03. Tuhan

Everyn menatap takjub dengan apa yang ada dihadapannya saat ini. Pakaian yang terlihat simpel dan tipis. Alat-alat yang mereka pegang terlihat keren dan menarik.

Kendaraan yang mereka gunakan berupa benda mati besar yang anehnya bisa bergerak... atau digerakkan manusia dari dalam. Seperti ini kah dunia Tuhannya?

"Hei, jangan pergi tanpa pengawasanku, Nona. Kau bisa hilang nanti," Herzien segera menegur gadis bersurai merah yang tampak menikmati pemandangan asing dihadapannya tanpa mengindahkan tatapan aneh orang-orang disekitarnya. Lihat saja mata yang berbinar terang itu. Rasanya bukan seperti gadis yang baru saja menodongkan pedang ke lehernya dengan wajah bengis beberapa saat lalu.

"Jadi bagaimana? Apakah kau mau menemui Tuhan untuk menyelamatkan Sahabatmu?"

Setitik darah mengalir dari leher Herzien setelah kalimat itu terlontar dari mulutnya. Wajah Everyn terlihat menggelap, kentara sekali gadis itu marah karena merasa dipermainkan. Tangan itu reflek menghunuskan pedangnya ke leher Herzien, bahkan tak segan untuk menekan sudut tajam itu padanya. Tapi lucunya Herzien hanya tersenyum lebar. "Astaga, sudah lama sekali aku tidak merasa begini, perasaan tegang ini." Responnya sambil mengusap sisi tajam pedang tersebut dengan jari.

'Astaga, aku berurusan dengan orang sinting ....'

Everyn membatin lelah. Dia lelah berurusan dengan makhluk aneh seperti ini. Diancam pun dia hanya tersenyum lebar layaknya orang bodoh. diam-diam Everyn mulai meragukan apakah dia salah rumah atau bagaimana.

"Jangan bercanda!"

"Aku bersungguh-sungguh, Nona. Toh memang kenyataannya kau harus berurusan dengan Tuhan, suka tidak suka. Hanya dia yang bisa mengubah takdir temanmu, yah itu pun kalau dia mau."

"Cara bicaramu seakan kau mengenalnya saja."

"Kenal kok, aku sering bertemu dengannya di sosial media."

"Sosial, apa?"

"Lupakan."

Herzien mengalihkan topik secepat mungkin. "Apa aku harus menjelaskan kebenaranya ya," gumamnya setengah malas. "Soal apa sih?" Everyn mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Sudahlah, jadi bagaimana? Kau mau mencoba bernegosiasi dengan Tuhan? Hanya dia yang bisa membantumu saat ini." Tanya Herzien.

Everyn menghela nafas. Kalau memang itu satu-satunya cara untuk menolong Lumina, dia rasa tak masalah. Sejak awal dia sudah siap mengorbankan apapun.
Meski itu termasuk nyawanya sendiri.

"Haruskah aku menulis surat wasiat?"

"Buat apa? Toh kau akan menyeret Tuhan kita."

"Maksudmu?"

Herzien tersenyum cerah. Pria itu merapalkan sebuah mantra.

" [Time's loop : Teleport to God's World]"

Waktu pun seketika terhenti, sebuah pintu terbentuk dengan ukiran aneh muncul secara magis dihadapan mereka, tunggu, perasaan Everyn saja atau bentuknya lebih menyerupai sebuah buku kuno?

Pintu-buku itu terbuka, menampakkan lembaran-lembaran kusam yang setelahnya berubah menjadi pusaran berwarna hitam.
"Perempuan duluan," Herzien membungkukkan badannya dengan sopan pada Everyn.

Everyn tidak berminat berkomentar lanjut kecuali menatap pusaran hitam itu dengan wajah aneh. Namun pada akhirnya tetap melangkah masuk pusaran meski dirinya terlihat ragu.
Herzien menyeringai. Nyali anak ini lumayan juga, padahal dia bahkan tidak menjelaskan apa-apa. Entah apa bisa dikatakan terlalu nekat, terlalu pasrah atau kelewat naif.
Meski bukan urusannya juga sih.

Begitulah ceritanya.

"Ayolah Nona, kita harus segera berteduh. Sebentar lagi hujan akan segera turun." Tegur Herzien lelah pada Everyn. Gadis itu mendongakkan kepalanya ke langit yang mulai menggelap. Wajahnya tampak pucat. "A-apa kalau kita terkena hujan di sini kita akan luntur dan menjadi tinta?!"

