00. Prolog

Rasanya, aku bisa menjadikan profesi mengajar sebagai pekerjaan tambahan. Aku menutup kelas hari ini dengan memberikan pujian pada murid-muridku seperti biasanya.  Mereka memberikan salam padaku dan berterima kasih, lalu segera berhamburan keluar kelas. Aku tersenyum geli melihatnya. Padahal hampir seminggu semenjak aku menawarkan diri, sebagai tenaga kerja di pusat pendidikan gedung sekolahan ini. Tapi aku masih cukup canggung untuk bersikap layaknya seorang guru.

Meski begitu, aku sangat menikmatinya.

Setelah merapikan buku, aku berjalan keluar kelas, dan menyapa banyak orang. Mulai dari guru sampai murid, yang masih berada disekolah penyihir ini. Lalu menaiki kereta kuda yang sudah menungguku untuk pergi ke Istana Spinel.

Aku mungkin menyukai lingkungan sekolahan seperti sekolah sihir di sana. Tapi sejujurnya, aku lebih menyukai saat-saat bersama saudari perempuanku. Yang pastinya, saat ini berada di istana Spinel! Walaupun kami tak sedarah, tapi kami sudah layaknya saudara.

Kira-kira, apa yang sedang dilakukan Eve, ya?

“Kita sudah sampai, Nona.” Suara Pak kusir membuyarkan lamunanku.

Setelah tersenyum dan berterima kasih, aku melangkahkan kaki menuju istana bagian sayap timur. Baru saja aku berpikir untuk menemui Everyn di ruangan Putra Mahkota, suara yang familiar membuat ku terhenti.

“Hoi, sparring yang bener, dong! gerakan apa itu? Ulang!” Sesosok perempuan berambut Merah berkucir kuda membentak salah satu prajurit yang sedang berlatih disana. Tatapannya yang tajam seperti akan menerkam seseorang bila tak mematuhinya. Nah, itu Everyn!

Ah, dia terlihat keren dengan tatapan tajam itu. Aku tersenyum geli melihat bagaimana Eve menatar prajurit-prajurit muda di sana. Bukanya sombong atau sok berpangkat tinggi, Eve memang keras kalau sudah soal latihan semacam ini. Itu semua karena porsi latihan dia memang sekeras itu, sampai-sampai aku berani bertaruh tubuh langsing itu memiliki otot—minimal di perutnya. Apalagi dia adalah petinggi militer kekaisaran kesayangan Putra Mahkota, jendral besar yang mengatur divisi Singa Merah.

Aku ingin memanggilnya, tapi pada akhirnya hanya diam dan memperhatikan.

“Baiklah, silakan beristirahat.” Everyn menepuk tangannya tiga kali, lalu mengelap wajahnya yang berkeringat karena habis sparring. Everyn tersentak ketika mendadak tubuhnya terdorong oleh beberapa orang.

“Apa-apaan, disuruh sama Pangeran cuma mengawasi, dia malah turun lapangan! Kebiasaan banget loh anak ini!” Marsekal Besar divisi Naga Abu, Siren Asfor yang merupakan senior Everyn, mengacak rambutnya gemas.

“Woi, jangan merusak rambutku! Kak Siren! Arghh!” Eve mengomel sebal.

“Nona sombong ini memang sesuatu sekali. Sini, biar kubuat kau menyesal! Hahaha ...!” Zoe Lazuli, Laksamana Besar dari divisi Hiu Biru, mencubiti pipi Eve gemas. Bagaimanapun, mereka berdua memang petinggi kesayangan Raja. Dan lagi, mereka berdua lebih tua dari Eve.

“Kak Zoe ..., sakit! Kalian kenapa, sih, senang sekali menggangguku! Salahku apa, hah?” Eve menggerutu pelan sambil menghalau tubuhnya yang diusili oleh kedua seniornya itu.

“Bagaimanapun, kamu memang minta dihukum karena sudah mengatur jalannya sparring seenaknya, Eve.”

Seorang anak kecil berwajah datar menginterupsi kejahilan Laksamana Zoe dan Marsekal Siren. Kalau tak salah, dia junior Eve, Marsekal Besar termuda di divisi Kucing Hitam, Eugeo Vanhart.

“Nah, kan! Si cebol  datang. Bubar, bubar!” Eve mengibaskan tangannya seperti sedang mengusir peliharaan malang. Eugeo menatapnya, sejenak lalu memberikan tatapan sebalnya pada Eve. Eve hanya membalasnya dengan seringai yang tak kalah menyebalkan, sebelum akhirnya dijitak Tuan Siren.

