3. Horizon
BAB I
Gate Of Horizon
Perangai laut masih tenang, tiba-tiba angin pun demikian. Dievo, Si Mantan Jenderal itu tengah mengasah pedangnya setelah sebelumnya ia memeriksa mesiu dalam senapan-senapan bawaan ketika semuanya menjadi hening. Ia bangkit, menengok ke arah horizon, dan samar-samar siluet di bawah lautan jingga itu makin tampak jelas. Kiranya sudah sampai, dan ia tahu harusnya ia memerintahkan awak kapal untuk bersiap. Namun, ia sadar di dek depan ada Jenderal sungguhan. Jadi ia berusaha fokus pada misinya, meskipun hatinya tetap tidak tenang. Mungkin ia akan sekarat, atau lebih buruk lagi: kebahagiaannya yang justru akan segera lenya. "Siapkan perlengkapan kalian. Hey, Kapten! Bawa kapal ke pelabuhan!" titah Sang Jenderal pada juru kemudi kapal.
"Tak ada angin, Jenderal," suara pria tua itu parau menyahuti. "Sudah kubilang untuk meminta kapal yang lebih modern dengan mesin betulan!" umpatnya samar-samar.
"Kalau begitu siapkan dayung," usul Dievo. Jenderal menengok ke arahnya, menegaskan bahwa tak sepantasnya laki-laki itu memerintah. Selang beberapa detik mereka berseteru dalam diam, Dievo mengalah dengan memalingkan wajahnya ke lain hal: pintu kabin bawah, di mana di sanalah jantungnya ditahan.
Phyrein terus saja menangis di dermaga sebelum kapal berangkat kemarin lusa. Gadis itu tahu, Dievo tak ingin menuruti perintah Sang Jenderal, namun nyawanya sendiri menjadi taruhan. Gadis itulah, yang tersedu sedan, memberitahu Dievo akan keberadaan pulau itu. "Aku membacanya di perpustakaan. Pulau itu akan muncul ketika senja datang, seperti hantu yang selalu mengintip di balik gulita malam," ujarnya. Kemudian Dievo menghapus air mata putri angkatnya itu, mengecup keningnya, menatapnya lamat-lamat seakan bicara, "semua akan baik-baik saja." Tapi tidak. Sudah sejak lama ia tak mempercayai Ted Braudhook, seorang kawan lama di kemiliteran dulu, yang sekarang sukses menuai jabatan dan kehidupan mentereng di kursi dewan.
"Pikirkan emas-emas itu, wanita-wanita jika kau mau—apa saja. Raja menjanjikan kehidupan baru, engkau bisa memulainya lagi," rayu Braudhook yang tak bosan-bosannya menyantroni kediaman Swart.
"Kalau begitu, katakan pada raja aku menginginkan keluargaku kembali dan aku bersedia memimpin ekspedisi."
Jenderal itu tertawa kecil, sekilas mencibir lalu berkata, "Kita sama-sama tahu Raja Arteriyan bukanlah Dewa. Dia tak memiliki kuasa akan waktu—dan ngomong-ngomong, aku seindiri yang akan memimpin ekspedisi ini." Sang Jenderal berbalik, merogoh senapan dari kantongnya dan cepat-cepat menodongkan moncongnya pada anak perempuan berambut hitam sepunggung. Sementara Phyrein menggigil ngeri di pojokan, Dievo ditahan oleh kedua pengawal jenderal sambil mengutuk tak keruan. "Aku tak ingin melakukannya, Dievo, tapi aku tak ingin meloloskan kesempatan ini. Bergabunglah denganku. Kau tahu aku memerlukan kepiawaianmu—yang dengan berat hati harus kuakui tak tertandingi itu. Dan sayangnya aku kawanmu, dulu hingga sekarang, begitulah aku tahu di mana letak celahmu berada. Pikirkanlah, atau kuledakkan kepala gadis ini." Phyrein menjerit, hilang di balik pintu rumahnya yang reot beserta Sang Jendral dan konco-konconya, membuat Dievo tak memiliki pilihan selain menuruti keinginannya. Siang sebelum keberangkatan mereka menjalankan misi, Dievo meminta untuk bertemu dengan putrinya barang sekali.
"Hanya untuk memastikan," ujar Dievo dan Brudhook mengedikkan bahu.
"Misi ini harus berhasil jika kau ingin dia tetap bernapas." Lantas ayah dan anak itu bertemu dalam waktu yang begitu singkat. Mereka dipisahkan kembali, kaki dan tangan Phyrein diikat lagi dengan rantai besi, kepalanya dibungkus kain hitam. Phyrein meronta begitupun Dievo. "Berani menyakitinya, pedangku akan meratakan leher kalian!" Para prajurit itu cengengesan getir—was-was ingin meremehkan Dievo namun mereka tahu cerita mengenai pria yang namanya selalu melegenda dalam cakupan kemiliteran dunia.
Dievo Swart, dulunya seorang jenderal yang namanya selalu ditakuti. Pria gagah perkasa di balik setelan kemiliteran Alterium, seorang yang prestisius, cerdik, tak ada kemenangan yang lolos di bawah kepemimpinannya. Alterium pernah berjaya seiring kesuksesannya, namun ketika Invasi Bulan Merah bukan hanya Alterium yang terpuruk, namun ia pun menuai kehancurannya sendiri. MSV malafungsi, kudeta yang dilakukan kandidat-kandidat raja dan para menteri, membuat Alterium berada di titik nol dalam sejarah Grhungklesombe. Istrinya lenyap dalam tembakan, sepasang anak kembarnya hangus terbakar dalam ledakan, semua tak bersisa. Ia nyaris gila jika tak bertemu dengan Phyrein.
Sejak awal gadis itu memang tak memiliki siapa-siapa. Dievo melihat semua kejayaannya di masa lalu dalam tubuh gadis itu. Istrinya seakan hidup dalam mata cokelat gelapnya, ibunya mengoceh lewat bibir mungilnya, dan anak-anaknya tumbuh dalam tabiat dan tingkah kekanak-kanakan gadis 8 tahun tersebut. Namun, Dievo menolak untuk mendongak sekali lagi pada dunia. Ia menjadi seorang miskin dari seorang bangsawan kaya raya. Wajahnya semakin menua seiring bertambahnya usia, dengan garis-garis penuh beban yang dipikulnya begitu berat selama bertahun-tahun. Tapi tatapannya selalu saja tajam, badannya yang kekar memang sudah tak ada tapi tetap tubuh jangkung nan besar itu tak bisa menipu pandangan orang. Dievo bekerja serabutan di pasar kota, bertingkah bodoh dan Phyrein selalu menegurnya ketika pria itu kedapatan kena marah atasan. "Sebaliknya, atasanmu itu orang bodoh yang memaki orang yang pura-pura tolol dalam bekerja."
"Jika tidak begitu, aku akan kehilangan pekerjaan dan kita akan benar-benar hidup menggembel. Orang-orang pintar selalu membutuhkan orang bodoh untuk menjalankan bisinis mereka," jawab Dievo sembari membersihkan tepung dari wajahnya, tersenyum miris pada Phyrein yang tampak geli sendiri.
