8


"Selamat jalan, Ayah, ibu...."ujar Daniel berpelukan dengan orang tuanya yang akan pergi menghabiskan waktu di istana mereka dekat pegunungan yang terletak di desa Talon. Ayah Daniel memutuskan untuk berlibur di tempat yang indah dan damai itu setelah Benjamin menyerahkan tahta pada putra sulungnya.

"Ingin sekali aku ikut dengan kalian. Mengawal dan berlibur dengan kalian."ujar Joseph.

"Dan membiarkan kau mengganggu liburan kami berdua karena ulahmu bersama para gadis di sana?!"sahut Benjamin yang membuat Joseph meringis. Pria itu tertawa. "Kau memiliki tugas di sini, Joseph."

"Kalian harus jaga kesehatan."kata Joseph. "Jangan cemaskan kami di sini."

"Aku tahu. Anakku, Daniel, adalah putra yang dapat kuandalkan."ujar Benjamin tersenyum bangga pada Daniel.

Lily sedang berbicara dengan Veronica ketika ia menangkap kilatan mata pada milik Edmund. Ia terdiam. Entah kenapa sorot mata Edmund seperti tak menyukai pujian yang dilontarkan sang ayah. Edmund memang pendiam. Selama ini ia jarang berbicara dengannya. Jangankan berbincang, menyapa padanya pun sangat jarang. Pria itu memang tak pernah tersenyum. Wajahnya selalu terlihat kaku. Dan saat ia tersenyum padanya, Lily merasa aneh. Mulutnya tersenyum tapi tidak demikian dengan matanya.

"Lily...apa kau mendengar ucapanku?!"

Lily terlonjak kaget. "Ah apa....oh maafkan aku, bu...aku..."gumam Lily dengan wajah merona. "Maaf...aku merasa berat berpisah dengan kalian hingga tidak memperhatikanmu...."

Veronica tersenyum. Ia memegang ke dua tangannya. "Lily, ibu berharap kau bisa segera mengandung. Agar Daniel memiliki seorang penerus dan posisi kalian makin kuat. Juga karena aku sudah tak sabar ingin menggendong cucuku."

Wajah Lily kembali panas. Veronica tak tahu bahwa ia masih perawan. Daniel belum pernah menyentuhnya sejak mereka menikah, apalagi menciumnya. Hal itu membuat perasaan Lily tak enak. Ia tak mungkin mengatakan semua itu pada ibu mertuanya. Ia tak ingin ada masalah yang timbul.  Lily tak tahu harus menjawab apa. Ia pun hanya diam dengan wajah merona.

Veronica tersenyum. "Bersabarlah, Lily. Ibu yakin kalian akan segera memiliki anak."

"Terima kasih bu."

"Veronica, saatnya kita berangkat."ujar Benjamin.

Veronica mengangguk lalu kembali menoleh pada Lily. "Jaga kesehatanmu, sayang."

"Ibu juga harus jaga kesehatan selama perjalanan dan di istana nanti."sahut Lily. Ia memeluknya. Veronica membalas seraya tersenyum.

"Sampaikan kabar jika kau mengandung nanti."gumam Veronica. Lily hanya mengangguk. Lalu mereka berjalan bergabung bersama Benjamin, Daniel, Edmund dan Joseph yang sudah berdiri dekat kereta kuda.

Daniel memeluk dan mengecup Veronica. Begitu pula dengan Joseph dan Edmund.

"Baik-baiklah kalian di sini. Kalian harus bersatu sebagai kakak adik."pinta Veronica.

"Ibu tak perlu cemas. Kami sudah dewasa. Nikmatilah liburan kalian di sana."ujar Daniel.

"Sampaikan salam kami pada para pelayan di sana."ujar Joseph.

Veronica mengangguk. Ia menatap dan memperhatikan Edmund dalam diam. Putranya begitu pendiam dan jarang bicara hingga semua menganggap dirinya dingin. "Edmund, jaga kesehatanmu."

"Ya bu."sahut Edmund.

