21. Teman tapi Dekat

"Berawal dari teman biasa, mungkin bisa menjadi teman hidup."

*****

Hari ini adalah hari Minggu. Kebiasaan setiap orang ketika hari libur adalah jalan-jalan bersama keluarga atau orang tersayang. Seperti halnya Bima yang selalu menyempatkan waktu untuk mengajak buah hati satu-satunya untuk pergi jalan-jalan. Walaupun, kemacetan Jakarta berkali-kali lipat dari hari biasa tapi tetap tidak menyurutkan langkahnya untuk tetap mengajak putri kesayangannya berlibur. Di tambah cuaca Jakarta yang cukup panas, polusi udara dan sebagainya. Tentu, bagi sebagian orang akan lebih suka tinggal di rumah. Bersantai bersama keluarga besar.

Namun, bagi Bima, apapun itu tidak akan menjadi masalah buatnya. Karena hari Minggu adalah waktu yang diberikan sepenuhnya untuk sang buah hati tercinta, Rere.

"Papa, kita pergi ke tempat Bu Guru, ya?"  pinta Rere ketika mereka sarapan bersama.

Bima merawat sendiri Rere , selain itu dibantu oleh satu asisten rumah tangga, tukang kebun dan seorang satpam.

"Kenapa?" Alis Bima terangkat satu. Dia tahu siapa Ibu Guru yang Rere maksud. Tapi, Bima ingin tahu alasannya kenapa Rere mau ke rumah gurunya itu.

"Rere mau ngajak Ibu Guru jalan-jalan," ucap gadis kecil itu masih dengan suara cedalnya.

Bima heran. Tumben putrinya mengajak orang lain. Biasanya dia menolak siapapun kecuali sang nenek dan Sintya, adik perempuan Bima.

"Kok tumben kamu ngajak orang lain, biasanya nggak boleh?" tanya Bima penasaran.

"Bu Guru bukan orang lain, tapi dia udah seperti Mama."

Deg.

Rasanya jantung Bima berhenti berdetak untuk beberapa detik, saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut kecil putrinya.

"Mama?"  tanya Bima lagi.

"Iya. Wajah Bu Guru mirip Mama." Rere menunjuk foto besar yang terpajang di dinding tak jauh dari ruang makan.

Bima mengamati foto istrinya. Wanita yang telah merelakan hidupnya demi putri mereka. Dia baru menyadari kalau Shakila dan Sekar itu hampir mirip. Apalagi mereka sama-sama mengenakan jilbab.

Mata Bima beralih pada Rere yang sibuk menyendok sereal susunya. Bibirnya tersenyum. Pantas saja waktu pertama kali dia melihat Sekar, seperti mengingatkan pada seseorang. Dan ternyata benar. Rere juga sama. Gadis kecil itu pun ternyata begitu peka. Dia menyadari kemiripan mereka berdua.

"Baiklah. Setelah sarapan, Papa akan bantu kamu ganti baju dan kita akan ke rumah Bu Guru."

"Horeeee...." Rere berteriak kegirangan.

*****

Masih pukul delapan pagi tapi jalanan sudah macet di mana-mana. Apalagi mereka berada di Jakarta Pusat. Pusat segala kemacetan. Hari libur tidak akan membuat Jakarta terhindar dari macet. Tetap saja sama setiap harinya.

Tok... Tok... Tok...

"Assalamualaikum," ucap Bima dan Rere bersamaan. Mereka telah sampai di depan rumah kontrakan Sekar. Walaupun harus terjebak macet selama setengah jam.

Rere nampak cantik dengan balutan baju lengan pendek berwarna putih dipadukan dengan celana jeans panjang. Juga sepatu berwarna putih. Kali ini tanpa jilbab. Bima tidak bisa memaksa Rere untuk memakai jilbab setiap saat selain di sekolah. Dan dia bisa melihat rambut keriting putrinya. Sedangkan Bima, laki-laki itu tampak santai tanpa kemeja dan celana kainnya. Kali ini, Ayah satu anak itu mengenakan celana jeans dan kaus polo berwarna putih, sama dengan warna baju Rere.

"Wa'alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh."

Terdengar suara Sekar dari dalam. Kemudian pintu pun terbuka. Sekar tampak biasa saja dengan daster sederhana dan juga jilbab panjang tanpa make up. Bima sedikit terkesiap dengan penampilan Sekar. Gadis itu sangat sederhana sekali tapi itu malah menambah aura kecantikannya terpancar.

"Rere... Pak Bima?"  Sekar tampak terkejut dengan kedatangan mereka berdua.

"Maaf menganggu pagi-pagi begini, Bu," ucap Bima sedikit tidak enak.