Lima tahun berlalu dari pertemuannya dengan Phyrein, dan satu dekade sudah tragedi menyedihkan itu berlalu. Kini ia hidup berdua dengan gadis itu, sesekali pergi ke bar, foya-foya dan berjudi ala penambang, namun tak sekalipun main perempuan. Bagaimana pun kejamnya ia selaku jenderal di masa lalu, tak pernah terlintas dalam benaknya untuk mengkhianati kesetiannya pada sang mendiang istri dengan main tidur dalam sembarang selangkangan wanita. "Kenapa kau tak menikah lagi? Memiliki anak dan merasakan hidup baru," tanya Phyrein suatu malam.
"Aku mencintai seorang wanita dulu, sekarang, dan selamanya. Itulah sumpahku di altar pernikahan kami. Dan aku seorang yang prestisius, bukan anjing yang lahap menikmati tainya sendiri—pantang bagi laki-laki menjilat ludahnya lagi," tegasnya serius dengan raut wajah muram malam itu. Phyrein mengangguk, dan saat itulah terdengar ketukan pintu: malam ketika Ted Braudhook mengunjungi mereka untuk kali pertama.
Dan di sinilah sekarang Dievo, Sang mantan Jenderal, bersama Si Jenderal sungguhan dan sepasukan awak kapal. Mereka dibagi dalam 5 kelompok sekoci yang masing-masing didayung 6 orang prajurit. Di kapal induk sendiri tersisa lima awak untuk menjaganya agar tak dicuri perompak dan Dievo semakin risau akan keselamatan Phyrein. Usia gadis itu 13 tahun sekarang, dan ia tumbuh menjadi remaja bongsor yang cantik. Dievo menajamkan tatapannya pada prajurit yang bertugas di kapal induk, mengayunkan pedangnya ke udara dan memasukannya lagi ke sarung yang tersampir di pinggangnya. Ia mendengus, mendelik seolah ancamannya sudah cukup dan kembali mendayung sekoci namun tak lama perhatiannya teralihkan pada seorang prajurit yang tengah diserang mabuk laut.
"Apa Braudhook serius membawa prajurit macam itu? Dia lebih pantas berada di perpustakaan bersama orang-orang yang senang tenggelam dalam buku daripada tenggelam dalam air garam," ketus Dievo datar.
"Dia bukan prajurit," sahut seorang pria di depannya, "dia ahli botani. Perkumpulan mereka bersikukuh ingin mengirimkan orang untuk penelitian mereka—yang sebenarnya itu adalah ide gila dari para Amberstar. Anda sudah tahu rincian kabarnya, bukan?"
"Ya ... dia akan mati sebelum sampai ke bibir pantai. Barusan sepertinya ia mengeluarkan olahan sup ayam beserta lambung dan usus-ususnya."
Pria di depannya menggeleng, terdengar tawa yang tertahan. "Ya, dan sepertinya kita memang tak akan pernah sampai ke bibir pantai mana pun."
"Apa?" Dievo tampak heran. Pria di depannya sedikit mencondongkan badannya ke samping sehingga Dievo bisa melihat batuan karang di tengah lautan tenang. "Aneh. Seharusnya matahari sudah terpeleset dari tadi."
"Itulah kenapa pulau itu dinamai Pulau Senja. Mungkin kita telah memasuki dimensi lain," ujar pria yang lain.
"Jangan konyol. Kita bukan ras Ignis—kita hidup dengan cara yang masuk akal dan menciptakan magis dengan sistem yang logis."
"Anda tidak percaya akan hal-hal sepeti itu, Tuan?"
"Jika aku percaya, maka aku tak akan menjadi seorang mantan jenderal yang kalian kagumi."
Kemudian pecahlah tawa dalam sekoci mereka. "Masa kejayaan Anda sudah berlalu lama sekali, Tuan. Cerita-cerita mengenai Anda hanya untuk lelucon sesama kawan sekamar saja di kemiliteran sekarang." Melihat tingkah prajurit-prajurit dalam sekocinya, Dievo lalu teringat pada Phyrein dan lima prajurit yang menjaga kapal induk. Jika apa yang dikatakan mereka benar, maka ia harus mulai mencemaskan putrinya sekarang juga.
"Kau—" Dievo hendak mengumpat, meninju mulut siapa saja yang berani menertawainya, namun sekoci berguncang cukup keras. Semua saling berpandangan. Prajurit-prajurit dalam kelompok lain pun sama herannya. Ted Braudhook menyiagakan tangannya pada gagang senapan. Dievo sekilas mulai mengenali kawannya itu lagi. Itu dia, pikirnya, Braudhook yang paranoid dan pengecut. Namun semua mata dan fokus makin waspada ketika terjadi guncangan lagi dan lagi. Senja masih di sana, begitu pun batuan karang dan lembayung jingga yang tampak dekat sekaligus jauh. Dievo berspekulasi bahwa ini hanyalah fenomena langit yang biasa menipu pandangan manusia—semacam fatamorgana di padang gurun yang berombak.
Ombak. Entah sejak kapan laut kembali memiliki gelombang dan angin kian berdesir lagi dari entah arah mana. Lantas terdengar lolongan yang begitu menyayat, seperti seorang wanita yang tengah sekarat, namun rasanya ada sesuatu yang lain dalam jeritannya.
"Seirenes," kata salah seorang prajurit sambil menunjuk ke dalam air.
"Tidak mungkin! Ini di jauh dari kawasan mereka," sergah yang lain. Tapi panampakan perempuan setengah ikan itu tampak jelas, berenang, melenggak-lenggok kian kemari dalam gelombang pasang. Seseorang mulai menembak—Seirenes bukan makhluk yang mudah berdamai dengan pelaut asing—lalu desingan peluru kian menggila.
Dievo bangkit dan siap ikut serta dalam baku tembak, namun ia ragu. Seirenes itu berenang menuju ke arahnya dengan wajah yang tak asing dalam memorinya. Kian dekat, semakin dekat, hingga Dievo nyaris kehilangan mental untuk menekan pelatuk. Dan saat itulah ia tertipu: batu karang muncul ke permukan menggantikan sosok seirenes tersebut dan menghantam sekoci cukup keras.
"Tipuan!—sialan!—ini jebakan!" teriak Dievo meski ia ragu apa sebenarnya yang menjebak mereka. Tak lama, satu persatu teriakan para prajurit terdengar, menandakan bahwa 1, 2, 3 sekoci telah hancur dihantam batuan karang dan semua awaknya hanyut tenggelam. "Dayung! Hindari batuan karang!" perintah Dievo, sejenak melupakan keberadaan Braudhook yang sibuk dengan sekocinya sendiri sambil mengumpat—atau berdoa dengan cengengnya.
Sekoci Dievo hampir terjungkal ketika batu karang berujung runcing timbul ke permukaan secara tak terduga dari arah samping. Dievo mesti memutar otak, mencari alternatif, namun gelombanng pasang dan badai angin di senja yang menyilaukan itu mengaburkan sedikit dari konsentrasinya berpikir. Hindari karang! Hindari karang! Ia hanya mengandalkan instingnya saja kali ini untuk mengatasi batuan-batuan yang muncul secara acak dari dalam lautan sinting. Kemudian batuan-batuan itu berhenti bermunculan. Gelombang mulai kembali tenang, namun satu lagi yang tak mereka mengerti.
"Seharusnya lembayung itu di arah sana, bukan?" tanya Braudhook yang sama basah kuyupnya dengan yang lain sambil menunjuk ke Barat. Ia mengeluarkan kompas, dan rupanya benda itu pun sependapat dengan spekulasinya. Dievo tak ingin mempercayainya, tapi kompasnya sendiri mengatakan hal yang sama—horizon telah pindah ke ufuk Timur.
