10

Seminggu telah berlalu. Keadaan desa Welyn semakin membaik dengan adanya bantuan dari pihak istana serta warga sekitar. Saluran air telah di buat untuk mengatasi masalah kekeringan desa Welyn. Perlahan keadaan warga yang sakit pun mulai pulih. Desa yang semula tampak mati kini mulai hidup dan ramai kembali. Semua penduduk desa Welyn sangat berterimakasih atas kebaikan istana dan desa sekitarnya. Mereka semakin memuji dan mencintai Daniel sebagai raja.

Siang itu hari sangat tenang. Lily dan suaminya duduk di ruang tahta. Setiap minggu mereka selalu meluangkan waktu untuk menerima kedatangan para penduduknya yang ingin menyampaikan masalah ataupun memberi hadiah. Lily sangat menyukai saat seperti ini. Ia bisa bertemu dengan rakyatnya. Mendengar keluhan mereka. Atau menerima banyak hadiah dari para wanita maupun anak-anak.

Mendadak terdengar suara langkah kaki bergegas mendekati kursi tahta mereka. Lily mendongak dan melihat salah satu ksatria berjalan mendekat. Ia mengerutkan dahi menatap wajah pucat pria itu.

Ksatria itu terus melangkah melewati deretan penduduk yang menanti gilirannya untuk maju dan deretan prajurit yang berjaga di sisi lain. Semakin dekat Lily bisa melihat wajah pria itu yang tampak kalut dan sedih.

"Yang Mulia...."ujarnya seraya membungkuk kepada mereka.

"Ada apa, Walter? Kau baik saja?"tanya Daniel heran.

Pria yang bernama Walter mendongak lalu kembali menunduk. Raut wajahnya terlihat sendu. Perlahan ia berjalan menaiki tangga lalu mendekati Daniel yang menatapnya dengan pandangan penuh tanya. Walter membungkuk dan membisikkan sesuatu pada Daniel. Lily hanya menatap mereka dalam diam meski sebenarnya ia pun penasaran apa yang terjadi. Lily semakin cemas ketika melihat perubahan raut wajah Daniel. Suaminya tampak terkejut dan sedetik kemudian wajahnya berubah menjadi pucat pasi. Tangannya mencengkeram tepi kursi dengan erat.

"Kau yakin?"tanya Daniel dengan suara bergetar.

Walter mengangguk seraya menunduk kembali.

"Apa Joseph dan Edmund sudah mengetahui hal ini?"tanya Daniel kembali.

"Belum, Yang Mulia."

"Sampaikan hal ini pada mereka."pinta Daniel.

"Baik, Yang Mulia."sahut Walter seraya bergegas undur diri.

Lily merasa sesuatu yang buruk telah terjadi. Ia tak tahu apa itu tapi yakin cukup untuk membuat Daniel menjadi pucat. "Ada apa, Daniel?"

"Kita harus pergi."ujar Daniel beranjak berdiri. Ia memerintah prajurit untuk menghentikan pertemuannya dengan para penduduk. Lalu menoleh pada Lily. "Mari, Lily."

Lily menatap Daniel. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar. Tapi ia berdiri dan menyambut uluran tangan suaminya. "Ada apa? Kita hendak ke mana?"tanyanya saat Daniel mengajaknya keluar.

Daniel hanya diam sambil terus melangkah. Lily bisa merasakan ketegangan yang sedang di alami suaminya. Rahangnya tampak mengeras sementara tangannya bergetar. Lily merasa Daniel seperti sedang menahan perasaannya. Ia tak berani bertanya kembali dan hanya berjalan mengikuti Daniel.

Mereka berjalan mengarah ke pintu depan. Lily melihat beberapa prajurit yang berjaga. Ia semakin heran menatap wajah para prajurit itu yang tampak sendu. Seorang prajurit bahkan ada yang menitikkan air mata. Lily mengerutkan dahi. Ia bisa merasakan dadanya berdebar kencang. Ada sesuatu yang terjadi, batinnya.

Ketika tiba di luar, Lily melihat kereta dengan isi yang aneh di dalamnya. Sesuatu berwarna hitam dan putih emas berada di sana. Mata Lily menangkap sesuatu yang ia kenal. Lambang kerajaan Alma. Meski sudah terkena noda hitam tapi ia mengenalinya. Lily mengerutkan dahi seraya teringat dengan kereta kuda yang dinaiki ayah ibu Daniel saat pergi untuk berlibur. Mereka pun menggunakan kereta kuda berwarna putih serta emas. Refleks ia membekap mulutnya.

Lily menoleh pada Daniel yang masih memasang raut wajah dingin dan tegas. "Daniel, apa yang terjadi?! Kereta itu....bukankah....."

