10. Lari
Terbagun oleh suara teriakanku sendiri. Merasa tubuh telah penuh peluh lengket dan air mata yang juga mengalir di pipi. Yang pasti ini bukan mimpi biasa. Perasaan yang sungguh tidak dapat aku abaikan. Ini sangat-sangat tidak baik dan tidak dapat aku biarkan. Aku harus keluar sekarang juga dari penjara.
"Ada suara teriakan," kata penjaga bersuara dengungan lebah.
"Kau saja yang cek di dalam," kata penjaga yang lain.
Aku harusnya tidak melakukan ini. Aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menggunakanya. Tapi untuk saat ini aku akan memaklumi. Aku akan memaafkan. Karena aku akan membuat sedikit kekacauan.
Hati.
Hati tak gentar.
Takluk.
Takluk padaku.
Takluk kehendakku.
Mata.
Mata padaku.
Mata.
Tatap aku.
Mengerti aku.
Turuti.
Turuti perintahku.
.
Aku telah melangkah jauh, dan tidak dapat mundur kembali.
.
Sudut pandang orang ketiga.
Satu persatu langkah menembus keremangan lorong penjara. Membuat seorang penjaga berhati-hari untuk tidak terjatuh dalam kegelapan saat memasukinya. Entah apa yang terjadi malam ini. Yang pasti, ia terhasut oleh gelapnya malam dan dinginya udara. Hingga membuat seluruh tubuh bergidik dan tak kuasa untuk melangkah lebih jauh.
Si penjaga tidak tahu ke mana harus pergi. Tapi ia merasa ada yang telah membimbingnya. Ada sesuatu yang menuntunya. Untuk menuju salah satu tempat di penjara itu. Sebuah sel yang berisi wanita cantik yang dikurung oleh putra mahkota.
Sesampainya di sana, telah berdiri sesosok bidadari. Sang penjaga langsung ditarik untuk menatap mata biru sedalam lautan, membawanya masuk hingga mencapai palung laut gelap kedap suara. Tapi hanya satu hal yang terdengar. Suara halus yang mengalun pada tiap tarikan nafas. Melodi yang tercipta dari perintah sang bidadari.
"Kunci," katanya.
Dimabilnya kunci penjara yang tergantung pada celana, dan langsung menyerahkanya.
Segera saja sang bidadari memmbuka kunci kebebasan yang telah ia terima. Sang penjaga hanya menyaksikan hal itu dalam pandangan kosong pada wanita di depanya.
"Maaf, bila aku tidak melakukan ini, kau akan dicurigai bersekongkol denganku," kata wanita itu.
Si wanita menggerakan tangannya dalam gerakan mendorong angin. Membuat sang penjaga langsung terdorong ke belakang, menabrak tembok dengan keras, kemudian mendarat dalam keadaan pingsan.
Ia segera bergerak lagi untuk dapat meloloskan diri. Bertemu dengan beberapa penjaga, dan kembali melakukan pertahanan diri seperti yang ia lakukan pertama kali. Seolah sebuah pukulan tak terlihat, satu-persatu penjaga jatuh pingsan oleh sesuatu yang kasat mata. Hingga hanya menyisakan satu orang yang kini dalam keadaan sadar dan lolos dari penjara. Dia adalah Claudia, bidadari yang kini telah berlari keluar dari kurugan besi.
Claudia menemukan seekor kuda berwarna coklat caramel yang terparkir depan penjara. Ia tidak tahu siapa pemiliknya, dan juga tidak perduli. Karena ia langsung menaikinya tanpa aba-aba, walau dengan sedikit susah payah karena tidak terbiasa. Claudia memacu kudanya perlahan menuju gerbang istana. Tapi sempat menemui kekecewaan ketika mendapati pintu yang tertutup, karena waktu yang masih menujukan dini hari.
"Hee gadis kecil... kau mau ke mana?" kata penjaga gerbang istana sambil menodongkan pistol laras panjang pada Claudia.
"Aku mau membuang ikan daganganku yang tidak laku. Kau tidak lihat gerobak besar di belakangku. Dan jangan panggil aku gadis kecil, aku 35 tahun" Claudia menunjuk sesuatu yang tidak pernah ada di belakanganya, jugaberbohong mengenai umurnya.
"Ah, aku—aku, baru menyadarinya," kata si penjaga menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal. "tapi kau tidak bisa keluar sampai subuh hari. Tunggulah sebentar lagi,"
"Benarkah aku boleh menunggu di sini? Kau tidak mencium baunya? Bau bangkai ikan seperti ini mau kau biarkan begitu saja sampai subuh hari? Baiklah kalau itu keinginanmu," kata Claudia sambil berpura-pura menutup hidung.
"Hoek... Bau sekali. Aku—baru menyadarinya, lagi," kata penjaga pintu sambil menutup hidunganya dengan jubah tebal coklat tua yang ia kenakan. "Baiklah, aku akan membukanya untukmu. Cepat keluar dari sini," kata penjaga gerbang setelah membuka gerbangnya sedikit untuk Claudia, kuda, dan gerobak hayalannya.
"Em tuan, boleh aku pinjam jubahmu?" kata Claudia sebelum ia pergi.
"Ini," penjaga pintu langsung menyerahkan jubahnya tanpa basa-basi.
"Juga lentera," imbuh Claudia.
"Ini," menyerahkan benda kedua bahkan tanpa interupsi, tanpa bertanya, dan tanpa perlawanan.