"Mungkin sekarang telah pagi." Dievo kembali memberi usulan yang masih masuk di akal. Namun ketika mereka disibukkan oleh tingkah alam yang membingungkan, matahari telah benar-benar tenggelam. Malam baru datang pukul 9.
Hening.
"Kalian dengar?" Dievo celingukan mencari sumber suara, namun yang lain tampaknya tak mendengar apa pun. "Di bawah sini, kalian dengar itu?" Ia mengais-ngais air tapi di sana hanya ada pantulan langit tak berbintang. Gelap, suram, dan suara itu makin jelas di telinganya. Kemudian pantulan langit berubah menjadi pantulan sosoknya yang gagah berwibawa dalam setelan seragam kemiliteran, di sampingnya muncul seorang wanita. Begitu cantik dengan dua balita kembar dalam gendongan. Dievo ingin meraih sosok-sosok itu, mengesampingkan kewarasannya sebagai manusia, dan menceburkan wajahnya ke sana. Semua orang terperanjat kaget ketika Dievo mengangkat wajahnya lagi ke udara lepas dengan sama terkejutnya.
"Demi Dewa!" umpatnya tak percaya. Ia mengedarkan pandangannya pada tatapan orang-orang dalam sekoci yang selamat—lama menatap Braudhook sebelum mengedikkan kepala ke arah air. Kemudian Dievo kembali menceburkan wajahnya, kepalanya, seluruh badannya hingga tak lagi berada dalam sekoci.
Ia melabrak prinsipnya sendiri sebagai manusia biasa dengan suatu hal di luar nalar ilmiah. Alih-alih tenggelam, ia muncul di permukaan laut asing. Seperti menembus sekat kaca. Ia megap-megap dan berusaha mengingat caranya bernapas, dan ia berhasil. Prajurit yang tersisa, Sang Jenderal Braudhook, dan seorang ahli botani—Dievo tak habis pikir orang itu bisa selamat dari serangan tadi—muncul satu persatu menyusul Dievo menembus dimensi lain. Dan di sinilah mereka, sampai di tujuan.
Mata kelabu Dievo tak henti menatap pulau di depannya dengan kabut dan menara kastil yang amat tinggi di puncak, sebelum mereka mulai berenang ke tepian pantai.
BAB II
Precious Twilight
Jingga membungkus bumi.
Gelap meraba, merangkak ke langit namun tak jua menghapus warna jingga yang ada.
Aku menangis, tersedu-sedan, tercekik air mataku sendiri.
Mereka bilang, dramatisasi warna-warna kelam itu adalah yang disebut Senja.
Penuh duka, gelap tapi masih bercahaya, bercahaya tapi terlalu temaram.
Bukan pula abu-abu di antara hitam dan putih.
Senja adalah duka yang dipikul penderitaan.
Sangat sangat sangat nestapa.
.
Phyrine. Selalu dengan lembut jika Diev yang menyebut namaku. Seakan ketika ia melakukannya, kemilau sayap kupu-kupu bertebaran di sekitarnya. Namun sayang, untuk beberapa waktu ke depan mungkin aku tak bisa mendengarnya menyebut namaku. Dievku terkasih, meninggalkanku di kapal bersama lelaki-lelaki jahanam, yang tega-teganya merantai tanganku dan melemparku ke sudut gelap kabin kapal. Diev pergi menjalankan misi, terpaksa. Ia tak ingin melakukannya sebenarnya, aku sangat tahu. Hanya saja, karena keberadaanku di sisinya, Diev harus memasrahkan diri ikut berkespedisi.
Penakhlukan Pulau Kastil Senja.
Seperti yang pernah kubaca di sebuah buku; tentang Kastil Senja, tentang pulau gersang yang tanahnya tak bisa menutrisi tumbuhan-tumbuhan yang ditancapkan di sana, juga tentang rasa sakit hati. Ditulis oleh seorang cendekiawan yang aku lupa siapa namanya. Meskipun lebih dari itu, aku, mengetahuinya lebih dari yang tertulis di sana.
"Kau pikir, di pulau seperti itu ada sesuatu yang menakutkan? Aku tidak merasakan apa-apa selain gatal di tanganku akibat air laut." Aku mendengar suara seseorang yang sedang bercakap di atas kapal. Suaranya serak dan tidak enak didengar.
"Prajurit sepertimu alergi air laut?" lalu suara tidak enak lainnya menyahuti. Berucap seakan menyindir temannya yang berceloteh tadi.
"Mungkin dia kudisan gara-gara bermain dengan wanita di rumah pelacuran. Itu tuh, yang sewanya murah." Ugh, pembicaraan laki-laki selalu seperti itu. Mereka banyak bicara tapi tak ada isinya. Sangat berbeda dengan Dievku yang bicara seperlunya namun bisa membuatku berbunga-bunga.
"Oi, gadis kecil. Makan ini!"
Terlarut menguping pembicaraan di atas sana, membuatku terpekik pelan ketika ada seseorang yang melemparkan roti ke tempatku. Roti terigu, seperti yang kumakan bersama Diev sehari-hari. Tapi, jika aku harus memakannya sendiri di tempat seperti ini, dengan kerinduan pada Diev, aku rasa aku tak sanggup melakukannya.
Air mataku bercucuran, merembes deras melewati deretan bulu mata hingga terjun bebas mengaliri pipi. Lalu sesenggukan tanpa sempat menyentuh roti terigu yang dilempar untukku.
"Dasar sial! Bukannya dimakan malah nangis!"
Laki-laki itu, yang napasnya bau busuk meskipun dari jarak tiga meter keberadaannya dariku kini menghampiriku, lalu mulai menendang-nendang tubuhku. Aku meringkuk, melindungi diri meskipun rasanya sia-sia. Tangisku makin tak terhenti karena kini aku kesakitan. Kejam sekali pria napas bau itu ... dia kejam, bajingan. Aku jadi semakin yakin, tak ada pria selain Diev, yang meskipun selalu merana terjerat masa lalu tapi tetap berlemah lembut padaku.
"Hoi! Hoi! Apa yang kau lakukan?!" Namun, akhirnya seorang pria yang lain menginterupsi. Suaranya kukenal sebagai si kudisan yang katanya alergi air laut. "Jangan melukainya. Kalau si mantan jenderal itu tahu kau melakukan ini pada gadis kesayangannya, kau bisa dibunuh," lanjutnya menasihati.
"Siapa maksudmu?! Si Swart itu?! Kau berharap apa darinya? Dia tidak mungkin kembali ke sini. Memangnya kau tidak tahu jika tidak ada yang selamat dari ekspedisi di Kastil Senja?"
Si kudisan diam. Ia menatap temannya, lalu beralih menatapku. Aku hanya bisa mengintip interaksi mereka dari sela-sela lengan yang menamengi wajahku, berjaga-jaga jika nanti aku ditendang lagi.
"Iya, sih. Memang benar. Lalu, jenderal kita bagaimana? Jenderal Ted Braudhook? Kau berharap dia juga tidak kembali?" tanyanya lagi pada si napas bau.
Namun, pria napas bau mengedikkan bahu. "Siapa yang tahu," ujarnya tidak peduli. Tapi sejenak kemudian dia kembali mengalihkan tatapan memuakkan itu kepadaku, kemudian menyeringai.