"Ayah, ibu!"seru Joseph dari arah belakang.

Lily menoleh dan melihat Joseph yang sudah berurai air mata melangkah bergegas melewati mereka. Terus berjalan mendekati kereta itu. Joseph terdiam sejenak menatap kereta kuda yang sudah terbakar habis. Pria itu menggelengkan kepala lalu menatap prajurit yang berdiri di sisi kereta.

"Ayah dan ibuku selamat bukan?! Katakan di mana mereka?!"

Prajurit itu hanya diam menunduk. Ia tak berani menjawab pertanyaan sang pangeran.

"Pangeran, Yang Mulia Raja Benjamin dan ratu telah meninggal."

Joseph menoleh dan menatap tajam pada Walter. Ia mencengkeram kerah baju Walter. "Kau bohong! Ayah dan ibuku tidak mungkin meninggal! Apa kau yakin mereka terjebak di dalam kereta?!"

"Joseph, hentikan!"pinta Daniel.

Lily menatap mereka berdua bergantian. Ia sungguh tak mengerti. Bagaimana bisa kereta kuda yang ditumpangi orang tua Daniel terbakar?! Ia melihat Daniel masih memasang raut wajah keras dan pedih. Lily tahu Daniel menahan kesedihannya. Pria itu menahan air matanya keluar.

Joseph menoleh pada kakaknya. "Ayah masih tangguh! Ia tak mungkin meninggal semudah itu. Pasti ada yang menjebak mereka, kak!"

"Walter, sampaikan apa yang kau ketahui mengenai kasus ini."pinta Daniel.

"Yang Mulia, menurut saksi mata seorang penduduk desa, ia melihat kobaran api di hutan. Ia mendekat dan melihat kereta kuda yang sudah terbakar. Orang itu mendengar suara teriakan wanita dari dalam kereta dan berusaha untuk memadamkannya tapi tak berhasil menyelamatkan....."

"Oh ibu...."gumam Lily.

"Dan saya menemukan ini saat memeriksa kereta kuda."ujar Walter menyodorkan sebuah bungkusan kain berwarna coklat.

Daniel menerima lalu membuka perlahan. Ia melihat sebuah kalung dengan liontin berlian serta cincin emas sederhana. Daniel mengambil cincin itu dengan tangan gemetar. Ia memutar benda itu. Terdiam pada suatu titik. Sedetik kemudian ia menggenggam erat cincin di tangannya. Wajahnya berkerut sedih.

"Daniel...."gumam Lily memegang lengan suaminya.

"Maafkan aku, Yang Mulia."gumam Walter.

"Perlihatkan cincin itu!"pinta Joseph yang masih tak percaya.

Daniel memberikan padanya sementara ia menuruni tangga dan berdiri di depan kereta. Ia memegang kereta yang sudah terbakar. Bahunya bergetar karena rasa sedih.

"Tidak mungkin!"ujar Joseph melihat tulisan nama ayahnya di cincin itu. "Ini tak mungkin! Ayah...ibu...."

"Joseph, kuatkan hatimu."gumam Lily memegang lengan Joseph.

"Ini cincin milik ayah....dan kalung milik ibu....bagaimana bisa semua ini terjadi pada mereka....."ujar Joseph.

"Kita akan menyelidikinya. Siapapun pelakunya harus bertanggung jawab atas kejadian ini."tukas Daniel yang masih berdiri dekat kereta. Suaranya bergetar tapi memiliki tekad dan kekuatan untuk menuntut keadilan atas kejadian yang menimpa orang tuanya.

———

Kabar mengenai Raja Benjamin dan Ratu Veronica telah menyebar di seluruh pelosok. Semua rakyat bersedih karena harus kehilangan raja yang pernah memimpin wilayah mereka. Upacara pemakaman pun diadakan. Semua rakyat datang menghadiri pemakaman tersebut. Banyak tamu kerajaan yang juga datang dari jauh.

Pada hari itu, suasana duka menyelimuti wilayah kerajaan Alma. Raja dan ratu dimakamkan di area belakang istana. Rakyat yang tak diperbolehkan masuk hanya bisa berdiri di depan pintu gerbang istana. Menitikkan air mata seraya berdoa. Dalam waktu singkat bagian depan istana dipenuhi oleh pria wanita serta anak-anak. Mereka membawa bunga, menaruh di pintu gerbang karena tak bisa masuk. Sementara tamu kehormatan lainnya ikut mengiringi pemakaman Benjamin dan Veronica.

Lily berdiri di depan istana. Sekali lagi air matanya menetes melihat dua buah peti berisi ayah dan ibu mertuanya. Baru saja ia mengenal mereka. Tapi kini mereka telah pergi meninggalkannya.