Lalu Benjamin membantu Veronica naik ke dalam kereta kuda, dan di susul olehnya. Veronica membuka jendela kereta kuda. Menatap keluar kepada ke tiga putranya dan Lily.

"Sampai jumpa lagi."ujar Veronica.

"Jaga diri Ayah dan Ibu!"seru Joseph.

Veronica dan Benjamin mengangguk lalu mereka pun melambaikan tangannya ketika iringan kereta kuda mulai melaju. Lily terus menatap iringan yang panjang itu berjalan melewati taman depan hingga hilang dari pandangannya.

"Lily, ayo masuk."ujar Daniel.

Lily menoleh. "Oh baiklah....aku merasa berat berpisah dengan orang tuamu. Membuat aku teringat pada ayah ibuku."gumamnya tersenyum sedih.

Daniel menatap Lily. "Kau rindu pada mereka."tukasnya. Lily tak menjawab. "Kau bisa mengunjungi mereka jika kau mau. Aku bisa mengatur kepergianmu, hanya saja aku belum bisa mendampingi kau pergi. Kau tentu tahu tanggung jawabku di sini. Aku belum bisa meninggalkan tahtaku."

"Oh jangan, Daniel. Kita baru saja menikah...."

"Tidak masalah, Lily. Aku tak mau melihatmu sedih."

Lily merasa tersentuh. Ia tersenyum kecil. "Tidak perlu. Kita bisa pergi jika kau sempat. Lagipula bukankah kau berjanji akan menemaniku berkuda?!"

"Ah tentu saja."sahut Daniel. "Bagaimana jika kita berkuda besok?"

"Baiklah."ujar Lily.

Daniel tersenyum. Senyum Lily selalu bisa membuat jantungnya berdebar. Ia menatap wajah Lily yang lembut dan cantik. Matanya yang teduh. Perlahan mata Daniel turun ke hidung mungil dan bibir Lily. Bibirnya yang kecil dan menggoda dengan rona pink membuatnya sesak napas. Betapa ia mendambakan untuk menyentuhnya. Daniel masih bisa merasakan sentuhan tangan Lily saat mandi beberapa waktu lalu. Sentuhan yang cukup untuk membangunkan gairah dirinya.

"Apa aku boleh ikut kalian berkuda?!"

Daniel terlonjak kaget. Ia menoleh ke belakang dan melihat ternyata Joseph masih berdiri di sana. Ia memasang wajah kesal. "Kau mendengar pembicaraan kami?!"

Joseph meringis. "Aku tak bermaksud menguping."sahutnya tertawa. "Jangan marah, kakakku."

"Kurasa ia boleh bergabung bersama kita, Daniel."ujar Lily.

Daniel memaki dalam hati. Sebenarnya ia sudah merencanakan berkuda berdua dengan Lily. Ia ingin mengajaknya pergi ke tempat indah di kotanya. Berpiknik sambil mendekatkan diri dengan Lily. Tapi kini, pupus sudah impian indahnya karena ulah Joseph. Ia tak mungkin melarang adiknya ikut bersama mereka.

Daniel menarik napas. "Baiklah."ujarnya pasrah. Lalu ia melihat ke sekelilingnya. "Ke mana Edmund?"

"Ia langsung pergi saat kereta kuda melaju pergi. Kau tahu sendiri bagaimana Edmund."ujar Joseph. "Masuklah, kak. Bukankah sebentar lagi kau ada pertemuan dengan para dewan?"

"Baiklah."sahut Daniel sambil menoleh pada Lily,memberi tatapan minta maaf karena harus pergi meninggalkannya lagi. Jika saja bisa ia lebih memilih menghabiskan waktu dengan istrinya.

"Pergilah. Kau harus melakukan tugasmu. Aku akan pergi ke perpustakaan."Ujar Lily tersenyum.

Daniel mengangguk. Lalu ia melangkah bersama Joseph. Mereka melewati lorong putih dengan jendela besar menghiasi hampir sepanjang dinding. Tirai yang terbuka membuat cahaya matahari masuk dan menerangi lorong luas itu. Tak lama kemudian mereka tiba di ruang pertemuan.