Seringaiannya menakutkan. Aku seperti mengenali cara menarik bibir yang tidak wajar itu. Kumohon ... jangan sampai firasatku menjadi kenyataan.
"Apa kau tidak berpikir bahwa gadis itu boleh juga. Usianya 13 tahun, kan? Tubuhnya sudah bagus, ya?"
Sialan kau napas bau. Apa yang kau pikirkan tentangku?
"Hmm ... benar juga. Dia bahkan lebih cantik daripada perempuan-perempuan di rumah bordil."
Kumohon ... jangan menyetujui ucapan gila si napas bau. Dia itu gila. Jangan didengarkan. Kumohon. Ingatlah bahwa Diev akan membunuh kalian jika kalian menyakitiku. Percayalah bahwa jenderal busuk kalian−si Ted−akan kembali dengan selamat, bersama Dievku.
"Kau pasti tahu apa yang kupikirkan sekarang." Si napas bau menaik-turunkan alisnya. Ia bersitatap dengan si kudisan, saling memberi isyarat bahwa mereka memiliki rencana jahat yang sama.
Aku buru-buru berdiri. Beruntung karena mereka tidak mengikat kakiku, hanya tanganku saja yang terantai seperti sapi ternak. Namun, mereka malah semakin lebar menyeringai, mendekatiku perlahan-lahan dengan mata berkilat menakutkan.
"Jangan mendekat ... kumohon Tuan ...," rengekku meminta pengampunan. Seburuk apapun aku menghujat mereka, mana mungkin aku berani melawan. Gadis lemah sepertiku ini, didorong saja sudah pasti akan berguling-guling.
"Tenanglah gadis kecil. Kami cuma ingin mengajakmu bersenang-senang." Lagi-lagi si napas bau yang berbicara. Dasar profokator. Semoga dewa-dewi menjahit mulutmu dengan kawat panas.
Aku melipir, menyusuri dinding-dinding kapal di belakangku, berjalan menyamping seperti kepiting. Sayangnya, dua pria jelek itu tiba-tiba menerjangku. Si napas bau memegang kedua tanganku, mencengkeramnya kuat. Sementara si kudisan berusaha meraba-raba tubuhku, bergerilnya ingin melepas pakaianku.
"Tidak! Jangan!"
Aku meronta, menjerit seperti kesurupan, bergerak sekuat tenaga agar bisa lepas dari pria-pria menyeramkan ini. Tidak ... aku tidak ingin disentuh oleh mereka. Tidak ... Diev di mana kau? Diev ....
BRAK!
Aku terlempar, ke sudut lain kabin. Begitu pula si kudisan dan si napas bau. Sepertinya kapal usai bergoncang kuat, aku tidak tahu apa sebabnya, terlalu tiba-tiba. Namun, kesempatan ini tidak boleh kupercumakan. Aku bergegas meloloskan diri dari cengkeraman si napas bau. Dia masih mengaduh-aduh akibat menabrak dinding kapal. Begitu pula si kudisan.
Tergesa-gesa aku bergerak ke luar kabin, namun di pergoki oleh prajurit yang lain. Saat itu, aku tidak bisa berpikir macam-macam. Jalan yang menurutku benar hanya menceburkan diri ke laut. Dan, begitulah yang akhirnya kulakukan.
Sempat kudengar beberapa pria yang mencoba menjaringku dengan jala, sementara kedua kakiku bergerak-gerak agar bisa ke permukaan. Tapi saat mencoba menggerakkan kaki lagi, tangan-tangan yang kemunculannya tak kutahui datang dari mana, menarik-narik kakiku. Mereka menarikku semakin dalam ke laut, ke dasar yang tampaknya sangat gelap dan dingin.
Kenapa menakutkan sekali? Kenapa jika tidak ada Diev di sampingku semuanya jadi menakutkan begini?
"Uhuk."
Dengar itu, suara itu adalah persediaan terakhir udara di mulutku. Rasanya semakin sesak, dadaku terbakar, semakin gelap. Di mana kau Diev? Penyelamatku ....
"Puah!"
Sudah senja ... langitnya berwarna jingga. Sepi sekali. Anginnya bertiup. Dingin. Tapi ... bukankah aku tenggelam?
Apakah ini yang disebut dengan tertarik ke dimensi lain?
Segera aku beranjak duduk setelah sebelumnya terbaring di atas pasir. Saat kulihat sekeliling, aku menyadari bahwa aku sedang berada di tepian pantai. Mungkin pemikiranku tentang dimensi lain itu terlalu mengada-ada, lebih logis jika aku mungkin saja tenggelam lalu terseret ombak ke tepian pantai. Tangan-tangan di kakiku itu, mungkin ilusi karena aku hampir mati.
Tapi, tidak. Bukan ilusi. Aku tidak selogis itu, aku tidak seperti Diev. Aku pemuja roh-roh, mana mungkin aku bisa mengabaikan entitas yang kusembah-sembah.
Sebenarnya aku tidak peduli apapun itu, aku hanya ingin tahu sekarang berada di mana. Langit kelam ini benar-benar nyaman untuk dinikmati. Keheningan ini sangat kurindui. Mungkinkah aku mengetahui tempat ini?
Saat kutoleh kebelakang, aku bisa melihatnya. Sebuah menara tinggi yang terpapar cahaya redup dari langit. Menara yang indah dan menakutkan. Aku menyukainya tapi berat hatiku ketika melihatnya. Dengan tangan yang masih terikat rantai, kuberanikan kakiku untuk mendekati menara suram itu. Melewati hutan yang pepohonannya kering dan menghitam.
Kurasa aku kerasukan. Bisa-bisanya melewati hutan mati seperti ini−dengan kabut tebal dan keheningan yang begitu mistis. Aku tidak mengada-ngada saat kukatakan aku kerasukan, sebab aku sering mengalaminya, sering sekali. Dievku terkasih tidak pernah tahu jika aku seperti ini, karena saat-saat menjadi gadis penakut dan selalu berlindung di punggungnya adalah hal terbaik yang membungai hatiku.
"Jenderal! Sudah saya periksa di sekitar kastil. Pintu masuknya bisa dibuka!"
"Baguslah. Ayo ke sana dan jemput kemewahan yang bisa kita genggam setelahnya. Hahaha!"
Suara itu. Si jahanam Ted. Aku mengenalinya. Apakah ... apakah di sana juga ada Diev? Kumohon, kumohon jawab aku Diev.
"Diev! Diev! Diev!" jawab aku Diev. Hampiri aku jika kau berada di sekitar sini. "Diev ini Phyrine! Diev!" dengar itu Diev? Suaraku bahkan rasanya menggema ke seluruh pulau. Jika kau ada di sini, pasti bisa mendengarku, kan? Kau tidak akan mampu mengabaikanku, Diev. Aku refleksi orang-orang terkasihmu. Istrimu, anak-anakmu ... semuanya ada padaku. Kemarilah Diev. Jemput aku. Kebahagianmu ada bersamaku.
"Phyrine!"
Aku menoleh cepat. Sambil bercucuran air mata aku berlari tertatih-tatih menghampiri seseorang yang sedari tadi kupanggil. Diev yang terkasih. Dia mendengarku, berlari menyongsong keberadaanku dan memelukku erat melihatku selemah ini.
"Kau benar Phyrine, kan?" tanyanya tegas ketika mendekapku.
