilai perubahan sikap Sekar saat ini.
"Rere tidak nakal kan, Bu, di sekolah?" tanya Bima memecah kebisuan di antara mereka.
Rere yang duduk di jok tengah langsung menjawab, "Tidak kok, Pa. Iya kan, Bu?"
Sekar seperti dikembalikan ke alam nyata setelah mendengar perkataan Rere.
"Apa, Sayang?" tanya Sekar tidak mengerti pembicaraan mereka.
"Papa bilang, aku nakal tidak?"
"Tentu saja tidak. Rere kan anak yang pinter."
Bima tersenyum kecil. Dia menatap sekilas ke arah Sekar. Tanpa disadari kedua mata mereka bertemu. Sekar langsung menunduk.
"Tumben kamu nggak tidur?" tanya Sekar pada Rere.
Biasanya gadis kecil itu selalu tidur jika sudah naik mobil.
"Nggak ngantuk," Setelah menjawab pertanyaan Sekar, gadis itu pun kembali pada bonekanya dan bermain.
"Ibu melamun?" tanya Bima seketika membuat Sekar sedikit malu karena ketahuan.
Bima tersenyum. "Hari ini saya lihat Ibu sering melamun. Apa ada yang menggangu pikiran Ibu?"
"Tidak apa-apa, Pak. Cuma kangen ibu saja di kampung."
"Oh... Kan bisa telpon."
Sekar terdiam.
"Saya tidak memaksa Ibu untuk menceritakan masalah Ibu saat ini. Tapi, kita teman, kan?"
Sekar ragu untuk menjawab tapi akhirnya dia mengangguk. Tiga bulan bukan waktu yang singkat untuk saling mengenal dan menjadi seorang teman.
"Sebagai seorang teman saya siap mendengarkan. Itupun, kalau Ibu bersedia. Jangan dipendam sendiri."
"Maaf, Pak."
"Tidak apa-apa. Tidak perlu minta maaf itu semua adalah hak Ibu untuk tidak cerita. Tapi, Ibu tahu saya kehilangan sesuatu hari ini."
"Kehilangan apa, Pak?"
"Kehilangan senyum Ibu."
Sekar langsung membeku.
"Coba Ibu tersenyum sedikit saja," pinta Bima sambil tersenyum juga.
Sekar sedikit ragu. Dia menatap wajah Bima. Entah kenapa, seperti ada rasa sejuk dan damai yang laki-laki itu tawarkan kepadanya. Senyuman Bima pun sangat memesona membuat bibirnya lambat laun ikut melengkung.
"Nah, gitu, Bu. Ibu cantik kalau sedang tersenyum."
Bima nampak senang melihat Sekar yang tersenyum. Gadis berjilbab itu hanya mampu menunduk memandangi tasnya yang warnanya sudah sedikit memudar.
"Kita sudah sampai, Bu."
Sekar sedikit terkejut, tanpa sadar ternyata mereka sudah ada di depan rumahnya.
"Terima kasih banyak, Pak."
"Sama-sama, Bu."
Sekar membuka pintu tapi tiba-tiba berhenti karena perkataan Bima.
"Jika Ibu lelah dan ingin bersandar, saya rela meminjamkan pundak saya untuk Ibu."
Sekar menoleh ke arah Bima, dan laki-laki itu hanya memberikan senyuman manis kepadanya.
Setitik perhatian yang Bima berikan mampu membuat hati Sekar hangat.
Sekar tidak mampu menjawab perkataan Bima kecuali dengan kata terima kasih saja. Kedekatan mereka berdua mampu menciptakan sebuah pertemanan. Tetapi, apakah hanya sekedar pertemanan biasa?
*****
Astaga saya baper pas ngetik bagian akhir bisa juga Bima modus gitu 😄😄😄😄
Maaf 🙏 ya update lama dan terima kasih yang sudah sabar menunggu.
Happy reading
Vea Aprilia
Ta, Sabtu 12 Agustus 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top