“Kalian tak pernah akur, ya? Eve, berhenti meledek Eugeo. Eugeo, jangan memasang wajah kaku terus, dong!” Tuan Siren menegur keduanya. “Padahal kalian hanya beda 3 tahun. Akrablah sedikit.” Nona Zoe ikut menimpali sambil tersenyum lalu menepuk-nepuk kepala keduanya. Eve hanya tersenyum kaku dan Eugeo menatap ketiganya datar.

“Baiklah, baiklah! Maaf soal seenaknya menatar para prajurit muda. Aku akui salah. Habisnya aku kesal! Kalian semua boleh menatar prajurit, masa aku tidak boleh!” Gerutu Eve sambil menatap Eugeo sekilas. “Yang jelas aku tak mau minta maaf soal Cebo. Dia tak pernah sopan padaku! Huh!”

Mendengar jawaban yang kekanakan, Eugeo memutar bola matanya malas. “Mau bagaimana lagi, Kau kan pengawas langsung Putra Mahkota. Bagaimana mungkin kau terjun ke lapangan seperti ini, lalu mengubah porsi latihan tiba-tiba?” Zoe menggelengkan kepalanya lelah.

“Yah ..., meski aku tak masalah juga soal sparring mendadak ini. Sparring-nya Eve memang paling asik.” Marsekal Siren tersenyum lebar.

“Ngomong-ngomong, yang bikin latihan gabungan ini Eu, loh. Jelas Eu sebal padamu.” Tambahnya sambil menepuk-nepuk kepala Marsekal Muda Eugeo. Pemuda yang memang umurnya masih muda itu mendengus pelan sambil membuang mukanya. Everyn mengedipkan matanya sejenak, lalu mengangguk paham.

“Sebagai permintaan maaf, aku akan mengirimkan kue kismis untukmu, Eu.” Eve lagi-lagi meledek Marsekal Muda itu. Lalu semuanya tertawa geli melihat interaksi mereka.

Jujur, aku membenci perasaan sesak yang kurasakan saat melihat keakraban mereka. Aku tau mungkin ini terdengar egois. Tapi sebenarnya aku ingin marah dan membawa Everyn pergi dari mereka. Maksudku, mereka boleh berteman dengan siapa pun. Tapi jangan dengan Everyn.

Aku benci melihat temanku direbut orang lain.

“Hoi! Kenapa melamun disini, Lumi? Wajahmu terlihat pucat. Kamu sakit?” pikiran negatifku berhenti saat suara Eve berada di dekatku. Sejak kapan dia merangkulku?

“Ah, Eve. Aku baik-baik saja, kok.” Aku berusaha tersenyum. Everyn sepertinya sama sekali tak percaya akan kata-kataku, dan segera mencubiti pipiku dengan gemas.

“Beneran?” Eve mencoba memastikan. “Yup, aku baik!” aku mengangguk sekali lagi, mencoba meyakinkan Eve.

“Yaudah, yuk sini! Kuperkenalkan pada para rekanku! Ah, tapi kamu pasti sudah mengenal mereka, bukan?” Eve berceloteh sambil merangkulku santai. Aku meliriknya sekilas, lalu tersenyum tipis. Hal yang bodoh kalau meragukan kesetiaan Eve terhadap persahabatan kami. Aku harusnya bisa lebih yakin kalau Eve tak akan pernah membuangku hanya untuk teman barunya.

“Wow! Lihat siapa yang datang! Selamat siang, Duchess Alpharess!” Tuan Siren menyapaku terlebih dahulu, wajahku sedikit memerah. “Ah, Tuan, aku masih Nona. Belum menikah dengan Zephyr …,” gumamku pelan.

Tuan Siren terkekeh geli. “Sebentar lagi ‘akan,’ bukan? Kau harus mulai membiasakan diri dengan panggilan itu!” Nona Zoe pun ikut menggodaku. “Nona Lazuli bisa saja … kami masih bertunangan ....” Aku mengibaskan tanganku pelan. Sungguh, aku malu dengan percakapan ini.

Sementara itu, Tuan Eugeo memandangi ku sejenak lalu bergumam. “Kau sangat berbakat dalam penggunaan sihir putih. Sayang sekali Duke Alpharess tak mengizinkanku merekrutmu.” Aku hanya tersenyum kecil menanggapinya.

“Maaf, ya, Tuan Vanhart. Zephyr hanya sedikit protektif padaku.” Aku memasang wajah bersalahku pada Petinggi muda ini.