Aku mengangguk kencang. Mulutku berkomat-kamit ingin mengucapkan banyak hal tapi rasanya lidahku terlilit, sulit sekali. "Aku terjun ke laut, diseret tangan-tangan lalu terdampar. Aku tidak tahu bagaimana ini terjadi, prajurit-prajurit di kapal itu jahat. Mereka terpelanting dan dan ...." tak bisa kulanjutkan. Aku tak tahu harus bagaimana mengawali dan diakhiri seperti apa. Yang paling penting sekarang adalah keberadaan Diev. Aku yakin, jika ada Diev semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada lagi kejadian buruk.
Namun, pelukan Diev hanya sesaat, sebab setelah itu ia segera menghampiri si jahanam Ted dan mencengkeram kerah pakainnya. "Kaulah yang bertanggung jawab atas perlakuan prajuritmu terhadap Phyrine."
Diev pasti marah. Terdengar dari caranya bicara, suaranya dalam dan dingin. Dia sangat marah. Namun, Ted yang jahanam dilindungi oleh prajuritnya, mereka mencengkeram tangan Diev dan menghempaskannya. Hanya dua orang yang berada di samping si jahanam Ted, ke mana prajuritnya yang lain.
"No ... Nona kau tidak apa-apa? Tanganmu terikat." Seorang pemuda nan kurus menghampiriku, entah siapa dia. Dia tak cocok sebagai prajurit dan juga setidaknya lebih sopan dari mereka.
Namun, Diev tak mengacuhkan siapapun pemuda itu yang mencoba perhatian padaku. Ia menghampiriku dan melepas ikatan rantai di tanganku. Lihat itu, Dievku sangat kuat. "Kita akan pergi dari sini, Phyrine," ucapnya tegas. Dia tidak berteriak tapi suaranya terdengar menakutkan.
"Apa maksudmu Swart?! Tidak ada yang boleh meninggalkan pulau ini sebelum misi kita berhasil!" si Ted yang jahanam berteriak tidak terima.
Namun, Diev hanya tersenyum miring. Ia menatap remeh si jahanam Ted sembari berujar, "tidak ada alasan bagiku untuk terus melanjutkan ekspedisi ini. Phyrine sudah ada bersamaku."
Tidak, tidak. Jangan pulang dulu Diev. Kastilnya ... aku ingin masuk ke manara kastil itu. Aku suka sorotan temaram di sini.
"Ucapan Tuan Braudhook benar, Reimst Swart. Saya pun belum melakukan penelitian apapun di sini." Pemuda kurus itu menyahut tapi Diev hanya tersenyum remeh.
"Aku tidak mengajakmu pulang, Bocah."
"Nama saya Rein, Reimst. Silahkan diingat." Namanya Rein, ya? Aku mungkin perlu berkenalan dengannya untuk berterima kasih karena sudah memperhatikanku. Memanggilnya kakak mungkin akan lebih baik, Kak Rein, begitu. Terdengar sopan. "Memang benar, Reimst Swart tidak mengajak saya ikut serta pulang, akan tetapi firasat saya buruk jika kita berpisah di sini."
Firasat. Jangan mengatakan hal seperti itu, Kak Rein. Diev tidak suka. Berucaplah yang logis agar Diev percaya padamu.
"Firasat, heh. Ayo pulang, Phyrine."
Tidak, tidak. Aku tidak ingin pulang. Tidak ingin. "Tidak Diev ... kita lanjut saja, ya?"
Diev menatapku penuh selidik. Matanya memincing tajam, seperti mencekikku jika aku tidak bisa menjelaskan kenapa aku tak ingin pergi dari sini.
"Di ... di pantai aku tidak melihat ada sekoci atau kapal atau apapun. Bagaimana kita bisa pulang?" rayuku lagi.
"Heh. Dengar itu. Gadis kecilmu bahkan lebih tau apa yang harus dilakukan." Diam Ted yang jahanam. Aku tidak ingin mendengarmu.
"Benar, Reimst Swart. Kita tadi terdampar di sini."
Diev diam. Aku tahu gerahamnya pasti sedang bergemelutuk. Ia menatapku lagi dan aku menatapnya pula. Kumohon Diev ... aku ingin masuk ke sana. Ayo ke manara itu, ya?
"AAAAAAAAAAAAARG!"
Kami semua menoleh ke arah menara kastil. Itu tadi suara jeritan, kan? Benar? Suaranya sedih sekali. Kasihan ... aku harus melihatnya. Siapa yang menjerit seperti itu.
"Phyrine!"
Suara panggilan Diev seperti tak terdengar. Kakiku bergerak begitu saja, berlari menuju pintu masuk kastil yang usang dan penuh lumut. Kubuka pintunya, suaranya berderit penuh derita. Lalu kaki ini masuk perlahan, mejejaki lantai kastil yang dingin dan lembab. Aku tahu Diev dan yang lain mengikutiku di belakang, tapi aku seakan tak mengacuhkan.
Aku ingin masuk lebih dalam. Ingin sekali.
BAB III
Rein Perspective
Angin bersiul di temani oleh sinar jingga matahari senja yang tak kunjung turun dari tahtanya. Nona yang sepertinya sangat akrab dengan Reimst, mantan jenderal itu langsung berlari ketika mendengar suara jeritan aneh dari dalam kastil senja.
Aku tak tahu harus bagaimana sehingga yang bisa kulakukan adalah mengikutinya beserta kelima orang lainnya yang sama-sama tersentak mendapati nona itu masuk ke dalam kastil senja.
Suara jeritan adalah hal pertama yang kusebut ketidak logisan itu sendiri. Semenjak aku menginjakan kaki di pulau tak berpenghuni ini, kompas di lengan kiriku sama sekali tidak berfugnsi dengan semestinya.
Berputar tak karuan berlawanan arah dengan arah jarum jam itu sendiri. Tidak hanya itu, sebuah jeritan?
Mungkin aku dapat menyimpulkannya seperti fenomena supernatural jika boleh kukatakan seperti itu. Pulau tak berpenghuni, kabut yang cukup tebal menutupi hutan sehingga membuat kami kesusahan, namun sepertinya dewa keberuntungan memihak kami.
Kami akhirnya sampai kemari, kastil yang tak terurus sehingga dengan mudahnya dapat di invasi oleh lumut-lumut serta sekumpulan serangga yang tak ber-rumah.
Dan sekarang aku—tepatnya kami, akhirnya masuk juga ke dalam kastil senja ini. Walau pun sepertinya firasatku mengatakan sesuatu yang buruk, tetapi akibat rasa penasaran yang tak bisa kutahan ini. Kuputuskan untuk meneruskannya.
Kuraba-raba pinggirnya serta kuhirup udaranya. Hanya lembab dan juga amis yang kurasakan. Suasana di sini begitu gelap namun tak membuatku gempar.
" Phyrine?."
Suaranya tampak tidak asing kukenal, ternyata dia adalah Reimst. Jadi nama nona itu adalah Phyrine kah ... Cukup unik.
Aku pun langsung menghampiri tuan Diev yang tampaknya khawatir itu, posisinya tidak jauh dari Ted Braudhook. Sebuah kastil? Yang benar menara berlumut dan juga kokoh jika kupandangi secara menyeluruh.
Entah mengapa aku menangkap sesosok siluet tidak jauh dari Reimst berada.
" Reimst, nona yang anda cari sepertinya berada di sana," tuturku pelan.
