4. Merah

Quizer keluar dari kamar kecil. Jika orang melihatnya, mungkin mereka akan mengira jika Quizer mengidap penyakit. Dia tidak menyangkal, tetapi tidak juga tidak menimpali.

Mom dan Dad bilang itu adalah kelebihannya, tidak perlu dengar hal lain. Ngomong-ngomong soal telinganya, dia jadi ingat kembali ke ruangan dan bertanya pada Luxi.

"Quizer! Ambulan datang dan polisi sedang mengejar Merah," ucap Luxi sambil bersorak membuat semua orang yang berjalan berwajah pucat pasi.

Quizer menghela napas lega. Bersyukur karena nyatanya Luxi mendatangi dia. Namun, ketika dia berbalik, tidak ada gadis yang menolongnya. Perasaanya tidak tenang.

"Di mana dia?" tanya Quizer singkat.

Luxi menautkan kedua alis, lalu membenarkan kacamata, hanya ada dengungan yang terdengar di telinga Quizer. Tidak lama jawaban pun keluar, "Dia siapa?"

"Gadis yang membantuku. Dia temanmu, teman sekelas kita," jelas Quizer.

Luxi bergeming. Dia mengerjapkan mata beberapa kali. Luxi lalu merangkul Quizer dan berucap lirih, "Kamu kurang sehat lagi? Baiklah, ayo kuantar ke UKS."

"Tidak, aku sudah sehat. Luxi, tolong jangan alihkan pertanyaanku."

Luxi tidak menjawabnya. Dia benar-benar menarik lengan Quizer dengan susah payah. Setidaknya Luxi harus bisa membawa ke ruangan ekskul.

Tiba-tiba semua anak berlari melawan arus. Berteriak kencang mengacaukan pendengarannya. Luxi kembali menarik tangannya, kecepatan kali ini setengah berlari.

Hentak demi hentakan pun Luxi lakukan sampai mereka bebas dari suara bising. Namun tidak sadar ke mana langkah mereka mengarah. Ruang kesenian.

Sayup-sayup pendengarannya mendengar dengan jelas. Suara geeek ... giik ... giik, kembali terdengar. Ini de ja vu, dan Quizer sudah kenal betul suara ini.

"Luxi, kita pergi dari sini. Pelan-pelan tanpa membuat curiga," bisik Quizer.

Luxi tidak perlu bertanya. Setelah melihat Merah dengan mata kepalanya sendiri, sekolah menjadi tidak aman. Mapple tidak lagi mengartikan cinta bagi sekolahnya, melainkan lilin yang meredup dan akhirnya mati.

Luxi jadi mengingat, waktu SD Mr. Slayer pernah bilang, 'Sebelum sekolah  dibangun, sekolah memiliki bunga bangkai karena dahulu ini adalah hutan terlantar'. Guru yang menyukai sejarah itu sering murung tiap kali menuturkan kisah.

Bangkai tiap kali memakan para serangga. Namun, sejak bunga tersebut dilenyapkan, banyak sekali warga yang menentang. Mr. Syaler pikir itulah pertama kalinya juga Merah muncul membunuh manusia, terutama yang berada di sekitar sekolahnya.

Luxi tahu, laki-laki di depannya ini lebih dari spesial. Memiliki pendengaran dan otak cerdas, kemampuan analisis layaknya anak-anak SMA. Jika saja Luxi ikut akselerasi mungkin anak itu jadi lulusan termuda.

"Luxi, jangan melamun, Merah di sini. Kita harus kabur sebelum semuanya terlambat," ujar Quizer padanya.

"Kita ke ruangan ekskul saja. Kunci rapat, jadi Merah tidak bisa masuk," ucap Luxi.

"Tidak, kamu tahu, Merah itu lebih nekat."

"Aku tahu Merah bisa merasakan hawa panas, tetapi kita tidak bisa berlari seperti ini terus, Quiz. Merah bisa saja mengejar kita lebih parah. Kamu tahu sendiri bagaimana Merah membantai para polisi di rumahmu," tutur Luxi.

Quizer mendengkus. Memang yang dikatakan Luxi ada benarnya. "Baikah kita harus kembali dan menelpon para polisi."

Luxi kembali berlari. Dia jadi teringat, Quizer pasti akan mempertanyakan kembali Sang gadis yang 'menyelamatkannya'. Luxi menyadari mereka berada di dalam ruangan ekstrakurikuler.

Quizer menguncinya rapat-rapat mengatur napas dan duduk sambil memeluk lututnya sendiri.

"Aku baik-baik saja," ucapnya. Luxi menarik napasnya kembali.

Bagi Luxi, ini bukan pertama kalinya dia melihat Quizer tertawa atau bahkan mengobrol sendiri. Tidak, laki-laki itu tidak segila yang dikira.

Gadis yang Quizer tanyakan adalah sepupunya, Kyne Luzie. Telah meninggal dua tahun lalu. Luzie setelah pontang-panting operasi dan berakhiran koma, lalu berakhir dengan Tuhan yang memanggil dengan kuasaNya.

"Luxi, bukankah kamu harusnya menelpon polisi? Kali ini suaranya semakin dekat," tegur Quizer.

Luxi kembali membenahi kacamatanya. Merogoh ponsel dalam saku celana lalu tersenyum. "Tenanglah, Quiz, kita akan baik-baik saja."

Begitu pun, Luzie akan berucap, "Kita akan selamat. Tenanglah."

Luxi kembali menyibukkan diri dengan benda kotak yang dapat mengirimkan sinyal tersebut. Sementara Quizer menulikan telinganya sendiri, kecuali suara Luzie yang bersemayam dalam pikirannya.

"Luzie, kamu harus tenang. Lawanlah rasa takutmu itu. Ayo berdiri!" ajak gadis tersebut.

Quizer memegang gagang pintu. Sekali lagi suara greeek ... giik ... gasak dari dua besi yang beradu dengan lantai terdengar. Apa pun itu, dia harap mulas tidak mendatanginya dulu. Tidak ada kamar mandi yang aman, dan tidak ada tempat yang dapat dipercaya untuk berlindung.

"Quiz, polisi sulit dihubungi," ucap Luxi dengan keringat dingin yang jatuh dari pelipisnya.

Quizer menatap nanar, kepalanya berkunang-kunang. Kali ini dia harus bagaimana?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top