“Apa, sih! Kalian malah membahas soal pertunangan Lumi! Lihat, wajahnya sudah mirip dengan rambutku, kan!?” Everyn berusaha melindungiku, merangkul bahuku sambil menggelengkan kepalanya. Dan semuanya mentertawakan komentar Eve yang terdengar protektif itu.

“Ya sudah! Bahas soal pertunanganmu saja, bagaimana, Eve?” Tuan Siren meledek Eve lagi.

“Memangnya ada yang mau jadi pasangan Nona Tomboy ini?” Nona Zoe terbahak.

“Hm, aku jadi merasa kasihan dengan Pasangannya nanti …” Tuan Eugeo menatap Eve dengan tatapan iba.

“Kalian kenapa, sih? Malah membahas pertunanganku!" Eve yang merespon dengan mencak-mencak membuat semuanya terbahak—bahkan aku pun dan Tuan Eugeo benar-benar puas meledeknya.

Lihat? Dia malah mencoba mendekatkan aku pada teman barunya.

Sungguh, terkadang aku merasa memiliki Zephyr dan Eve dalam hidup sudah lebih dari cukup.

~•°•~

“Jadi, bagaimana rasanya menjadi guru?” Eve menatapku yang masih membawa buku mengajar hari ini, sambil berjalan bersama ke taman belakang istana.

“Rasanya menyenangkan, sih. Tadinya aku sempat mengajari divisi Tuan Vanhart, tapi Tuan Vanhart malah mau merekrutku untuk menjadi asistennya dan mencoba minta izin pada Zeph. Jelas saja Zeph tak akan mau!” Aku menghela napas.

“Yah, kita semua tau. Kau dan Zeph punya tubuh yang ringkih, meski Zeph sudah terlihat berisi saat ini. Jelas dia tak mau kamu banyak aktivitas. Kalau sakit, bagaimana?” Eve menganggukkan kepalanya, menyetujui keputusan Zephyr.

“Yah, Aku juga tidak masalah harus mengajari anak-anak, mereka sangat manis.” Aku menanggapi Eve sambil duduk di bangku dekat Pohon Apel, lalu meminta pelayan menyiapkan teh dan camilan untuk kami berdua.

Baru saja kami minum teh, penjaga istana berkata kalau kami diminta menghadap Kaisar dan Putra Mahkota ke Singgasana. Kami saling bertatapan sejenak sebelum akhirnya pergi ke Ruangan dimana Kaisar dan Pangeran berada.

Kami menghadap Sang Kaisar dan Putra Mahkota sambil menundukkan badan. “Semoga Kejayaan selalu menyertai Kaisar dan Putra Mahkota Esentelia. Ada yang bisa kami bantu, Yang Mulia?"

Kaisar Albertus memandangi kami sebelum akhirnya memerintahkan untuk berdiri. “Langsung saja ke topik utamanya. Kalian semua boleh meninggalkan tempat,” perintahnya kepada para Penjaga dan Pelayan.

Setelah mereka semua pergi, Kaisar melirik putranya untuk menjelaskan alasan kami dipanggil kemari. Pangeran Arsen mengangguk sekilas pada Sang Kaisar.

“Kalian tentu tahu mengenai Kebijakan Kekaisaran selama 20 tahun belakangan ini, bukan?” Pangeran Arsen segera membahas intinya.

“Mengenai kebijakan larangan penggunaan sihir hitam?” Eve menanggapi.

“Benar. Setelah pengusiran dan berbagai pemberontakan mengenai Sihir Hitam, kabar mengenai penggunaan Sihir Hitam sudah tidak terdengar selama 15 tahun ini. Tidak terdengar bukan berarti sudah tidak digunakan. Selama 5 tahun terakhir—meski samar—kami banyak mendengar bahwa aktifitas sihir hitam mulai melebarkan sayap. Yang jadi masalah adalah, ada kemungkinan mereka akan melakukan pemberontakan besar-besaran kepada Kekaisaran Esentelia. Kalian tentu tau bahwa Benua Zamka dan sekitarnya sudah bernaung dibawah Kekuasaan Esentelia. Maka bukannya tak mungkin bahwa tujuan mereka adalah untuk mengudeta kekaisaran. Jadi, misi kalian adalah menyusup ke lokasi dimana Pimpinan Sihir Hitam ini berada. Jika memungkinkan, kalian harus mencari beberapa informasi untuk mulai menyergap dan menangkap mereka.” Pangeran Arsen menjelaskan maksud  kami dipanggil.

“Hanya kami berdua?” Eve mengerutkan alisnya seolah berkata, ‘kau-pasti-bercanda’ pada Pangeran.