Hanya tatapan remeh yang kudaptkan darinya. Ia pun langsung menhampiri sosok siluet itu. Sementara Ted hanya celingak-celinguk bersamaan dengan kedua prajurit lainnya. Menatap kekosongan dengan tatapan buta tanpa arah.
Memang kuakui di sini sangatlah gelap, walaupun sinar jingga itu berhasil mengintip dari balik sela-sela pintu batu yang kokoh. Namun cahayanya tidak cukup untuk dapat menerangi penglihatan kami.
Langkah kakiku terangkat lalu menhentak lantai berbisik. Sekilas aku mendengar bunyi aneh dari samping kiri dan kananku.
Tidak kusangka bahwa sebuah obor menyala secara bergiliran.
Dan yang paling parah di antara yang terparah adalah suara gemuruh dari belakang kami berada. pintu batu kokoh itu tertutup sementara jajaran obor sepanjang garis pinggir mulai menyala satu-persatu.
Kucoba berlari untuk menghentikan pintu itu tertutup, namun sayangnya tak bisa kuhentikan hingga akhirnya kami terjebak di menara ini tanpa satu pun petunjuk yang jelas. Hanya sebuah titah lah yang mendasari mereka semua hingga akhirnya berada di sini.
Sementara aku mengikuti mereka ke sini karena kebetulan destinasi yang mereka tuju adalah tempat selanjutnya yang akan kuteliti. Terlebih lagi saat ini, ketika aku berpaling dan mendapati wajah tegang dari Reimst.
Ternyata siluet yang tadi kulihat dan ia lihat juga hanyalah sebuah ilusi belaka, itu bukanlah nona Phrynie. Ia mengepalkan tangannya lalu mencengkramnya seakan-akan mencengkram kenyataan pahit ini. Dimana ia terpisah kembali dengan nona Phryine.
Lalu kini tanpa pandang dulu, gilirannya untuk memimpin ekspedisi ini. Wajah Ted nampak kesal jika kupandangi dengan seksama." HEIII! Mengapa kau yang memimpin kali ini, Diev?!," ucap Ted bergema di sekelilingnya.
Tetapi sejauh yang kulihat Reimst masih terus berjalan menelusuri tempat ini tanpa kenal rasa takut. Orang berpangkat jenderal kali ini tampak seperti ketakutan—ya, dia adalah Ted Braudhook.
Aku melintas, melewati sosoknya yang lebih besar dan tinggi ketimbang diriku sendiri. Ia bagaikan tembok raksasa yang memakai topeng kata kokoh. Sembari kuikuti jejak Reimst dari belakang, tak terasa kami mendapati sebuah tangga batu yang melingkar di pinggiran tembok.
Cahaya remang-remang dari arah obor memang cukup memuaskan bagiku, tapi tidak sosok yang mungkin saja menunggu kedatangan kami ke arahnya. Reimst memimpin tanpa sepatah kata apapun, aku mengikutinya dari belakangnya dan terakhir adalah pasukan Ted Braudhook yang angkuh.
Selangkah demi selangkah bagi kami untuk menemukan kebenaran dari asal suara jeritan itu nampak semakin dekat. Tangga bebatuan ini cukup licin, tetes-tetes suara air mencelup dan bergema di sepanjang tangga yang kami lewati.
Lumut-lumut bersarang dimana-mana, entah itu di tembok, tangga batu yang mungkin saja akan runtuh setiap saat. Suara setapak kaki terdengar jelas, menghentak bebatuan tempatnya berpijak.
Suara itu kembali terdengar ...
AAAAAARGGHHH!!!!!
Kami semua tersentak kaget mendengar jeritan itu. Memekik kencang, seperti memecut gendang telinga kami dengan halus. Dan dengan respon cepat berlari menaiki tangga ini lebih cepat dari hanya jalan biasa yang di landasi rasa was-was.
Napasku cukup tersengal-sengal karena tubuhku bukan di rancang sebagai atlit melainkan sebagai peneliti. Setetes keringat turun jatuh dari atas dahiku , meluncur turun melewati persimpangan samping mata kiri dan akhirnya menetes dari dagu hingga akhirnya membasahi bajuku.
Kuregangkan kedua pergelangan tanganku sambil menunduk, mengambil persedian oksigen gratis yang belum terjamin akan kebersihannya. Di dalam tempat lembab yang seperti ini hanya ada rasa mencengkam yang membuntuti kami secara perlahan.
Merangkak dari tempat yang tergelap dan akhirnya menampakan diri tepat sebelum ajal mulai menjemput." Jenderal Ted, apa a-anda yakin akan meneruskan ekspedisi ini?."
Nampaknya para prajurit Ted mulai menciut nyalinya. Dari suaranya saja terlihat bergetar.
" HUH?! APA KALIAN CUKUP BODOH UNTUK MENINGGALKAN HADIAH BESAR YANG AKAN MENANTI KITA?! JIKA KALIAN TIDAK SANGGUP MAKA SEGERA ENYAHLAH DARI—
"Huh? Mengapa ia berhenti?." Sepertinya situasi yang akan kulihat kali ini akan menjelaskannya dengan pasti.
Kepalaku perlahan mulai berputar. Melirik mereka yang terdiam dalam hitungan detik, menciptakan kepastian yang mungkin saja merubah arah kami menuju tempat yang belum dapat kami raih. Manik mataku bersinar kelam, melihat sosoknya yang seharusnya tidak ada di dunia ini.
Sementara kedua prajurit yang menemani Ted terjatuh dalam lemas, melihat sosok yang kini berada di hadapan mereka. Senjata teracungkan dari tangan kanan Ted. Tetapi apakah senjata itu akan ampuh, mampu melukai sosok besar dan misterius itu.
Wujudnya bagai boneka yang rusak, tinggi melebihi Ted. Dengan jahitan yang kendur serta busa-busa yang mencuat dari kulit imitasi. Coklat hitam, dengan mata bulat yang besar, noda-noda merah nampak menghiasi kepala serta kedua tangannya.
Sementara perutnya yang masih utuh namun kusam itu tiba-tiba memuntahkan jeroan yang amis. Kini aku dapat melihat mimik wajahnya, seringai mulai keluar pelan-pelan. Rankaian gigi-giginya tajam seperti sebuah pisau kecil yang tajam.
Merah darah. Lalu pada akhirnya matanya yang gela itu terbuka, memancarkan sinar merah kelam yang menyiratkan Game Over." Ma-ma-mari ... b-b-bermain, khakhakhakhakha!."
Suaranya seperti mainan rusak yang terbelit kabel-kabel listrik. Dan tiba-tiba saja kepalanya berputar mengeluarkan rankaian suara organ-organ tunggal yang melengking dengan tawanya yang memekikan telinga.
DOR!!!
Suara itu keluar dengan tiba-tiba dari belakangku, melengking begitu tajam dan keluar dari benda berbatang silinder logam. Mengeluarkan sebuah benda mungil yang tajam dan juga menyayat ketegangan itu menjadi sebuah harapan yang palsu.
Sebuah peluru, melesat dengan cepat, melewati samping kanan kepalaku beberapa sentimeter. Merontokan beberapa helai rambutku yang cukup berisi.
Pada akhirnya benda mungil itu terpental setelah mengenai tubuh mahluk aneh yang kini sedang tertawa dengan senyum seringai yang buas.
" Reimst?!."
