8. Menentang Pangeran
Keesokan harinya.
Salju terakhir mulai menumpuk menutupi taman dan jalan-jalan kota. Orang-orang yang berlalu-lalang, menggunakan jaket-jaket tebal penghalau dingin. Kerajaan Velian telah siap menunggu kedatangan bayi anak pertama Putra Mahkota, walau itu akan terjadi sebulan lagi, tapi rupanya segala persiapan telah terlaksana jauh hari. Mulai dari pakaian-pakaian bayi yang telah tertata rapi, kasur kecil tempat berbaring calon bayi, nama yang akan mereka berikan, bahkan persiapan untuk upacara penobatannya nanti.
Aku menguap lebar masih dengan pandangan pada jendela. Putra mahkota telah pergi ke pesta kemenangan Velian di perang timur. Aku mendengar kabar itu dari Lusi, pelayan yang biasa mengantar makanan ke kamar Putri. Merasa tidak terlalu antusias pada kabar kemenagan perang. Karena sebuah mimpi yang mengganguku tadi malam.
Api perak.
Kekuatan aneh yang aku miliki, semalam muncul lagi dalam mimpi, dan itu bukanlah pertanda baik. Karena itu hanya muncul saat sebuah marabahaya mendekat, dan akan menghilang lagi saat bahaya itu pergi. Terakhir aku memilikinya adalah saat aku berusia delapan tahun. Aku dan ibu tengah berada di kerajaan Stovinka, tepat saat peristiwa pembantaian masal orang-orang yang di anggap penyihir terjadi. Kami di sana, terpojok, dan hampir menjadi bulan-bulanan warga. Sebelum sebuah api perak muncul, menyelimuti kami, dan membuat semua warga berlari takut oleh keberadaanya.
Dan tadi malam, api perak muncul lagi. Kali ini ia melayang di atas tadahan telapak tanganku. Menapakan kemilau cahaya putih perak menyala, kemudian melayang menyerang beribu musuh di depan mata. Sekawanan mayat hidup yang bergerak lamban menyerang para tentara manusia. Akan tetapi kemudian sosok wanita terlihat di dalam arena. Dengan kulit putih seputih salju, bibir merah semerah darah, rambut hitam segelap malam. Pedang panjang mengalun indah menembus lawan, menyala pada keagungan pemimpin perang.
Dan aku, melindunginya dengan api perakku.
Aku terbagun dengan keringat deras yang tak selaras dengan cuaca bersalju di luar. Mengingat penuh kejadian selama mimpi yang masih menyimpan seribu tanya. Peperangan yang terjadi di depanku, saat ribuan makhluk aneh dengan tubuh tidak utuh dan berbau busuk menyerang. Kemudian wanita yang gagah berani berdiri di sana, bersama seorang kesatria, membasmi para mayat itu dengan gagah berani. Apakah itu hanya efek beberapa bacaan dongeng yang akhir-akhir ini aku gemari? Aku pun tidak tahu.
Berkonsentrasi penuh untuk tidak memikirkan mimpi aneh tadi malam. Aku mulai menfokuskan pandangaku ke jendela besar lagi.
Kembali pada situasi kamar Putra Mahkota, yang lebih cerah oleh percakapan yang terjadi antara aku dan Putri Herleva. Akhirnya Putri Mahkota bangun dari hibernasi pada musim dingin ini. Sang Putri yang ceria kembali pada sosoknya. Sayang Pangeran tidak ada di sini untuk bersamanya. Padahal peristiwa itu jarang sekali terjadi, dan tidak berlangsung cukup lama sampai ia tertidur kembali.
Putri baru saja tertidur saat tiba-tiba terdengar sebuah ketukan pintu. Aku segera bangun dari kasur, bergerak untuk membukanya, dan menemukan sosok ibuku dengan kecemasan tergurat jelas pada wajahnya.
"Ada apa ibu? Kita bicara di luar saja," kataku langsung keluar dari kamar Tuan Putri.
Kami sampai di kamar ibuku. Duduk di atas aksur sambil berhadapan, dengan masing-masing kami menatap lawan bicara dalam keseriusan. Kemudian ibu menyerahkan sebuah surat padaku. Tertulis jelas di sana, pengirim dari surat yang menyebabkan ibu harus menunjukan kerutan kening yang jarang terlihat dalam keadaan normal. Surat dari Paman Hennry yang masih tinggal di Desa Micingam.
