14

Dua minggu kemudian.....

Joseph sedang meneliti laporan yang ia baca ketika ia mendengar suara langkah kaki di luar ruang kerjanya. Dahinya berkerut mendengar derap kaki yang nyaris berlari tersebut. Ia menaruh laporan tepat pada saat pintunya di ketuk.

"Masuk."ujar Joseph.

Pintu terbuka dan menampakkan seorang prajurit yang sudah menjadi kepercayaannya selama ini. Wajahnya tampak kalut.

"Ada apa, Tobias? Apa ada sesuatu?"tanya Joseph.

Pria bernama Tobias menoleh keluar sebelum masuk dan menutup pintu. Ia menghampiri meja kerja Joseph dan berdiri di sisinya membuat Joseph bingung dengan sikapnya. Tobias terlihat pucat.

"Pangeran...."bisiknya gemetar.

Joseph merasa cemas. "Ada apa? Apakah sesuatu terjadi pada kakakku?!"tanyanya panik.

"Bukan...bukan itu...Yang Mulia baik saja dan nyaris berhasil menumpas pemberontak. Tapi pemimpin terlanjur kabur."

"Benarkah?! Kakakku memang hebat! Lalu ada apa?! Kenapa kau panik?"tanya Joseph merasa tak sabar.

Tobias menelan ludah. "Walter....ia...ia meninggal...."

"Apa?!"sahut Joseph terkejut. "Bagaimana bisa? Apa yang terjadi?!"

"Keluarganya menemukan ia sudah tak bernapas."

Joseph mengusap wajahnya. Ia pun ikut kalut. "Apa kau tahu penyebabnya? Apa ia sakit?"

"Aku menduga ia meninggal karena racun. Terdapat busa yang keluar dari mulut dan hidungnya, Pangeran. Tapi pihak keluarga tak ingin hal ini tersebar luas."

"Racun...."gumam Joseph. Ia mengusap wajahnya dengan sedih. Walter pria yang baik. Walter yang selama ini menyelidiki kematian orang tuanya kini telah meninggal. Dan ia belum menerima informasi lebih lanjut lagi darinya. Tak mungkin Walter yang sehat bugar bisa mendadak tiada. Apa ini ulah dari penjahat yang sama, tanyanya. Ia merasa ada yang aneh dengan kejadian orang tuanya.

"Apa tak ada saksi mata yang melihat kejadian ini?"

"Tidak ada. Tapi seorang prajurit mengatakan padaku bahwa sebelum kejadian naas ini, Walter terlihat bersama...."ujar Tobias berhenti bicara.

Joseph menatap Tobias yang tampak ragu. "Katakan, Tobias. Ia bersama siapa?!"

"Maaf, pangeran, ada yang melihatnya bersama Pangeran Edmund sebelum Walter meninggal."

Joseph membelalakkan mata mendengarnya. Edmund?! Apa yang ia lakukan dengan Edmund?! Edmund sama sekali tak pernah peduli dan ingin ikut campur dalam urusan apapun. Ia selalu sibuk dengan kegiatannya sendiri. Untuk apa mereka bertemu? Apa yang mereka lakukan?

"Sungguh aneh...."gumam Joseph. "Aku harus menemui dan menanyakan Edmund."

Joseph berdiri dan segera melangkah keluar diikuti oleh Tobias. Mereka menaiki tangga dan melewati lorong yang menuju ruang tidur anggota kerajaan. Berhenti di sebuah pintu dan Joseph mengetuknya. Tak ada jawaban. Joseph mengetuknya kembali dan menunggu beberapa saat.

"Sepertinya ia tak ada di kamar."gumam Joseph. "Tobias, cari informasi di mana Edmund berada. Dan kuharap kau bisa mencari informasi juga mengenai perkembangan penyelidikan Walter."

"Baik, pangeran."

———

"Sudah dua minggu....."gumam Lily seraya menarik napas. "Dan aku tak tahu bagaimana kabarnya...."

"Yang Mulia Raja pasti baik saja."ujar Norah menepuk tangan Lily untuk memberinya semangat.

"Ya aku tahu. Jika sesuatu terjadi padanya, pasti akan ada pesan....oh tidak...."ujar Lily menggelengkan kepala. "Kuharap tak akan ada pembawa pesan yang menyampaikan kabar buruk Daniel. Aku tak akan sanggup mendengarnya..."

"Lily, tenanglah, kau jangan cemas dan ketakutan. Kau harus percaya dengan kemampuannya. Aku yakin Yang Mulia dan pasukannya baik saja."

"Kuharap juga demikian, Norah. Tapi tiap hari aku selalu takut. Aku juga sulit tidur. Selalu bertanya sedang apa Daniel, apa ia baik saja, apa ia terluka...."