Tak kukira suara itu berasal dari pistol yang kini di genggam oleh Reimst, namun wajahnya menyiratkan kekecewaan karena tembakannya tidak berhasil memusnahkan mahluk aneh itu.
Dan jika itu tidak berhasil maka selanjutnya yang harus kami lakukan adalah ...
" WHUAAAA!!! ... LARI!."
Mereka—para prajurit itu dengan tenaga yang mereka miliki bangkit, dengan kaki mereka yang bergetar hebat berusaha melarikan diri dari mahluk yang kini mereka sebut sebagai monster. Namun pimpinan mereka yaitu Ted telah mendahului mereka di depan.
SCRASTTT!!!
Hingga beberapa detik sebelumnya suara itu keluar, melambungkan dua buah benda yang tak asing untuk di lihat. Dua buah kepala terbang melayang melewati Ted, diriku serta Reimst di depan sana.
Mereka telah mati karena kepala mereka terlpenggal dengan cukup hebat. Memuncratkan darah merah kental yang masih hangat.
Dari apa yang pernah kualami sebelumnya, inilah satu-satunya yang paling teraneh dan juga tergila yang pernah kualami selama ini. Seringai buasnya mulai menghias wajahnya kembali dan ia pun mulai berlari dengan cepat ke arah kami.
Apa yang kami lakukan selanjutnya hanya berlari di penuhi rasa putus asa yang menghinggapi perasaanku kali ini. Buku-buku berserakan menghalangi jalan pelarian kami bertiga. Reimst tampak gesit dan tidak gusar sedikit pun.
Sementara Ted ia berkomat-kamit menyumpah mahluk itu dengan nada yang kasar. Untungnya kami sampai di tangga selanjutnya yang menghubungkan lantai ini dengan lantai atas. Rasa lega akhirnya dapat kurasakan.
Mahluk itu terdiam di tangga batu paling bawah, bentuk tubuhnya yang besar tidak bisa menapaki tangga batu kokoh yang cukup kecil ini. Namun siapa sangka kedua tangannya mulai terangkat lalu menempel pada dinding lalu mulai merayap mengejar pelarian kami bertiga.
Waktu yang kami habiskan untuk melarikan diri darinya benar-benar memakan adrenalin dan akhirnya stamina pun menjadi korban terganasnya. Lantai tiga telah berhasil kami lewati, kini kami sampai di lantai empat dan akhirnya kami berhasil mencapai lantai lima dengan tubuh yang penuh dengan tetes-tetes keringat.
Obor-obor penerangan di sepanjang dinding berkedip-kedip karena tertiup angin dari pelarian kami. Sinarnya yang mulai redup tampaknya membuahkan ide bagiku. Sebelum kami akhirnya tiba di lantai lima, kuambil salah satu obor yang menerangi penglihatan kami.
Ketika mahluk itu merenggangkan kepalanya yang beringas, kulempar obor itu ke arahnya. Dan alhasil ia menjerit seperti seorang perempuan yang kerasukan. Suaranya sungguh kencang sekali hingga membuatku harus menutup kedua telingaku rapat-rapat.
Tubuhnya mulai terbakar hebat, langkah kakinya tak pasti akan kemana. Melangkah mundur dan akhirnya jatuh berguling-guling menuruni tangga dengan api yang membakarnya.
Napas kelegaan berhasil kudapatkan, tetapi tangga batu kokoh itu mulai hancur. Atau lebih tepatnya lepas satu persatu akibat tubuh mahluk yang kini tertelan dasar kegelapan tanpa kepastian di bawah sana.
Jika suara jeritan itu berasal dari mahluk yang tadi, berarti ekspedisi ini telah usai, namun mengapa nona Phrynie belum menunjukan ujung batang hidungnya.
Tetapi kelegaan itu hancur menjadi kepingan kaca ketika suara misterius mulai terdengar kembali. Ya ... suara jeritan itu, suaranya semakin jelas terdengar di atas sana. Sepertinya nona Phyrine berada di tempat itu.
Ted masih belum pulih namun ia berusaha menyusul kami berdua menuju lantai selanjutnya. Decitan tikus-tikus mencuat di pinggir-pinggir tembok yang lebarnya tidak lebih dari lebar enam orang seperti Ted.
Akhirnya kebenaran akan terungkap, kini kami sampai di lantai yang sepertinya lantai teratas karena kami bisa melihat sinar jingga untuk kedua kalinya. Pinggir-pinggirnya berlubang, rak buku berjajar tidak rapi.
Kertas-kertas berserakan, suasana mulai kembali membuat kami waspada untuk kesekian kalinya. Dan sosok di depan kami lah yang akan memberikan kepingan puzzle teka-teki dari asal muasal sumber jeritan tersebut.
Dengan rambut yang panjang ... sudah pasti dia adalah seorang perempuan. Ted jatuh terkulai lemas sambil menopang tubuhnya yang besar itu dengan senjata laras panjangnya, aku hanya bisa tertunduk lemas, sedangkan Reimst mendekati sosok itu.
" Phyrine?" tukasnya ketika melihat sosok yang di ketahuinya sebagai sosok perempuan yang paling berharga baginya.
BAB IV
Awal Dari yang Bermula
Phyrine tersenyum melihat kami. Sorot lembut, alih-alih menenangkan, membuat sekujur tubuh siapa pun ingin menjerit.
Terkecuali aku.
"Bantu aku, Dievo. Bantu aku. Beri aku nyawamu, kau mau kan?"
Aku menggertakkan gigi, yang lain membatu di tempatnya. Rein terdiam, mengkalkulasi apa yang akan terjadi selanjutnya. 'Nyawaku?'
Phyrine, kau bukan Phyrineku.
"Ada apa ini, Dievoku? Terkejutkah melihatku?" Phyrine melangkah mendekatiku, menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lainnya. Kilauan sinar di antara kami berkobar di matanya, dingin mencekam. Tak sanggup melangkah, termangu aku di sana, tak berkata hal lain, hanya sanggup berkeringat dingin. Seluruh otot mengencang penuh antisipasi, menunggu tindakan Phyrine yang tak tertebak.
Aura Phyrine berubah. Bukan bagai anak perempuan yang biasa kugandeng tangannya, atau kugenggam erat jemarinya kala badai menggulung di luar jendela rumah.
"Siapa kau?" bilah pedang yang selama ini tersembunyi di balik jubah kuarahkan padanya. Rasa ngilu menembus dada, jenis yang melumpuhkan, tapi hati ini nyaris mati olehnya.
"Lenyapnya istrimu?" ia bertanya sembari mengitariku, memindai apa yang ada di tubuhku, mata memandang tajam mangsa. "Terbakar hangusnya kedua anakmu?" suaranya berubah, seperti es yang membekukan jantung, mengirim sinyal bahaya ratusan kali ke organ pemikirku.
"Itu ulahku loh." Phyrine terkikik. Lalu tertawa keras, makin lama makin memilukan dan sendu. Hatiku teriris. "Kau pasti takkan mau mengerti alasannya kan?"
Air mata menggenangi dua manik mata. Sakitnya bukan main. Tulang belakangku bagai bergetar olehnya. "Maukah kau mengerti? Membantuku?"
"Apa maumu, Phyrine?"suaraku merendah, emosi menahanku, membuat tenggorokan begitu serak.