__________________
Dear Evaline
Bagaimana kabarmu? Terima kasih untuk suratmu bulan lalu. Tapi maaf, aku tidak dapat menjengukmu ke sana. Wabah yang beberapa bulan lalu menyerang Kota Brinton, kini telah sampai pada desa kita. Ross sakit, dan aku tidak dapat meninggalkanya. Kau pernah memberitahuku bahwa kau dan Claudia berhasil menyelamatkan Putri Mahkota dari wabah ini. Karena beberapa warga pun telah terjangkit wabah yang sama. Bisakah kau pulang dan membantu kami?
Semoga kau baik-baik saja di sana.
Dari kakakmu.
Hennry Jhon.
__________________
"Pamanmu tahu ibu berhasil mengobati Putri melalui surat yang pernah ibu kirim padanya. Sekarang seluruh desa mengharap kepulanganku," kata Ibu padaku. Terdapat sebuah nada permohonan di sana.
"Tapi Ibu tahu, tempat itu sangat berbahaya. Bahkan ibu sendiri yang mengusulkan untuk kita pergi," bujukku, merasa pergi dari istana saat ini adalah hal paling konyol dan sangat berbahaya.
"Ini demi pamanmu, Hennry dan istrinya yang membutuhkanku. Hanya satu minggu, tolong ijinkan ibu pergi."
Ibu benar. Aku menyesalkan keputusan paman yang menolak meninggalkan desa oleh alasan di sana adalah tanah kelahirannya. Dan pembelaan itu kini tertengar konyol di telingaku.
"Kalau begitu aku akan ikut dengan ibu," kataku segera bangkit dari tempat tidur, untuk mengeamas barang.
"Tidak bisa, kau harus tetap di sini. Aku tidak tahu kenapa, tapi istana ini membutuhkan kehadiranmu," ibu mengatakan seseuatu yang tidak aku pahami, memegang pundakku, memaksaku duduk kembali.
"Tapi, apa kau juga tidak membutuhkanku?" Aku masih mencoba meyakinkanya.
Ibu mulai memelukku, kemudian mencium keningku dengan hangat.
"Aku akan selalu membutuhkanmu sepanjang hidup. Kau adalah yang paling berharga di muka bumi. Aku sangat bangga melahirkan putri tercantik di dunia," hatiku tersekat, terikat oleh tali tak tampak. Merasakan hawa perpisahan yang selalu menakutkan untukku. Sebuah hal yang sering terjadi, tapi tidak pernah bisa terbiasa saat mengalaminya.
Ibu melepaskan pelukanya. Menatapku sejenak untuk membelai pipiku.
"Aku akan merindukanmu," kata terakhirnya sebelum meninggalkan istana.
Sebuah kuda hitam dewasa membawanya keluar dari gerbang istana. Terlihat olehku dari balik jendela besar kamar Putra Mahkota. Pertama kalinya aku berpisah jauh dari ibuku. Kami tidak pernah terpisah semenjak hari aku dilahirkan.Kami hanya berdua. Ayahku pergi, Paman Hennry yang saat itu masih dalam perantauan, tidak tahu kondisi adiknya yang telah mengandung. Ditinggal oleh sang suami untuk berlayar saat usia kandungan ibu lima bulan, dan selama empat bualan selanjutnya, ibu harus bekerja sendiri mencukupi kebutuhan diri dan bayinya yang akan segera lahir. Ia bekerja apa pun, di mana pun, pada siapa pun untuk mendapat sesuap nasi dan kebutuhan sehari-hari. Hingga saat-saat bahagia kelahiranku. Ia berjanji tidak akan meninggalkanku sendiri selama ia hidup.
Ibu menepatinya. Ia selalu membawaku bersamanya kemanapun ia pergi. Walau usiaku masih terlalu dini, walau harus menempuh medan terjal, menyebrangi jurang, lautan, mendaki gunung, memutari danau, semua itu kami lalui bersama.
Dan untuk pertama kali kami berpisah. Aku merasa dia telah membawa separuh jiwaku. Rasa cemas yang berlebihan menyiksaku pada malam hari dengan mimpi-mimpi mengerikan yang keesokan harinya tak dapat aku ingat.
