2. Pesta Pernikahan Pangeran

Akhirnya, kami sampai di Kota Brinton pada tengah hari. Melakukan sedikit kunjungan pada beberapa rumah mewah untuk menawarkan Cermin yang kami bawa. Yang akhirnya terjual pada seorang saudagar kaya bernama Harry Courtenay, yang tertarik pada ukiran indah di bingkai Cermin, dan bahan ringan yang digunakan. Kami sempat ingin menyatakan tentang kemampuannya untuk berbicara, berharap dapat meningkatkan harga jual yang kami terima. Tapi sayanganya, percakapan di gua adalah percakapan terakhir kami dengan Cermin. Karena dari mulai kami mengangkatnya, hingga sampai di kota, Cermin itu tidak pernah lagi memperdengarkan suaranya.

cup.chocohip

Setahun berlalu sejak kejadian Cermin ajaib. Tidak ada kejadian-kejadian aneh yang terjadi, yang sempat membuat kami cemas saat menjualnya. Aku masih tetap gadis periang biasa yang senang berkelilng hutan, meramu obat-obatan, membaca buku tentang mantra, peangkal ilmu hitam, dan segala jenis hal berbau penyihir. Aku bahkan telah memiliki kekasih bernama Edmund, seorang petani gandum yang juga adalah tetangga sebelah rumahku.

Edmund pria yang baik. Ia punya tiga adik kecil dan seorang ibu yang sakit-sakitan. Telah menjadi tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal ketika ia berusia delapan tahun. Aku memacarinya bukan karena wajahnya yang tampan, mata hijau indah yang selalu meneduhkan hati, atau rambut duri landaknya yang sering mencuat di depan. Tapi karena menurutku dia adalah laki-laki yang baik, bertanggung jawab, dan seorang pekerja keras.

Di sela kesibukanya, sesekali ia membawaku pergi ke kota, membeli permen kesukaan kami, melihat orang-orang yang memakai pakaian indah dan barang-barang yang tidak kami temui di desa. Uang yang kami miliki tidak cukup untuk membeli apa pun di sana. Tapi sama sekali tidak membuatku kecewa. Karena kebahagian menurut artianku, sudah cukup saat aku dapat terus hidup seperti yang kulalui saat ini.

Kabar bahagia selanjutnya datang dari kerajaan Velian. Putra Mahkota Negeri Velian akhirnya memilih calon Ratu. Yang pastiya bukan aku. 

Konyol memang, tapi aku sedikit kecewa dengan kabar bahagia itu.

Pernikahan mereka dirayakan dengan pesta besar-besaran selama tujuh hari tujuh malam di istana Velian. Pembagian sembako pada rakyat kecil pun dilakukan secara serempak untuk merayakan hari bahagia mereka. Bahkan pesta besar di adakan di desa kami untuk merayakannya.

Dua drum penuh minuman keras dari kerajaan telah tersaji, pernak-pernik pesta, musik, dan tarian telah siap mengiringi. Pesta yang diadakan di tengah jalan desa utama yang berjarak 300 meter dari rumahku, kini mungkin telah ramai oleh orang-orang yang datang merayakannya. Tapi aku—masih menuggu. Edmund berjanji untuk datang menjemput setelah matahari terbenam, tapi sampai malam datang, ia tak kunjung pulang.

Aku telah memakai pakaian terbaik yang kupunya. Sebuah gaun kuning sederhana, lengan dan rok balon yang mengembung sempurna, dengan hiasan sebuah mawar yang kupetik dari kebun belakang, kemudian aku pasangakan di dada sebelah kiri gaunku. Rambut pirang yang bisanya hanya tergelung ketat, kini kukepang bulat hingga menjadi seolah mahkota di atas kepala. Ditambah riasan yang kini kupakai seperti pemerah bibir, dan perona pipi. Membuat ibuku semakin gencar memperolokku tentang seberapa cantik anaknya kini. Dan itu sama sekali tidak lucu bagiku.

"Claudia. Maafkan aku, aku terlambat. Ada babi hutan masuk dalam ladangku," kata Edmund yang akhirya tiba. Mengeanakan pakaian formal yang berupa kemeja berwarna biru dengan renda-renda di dada, celana kain longgar berwarna coklat, sepatu kulit yang sedikit mengelupas di beberapa bagian, juga tidak lupa topi bulat sempurna berwana coklat gelap bertengger manis di atas kepala. Harus ku akui, ia terlihat lebih tanpan malam ini.

Aku mengangguk sekali. Menerima alasan keterlambatan yang telah Edmund jelaskan. Tapi tidak ada sahutan darinya terhadap responku. Ia hanya tetap terdiam. Menatapku seolah aku adalah mesin pembajak moderen yang kami lihat di kota kemarin.

"Ada apa? Apa aku terlihat aneh?" Memastikan untuk tidak mempermalukan Edmund pada pesta pertama kami.

"Kau luar bisa. Cantik sekali," Edmund dengan sangat mudahnya, terpesona.

"Terimakasih. Tapi aku harap itu bukan permintaan maaf karena keterlambatanmu," aku turun dari tangga depan rumah, dan menggandeng lengan pria itu.

"Tidak sepenuhnya," Edmund membantuku untuk naik di atas kuda coklat milknya, dan segera berangkat menuju pesta.

cup.chocochip

"Hai Cludia," sapa seoarang laki-laki yang aku ketahui bernama Tyler.

Aku hanya mengangguk, tersenyum menerimanya. Merasa heran dengan sikap ramah-tamah dari semua orang yang aku jumpai di pesta. Edmund yang kini menggandeng tanganku pun hanya diam, seolah sudah terbiasa akan sikap mereka padaku.