"RATUSAN TAHUN AKU TERJEBAK DI SINI! Bisa kau pikirkan itu? Menjerat jiwa-jiwa yang tersesat bukan karena keinginanku? Tapi karena kesalahan mereka berpikir bisa mendapatkan sesuatu dari kastilku? Pulauku?" Phyrine menjeritkan kesedihan, dendam, dan luka-luka tak kasatmatanya.
Kami bergeming. Tak ada yang membuka suara.
Rein mengirimkan sinyal agar aku tak menuruti permainan Phyrine. Tapi aku tahu, tak satupun dapat selamat bahkan jika aku tak membantu anak angkatku.
"Apa-maumu-Phyrine?" kuulangi pertanyaanku untuk kedua kalinya.
"Nyawamu."
***
Pulau Kastil Senja
Tak ada yang tahu pasti mengenai siapa lelaki bangsawan dalam cerita yang jatuh cinta, sakit hati karena diselingkuhi, kemudian si pahit lidah mengucapkan sumpah akan teror dari hatinya yang luka. Sampai sekarang, selalu saja pulau itu menelan korban. Layaknya seirenes-seirenes molek yang menggoda pelaut untuk tenggelam.
"Sang lelaki bangsawan adalah orang yang berkata akan mencintaiku sampai kapanpun. Entah sejak kapan cerita berubah aku selingkuh darinya." Phyrine bertutur, melangkah mendekati rak buku, tapak kakinya tak terdengar, ia melayang begitu halus seperti titisan kelopak bungan yang tengah diterbangkan angin.
"Aku menolaknya. Berkata aku milik semua yang berada di pulau ini. Lalu dia mengadakan perjanjian terkutuk." Getar amarah tertangkap olehku dan juga Rein. Ted seperti sebelumnya, terdiam lemas tak berguna sementara Rein mencermati kisah Phyrine.
"Ia mengutukku. Mengutuk kekekalanku. Mengutuk akan membuat siapapun yang mendekati pulauku, berada di dalamnya akan sengsara. Sengsara karenaku. Dan akan membenciku, secara terus-menerus, membunuhku yang tak bisa mati. Kutuk itu akan patah jika seseorang mengorbankan nyawanya dengan tulus dan memberikanku cinta tak terbatas milik mereka yang tersisa."
Masih terus berbicara, Phyrine mendekatiku lagi. Kali ini ia menjamahku, meletakkan telapak tangan kurus putihnya di dadaku. Merambat ke atas kemudian mencekik dan mendorongku jatuh. Bunyi debam diiringi rasa sakit membuatku mengerang.
"Roh pulau hidup dari cinta. Dan kebencian adalah," Phyrine mendekatkan mukanya, sehelai rambut menjadi jarak. "—racun yang akan terus menggiringku dalam nestapa. Kau mau aku terus didera rasa sakit itu, Dievoku sayang? Ayah angkatku tercinta? Bukankah aku adalah yang paling berharga untukmu?"
"Dan aku bukan?"
Gadis muda itu terbahak kencang, melontarkan kepalanya ke belakang sementara duduk di atas perutku, ia seringan bulu. Tak dapat kurasakan sisa kemanusiaan darinya. Ia bagai iblis yang membuatku menari di telapak tangannya.
"Kau yang paling berharga, Dievo. Jiwa murnimu yang terkontaminasi kesedihan dan cintamu pada mendiang keluargamu. Mereka obat paling mujarab. Karena itulah kau yang paling berharga."
Phyrine bangkit berdiri. Dari tangannya, pedang yang tadinya terjatuh dari tangan kini terhunus ke arahku.
"Demi Ted, demi Rein, demi semua orang di sini juga para jiwa tersesat yang menggila bagai dalam neraka—terutama demiku yang kau paling sayang. Bagaimana kalau kau serahkan nyawamu?" senyumnya berubah pedih, kesakitan. Rasa cintanya padaku lebih murni dari pada apapun. Aku yang selalu berharap dapat menebus dosa pada istri dan anak-anakku dengan membantu orang lain kini tergugah. Ingin kusambut ide menolongnya dengan tangan terbuka.
Benarkah ini?
"Reimst Dievo! Jangan dengarkan dia! Dia hanya ingin memerangkapmu! Istri dan anakmu takkan menyukai ini!" Rein berani memunculkan suaranya. Ketakutan menghilang dari matanya. Ia memohon padaku untuk tak menyerahkan nyawaku pada anak angkatku.
"Oh ayolah, Dievo. Demi Phyrinemu. Kau juga bisa bertemu dengan istrimu dan anak-anakmu di sana nanti."
Phyrine berjalan meraih tanganku, membantuku berdiri dengan kekuatan luar biasa yang entah muncul dari mana. "Ayo Dievo."
Diulurkannya bilah pedangku, mengkilat oleh kilau magis. Mataku terpantul di sana. Dapat kulihat istri dan kedua anakku tersenyum menyemangati.
"Aku mengerti Phyrine. Aku akan membantumu. Aku akan menyelamatkanmu serta semua yang terperangkap di sini."
Phyrine tersenyum sedih. Dan aku akhirnya mengerti cara mematahkan kutuknya.
Kuhunuskan pedang itu. Menembus sesuatu yang tak berdaging.
Phyrine berteriak. Meneriakkan suara yang lebih mengerikan dari apapun. Meracau. Membuat yang mendengar menggila dalam raungan kegelapan dan kesedihan. Jauh lebih memilukan dari tangisan para arwah yang ikut terluka oleh tajamnya pedangku.
Anak angkatku tertawa begitu keras selanjutnya. Tangannya berubah hangat dan lembut, membelai air mata di pipiku yang menetes tak terasa.
"Kau benar Dievo. Kutukan tak putus karena cinta yang hanya memikirkan diri yang dicinta. Kutukan putus ketika kau memikirkan perasaan orang yang kau cinta akan sedih ketika kehilanganmu . . ."
Tubuh Phyrine memecah menjadi debu cahaya. Serentak, kastil itu pecah menjadi serpih batu. Kami semua yang berada di sana jatuh ke dalam kegelapan yang kelam untuk beberapa lama.
'Terimakasih' terdengar di dalam hati, kurasa itu suara anak angkatku yang berbarengan dengan semua jiwa di pulau.
Ketika terbangun, semua menatap senja tak lagi senja. Senja melebur menjadi eksotisme fajar.
Senja dengan romantisme kelamnya, yang sering dihubungkan dengan akhir, telah hilang selamanya; menyambut awal dari sebuah perjalanan baru.
Phyrine menghilang dengan kutukannya. Seluruh tanah pulau menyambut kepulangan ruhnya.
Kami semua kemudian berlayar pulang. Rein kembali ke mana ia berasal setelah menyalamiku. Ted menyumpahi rencananya yang gagal, merasa rugi besar dan berniat menuntut pemerintah. Aku tertawa sopan pada perkataannya. Dan aku . . .
Aku menyiapkan seluruh barangku, menjual yang tak dapat kubawa dan kembali ke berlayar.
Menuju pulau fajar. Di sana aku akan senantiasa mengingat Phyrine dan kenangan kami. Aku merasakan kedamaian luar biasa sejak peristiwa itu terjadi.
Semua orang bebas pergi ke sana. Pemerintah memberi rasa terimakasih. Tak semua setuju dengan pendapatku mengenai nama pulau. Tapi setidaknya bagiku pulau itu adalah pulau fajar, yang menjadi awalku untuk bertemu dengan perjalanan hidup baru.
============================
created by:
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top