"Selamat datang, Yang Mulia."sapa anggota dewan seraya berdiri dan membungkuk ketika Daniel masuk bersama Joseph.

"Duduklah."sahut Daniel mengambil tempat di ujung meja putih dan panjang. Sementara Joseph duduk di sisi kanannya. Ia melirik kursi kosong yang seharusnya diduduki oleh Edmund. "Apa Edmund belum datang?"

"Belum, Yang Mulia."

Daniel menarik napas. Adiknya memang selalu tak ingin diikutsertakan dalam urusan kerajaan. Ia tahu jauh di lubuk hati Edmund, pria itu juga memiliki ambisi ingin menjadi raja. Tapi Daniel adalah putra sulung. Dengan demikian tahta kerajaan akan turun di tangannya. Edmund bisa menjadi raja jika terjadi sesuatu padanya. Daniel mendadak merinding. Resiko menjadi seorang raja memang sangat besar. Banyak pihak yang menginginkan tempatnya. Banyak musuh yang ingin menguasai wilayahnya. Ia berharap semoga saja Edmund tidak bertindak nekat demi ambisinya. Ia sudah pernah menawarkan posisi dalam bidang pertahanan kerajaan karena Daniel tahu keahlian Edmund dalam berperang. Tapi adiknya menolak tawarannya.

"Lebih baik kita segera memulai pertemuan ini, kak."ujar Joseph.

Daniel mengangguk. 

"Yang Mulia, saya baru saja menerima laporan banyak ternak hilang di desa."

" Apa ini ulah serigala lagi?"tanya Daniel mengerutkan dahi.

"Sepertinya tidak. Karena tak ada jejak hewan tersebut, Yang Mulia."

"Perintah prajurit untuk menyelidiki kasus ini. Kita harus tahu apa penyebabnya."

"Ya, Yang Mulia."

"Apakah ada masalah lainnya lagi?"tanya Daniel.

"Yang Mulia, desa Welyn mengalami gagal panen karena hujan tak kunjung turun. Akibatnya mereka mengalami kekeringan dan kelaparan. Penyakit mulai menyebar di desa tersebut."

"Oh....sungguh tragis."sahut Joseph merasa simpati dengan keadaan rakyatnya.

"Kita harus menolong mereka. Apa kau bisa membantu menyiapkan bahan makanan serta obat dan kebutuhan lainnya untuk penduduk desa tersebut?"tanya Daniel pada adiknya.

"Tentu saja, kak. Aku akan berusaha secepatnya."

"Saya siap membantu anda, Pangeran."ujar seorang pria yang mengurus masalah kesehatan.

"Saya juga siap."sahut pria lainnya yang menangani kesejahteraan rakyat.

Daniel tersenyum. "Baiklah. Tugas ini kuserahkan pada kalian. Adikku yang akan memimpin misi ini. Dan kuharap anggota lainnya bersedia membantu jika mereka butuh sesuatu."

"Baik, Yang Mulia."

Daniel menatap sekelilingnya. Ia melihat wajah salah satu anggota dewan yang membuatnya bertanya, "Ada apa, Rhys? Kau terlihat cemas. Apakah ada masalah?"

Rhys tersentak kaget. Ia menoleh membalas tatapan Daniel dengan gugup. Beberapa anggota lain pun ikut menatapnya. Ia menelan ludah dan berkata dengan suara bergetar, "Yang Mulia, saya mendapat laporan dari prajurit bahwa ia melihat salah satu pelaku penculikan Yang Mulia Ratu Lily berada di desa."

Daniel menatapnya dengan mata terbelalak lebar. Ia mengepalkan tangan. "Kau yakin?"tanyanya geram.

"Apa yang ia lakukan di sini?"tanya Joseph ikut terkejut.

"Saya yakin, Yang Mulia. Prajurit yang melihatnya adalah orang yang ikut mengawal anda saat menjemput Yang Mulia Ratu."