"Lily, kau harus menjaga kesehatanmu."ujar Norah melihat Lily yang memang tampak lelah. Bayangan gelap menghiasi bawah matanya sebagai tanda ia memang kurang tidur. Beberapa hari ini pun Lily selalu tidak menghabiskan makanannya. "Aku akan buatkan minuman hangat bagimu."

Lily hanya terdiam saat Norah keluar ruang tidurnya. Ia beranjak bangun dan mendekati jendela. Membukanya serta membiarkan angin malam yang dingin membelai wajahnya. Sejenak ia menggigil kedinginan. Lily pun merapatkan jubahnya. Ia mendongak menatap langit malam dengan kilauan bintang. Lily menarik napas. Ia tahu Daniel pun berada di bawah langit yang sama saat ini, di suatu tempat yang jauh.

"Daniel, apa kau juga sedang melihat bintang seperti yang aku lakukan? Malam ini sungguh indah bukan?! Andai saja kau ada di sini..."bisik Lily. "Apa kau sudah makan? Aku merindukanmu. Apa kau juga demikian?"

Perlahan Lily mengusap perutnya. "Kau harus pulang, karena aku sedang mengandung anakmu, Daniel."gumamnya tersenyum kecil. "Penyembuh memang belum memeriksa keadaanku, tapi aku yakin aku sedang mengandung."

Lily ingin sekali menyampaikan dirinya kini sedang mengandung anak Daniel. Ia yakin suaminya pasti akan bahagia. Tapi ia tak ingin perhatian Daniel jadi terpecah saat di medan pertarungan dan suaminya terluka. Ia terpaksa menyimpan kabarnya hingga Daniel pulang nanti. Lily akan memberinya sebuah kejutan.

Lily menoleh ketika mendengar suara ketukan pintu dan terbuka. Norah telah datang kembali dengan membawa baki. Tercium aroma minuman dan makanan. "Apa yang kau bawa?"tanya Lily.

"Minuman kesukaanmu dan beberapa makanan kecil. Kau hanya makan sedikit tadi."

Lily membekap mulutnya. Wajahnya pucat. "Oh Norah, singkirkan minuman itu...baunya......"

Norah menatap Lily dengan bingung. "Apa?! Tapi....ini minuman kesukaanmu?!"

Norah semakin heran dan kaget ketika Lily bergegas menuju baskom dan muntah. "Oh Lily!"serunya panik seraya menaruh baki di meja dekat pintu dan mendekati Lily yang masih muntah. "Kau baik saja?!"

Norah menepuk-nepuk punggung Lily. Ia meraih kain basah dan mengusap mulutnya. "Oh kau pucat sekali! Apa kau sakit?! Aku akan memanggil penyembuh."

"Jangan!"pinta Lily menahan tangan Norah.

Norah menatapnya dengan wajah tak mengerti. Ia menuntun Lily untuk berbaring di tempat tidur. Menyelimuti dan memintanya untuk minum segelas air putih. Ia membiarkan Lily bersandar. "Kenapa kau tak mau diperiksa? Bagaimana jika sakitmu makin parah?!"

"Aku tak sakit, Norah."

"Tapi tadi kau muntah setelah......"ujar Norah terdiam. Ia menatap Lily dengan dahi berkerut. "Tunggu...tadi kau memintaku menjauhkan minuman itu dan kau mengatakan baunya....apa karena itu kau muntah?!"

Lily hanya tersenyum dengan wajah merona. Ia menaruh tangan di perutnya.

"Bau itu...lalu kau muntah? Apa kau..kau..."ujar Norah dengan wajah kaget.

"Ya, Norah. Ternyata kau baru menyadarinya."ujar Lily tertawa kecil.

Norah tertawa. "Oh kau sungguh membuatku kaget tadi! Oh Lily, selamat untukmu!"

"Terima kasih. Tapi kumohon jangan beritahu siapapun dulu. Aku ingin Daniel yang mengetahui pertama kali saat pulang nanti."

"Aku mengerti."sahut Norah tersenyum bahagia. "Tapi kau tetap harus di periksa, Lily."

"Ya aku tahu. Kurasa aku akan minta bantuan pada Meredith. Aku percaya padanya."

"Kalau begitu, jika kau ijinkan, aku akan memintanya datang memeriksamu besok siang."

"Ya, terima kasih, Norah."

------

"Edmund."

Pria yang di panggil menoleh dan melihat adiknya berjalan menghampiri. "Joseph."sahutnya.

"Aku ingin bicara denganmu."ucap Joseph setelah berdiri di depannya. "Ikuti aku."

