18. Bahagia Melihat Anak-anak
"Ada kalanya, ingin menjadi anak-anak kembali, karena mereka belum mengerti kejamnya dunia yang sesungguhnya."
***
Sudah tiga hari Sekar berada di Jakarta dan hari ini dia sudah bisa mengajar di sebuah playgrup yang dimiliki oleh Yayasan Baitul Hikmah. Walaupun hanya sebagai guru playgrup tapi Sekar sangat bersyukur karena bisa berinteraksi langsung dengan anak-anak. Karena pada dasarnya Sekar sangat menyukai anak-anak.
Pemilik Yayasan juga para staff sampai guru pengajar pun sangat ramah kepadanya. Mereka menerima dengan senang hati kehadiran Sekar di sekolah mereka. Bahkan salah satu staff yang membantunya mencari rumah kontrakan. Ya, Sekar mengontrak sebuah rumah kecil tidak jauh dari Yayasan, karena gadis itu menolak untuk tinggal di dalam lingkungan Yayasan. Padahal, Yayasan tersebut juga menyediakan kamar bagi para staf dan guru pengajar. Namun, Sekar ingin mandiri dan pihak Yayasan juga tidak bisa memaksa.
Baru tiga hari tapi Sekar sudah rindu pada kedua orang tuanya. Pada Bu Nyai serta seluruh penghuni pondok pesantren. Padahal setibanya dia di Jakarta, Sekar langsung menghubungi mereka semua. Dia menyesal karena tidak mau diantar oleh sang Ayah sampai ke Jakarta. Namun, dia punya alasan kenapa tidak mau diantar. Karena dia pasti akan sedih lagi dan semakin berat untuk jauh dari mereka terutama sang Ibu; Maryam.
"Bu Gulu balu," panggil seorang gadis dengan suara cedalnya.
"Iya, nama kamu siapa?" tanyanya pada gadis tersebut.
"Aku Lele, Bu."
"Lele?" Sekar mengerutkan keningnya.
"Ish... Ibu. Bukan lele tapi Lele, pake Elr...," ucap gadis seraya cemberut.
"Namanya Reina Shakila Sanjaya. Dia biasa dipanggil Rere bukan Lele, Bu," ucap seorang perempuan yang juga salah satu pengajar di playgrup tersebut. Namanya Bu Rani. Dia adalah seorang ibu dengan dua putra-putrinya. Perempuan yang cantik dan juga ramah menurut Sekar, walaupun mereka baru saja saling mengenal.
"Oh maaf, Bu. Saya jadi malu."
"Nggak apa-apa kok, Bu. Memang Rere itu cedal. Dia belum bisa ngucapin huruf 'er'." Bu Rani pun tersenyum maklum.
"Sekali lagi, maafkan saya, Bu."
"Jangan minta maaf sama saya, tapi sama Rere. Tuh, Ibu lihat dia ngambek jadinya." Bu Rani menunjuk gadis kecil bernama Rere tersebut.
Sekar mengamatinya. Dia lalu tersenyum. Gadis kecil itu cantik. Pipinya gembil. Kulitnya juga putih. Dan dia semakin imut dengan jilbab warna hijau muda yang serasi dengan seragam dan rok hijau tua yang dipakainya.
"Ibu guru minta maaf sama Rere, ya?" Sekar berjongkok di samping Rere yang sedang sibuk belajar menulis angka-angka.
Bocah kecil itu masih tidak merespon. Dia benar-benar 'ngambek' pikir Sekar.
"Jadi nama kamu Reina?" Sekar tetap mencoba mengajak bicara Rere walaupun masih tidak dihiraukan.
Gadis itu pun menoleh. Dia masih menunjukkan bibir cemberutnya. Sekar tersenyum, tapi Rere malah menatapnya sampai tidak berkedip. Dan itu membuat Sekar merasa canggung dan malu.
"Bu Gulu cantik." Rere tersenyum kemudian melanjutkan menulis angka-angkanya.
Sekar terkejut tapi kemudian tersenyum. Dia tidak menduga bahwa gadis itu akan memuji dirinya. Dasar anak-anak, sebentar marah sebentar tersenyum. Sungguh bahagia menjadi anak-anak. Mereka belum tahu betapa kejamnya dunia ini. Ingin rasanya Sekar kembali menjadi anak-anak. Saat sedang marah dengan teman hanya gara-gara berebut mainan mereka akan bermain lagi beberapa menit kemudian seolah mereka tidak pernah bertengkar atau marah.