"Perintahkan orang untuk mencari dan menangkap pria itu! Perketat keamanan di istana ini!"tukas Daniel dengan suara keras. "Perintahkan para prajurit untuk selalu menjaga dan mengawasi Ratu Lily!"

"Baik, Yang Mulia."



Sementara itu di perpustakaan

Lily melangkah melewati deretan rak buku panjang. Ia berhenti di suatu rak dan membaca satu per satu buku hingga berhenti pada satu judul. Ia pun mengambilnya.

"Apakah lebih baik aku membaca di sini?"gumamnya yang membuat suaranya bergema di ruang perpustakaan luas itu.

Lily merasa merinding mendengar gema suaranya sendiri. Hari ini perpustakaan begitu sepi. Tak ada satupun yang sedang membaca atau meneliti suatu buku di sini. Ia memutuskan untuk membawa bukunya ke ruang tidur.

Lily berjalan menuju pintu. Langkahnya kembali menimbulkan gema suara. Membuatnya tak nyaman. Sampai di luar, Lily menutup pintu dan menarik napas lega. Ia tertawa kecil. Merasa dirinya begitu konyol karena takut.

Lily kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang tidur yang berada di sayap lain. Melalui banyak lorong dengan dekorasi mewah dan terang. Vas bunga terdapat di setiap sudut. Memberi aroma lembut.

Ia berhenti sejenak di depan meja dengan vas bunga berisi mawar merah. Perlahan jari tangannya mengusap kelopak mawar. Terasa lembut dan halus. Ia mendekatkan wajah pada bunga itu. Menghirup aromanya yang khas. Lily menikmati wangi mawar tersebut dengan mata tertutup dan tersenyum kecil. Aromanya membuat ia teringat dengan bukit kecil di desa Tadre. Tempat di mana ia selalu menghabiskan waktu sendirian sambil bermimpi. Tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri. Merasa bebas. Dan tempat yang selalu ia datangi bersama Thomas, pria yang ia cintai.

Mendadak rasa perih hinggap di dadanya. Rasa rindu kembali menyeruak. Lily membuka mata dan menyadari air mata turun membasahi pipinya. Ia mengusap dan menggelengkan kepala dengan sedih.

"Oh Thomas....bagaimana aku bisa bertahan tanpa dirimu...permintaanmu sungguh sulit. Aku...aku tak tahu apakah bisa membuka hatiku kembali...."gumam Lily sendu.

Lily menarik napas dan menatap keluar jendela. Langit biru cerah dengan awan putih berarak. Ia bisa melihat serta mendengar kicauan burung yang sedang terbang. Angin sepoi bertiup menggoyangkan dedaunan. Hari itu sangat indah dan cerah. Tapi tidak demikian dengan hatinya saat ini. Lily kembali merasa sedih.

Ia mengusap air matanya. "Aku tak boleh terus larut dalam kesedihan."gumamnya.

Lily memutuskan untuk kembali ke ruang tidur. Berharap buku yang ia bawa akan mengalihkan pikirannya. Ia meraih dan memeluk buku ketika matanya melihat sosok Edmund berjalan di bawah. Lily menatap dalam diam. Gerak gerik Edmund tampak aneh. Seakan pria itu tak ingin di lihat orang.

Edmund mendadak menolehkan kepala ke sekelilingnya. Juga mendongakkan kepala ke atas. Lily terkesiap dan refleks menunduk ke bawah jendela. Lily bisa merasakan debaran jantungnya. Ia merasa curiga dengan Edmund. Kenapa Edmund bertingkah seperti itu?!

Perlahan Lily kembali menegakkan badan. Mengintip dari jendela. Dilihatnya Edmund berjalan ke bagian ujung taman. Lily mengikuti dari bagian atas. Sesekali ia melihat dari balik jendela. Lalu pria itu berhenti di sebuah pepohonan dan semak yang cukup lebat.

"Apa yang ia lakukan? Kenapa Edmund tidak bersama Daniel dan Joseph?"tanyanya bingung.

