6. Tanpa Alasan

"Aku rasa harus segera mengakhiri ini Gerald. Aku lelah," kataku, saat kami berada si depan kamar pangeran mahkota. Aku menguap sekali dan menutupinya dengan tangan. Berjaga di depan kamar majikan sampai hampir tengah malam adalah tugas para asisten rumah tangga istana seperti kami.

"Saya tidak tahu apa maksud anda Nona Claudia," kata Gerald dengan nada terlalu sopan. Dia adalah orang ke dua yang selalu berbicara terlalu formal padaku. Selain si Cermin Ajaib yang menakutkan.

"Oh, ayolah, jangan terlalu formal padaku. Kita sama-sama pelayan istana. Panggil saja Claudia."

"Ba-baik Claudia," seperti anjing kecil, dia sangat penurut. Juga lugu.

Lalu aku mulai bercerita tentang masalahku sambil menyandarkan punggung pada tembok di depan kamar Pangeran Stephen.

"Kau tahu Kent si tukang kebun, ia memberiku bunga mawar merah setiap pagi. Roger tukang masak istana, menyatakan cinta membawa makanan yang bernama Pizza dari prancis. Juga Steve, seorang tentara yang memberiku surat cinta sebelum ia berangkat berperang beberapa hari yang lalu. Menurutmu siapa yang paling tepat untuk aku kencani saat ini?" Aku mengatakannya seolah tengah meminta saran tentang pakaian apa yang paling tepat dipakai saat musim salju.

"Saya tidak tahu Claudia, itu sesuatu yang harus Anda putuskan sendiri bukan?" ujar Gerald bijak, tapi malah membuatku ingin tertawa, karena gaya bicara formalnya tetap tidak hilang.

"Aku harus segera punya pasangan untuk bisa mengusir mereka yang terus menggodaku."

"Anda hanya harus bicara pada mereka."

"Kata-kata sudah tidak mempan pada mereka. Saatnya aku melakukan sesuatu." Aku mengembuskan napas berat, frustrasi. Berharap segera menemukan solusi, atau laki-laki yang tepat untuk aku kencani. Hingga sebuah siasat mendadak terbersit.

"Bagaimana kalau kau jadi pacarku?" tanyaku asal.

"Hah?"

Itu tidaklah buruk.

"Aku memikirkanya dari awal. Mengencani ke tiga orang yang aku sebutkan tadi, tidak akan membuat gentar para bangsawan. Tapi kau berbeda, kau adalah asisten calon raja. Kau akan membuat mereka menyingkir dariku dalam satu jentikan jari," kataku optimis.

"Cl-claudia...." Gerald terkejut dan semburat merah namak di pipinya.

Tidak menyianyiakan kesempatan, aku langsung mengenggam tangannya dan menyatakan lamaranku. "Gerald, maukah kau menjadi pacarku?"

"Ehem...."

Sebuah dehaman mengejutkan kami yang tengah berdiskusi. Setelah melihat siapa yang memergoki kami, tangan Gerald yang sesaat yang lalu kugenggam langsung dilepas paksa oleh pemiliknya.

"Gerald, ambilkan pedang di ruang peralatan," perintah pangeran dengan kemarahan yang tak jelas dari mana datangnya.

Apa ada yang akan terkena penggal?

"Kau, kembali ke kamarmu. Aku sudah tidak membutuhkan apa pun," kata Pangeran padaku. Syukurlah pedang itu bukan untuk menghukumku.

"Baik Yang Mulia, Saya undur diri," aku pergi dengan setengah berlari. Takut akan kemarahan tiba-tiba Putra Mahkota. Mungkin ia sedang ada masalah dengan Putri Herleva atau masalah kerajaan. Yang pasti dia sangat mengerikan saat sedang murka.

Aku pergi dengan menunduan badan, dan langkah yang lebih cepat dari biasanya. Pangeran terlihat sangat menakutkan dan garang. Aku tidak ingin berurusan dengannya lagi mala mini.

"Claudia, bisa kau antarkan ini ke kamar Pangeran Stephen," kata salah satu temanku yang bernama Suzy saat aku di tengah perjalanan menuju kamar.

Ya, begitulah hidup. Semakin kau tidak menginginkannya, semakin cepat ia datang padamu. Tidak ada pilihan lain, akhirnya aku menerima nampan yang ia bawa, untuk segera aku sampaikan pada Yang Mulia.

Aku penasaran dengan apa yang harus aku antarkan di tengah malam. Aku meperhatikannya sesaat dan menemukan cawan di atas nampan dengan cairan coklat trasparan di dalamnya. Aku mengendusnya sekali dan mengetahui isinya.

"Obat kuat?" kataku malu-malu saat menanyakan.

"Perintah dari Tuan Harvest," tambahnya, menyebut kepala tabib kerajaan.

Uwah ... Sekali lagi malam panjang untuk Pangeran dan Putri mahkota. Aku mengambil nampan dan bergegas mengatarkannya.

.........cup.chocochip...........

Aku mengetuk tiga kali sebelum masuk dalam kamar Pangeran Stephen. Kemudian mendengar suara tinggi campuaran antara marah dan peringatan dari dalam.