"Terimakasih tuan, jangan lupa tutup pintunya...!" Claudia langsung memacu kudanya dalam gelap. Meningglakan penjaga pintu yang kini kedingianan dan kebingungan dengan apa yang telah ia berikan dan lakukan hanya untuk seorang wanita yang tidak ia kenal.
....................
Sudut padang orang pertama pelaku utama.
Musim semi telah datang, saat matahari mulai terik dan hewan-hewan telah bangun dari tidur panjang. Salju-salju telah mencair, dan tumbuhan hijau kecil mulai menampakan kuncupnya. Saat kebebasan menyentuh wajahku untuk pertama kali selama delapan bulan ini, sungguh merupakan pengalaman yang luar bisa. Terpaan angin dingin, dan hangatnya sinar mentari membuatku lebih semangat untuk segera mencapai tujuan.
Aku telah menempuh separuh perjalaan menuju Desa Micingam tempat di mana ibuku berada. Selama perjalanan aku sesekali berhenti untuk mengisi ulang bolol air yang aku beli, atau mencari makanan apapun yang aku temukan. Aku yang terbiasa berkelana di alam liar, tidak merasa kesulitan untuk bertahan hidup dalam kemandirian. Aku dan ibu bahkan pernah memakan kadal hidup-hidup saat tengah kehabisan bahan makanan di tengah padang pasir.
Tapi saat ini aku menyadari kehilanganku pada sosok ibu. Aku tidak pernah merasa sekesepian ini selama hidup. Suka duka dalam perantauan serasa tidak berarti ketika bersamanya. Tapi sebahagia apapun aku saat memakan ikan lele sedap hasil tangkapanku, masih terasa sangat hambar saat aku hanya menyantapnya sendirian.
Aku telah sampai pada jalan di samping hamparan ladang desa Michigan yang luas. Tapi ada perbedaan besar yang terdapat di ladang desaku. Mereka sama sekali tidak terawat. Tumbuhan liar tubuh mendomonasi di bandingkan padi yang juga tampak tidak tumbuh saling beriringan. Seolah dibiarkan tumbuh begitu saja, atau para petani sudah tidak perduli dengan ladanganya lagi.
Semakin dekat pada desa, perasaanku semakin tidak menentu. Campuran antara senang karena telah puang, sedih karena tidak menjumpai seorangpun di tengah perjalaan, dan takut saat mendapati suasana yang mencekam ketika memasuki desa.
Aku menutup hidung dengan jubah yang tengah aku kenakan saat bau yang sangat tidak enak menyerang. Bau amis ikan busuk di bayangan penjaga pintu yang telah kupengaruhi, kini sungguh nyata di hidungku. Tapi bau apa ini? Kenapa tak ada seorang pun di sini?
"Tidak mungkin!"
Aku memacu kudaku lebih cepat, menghilangkan prasangka burukku pada segala hal aneh yang terlihat. Tidak menghiraukan berapa banyak lalat dan burung bangkai yang berterbangan selama perjalanan. Atau samar-samar terlihat gundukan yang tidak ingin aku pikirkan sebagai bangkai manausia tergeletak tak beraturan di jalan, teras rumah, atau yang kini telah dilompati kudaku.
Aku terus memacunya pada rumah yang ku rindukan. Tidak memperdulikan air mata yang tiba-tiba merayap di pipi tanpa sebab. Membatukan hati melihat pemandangan mengerikan yang terjadi. Tidak perduli akan aura gelap yang menyelimuti seluruh desa, tidak perduli dengan gundukan yang jelas-jelas adalah bangkai manusia. Yang aku inginkan hanya satu.
Ibuku.
Brak
Aku merusak pintu rumahku sendiri untuk masuk.
"Ib-ibu..." aku memukul-mukul dadaku sendiri untuk meredakan detaknya yang kian cepat. Air mata ini menyebalkan. Terus saja keluar dalam kecemasan. Kemudian bertambah deras saat aku tidak dapat menemukan ibuku dimanapun.
Aku berkeliling rumah sekali lagi, tapi hasilnya juga sama saja. Mungkin dia ke pasar. Tapi pasarnya...
"Uuuh..." aku menjerit frustasi memegangi kepala yang kian berat oleh tekanan. Teringat seberapa buruk kondisi pasar yang aku lewati. Seberapa banyak mayat yang tergeletak di sana.
"Tidak pasti di rumah Paman Hennry,"
Aku bergegas keluar untuk menuju rumah yang lain.
Tok-tok-tok
"Paman!"
Ketukan pintu yang aku lakukan tidak membuahkan hasil. Langsung saja aku hancurkan benda penghalang itu dengan sihirku.
Brak
Kondisi normal tidak akan membuatku mampu melakukan ini. Tapi saat ini, entah kenapa aku merasa dapat melakukan segalanya. Dalam kondisi kekuatan yang meluap berlebihan. Aku bahkan mungkin menyangka dapat menghidupkan orang mati.
Sejenak terlupa oleh tujuanku, aku mulai melangkah menuju dalam rumah. Hingga bau itu tercuim kembali. Membuatku berhenti sejenak untuk menata hati. Apakah aku siap? Harus siap.
"Paman Henrry?" panggilku berhati-hati. "Bibi Ross... Sam?"
Tiga orang yang tinggal dalam rumah, tak satupun menyahuti. Aku mendekati pintu kamar utama yang terbuka. Mengintip perlahan ke arah pintu, dan aku menemukan mereka bertiga.
Bersambung .....
Sampai jumpa entah kapan... ^_^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top