Aku sering mengigau tidak jelas, dan berakhir dengan merepotkan Pangeran Setephen yang membangunkanku dari tidur. Ia memberiku minum dan sempat bertanya tetang kegelisahanku, tapi aku tidak ingin membebaninya dengan urusan keluargaku yang tidak penting.
Kebiasaanku kini juga telah berubah. Aku telah melupakan buku-buku, dan lebih memilih memandang jauh pada gerbang istana lewat jendela besar di samping kamar Putra Mahkota. Lamunan panjang tiada henti tentang nasib ibuku dan seluruh keluarga di desa. Berharap segera mendengar langkah tegap kaki kuda hitam yang membawa ibu masuk dalam gerbang istana.
Kecemasan itu semakin bertambah saat seminggu lebih kepergian ibuku, tidak ada surat ataupun kabar darinya. Padahal ia telah berjanji akan mengirim surat saat ia telah sampai di sana. Dan itu sangat menyiksaku.
Akhirnya, waktu satu minggu yang ia janjikan telah datang. Seharunya ia pulang hari ini, tapi sampai malam tiba, ia belum juga pulang. Hingga mencapai dua minggu lamanya tidak ada kabar tentang kapan ibu kembali ke istana. Maka kuputuskan hari ini adalah batas bagi kesabaranku.
Aku telah melebarkan sebuah kain besar untuk mengepak pakaian dan barang-barang yang aku letakan separuhnya di kamar putri. Ketika pangeran menyadari aku tengah melakukan sesuatu hal yang akan menentang titahnya, ia bergerak dan menghentikan kegiatanku.
"Untuk apa kau mengemasi barangmu," kata Pangeran dalam kemarahan yang tertahan.
"Saya akan menyusul ibu saya di desa," kataku hampir mencapai pintu.
"Kau tidak boleh pergi!" Pangeran mencengkram lenganku dengan sangat erat, mencegahku untuk meninggalkan kamar.
"Saya akan tetap pergi walau tanpa persetujuan anda," kataku tanpa berbalik. Melepas cengkraman itu dengan kasar. Sudah tidak peduli pada tata krama maupun hukum kerajaan.
"Aku akan membuatmu tetap di sini walau harus dengan mengurungmu dalam penjara. Tak akan aku biarkan kau keluar dari istana!"
"Anda ingin memenjarakan saya tanpa alasan?" Kataku dalam kemarahan.
Putra Mahkota lebih murka dari sebelumnya. Ia memandangku dengan lekat seoalah aku tertangkap basah mencuri benda kesayangan dari kamar pribadinya.
"Aku akan mengatakan bahwa ada penyihir ilegal di sitana ini," ia berkata tanpa perasaan.
Tertegun oleh kenyataan bahwa Pangeran Stephen telah mengetahui identitasku. Sejenak lidahku kelu dan merasa tidak dapat membela diri. Sebelum teringat niat awal untuk melakukanya.
"Saya akan tetap pergi Yang Mulia." kataku dengan suara bergetar takut.
"PRAJURIT!" Teriakan Pangeran Artur mencapai telinga prajuruit di depan kamar, yang langsung memasuki ruangan tanpa aba-aba.
"Penjarakan wanita ini." perintahnya.
Dua prajurit itu langsung mencengkram lenganku dan membawaku paksa untuk keluar dari kamar Pangeran Stephen.
"Yang Mulia, saya mohon Yang Mulia, biarkan saya pergi. Saya ingin ibu saya. Mohon lepaskan saya. Yang Mulia........."
Aku meronta, memohon, mencoba melepaskan engkraman para pengawal, tapi Pangeran Stephen hanya menatapku tanpa berekasi. Aku tidak percaya pada tindakan Pangeran Stephen yang memenjarakanku hanya karena ingin mencari ibuku. Dia mengetahui identitas penyihirku, tapi memilih menyembunyikanya, untuk ia gunakan sebagai ancaman, peringatan, hingga aku dapat selalu patuh padanya, selalu tunduk di bawah kakinya.
Akan tetapi, aku bukan orang patuh seperti yang Anda pikirkan Yang Mulia. Aku memilih jalanku sendiri, bukan jalan yang akan Anda paksakan padaku.
Namun aku juga bersalah dalam hal ini. Bersalah karena telah mempercayai orang yang salah.
Bersambung ....
Vote please ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top