Bayern, 1876

Sosok pria tua tampak memandangi foto hitam putih usang yang berada disamping tempat tidurnya yang dimana foto tersebut dibingkai dengan frame yang terbuat dari kayu. Dia adalah seorang paman yang memiliki tahta beserta anak-anak—sebenarnya keponakan, namun mereka semua hidup dan dianggap seperti anaknya yang sudah berhasil menjadi Consort, pemangku tahta, pewaris tahta dan incaran pewaris tahta dari kerajaan sebelah.

Sang Paman adalah Raja Frederick dari Bavaria yang memutuskan tidak menikah apalagi memiliki anak sebagai penerus sah, namun ia memiliki hati yang lembut dan sangat mencintai semua keponakannya. Karena itu, sudah menjadi keputusan pamannya untuk menjadi ayah asuh dari lima orang anak dari adiknya, Pangeran Ludwig dan Putri Elisabeth, yang meninggal akibat kecelakaan di Vienna, Austria.

Lima orang anak yang dimaksud adalah Maximillan, Edward, Lovisa, George dan Charlotte.

Keputusan bulat Sang Paman untuk mengadopsi dan merawat keponakannya yang berujung pada suatu hal yang menguntungkan. Ya, menguntungkan karena bisa memberikan pasangan yang ideal untuk berbagai keluarga kerajaan di Eropa—yang untung saja kebanyakan keponakannya setuju dan mereka telah bahagia dengan pernikahannya.

Semuanya berawal dari anak perempuan tertua, Lovisa, yang menikah dengan Putra Makhota Swedia di usia yang sangat muda. Pernikahan tersebut sukses dan Raja Frederick pun melanjutkan misinya dengan menikahkan Maximillan dengan seorang Duchess dari utara Jerman yang cantik dan tidak terkenal, dilanjutkan dengan persekongkolan dengan Raja Britania Raya untuk menjodohkan Edward dengan Marie, lalu berhasil bernegosiasi dengan Tsar agar mau menikahkan putrinya, Irina, dengan George. Setelah periode panjang dalam menjodohkan beberapa keponakannya, Sang Paman harus membujuk Charlotte agar mau menerima pinangan Gilbert, Putra Makhota Prussia.

Pria yang kelak akan menduduki tahta di Prussia bukan pilihan yang sembarangan dan bukan kandidat yang akan ditolak oleh Sang Paman untuk kesekian kalinya. Untuk kasus Charlotte, Raja Frederick sudah menolak rencana perjodohan dari banyak pria kelas bangsawan di Eropa. Tentu saja lamaran Raja dari negeri lain juga ditolak mentah-mentah oleh Sang Paman — Raja Frederick tidak bisa membayangkan Charlotte kesayangannya menjadi istri kedua dari duda kesepian yang berusia enam puluh tujuh tahun. Karena sejumlah kasus inilah banyak yang menyarankan agar Charlotte menerima Gilbert dibandingkan harus dilamar oleh banyak pria yang menyeramkan dari segi sifat maupun umur.

"Charlotte, kamu harus menerima lamarannya Gilbert."

Sosok gadis yang sedang menulis surat untuk Edward hanya menyorotkan pandangan pada pamannya. "Tidak Onkel. Tidak."

"Ayolah Charlotte, aku tahu Gilbert tulus denganmu makanya ia tetap melamarmu setelah kamu menolak lamarannya."

"Aku clueless, Onkel."

"Astaga, apa kamu takut merasa diusir dari sini? Ini masih rumah pamanmu dan jika kamu merindukan kita, kamu masih bisa datang ke rumah," canda Sang Kakak, Maximillan, yang kemudian membuatnya tertawa pelan.

"Ini rumah Charlotte juga. Rumah kalian juga," ralat Raja Frederick sembari menggelengkan kepalanya, "tetapi benar. Kamu masih bisa main ke sini saat musim panas seperti biasanya sambil mengajak suami dan anak-anakmu. Kemudian anak-anak kalian bermain bersama yang berakhir kekacauan akibat ulah Maximillan yang mulai jahil."

"Ayolah aku ingin keponakan perempuan yang cantik!" sahut Maximillan dengan raut wajah sumringah yang berhasil mengalihkan pembicaraan mengenai ulahnya terhadap keponakannya.