Andaikan masalahnya itu adalah hanya berebut mainan tentu saja dia akan mengalah dan memberikannya kepada Kakaknya. Namun, masalahnya bukan sesederhana itu. Masalahnya lebih rumit dari sekedar sebuah mainan anak-anak. Dan Sekar sadar dia bukan lagi seorang anak seperti Rere.
"Bu Gulu," panggil Rere mengagetkan Sekar.
"Iya, Sayang."
"Ibu, ini untuk Ibu." Rere menyodorkan sebuah kertas gambar. Di dalamnya ada gambar seperti seorang wanita yang memakai jilbab.
"Ini siapa?" tanya Sekar sambil tersenyum.
"Itu Ibu Gulu, wajah Ibu mirip sama Mama-nya Rere. Dia juga cantik seperti Ibu Gulu." Gadis itu tersenyum bahagia.
"Rere pasti sayang sama Mama, ya?" Sekar mengusap puncak kepala gadis itu yang dibalut oleh jilbab.
"Sayang banget. Tapi, kata Papa, Mama sudah ada di surga."
Sekar terkejut dengan perkataan gadis kecil tersebut. Ternyata ibunya telah meninggal. Gadis yang malang. Bersyukurlah dia masih mempunyai seorang ibu yang begitu menyayangi dan mencintainya.
"Kata Papa, kalau Rere mau ngomong sama Mama, Rere harus berdoa yang banyak biar Mama dengar."
Tiba-tiba mata Sekar terasa panas. Ternyata gadis sekecil ini sudah ditinggalkan. Gadis yang masih berumur kurang lebih lima tahun tapi sudah mempunyai cerita sedih seperti itu. Sekar malu. Dia malu karena merasa, dialah yang punya masalah besar sendiri. Namun, lihatlah gadis ini. Dia terlihat begitu tegar dan ceria walaupun telah ditinggalkan sang ibu kandung tercinta.
"Oh ya, Papa juga bilang kalau Rere nakal, Mama bakal nangis di surga."
Air mata Sekar sudah ingin keluar. Dia segera memalingkan wajah dan segera mengusapnya.
"Ibu kenapa?" tanya Rere dengan wajah polosnya.
"Ibu, nggak apa-apa cuma kelilipan."
"Oh. Sini Rere bantu tiup." Rere pun meniup dengan pelan kedua mata Sekar.
Setelah itu Rere tersenyum hingga menampakkan lesung pipi sebelah kirinya.
"Terima kasih." Sekar tersenyum dengan lembut dan mengusap pipi gembil gadis kecil tersebut.
Kemudian bocah itu pun kembali bermain bersama teman-temannya. Dia meninggalkan Sekar dengan perasaannya yang sedikit galau. Sekar beristiqfar berulang kali dalam hati.
Dia tidak menyangka bocah sekecil itu, sudah mendapatkan cobaan sebesar itu. Lalu bagaimana dengan dirinya sendiri?
Sekar benar-benar tertohok. Gadis sekecil itu sudah mengerti apa itu kehilangan. Tapi, dari situ Sekar jadi bisa belajar, bahwa kehidupan itu bermacam-macam. Cobaan yang diberikan oleh Allah juga bermacam-macam. Dia tidak mengenal besar atau kecil, lelaki atau perempuan. Semua manusia yang hidup di dunia ini pasti mengalami cobaan hidup.
Gadis kecil itu contohnya. Di usianya yang masih sangat belia, yang semestinya masih mendapatkan kasih sayang dan cinta dari seorang ibu, tapi malah sebaliknya. Ibunya meninggal, entah apa penyebabnya.
Sekar menatap kembali gadis itu. Senyumannya sangat manis. Pasti wanita yang melahirkannya juga sangat cantik seperti gadis itu.
Rere melambaikan tangan ke arah Sekar dan gadis itu membalasnya, tak lupa dia juga tersenyum manis.
Ah, Sekar malu pada dirinya sendiri. Dia berjanji pada dirinya sendiri, mulai saat ini, Sekar akan lebih menghargai hidup dan lebih mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa. Sekar sadar hidupnya masih akan berlanjut walaupun dia telah kehilangan seperti gadis kecil itu. Masih banyak orang mencintai dan menyayanginya. Masa lalunya akan dia kubur bersama dengan dibukanya lembaran baru. Dia ingin bahagia. Allah pasti akan memberikan kebahagiaan pula untuk dirinya.
*****
"Semua pasti akan indah pada waktunya."
~***~
Happy reading
Terima kasih yang sudah menunggu, membaca, Vote dan komentar.
Vea Aprilia
Ta, Rabu 21 Juni 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top