19. Bima Andika Sanjaya
"Seorang laki-laki sejati adalah dia yang mau menerima kekurangan dari wanita yang dicintainya."
~ Bima Andika Sanjaya ~
~***~
*****
Sekolah sudah bubar sekitar satu jam yang lalu. Sekar pun membereskan beberapa mainan juga buku-buku ke dalam rak. Memang selain belajar, di playgrup ini juga menyediakan fasilitas arena bermain biar anak-anak tidak merasa bosan. Pelajarannya pun tidak hanya tentang menggambar atau menulis tapi mencakup juga mengaji Al-Quran sejak dini, juga pelajaran bahasa Inggris. Maka tidak heran jika anak-anak di sana sudah mahir dalam mengaji dan berbahasa Inggris.
Sekar sudah selesai dengan pekerjaannya. Beberapa staff menyapanya untuk berpamitan pulang. Dia pun segera membereskan tas miliknya. Berjalan keluar dari kelas. Matanya melihat seorang gadis kecil yang masih duduk di bangku depan kelas. Dia tidak sendiri melainkan bersama Bu Rani.
"Ibu belum pulang?" sapa Sekar ramah. "
"Belum, ini masih menemani Rere."
"Rere belum dijemput?" tanya Sekar menatap wajah gadis kecil tersebut yang terlihat cemberut.
"Papa pasti terlambat lagi," ucapnya yang terlihat sedih.
"Bu Sekar...," panggil Bu Rani terdengar agak ragu.
"Ada apa ya, Bu?" tanya Sekar.
Bu Rani bangkit dari bangku kemudian menghampiri Sekar.
"Begini Bu, saya sebenarnya harus pulang cepat hari ini, karena anak saya sedang demam tadi pagi. Tapi, saya tidak tega meninggalkan Rere sendirian hanya dengan pak satpam." Bu Rani melirik sebentar ke arah Rere, kemudian meneruskan kalimatnya. "Karena Pak Bima berpesan agar selalu menemani putrinya sebelum beliau menjemput. Tapi...." Bu Rani tidak melanjutkan kalimatnya. Terlihat wajahnya sedikit bingung dan ragu.
"Bagaimana kalau Bu Sekar yang menemani Rere hari ini. Hanya hari ini saja Bu, saya minta tolong." Bu Rani terlihat memohon dengan sungguh-sungguh.
Sekar tersenyum kemudian menjawab, "Ibu Rani kenapa tidak bilang dari tadi, kalau anak ibu sakit dan minta saya untuk menemani Rere."
"Maaf, tapi saya masih sungkan dengan Ibu, dan lagi Pak Bima mengamanatkan putrinya pada saya. Jadi, saya tidak bisa menyerahkan Rere pada orang lain." Ibu Rani sedikit menunduk. Wanita berumur tiga puluh dua tahun tersebut terlihat dilema.
"Ibu tidak perlu khawatir. Saya akan menemani Rere. Lagipula saya juga tidak ada kerjaan setelah pulang ke rumah kontrakan." Sekar mencoba menenangkan Bu Rani.
"Maaf,jika merepotkan Bu Sekar. Saya sangat berterima kasih. Nanti biar saya yang menelepon Pak Bima. Tidak biasanya juga beliau telat seperti ini." Wajah Bu Rani sedikit lebih lega mendengar perkataan Sekar.
"Tidak apa-apa Bu. Rere juga murid saya. Jadi Bu Rani tidak perlu sungkan lagi, jika ingin meminta tolong kepada saya."
"Baiklah, Bu. Terima kasih. Saya permisi dulu. Titip Rere, ya."
Bu Rani tersenyum kemudian berbalik untuk menghampiri Rere. Dia berkata sambil menunjuk pada Sekar. Terlihat bocah berumur lima tahun itu mengangguk sambil tersenyum.
"Saya tinggal dulu ya, Bu. Permisi. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Sekar tersenyum kemudian beralih menatap Rere. Dia berjalan menghampiri bocah tersebut. Lalu, duduk di sampingnya.
"Rere, haus nggak?" tanya Sekar.
"Enggak, Bu Gulu. Rere sudah bawa air minum sendili," ucapnya sambil menunjukkan wadah air minum yang dibawanya.
Sekar tersenyum kemudian mengusap puncak kepala gadis kecil itu.
"Apa Rere lapar?" tanya Sekar lagi.
Walaupun siang hari para murid mendapatkan bekal dari sekolah tapi itu sudah pukul dua belas tadi, dan ini sudah pukul empat sore. Sekolah selesai pada pukul tiga sore. Mungkin Rere sudah lapar lagi.
"Belum, Bu Gulu. Rere bawa biskuit. Ibu mau?" Rere kemudian membuka resleting tasnya. Lalu mengeluarkan kotak kecil warna pink berbentuk persegi dari dalam. Dengan sabar dia membuka kotak tersebut.