Sementara saudara laki-laki termuda yang berhasil menjadi Raja Yunani dari hasil suara bulat yaitu George —atau sekarang dikenal dengan regnal name-nya yaitu Raja Peter hanya menganggukan kepalanya karena setuju dengan pendapat Sang Kakak. "Aku ingin mempunyai keponakan yang juga senama dengan nama kecilku."

Gadis itu hanya memutar iris matanya karena kesal mendengar pembahasa kedua kakak laki-lakinya. "Lagipula aku kira Gilbert akan mundur setelah aku menolaknya," ucap Charlotte sembari mengalihkan pembahasan mengenai keponakan. Sudah ia duga bahwa Maximillan dan George mulai berlagak seperti orang tua yang ingin meminta cucu.

"Tidak mungkin dia akan menyerah begitu saja, Charlotte. Gilbert mengatakan padaku bahwa dia sangat bersungguh-sungguh."

"Dia bicara denganmu, Onkel?"

"Tentu saja. Lagipula apa yang kamu harapkan lagi? Aku dan orang tuanya Gilbert sudah mengatur rencana pernikahan kalian."

"Bukankah itu bentuk pemaksaan?"

"Jika pernikahan kalian sangat bahagia, kamu harus berterimakasih padaku, Charlotte. Aku hanya ingin yang terbaik untuk Baby-ku. Lihatlah Ratu Marie yang bersyukur setiap hari karena aku menjodohkan Edward padanya. Apakah aku memaksa Ratu Marie agar mau menerima keponakanku yang bentukannya seperti Edward? Bahkan aku bernegosiasi dengan Tsar dan Irina sendiri yang memohon-mohon pada ayahnya agar menerima George-ku yang baru menjadi Raja di Yunani. Apakah itu bentuk pemaksaan?"

Pikiran Charlotte pun membayangkan apakah ia bisa bahagia dengan Gilbert. Charlotte memang mengenal Gilbert, namun tidak terpikirkan untuk menikah dengannya. Sebenarnya ia juga tidak memiliki gambaran jika harus hidup sendiri dan memanjakan semua keponakannya seperti yang sudah pamannya lakukan selama ini. Pamannya sudah berusaha mencarikan jodoh untuk keponakannya di sela-sela amanahnya sebagai Raja dan sebagai wali sah. Bahkan pamannya juga sangat mencintai semua keponakannya seperti anaknya sendiri. Saking sayangnya, ia rela menahan Charlotte agar tidak menikah dengan pria sembarangan, walaupun sebenarnya Charlotte memang sudah terlambat untuk menikah.

Ia tidak tahu rencana perjodohan ini bentuk politik atau bagaimana, tetapi Charlotte harus menghargai usaha pamannya dan Gilbert.

"Aku akan menyetujui lamarannya Gilbert. Aku akan menikah dengannya."

Kedua iris biru milik pamannya berbinar dan memeluk Charlotte dengan erat. "Ya Tuhan. Terimakasih! Terimakasih, Charlotte!"

"Akhirnya! Apabila setelah menikah kamu menangis karena dia menyakitimu, kamu berhak untuk meminta bantuan jasa tukang pukul padaku," respon Maximillan yang diikuti oleh anggukan kepala George.

"Jangan lupa hubungi aku juga, Baby. Aku juga ingin memukulnya."

"Kalian kenapa kasar sekali? Aku tidak berharap untuk menangis sedih karena disakiti suamiku, ya. Lagipula aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya."

George hanya merangkul bahu adiknya sambil mengusap kepalanya. "Tenang saja, Baby. Aku mengenal Gilbert. Dia pria baik-baik, menyenangkan dan jarak umur kalian juga pantas, kok. Kita berhasil menyelamatkanmu dari pria tua itu, bukan?"

"Jangan bahas pria menyeramkan itu. Dia sudah menikah dengan putri dari adipati di negaranya," balas Raja Frederick sambil menggelengkan kepalanya dengan pelan, "untung saja bukan keponakanku yang berakhir dengan pria itu."

TBC

n/n : Nama regnal atau regnal name itu nama yang diambil penguasa saat masa pemerintahannya. Misalnya Albert, Duke of York yang naik tahta (setelah abangnya mengabdicate dirinya sendiri ) memilih nama George VI atau George the Sixth sebagai regnal namenya walaupun dikenal dengan Albert.

Hai hai aku balik! yuk kita flashback dulu wkwkwk terimakasih yaa sudah menantikan cerita iniii :")



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top