Lily mendengar Edmund bersiul pelan. Beberapa menit kemudian Lily melihat semak belukar bergerak. Dari balik pohon keluar seorang sosok berjubah hitam. Kepalanya tertutup tudung jubah. Wajahnya pun tak terlihat karena tudung lebarnya. Lily tak tahu siapa sosok itu. Apakah pria atau wanita? Ia melihat Edmund berbicara dengan sosok asing itu. Mereka tampak serius. Sesekali Edmund tampak seperti sedang berdebat dengan pria berjubah.

"Lily...."

Lily memekik pelan. Dengan cepat ia menutup mulutnya karena tak ingin terdengar oleh Edmund. Lily membalikkan badan. "Oh Daniel..."ujarnya

Daniel menatapnya dengan dahi berkerut dan heran. "Ada apa denganmu? Wajahmu pucat."

"Oh aku...aku...."gumam Lily gugup. Ia menoleh ke luar jendela. Melihat Edmund dan sosok berjubah itu sudah tak ada. Ia terdiam dengan bingung. Ke mana mereka? Apakah mereka mendengar suaranya dan segera pergi dari sana?

"Kau baik saja? Wajahmu pucat, Lily."

Lily menatap Daniel. Hatinya merasa bimbang. Haruskah ia menceritakan apa yang ia lihat tadi? Lily tahu hubungan Daniel dengan Edmund yang tidak akur. Mereka tampak seperti bukan kakak adik jika orang tak tahu mereka memiliki hubungan darah.

"Kurasa aku hanya lelah."sahut Lily tersenyum kecil. Ia memilih untuk diam. Tak ingin membuat masalah di antara kakak adik itu. Bagaimana jika Edmund hanya menemui temannya? Temannya yang mungkin memang tak ingin diketahui wajahnya. Hal yang aneh memang. Tapi Lily tak ingin menimbulkan masalah dalam keluarga Daniel.

"Bagaimana jika aku mengantarmu rehat di kamar?"

"Baiklah."sahut Lily mengangguk.

Mereka pun berjalan berdampingan dalam diam. Hanya terdengar suara langkah kaki Lily dan Daniel di lorong tersebut.

"Bagaimana pertemuanmu?"tanya Lily.

"Semua berjalan baik."

"Apa ada masalah?"

Daniel tak langsung menjawab. Masalah, tanyanya. Ia kembali teringat laporan mengenai pelaku penculikan Lily yang terlihat berkeliaran di desa. Itu masalah besar, ujarnya dalam hati. Tapi ia tak mau membuat Lily ketakutan. Daniel sudah memastikan penjagaan istana akan lebih diperketat saat ini.

"Ada masalah di desa Welyn. Desa itu mengalami gagal panen karena bencana kekeringan."

"Oh benarkah?! Bagaimana dengan para penduduknya?"

"Mereka kekurangan makanan dan beberapa mulai sakit serta meninggal. Aku sudah meminta Joseph untuk mengumpulkan bantuan. Kuharap besok semua siap untuk di kirim."

"Bolehkah aku ikut mengantar mengirim bantuan itu?!"pinta Lily.

"Apa?! Terlalu beresiko bagimu, Lily."

"Ada banyak prajurit yang ikut dengan kita bukan?!"ujar Lily. Daniel terdiam tampak mempertimbangkan keinginannya. "Aku ingin membantu mereka, Daniel. Ijinkan aku melakukan tugasku sebagai ratu untuk pertama kalinya."

Daniel menarik napas. Sebenarnya ia ingin menolak usul Lily. Terlalu berbahaya dengan adanya gosip salah satu anggota penculikan Lily dahulu sempat berkeliaran di wilayah kerajaannya. Tapi di sisi lain, ia tak tega melihat niat tulus Lily.

"Baiklah."ujar Daniel.

"Oh Terima kasih!"

"Dengan satu syarat."ujar Daniel menatap Lily.

Lily terdiam menatapnya. Menanti Daniel melanjutkan ucapannya.

"Kau tak boleh pergi sendirian. Harus ada prajurit serta pelayan yang mendampingimu selama di desa Welyn."

Lily tersenyum. "Aku mengerti."sahutnya mengangguk.



Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top