"Silakan masuk," ajak Sekar kemudian.

Ruang tamu rumah tersebut cukup sederhana. Hanya ada empat kursi kayu dan meja. Tidak luas hanya berukuran 2 x 3 meter saja. Ya, maklum namanya kontrakan kecil.

"Ada yang bisa saya bantu?"  tanya Sekar sopan setelah mereka duduk.

"Begini, Bu...," ucap Bima sedikit ragu.

"Ibu, mau nggak jalan-jalan sama Rere?" tanya Rere langsung.

Bima kalah telak. Putri kecilnya dengan lancar mengutarakan kedatangan mereka ke rumah Sekar. Di saat dia sedang sibuk merangkai kata yang tepat ternyata Rere malah lebih dulu bicara.

"Jalan-jalan? Ke mana?"  tanya Sekar sambil tersenyum pada Rere. Baru kali ini dia melihat rambut gadis cantik itu yang ternyata keriting.

"Ke Ancol," jawab Rere dengan semangat.

Bima terkejut. Dia tidak bilang akan mengajak Rere ke Ancol.

Sekar melirik wajah Bima yang sedikit terkejut.

"Tapi, Ibu sibuk, Sayang." Alasan Sekar saja untuk menolak ajakan mereka berdua.

"Ayolah, Bu," Rere mulai merengek sambil menggoyangkan tangan Sekar.

Sekar menatap sekilas pada Bima. Wajahnya seolah memohon agar Sekar mau ikut.

"Maaf, tapi Ibu benar-benar sibuk." Masih dengan halus Sekar menolak permintaan Rere.

"Ibu, jahat." 

"Papa...."  Rere berbalik ke arah Bima dan memeluknya. Dia pun mulai terisak. Bima pun terkejut. Rere tidak pernah manja seperti ini. Bahkan sampai menangis. Putrinya adalah sosok gadis kecil yang selalu kuat dan tegar, jarang manja apalagi sampai merengek untuk meminta sesuatu.

"Tolonglah, Bu," pinta Bima memelas. Dia tentu tidak tega melihat anaknya menangis.

Sekar bingung. Di satu sisi dia tidak ingin melihat Rere menangis tapi  juga tidak mau terjadi fitnah. Karena tidak sewajarnya seorang guru pergi jalan-jalan bersama keluarga muridnya. Mungkin ada yang akan menganggap hal seperti itu sudah biasa, tapi tidak untuk Sekar. Apalagi dia masih menjunjung tinggi adat istiadat ketimuran serta ajaran agama yang kuat. Dan lagi Bima adalah seorang duda beranak satu. Jadi, Sekar ingin menjaga jarak. Juga menjaga kehormatannya sebagai seorang wanita.

"Saya mohon, Bu. Sekali ini saja. Demi Rere." Bima memohon dengan sangat tulus. Dia benar-benar tidak tega mendengar putrinya merengek seperti ini.

Sekar terlihat berpikir. Dia mengamati Rere. Kasihan, batinnya.

"Baiklah, Pak. Tapi, pulangnya jangan terlalu sore."

"Baiklah, Bu. Terima kasih banyak."

Bima merasa lega mendengar jawaban Sekar. Mata Bima berbinar mendengar persetujuan Sekar. Begitu juga Rere, gadis itu pun dengan mudah sudah tersenyum kembali.

*****

"Papa, kapan-kapan kita ajak Bu Guru lagi ya, jalan-jalan," ucap Rere begitu antusias.

Mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah hampir seharian berada di kawasan wisata pantai Ancol. Rere sangat senang bermain air di sana. Sampai-sampai Sekar dan Bima kewalahan untuk mengimbangi gadis berumur lima tahun tersebut. Kebahagiaan terlihat jelas dari wajah mungil gadis tersebut. Sekar sendiri dapat melihatnya.

Begitu juga Bima. Dia seperti memiliki keluarga yang utuh. Melihat Sekar yang sedang bermain dengan putrinya. Wanita itu benar-benar perhatian dan bersifat keibuan sekali. Ada ketulusan dan kesabaran saat menemani Rere bermain. Sepertinya Bima mulai merasakan sesuatu. Apalagi saat melihat Sekar tersenyum, jantung Bima seperti berdetak dengan cepat. Apakah mungkin dia sedang merasakan jatuh cinta lagi? Ah, mungkin ini terlalu terburu-buru. Mereka juga baru saja kenal. Mungkin Sekar bisa menjadi teman untuk Rere dan tentu saja dirinya sendiri.

*****

"Percayalah, Allah pasti sudah merencanakan sesuatunya dengan sebaik-baiknya."

~***~

Happy reading
Vea Aprilia
Ta, Rabu 5 Juli 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top