"Ini adalah biskuit buatan Nenek." Rere menunjukan biskuit cokelat bertabur chochochip pada Sekar.
"Neneknya Rere hebat, ya," puji Sekar.
"Nenek itu pintar masak. Tapi, Nenek selalu bercerita kalau Mama juga pintar masak. Mama juga cantik sama seperti Bu Gulu. Mama juga suka pakai jilbab, makanya Rere pengen kayak Mama."
"Mama Rere pasti bangga punya putri secantik dan sepintar kamu."
Rere tersenyum manis hingga lesung pipi sebelah kirinya tercetak jelas. Tapi sayang, gigi bagian depannya copot. Maklum anak kecil.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh," jawab Rere dan Sekar berbarengan.
"Papa." Rere langsung berdiri dan menyambut laki-laki yang dipanggilnya Papa tersebut. Dia lalu mencium punggung tangan dan pipi laki-laki tersebut.
"Maaf, saya sedikit terlambat hari ini." Laki-laki itu berbicara sopan pada Sekar.
"Tidak apa-apa, Pak."
"Papa, pasti banyak yang sakit," ujar Rere yang kini memegang erat jari kelingking laki-laki itu.
Sekar menatap sekilas laki-laki tersebut. Penampilannya rapi, memakai kemeja berwarna biru laut dipadukan dengan celana kain berwarna hitam. Lalu juga sepatu kulit berwarna senada. Sepertinya, laki-laki itu adalah pengusaha, pikirnya.
"Saya Bima. Bima Andika Sanjaya, Papanya Rere, dan Ibu?" Laki-laki bernama Bima tersebut mengulurkan tangannya tapi nampak bingung karena belum pernah melihat Sekar sebelumnya.
"Saya Adinda Sekar Prastantri, Guru baru di sekolah ini." Sekar membalas uluran tangan Bima sekilas lalu melepaskannya.
"Oh, pantes saya tidak pernah melihat Ibu sebelumnya."
"Maaf, Pak. Karena Bu Rani anaknya sedang sakit jadi harus pulang lebih cepat. Lalu, Beliau meminta saya agar menemani Rere," jelas Sekar yang dibalas anggukan oleh Bima.
"Tadi Bu Rani, juga sudah mengirimkan SMS pada saya."
Sekar mengangguk kemudian tersenyum.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Bu. Terima kasih telah menemani Rere." Bima mengangguk dengan sopan.
"Iya, sama-sama. Silakan, Pak." Sekar membalasnya tak kalah sopan.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh."
Sekar mengamati interaksi antara ayah dan anak tersebut sambil tersenyum. Dia melihat kebahagiaan yang terpancar dari keduanya.
Gadis ayu itu pun berjalan keluar dari area gedung. Dia akan berjalan ke ujung gang untuk menyetop angkutan umum.
Namun, di depan pagar Sekar melihat sebuah mobil Toyota Rush berwarna hitam. Sedetik kemudian seorang laki-laki turun dari sana. Laki-laki tersebut adalah Bima, Ayahnya Rere.
Dia kemudian berlari menghampiri Sekar.
"Ibu mau pulang?" tanya Bima yang tiba di hadapan Sekar.
Sekar mengangguk." Iya, Pak. "
"Bagaimana kalau Ibu bareng saya saja?" tawar Bima sopan.
"Terima kasih banyak, Pak, tapi saya naik angkot saja."
Bima nampak bingung, dia melihat ke arah mobilnya.
"Kalau tidak ada hal lain lagi, saya permisi dulu, Pak," ujar Sekar sopan.
"Tapi saya tidak enak, kalau Ibu naik angkot." Bima masih mencoba membujuk Sekar.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah terbiasa."
"Tapi, ini permintaan Rere, Bu." Bima sedikit merajuk.
Sekar bingung tapi dia kemudian tersenyum. "Bilang saja pada Rere kalau saya tidak bisa bareng karena masih ada urusan."
Bima nampak kecewa tapi dia juga tidak bisa memaksa Sekar. Lagipula mereka juga baru saja kenal. Kalau bukan karena permintaan Rere untuk mengajak Sekar bareng. Tentu saja Bima tidak akan kembali untuk menawarkan tumpangan.
"Sebelumnya terima kasih dan saya minta maaf. Permisi, Pak. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Bima menatap kepergian Sekar. Gadis itu mengingatkan dirinya pada seseorang. Seseorang yang telah memberikan bidadari kecil untuknya.
*****
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1438 H
Mohon maaf lahir dan batin 🙏🙏🙏
Happy reading
Vea Aprilia
Ta, Sabtu 24 Juni 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top