Edmund menaikkan alis mendengar permintaan Joseph. Ia pun mengikuti Joseph berjalan menuju ruang kerjanya. Joseph menutup pintu sementara Edmund mengamati ruangan di depannya. Sebuah ruang kerja yang penuh dengan dokumen dan kertas. Di hadapannya terdapat meja besar dengan jendela yang menampakkan pemandangan taman istana. Ruangan itu sebenarnya terkesan mewah andai saja tidak ada dokumen yang berserakan di meja dan lantai.

Edmund tersenyum sinis melihatnya. Seharusnya ruangan ini menjadi miliknya, gumamnya dalam hati, andai saja tak ada Joseph, pasti aku yang akan memiliki ruangan ini.

Joseph meminta Edmund duduk di sofa depan meja kerjanya. Edmund menuruti dengan berat hati. Ia merasa terhina karena di perintah oleh adiknya sendiri. Seakan dirinya adalah seorang penjahat atau hanya prajurit biasa. Ia menatap Joseph.

"Aku ingin menanyakan sesuatu."

"Silakan. Apa yang ingin kau ketahui?"

"Menurut saksi mata, kau terlihat bersama Walter sebelum ia meninggal. Apa itu benar?"

Edmund terlihat terkejut. Sedetik kemudian ia segera memasang wajah datar. "Ya. Benar."

"Untuk apa kau menemuinya? Apa yang kalian bicarakan?"

"Itu bukan urusanmu, adikku."sahut Edmund.

"Kejadian yang menimpa Walter menjadi urusanku karena ada yang meracuninya hingga meninggal. Aku tak tahu apa motifnya. Pelakunya tak bisa kubiarkan bebas berkeliaran di luar sana, Edmund. Walter adalah ksatria istana yang baik."

"Ksatria...."gumam Edmund dengan nada mencibir. "Aku memang bertemu dengannya. Tapi kami tidak berbicara hal apapun. Hanya basa basi biasa."

"Kau tidak berbohong kan?"tanya Joseph tak percaya. "Sepanjang ingatanku kau tak pernah mau ikut campur dan berkomunikasi dengan siapapun di sini."

"Aku tidak berbohong."

Joseph menatap Edmund. Kakaknya tampak seperti menghindar dari tatapannya. Ia berpikir, apakah Edmund sedang berbohong?

"Maaf jika aku menanyaimu. Tapi Walter sedang menyelidiki kejadian ayah dan ibu."

"Apa memang harus diselidiki? Bukankah kejadian itu hanya kecelakaan biasa?!"

"Aku tetap ingin menemukan pelakunya."tukas Joseph dengan nada mantap. "Apa kau sama sekali tak ingin pelakunya tertangkap?"

"Ah...tentu saja...tapi bukankah kau lebih baik fokus dengan pekerjaan lainnya? Yang lebih penting dari mencari perampok itu?!"

"Karena itulah aku dan kakak meminta bantuan Walter. kini ia telah tiada."gumam Joseph. "Dan aku tak tahu bagaimana perkembangan penyelidikannya. Kini aku harus mulai kembali dari awal."

Edmund diam tak menjawab.

"Edmund, apakah kau tak ingin membantu aku dan Daniel?"

"Tidak. Aku tak ada minat untuk itu."sahut Edmund.

"Kenapa? Apa kau masih teringat dengan kejadian dahulu?"

Wajah Edmund sempat berkerut. Tak menyukai ucapan Joseph yang menyinggung masa lalunya. "Aku sedang melakukan hal lain."

"Apa yang kau rencanakan?"tanya Joseph.

Edmund menyeringai. "Itu bukan urusanmu. Aku hanya sedang melakukan kerja sama dengan wilayah luar. Jika aku memang berhasil, kau pasti akan mengetahuinya."

Joseph menatapnya. Senyuman yang dilontarkan Edmund terlihat ganjil baginya. Seakan ada sesuatu yang Edmund sembunyikan. Ia tak tahu bahwa Edmund memiliki minat dalam bisnis. Edmund yang selalu diam dan tak ingin ikut campur dalam hal apapun. Tapi ia merasa bersyukur Edmund mau berubah.

"Apapun bisnis yang kaulakukan, aku doakan semoga sukses."ujar Joseph tersenyum.

"Terima kasih."sahut Edmund.

Edmund pamit undur diri. Joseph menatap kepergian kakaknya. Ia masih termenung diam memandangi pintu yang baru saja di tutup oleh Edmund. Ia masih ingat Edmund yang periang dan aktif saat masih kecil. Mereka selalu bermain bersama. Dan sikapnya berubah ketika Edmund pulang berburu saat berusia remaja. Edmund langsung mengurung diri di kamar. Tak ada satupun yang tahu ada apa dengannya. Sejak itu Edmund menjadi pribadi yang pendiam dan menyendiri.










Tbc......

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top