"Kau sudah tahu aturan kerajaan yang melarang para pelayan untuk saling mencintai di dalam istana?" Suara Pangeran Stephen. Aku yang telah masuk dalam kamarnya, menyaksikan Pangeran Stephen dan Gerald berbincang serius di meja kerjanya.

"Saya mengerti Yang Mulia." Gerald menunduk lebih dalam dari posisi yang biasa ia gunakan saat berbicara pada Pangeran. Menekankan penyesalan pada tiap kalimat yang terucap.

"Kalau begitu pergi dari hadapanku sekarang juga!"

Gerald mundur dari posisi, lalu pergi dengan wajah tertunduk lesu. Ia melihatku berdiri di ambang pintu, tanpa menyapa atau pun tersenyum, Gerald melewatiku seolah aku makhluk kasat mata. Aku merasa bersalah pada Gerald, tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya. Dan aku tahu sebentar lagi adalah giliranku.

"Saya mengantar obat untuk yang mulia," kataku tanpa basa basi. Bergerak maju dan meletakan obat itu pada meja Pangeran Staphen tanpa menatapnya sama sekali. Harusnya aku bersikap pasrah dan merasa bersalah, tapi aku malah merasa marah karena tuduhan yang dipaparkan Pangeran Stephen tidak benar adanya.

"Kau mendengar peringatanku untuk Gerald?" Masih dalam nada kemarahan yang sama.

"Iya yang mulia," kataku tunduk.

"Lalu apa yang akan kau lakukan?"

Aku meremas jari-jariku terlalu keras hingga memerah. Menahan sekuat tenaga amarah yang membuncah, dan kata-kata pembelaan yang sedari tadi ingin keluar. Bukanya peraturan itu hanya berbatas untuk beberapa jabatan dalam istana? Sedangkan untuk posisi Gerald dan aku, masih sah-sah saja untuk melegalkan hubugan hingga pelaminan. Sebenarnya apa yang Pangeran inginkan dari kami?

"Saya akan menaati seluruh peraturan istana yang ada, dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama," kataku dalam pengendalian emosi yang tinggi. Berpegang pada kenyataan bahwa perkataan anggota kerajaan adalah selalu benar.

"Kau boleh pergi." Aku merasa Pangeran menatapku untuk sejenak, sebelum mengatakan kalimat usiran.

Kemudian tanpa permisi aku langsung undur diri. Sangat tidak sopan, tapi itu adalah hal terbaik yang dapat aku lakukan. Aku marah pada ketidakadilan. Aku merasa terlalu kecil untuk membela diri, di hadapan makhluk tinggi besar yang disebut penguasa. Dalam duniaku dulu, derajat terbagi sama rata. Walaupun masih terdapat ketimpangan, tetap ada rasa toleransi. Namun dalam istana, perbedaan itu terlihat bagai langit dan bumi. Saat kaum kasta tinggi mendominasi hukum, dan rakyat rendahan harus selalu menerima hukuman. Di tempat ini aku harus membiasakan diri.

.................cup.chocochip...................

Sejak saat itu, hubunganku dengan Pangeran Stephen tidak pernah kembali seperti semula. Bukan dia yang berubah, tapi aku. Aku menolak semua keramahan yang ia berikan, selalu bersikap formal layaknya Gerald ketika berbicara, dan menjaga jarak sejauh mungkin untuk tidak lagi berurusan dengan calon orang nomor satu itu.

Aku masihlah seorang pengasuh bagi Putri Herleva, bermain kejar-kejaran di taman dengan gembira. Sesekali mendapati Pangeran Stephen datang membawa perbekalan pikniknya. Tapi dengan tegas menolak makanan yang ia berikan padaku, hanya menjawab ya dan tidak pada setiap pertanyaan yang ia tanyakan di sela percakapanya dengan Putri Mahkota, atau menolak pandangan secara langsung yang kadang terjadi antara kami.

Aku masih marah? Tentu saja, dan aku ingin ia menyadari kemarahanku. Aku ingin menyurakan ketidak setujuanku atas aturanya, dan hanya ini yang dapat aku lakukan.

Hingga suatu hari. Pagi hari, ketika aku masuk dan merasakan hawa kuat kehidupan lain dalam kamar Pangeran dan Putri mahkota. Walau letaknya masih tersembunyi, dan terlindungi sempurna, aku tahu dia akan segera bergabung bersama kami.

"Yang mulia, boleh saya menyentuh perut anda," kataku sesaat setelah Putri Mahkota bangun dari tidur. Pangeran Stephen yang telah bangun terlebih dahulu, kini tengah menghadap jendela yang menyuguhkan segarnya udara dan pemandangan taman di pagi hari.

"Ada apa?" tanyanya sambil mempersilahkan aku untuk menyentuh perutnya.

Aku mulai berkonsentrasi, menyentuh perut Putri Herleva dengan hati-hati, untuk segera memastikan kabar bahagia.

"Pangeran Stephen!" pekikku mengagetkan kedua orang yang ada dalam ruangan. "Putri Herleva tengah mengandung anak Anda," aku bersorak dalam buncahan rasa senang dan senyum lebar saat mengatakanya.

Bersambung ....

Vote please ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top