"Selamat malam gadis cantik," bahkan yang tua pun ikut berpartisipasi. Tuan Frank dan sepatu botnya. Ia pembuat roti, tapi memakai sepatu bot kemanapun ia pergi. Itu sedikit menggelikan untukku.

"Malam Mr. Frank," jawabku sopan. Tidak ingin kurang ajar pada laki-laki yang sering memberiku sampel gratis saat aku lewat di depan tokonya. Kemudian Edmund maju untuk memulai percakapan.

"Selamat malam Tuan Frank. Kemarin saya ingin mampir ke toko anda. Hasil gandumku tahun ini cukup bagus ...."

Aku berharap Edmund dapat berbicara dengan Tuan Frank selama mungkin. Karena aku jarang menikmati acara semacam ini. Sebagian besar hidupku aku habiskan dalam perantauan. Pesta-pora, alunan musik sederhana yang mengiringi tarian Quadrille, dan bayak makanan lezat yang tersaji, sangat menarik bagiku. Aku ingin mengajak Ed menari. Tapi sepertinya ia masih asik menawarkan gandumnya pada Tuan Frank. Jadi aku hanya bisa menunggu sambil menikmati suasana pesta.

Jauh di tengah kerumuman, aku melihat sebuah perkumpulan anak-anak saudagar kaya dan bangsawan yang ikut dalam pesta. Salah satu dari mereka mulai mendekat ke arahku, aku kira itu pemimpinya, karena saat ia bergerak, tiga yang lain mengekor di belakang. Dengan gaya berjalan tuan tanah yang angkuh, ia sampai di depanku, kemudian menepuk pundak Tuan Frank dengan sangat kurang ajar.

"Hallo Mr. Frank, kau masih saja suka menggoda para gadis muda," Tuan Frank membalas kalimat kasar itu dengan tatapan benci, tapi tidak berani menentang apalagi menantang anak tuan tanah yang mengolok dirinya. Akhirya memilih melangkahkan sepatu botnya pergi meninggalkan kami.

"Hallo Claudia, kau cantik sekali malam ini, sayangnya ibuku tidak suka penyihir. Kalau tidak, mungkin kau sudah jadi pacarku," Sam--nama si anak tuan tanah--berkata dengan sangat percaya diri.

Jas dan celana rapi khas kelas bangsawan, mata hitam tegas yang kini menatapku dengan nafsu, juga usapan rambut licin untuk menimbulkan kesan gaya. Tapi malah terlihat menjijikan untukku.

"Oh Sam. Sayangnya aku tidak tertarik pada anak mami," aku berkata menggunakan nada penyesalan yang dibuat-buat. Merasa tidak perlu menjaga tata krama, karena Sam adalah tipe laki-laki yang mudah ku benci.

"Jangan ganggu pacarku Sam!" Edmund yang melihat adanya perubahan situasi, maju menghadang, berdiri kokoh di depanku untuk melindungi.

"Wah... kalian pacaran? Sungguh di luar dugaan. Anak penyihir dan petani miskin,"

"Sam," kata salah satu teman Sam yang aku tahu bernama Jemes. Mencoba menghalanginya untuk tidak bertindak lebih jauh. Namun Sam tidak peduli, dan malah menepis tagan James yang tadi ada di pundaknya.

"Claudia, kalau kau mau, aku bisa memberimu segalanya. Tinggalkan profesimu, dan menikahlah denganku."

Edmund maju, menujukan amarah yang telah ia tahan semenjak datang ke pesta.

"Kau mau menantangku hah? Berani sekali kau menggoda pacarku!" Suara Edmund terdengar garang di setiap kata. Ia menyincing lengan baju, siap meladeni Sam dalam adu ketangkasan.

"Edmund please, stop. Jangan terpancing. Dia bukan siapa-siapa, aku milikmu," kedua tanganku menempel pada dada bidang Edmund, mencoba menetralisir amarahnya.

"Apa yang kau banggakan dari laki-laki miskin sepertinya? kata Sam masih belum mengalah.

"Dia lebih baik dalam segala hal, dibanding anak manja sepertimu," kataku, muak pada Sam yang semakin menjengkelkan.

"Ha-ha, jangan bercanda. Aku tahu kau sama seperti mereka. Gadis muda yang ingin menarik para bangswan untuk menikahi—"

Sam langsung menghentikan kalimatnya, ketika aku mendekatkan tubuhku, hingga posisi kami terlihat seolah berpelukan. Aku mendekatkan mulutku ke telinganya. Lalu membisikan sesuatu dengan hati-hati.

"Sam, pulanglah! Pastikan rumahmu tidak terbakar habis malam ini," ancamku.

"Shit! Kau penyihir. Lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu nanti," umpatnya, dan langsung pergi tanpa permisi.

"Apa yang kau katakan padanya?" Tanya Edmund penasaran.

"Sedikit nasehat," kataku sambil tersenyum jahil.

Selanjutnya kami menikmati semua jamuan pesta dengan suka cita. Berdansa ditemani alunan musik merdu, menari bersama-sama, dan makan-makanan yang tersedia. Edmund bahkan mengajakku minum-minum, tapi aku menolaknya dengan alasan Ibu akan marah padaku saat pulang, dan dibalas Edmund dengan kata 'Anak mami' layaknya ekspesiku saat mengatakannya pada Sam tadi.

Suasana pesta mulai menguap saat malam terus melarut. Satu-persatu warga mulai pulang ke rumahnya masing-masing, termasuk aku yang pulang dengan bahagia setelah memakan dua potong ayam panggang kecap, steak danging babi, dan salad buah segar kesukaanku. Kami pulang menunggangi kuda Edmund sambil menyanyikan lagu pesta dengan ceria, masih merasakan sisa-sisa acara yang telah berlalu. 

Bersambung .....

Vote please .....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top