Pangeran Arsen tersenyum dengan tampannya, yang entah mengapa membuat kami berdua merinding dengan hebatnya.

“Tentu saja! Kalian adalah partner terbaik yang dimiliki kekaisaran ini. Kami berharap banyak pada kalian.”

~•°•~

“Kami berharap banyak pada kalian. Hah, dasar Makhluk Tirani!”

Everyn menggerutu sebanyak yang dia bisa. Aku hanya terkekeh geli. Sambil mendengar saudariku selesai memaki pangeran ampuannya, aku segera mempersiapkan diri untuk pergi ke lokasi pada peta, yang baru saja diberikan kepada kami setelah pembahasan mengenai pemberontakan. Aku tahu Pangeran berkata begitu karena memang kemampuan kami lumayan di atas rata-rata. Meski jujur, aku merasa hanya akan membebani Eve karena sihirku hanya bekerja untuk mendukung dan mengobati saja. Aku tak punya kemampuan fisik yang hebat seperti Eve, dan jujur saja aku merasa tidak yakin.

Eve menyentil keningku. Senyuman lebar menghiasi wajahnya—kurasa dia sudah puas memaki Pangeran Arsen. “Jangan memasang muka lesu gitu. Kau berguna, tahu. Kemampuan mendukungmu itu yang paling penting. Tanpa itu, aku tak akan bisa melakukan apa-apa jika terkena serangan fatal.” Setelah menebak isi pikiranku, Eve memelukku dengan erat, membuat beban dihatiku sedikit berkurang.

“Kau tau, Eve? Lawan kita ini sangat kuat,” gumamku lirih.

“Oh,ya? Kau mengenalnya sampai-sampai sudah pesimis seperti ini?” Eve menaikkan sebelah alisnya. Aku terdiam sejenak. “Itu ….”

“Jangan khawatir. Tugas kita adalah mencari waktu yang tepat untuk menyerbu. Jadi hanya penyusupan sederhana. Percaya dengan kemampuanmu sendiri, oke?” Everyn menepuk-nepuk kepalaku layaknya seorang kakak yang bangga pada adiknya. Aku tersenyum tipis. Meski sudah begini tetap saja aku tak tenang.

Aku takut, aku takut sesuatu hal yang buruk terjadi pada Eve.


~•°•~

Darah. Mayat bertebaran di mana-mana.

Aku menatap nanar sosok Eve yang menatapku dengan tatapan tidak percaya. Ah, aku sudah bisa menduganya. Aku akan membuat masalah pada misi ini. Kutatap Penyihir Hitam yang merupakan dalang utama aktivitas ilegal Sihir Hitam.  Sosok itu menatapku dengan marah.

Tubuhku mati rasa. Sesekali aku terbatuk—dan mengeluarkan darah. Mataku terasa kosong. Aku bahkan tak yakin mataku basah karna air mata atau karna darah.

Aku tak tahu.

“Apa yang sedang kau lakukan?” Pimpinan Penyihir Hitam itu menatapku berang. Mungkin dia marah karna kami muncul untuk mengambil informasi tentang aktivitas ilegalnya. Sesaat aku ketakutan. Tubuhku gemetar hebat sejak awal kami berjumpa. Tapi karena saat ini lukaku banyak, tubuhku lupa rasanya gemetar. Aku mencoba memaksakan senyuman tipis pada sosok yang mencengkram kuat leherku.

“A-ku ... cu-ma … ma-u melin-dungi y-yang ku—saya-ngi ....”

“Omong kosong!”

Aku menutup mata ku sejenak. Dalam sekali melihat saja aku tau tubuh Eve pun sudah diambang batasnya. Kucoba mengeluarkan sisa sihirku untuk memberikan pengobatan maksimal pada sahabatku tersayang—

“Tidak, Lumi! Pakai untuk dirimu sendiri, Bodoh!”

—Meski aku tau itu artinya nyawaku jadi taruhannya.
==============================
TBC.

Nah, gimana? Seru, kan? Cerita ini ditulis oleh chocolate_factory23 halo semua, salam kenal! Semoga kalian menyukai cerita Quiet Room ini XD

Gatau mau ngomong apa lagi selain salam kenal, hehe. Semoga kalian menikmati ceritaku ya^^ baru awalan banget ini, hwhwh, selamat mengikuti kelanjutan ceritanya, ya!
Kritik dan saran yang membangun dibutuhin banget karna aku newbie, jadi mohon bantuannya semua!

Salam,
Red Corn Poppy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top