"Tentu saja tidak, ayo kemari." Pria bermata violet itu segera menarik tangan gadis itu. Rasanya dia seperti membawa anak kecil bertamasya daripada misi menyelamatkan seseorang.

Dan benar saja, hujan turun dengan derasnya.

Orang-orang tampak berlarian untuk mencari tempat perlindungan. Everyn menatap kagum beberapa orang dengan pakaian aneh mereka, yang mirip jubah tapi sepertinya bahannya dibuat kedap air. Payung yang digunakan orang-orang di sini juga tidak tampak seperti di dunianya, ada penuh motif rumit dan mewah, tapi terlihat lucu, oh, bahkan ada yang transparan!

"Jadi, dimana rumah 'Tuhan' kita? Apa kau sudah mengetahui letaknya?" Tanya Everyn pada Herzien. Pria itu mengangguk sekilas. "Aku sudah tau kok, kan aku sering kemari."

"Enaknya yang punya kekuatan sihir..." Everyn tampak mencibir penuh dengki.

"Kau juga punya, kok. Kalau tidak, kau takkan mungkin bisa menembus dimensi tanpa merasakan efeknya. Kalau bisa... bayarannya akan sedikit mahal."

"Aku tahu sih kalau setiap makhluk hidup memiliki mana meski sedikit. Tapi! Aku juga mau punya banyak mana! Kan seru kalau bisa jalan-jalan begini!"

"Jangan rakus begitu. Bersyukurlah karena kau diberkati Tuhan dengan kelebihan kekuatan fisik. Kami para pengguna sihir tidak semuanya memiliki fisik yang sekuat kamu, loh."

"Iya, sih." Everyn merengut karena pembahasannya mendadak menjadi berat, sementara Herzien terkekeh pelan lalu menepuk-nepuk kepala berambut merah itu. "Kau mirip sekali dengan bocah satunya."

"Siapa?"

"Lupakan. Ayo, Luminamu dalam bahaya bukan?"

"Ah, ayo!"


~•°•~


Suara alarm berbunyi di sebuah ruangan yang gelap. Sebuah tangan tampak berusaha meraihnya, namun pada akhirnya gagal meraih alarm tersebut.

"Ck! Alarm sialan!"

Pemilik tangan tadi tampak memaki alarm karena terlalu berisik, lalu memaksakan diri untuk bangun. Si Pemilik tangan yang ternyata seorang pemuda itu menguap lebar, menggaruk perutnya yang terbuka karena menggunakan kaus oblong, lalu mulai berdiri dan berjalan ke arah kamar mandi untuk mencuci muka.

"Ahhh, sial. Hari ini deadline ya ...."

Pemuda itu menggerutu pelan. Tampaknya hari ini dia harus bekerja maksimal untuk menyelesaikan satu chapter tulisannya dalam webnovel atau dia akan kehilangan para pembaca yang merupakan sumber penghasilannya selama ini.
Pemuda itu mendekati cermin hanya untuk melihat rupanya yang berantakan. Lihat saja rambut navy blue yang tampak acak-acakan layaknya singa itu. Lalu wajah yang kuyu karena kebanyakan bekerja keras itu, matanya yang merah dan berkantung mata tebal, wajah yang agak pucat.

"Kacau juga. Ini aku?"

Pertanyaan agak sanksi ditujukan untuk sosok di cermin-dirinya sendiri. Pemuda itu mendengkus pelan. Mencuci muka, menggosok gigi, lalu mandi, berendam sekitar 2 jam untuk menenangkan diri, berpakaian rapih, lalu pergi keluar untuk membeli beberapa camilan dan minuman dingin mengingat stok di rumah sudah habis, tidak lupa memesan makanan dari delivery untuk jam makan siangnya nanti lalu kembali ke rumah dan mulai duduk manis di depan notebook.
Dia sudah siap untuk mengetikkan kata-kata untuk menyambung hidupnya!

Tapi bohong.

Pemuda itu menjatuhkan kepalanya dengan keras di atas meja. "Malasnya .... Apa hiatus dulu ya?" gumamnya dengan nada ogah-ogahan. Mata hijau itu tampak ingin terpejam. Rasanya dia sedang kehilangan motivasi untuk melanjutkan ceritanya. Otaknya lebih tertarik untuk berbaring paada empuknya ranjang, lalu bermain game seharian, atau menonton anime, atau, atau apa kek-Yang penting jauh dari tulis-menulis saja!

"Sebenarnya kemarin sudah menyiapkan 3 chapter sih, sampai Gadis bodoh itu sekarat... istirahat dulu kali ya..." pemuda itu tampak menimbang-nimbang, sebelum akhirnya memutuskan untuk melemparkan dirinya ke ranjang.
"Oke! Besok saja."

Sungguh tipikal penulis yang seenaknya, meski bisa dikatakan sangat mempersiapkan kalau-kalau dia malas seperti saat ini.

"Sebaiknya aku melihat-lihat sosmed, siapa tau ada hal menarik yang bisa dijadikan inspirasi."

Alzhe-nama pemuda itu-mulai men-scroll sosmednya kebawah untuk melihat-lihat hal yang mungkin menarik hatinya. Matanya mendadak terpaku pada notifikasi yang mana isinya mengenai pesan pribadi dari salah satu teman sosmednya.

Red : Yo, kau ada di rumah kan?
Zheim : iya ada di rumah kok, kenapa? Beneran jadi ketemuan?
Red : iya, jadi. Rumahmu masih di apartemen yang kau ceritakan itu kan?
Zheim : yep, aku akan share location biar kau ga nyasar kemana mana.
Red : Oke. Thanks bro.
Zheim : No prob. Meski aku bertanya-tanya kenapa harus di rumah ini, kenapa tidak di taman atau mall saja?
Red : ga mau, ah. Enakan juga di rumahmu, bisa sambil santai, haha.
Zheim : benar juga, aku pun malas berlama-lama di luar rumah, kepala jadi sakit rasanya.
Red : benar kan? Makanya, biarkan aku dan teman ku kesana, supaya kau tak perlu repot-repot pergi kemana-mana, haha!
Zheim : ... Tunggu, kau membawa teman?
Red : boleh kan? Dia sepupuku.
Zheim : ... bung, harusnya kau tidak membawa siapapun kemari.
Red : benarkah? Maafkan aku, tapi sepupuku ini baru saja pindah ke rumahku dan dia tidak bisa melakukan apa-apa tanpaku.
Zheim : ... baiklah, ku izinkan. Tapi hanya untuk hari ini saja.
Red : Wahh, terimakasih atas kemurahan hati mu, Zheim!
Zheim : oke, kutunggu ya!
Red : sip!

Alzhe mendelik sebal pada ponselnya. Sejujurnya dia tidak suka kalau sampai ada orang asing yang datang ke rumahnya begitu saja. Tapi karena Red adalah temannya baru-baru ini dan dia banyak kemiripan dari segi hobi dengannya yah... dia maafkan lah.

Pemuda bersurai navy blue itu akhirnya mulai memutuskan untuk merapihkan ruangan yang super berantakan ini. Setidaknya dia tidak mau di juluki sebagai sosok yang jorok dan pemalas, meski memang begitu kenyataannya.

"Fyuhh, akhirnya selesai juga! Udah berapa lama ini tempat ga dirapihkan ya? Seminggu? Sebulan? Tapi tak apa, udah rapih begini mah, harusnya aku dijuluki pembersih terbaik, hahaha~"

Tolong, siapapun katakan kepada Alzhe Ruleum untuk berhenti memuji dirinya sendiri terus.
Tak lama kemudian, suara bel terdengar dari depan.

"Ah, sepertinya itu mereka." Alzhe berjalan keluar sambil bersenandung santai, sambil melirik kiri-kanan, memastikan apakah kamarnya sudah benar-benar rapih apa belum, lalu menyiapkan makanan dan camilan untuk tamunya nanti, tidak lupa juga untuk menutup notebooknya lalu memasukkannya ke dalam tas khususnya, karena tak boleh ada yang tahu pekerjaannya sebagai penulis, dandia rasa sudah semua dia persiapkan.

Suara bel pintu yang ditekan berulang kali membuatnya sedikit sebal. Tidak sabaran sekali tamunya ini.

"Tunggu sebentar astaga," Alzhe segera ke depan lalu membuka pintunya dan menemukan ... "Ketemu! kau Tuhan kami bukan?! Aku punya permintaan pada mu!"

"Hah?"

Seorang gadis segera menyambarnya dengan kata-kata yang super aneh.
================================
TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top