"Lily...."

Lily menoleh dan melihat ibunya. "Oh ibu....kau datang kemari...."isak Lily.

Julia memeluk putrinya. Mengusap punggung Lily yang mulai terisak menangis. "Ibu langsung kemari saat mendengar kabar itu. Ayahmu tak bisa datang."gumamnya. "Bagaimana keadaanmu?"

"Aku.... aku baik saja..... Daniel yang merasa sangat kehilangan. Aku sungguh prihatin dengannya."

"Kau harus terus mendampingi dan memberinya semangat, Lily."

"Ya aku tahu bu....hanya saja...."ujar Lily terhenti. Sejak Walter membawa pulang jenazah orang tuanya, Daniel terus berdiam diri di ruang kerjanya. Menolak menemui siapapun termasuk dirinya.

Terdengar suara langkah kaki dari dalam. Daniel, Joseph dan Edmund telah tiba di depan istana dengan pakaian serba hitamnya. Mereka bertiga berdiri di samping Lily. Lily melihat Daniel tampak pucat dan dingin.

"Yang Mulia."sapa Julia seraya membungkuk pada Daniel. "Saya turut berduka cita atas kejadian ini."

"Berdirilah. Kau ibuku. Tak perlu seformal itu."sahut Daniel. "Terima kasih atas kedatanganmu, bu."

"Maafkan karena suamiku tak bisa ikut datang kemari. Kuharap kau mengerti."

"Tentu saja."ujar Daniel mengangguk. Lalu ia berpaling pada Lily. Mengangguk padanya sebelum kembali menatap ke depan. Ke arah peti di mana ke dua orang tuanya kini berbaring. Ia masih tak bisa terima orang tuanya kini telah tiada. Kepergian orang tuanya seharusnya untuk beristirahat di istana musim panas mereka. Tapi yang terjadi mereka mengalami kecelakaan hingga merenggut nyawa. Daniel tak tahu apa yang terjadi, tapi ia sudah bertekad untuk menyelidiki kejadian ini.

Daniel memberi tanda untuk segera berjalan menuju area pemakaman. Prajurit yang berjaga pun mengambil posisi dan mulai mendorong kereta yang membawa peti mati. Daniel dan Lily berjalan di belakang. Diikuti oleh Joseph, Edmund, Julia serta tamu kehormatan lainnya. Iringan panjang mulai melangkah menuju halaman di belakang istana yang merupakan tempat pemakaman keluarga kerajaan.

Di area tersebut, sudah terlihat dua buah lubang yang akan menjadi tempat peristirahatan Benjamin dan Veronica. Upacara pun segera di mulai. Hampir semua orang yang hadir menitikkan air mata. Termasuk Lily. Baginya Benjamin dan Veronica sudah seperti orang tuanya sendiri. Ia merasa sedih dan kecewa. Sedih karena tak akan bertemu dengan mereka. Kecewa pada dirinya sendiri karena tak dapat membahagiakan mereka dengan memberinya penerus. Hingga saat ini, Daniel belum menyempurnakan pernikahan mereka.

Lily menoleh pada Daniel yang hanya diam. Ia tahu suaminya pun merasakan kesedihan yang sama. Lebih dari perasaannya sendiri. Tapi pria itu tak menangis. Ia menahan dengan mengeraskan rahangnya. Lily bisa melihat tangan Daniel terkatup rapat. Sementara Joseph tak malu untuk menitikkan air matanya. Ia ikut membantu menurunkan peti orang tuanya dan menutup dengan tanah. Sementara Edmund hanya berdiri diam dengan wajah pucat dan dingin.

———

Siang hari itu istana terlihat tenang. Namun tidak demikian dengan orang yang berada di dalam ruang pertemuan. Sebuah meja kayu berbentuk bulat terdapat di tengah ruangan penuh jendela besar. Di sana, duduk beberapa orang dengan wajah serius. Mereka adalah Daniel, Joseph, Walter dengan pria penduduk desa dan seorang ksatria bernama Riddle.

"Katakan apa yang kau lihat."pinta Daniel.

Pria yang duduk di sebelah Walter mendongak dengan gugup. Menatap Daniel sekilas lalu menunduk kembali. Pertama kalinya ia bertemu dan bertatap muka dengan raja yang memimpin wilayahnya. Seharusnya saat ini ia merasa bahagia dan bangga bisa berhadapan dengan rajanya. Namun situasi tidak mendukung. Ia bisa melihat Daniel masih merasa sedih sekaligus marah dengan pelaku kejahatan itu.

"Katakanlah. Yang Mulia tak akan menghukummu."ujar Walter.

Pria itu mengangguk. "Waktu itu aku hendak pulang dan dari jauh aku melihat kepulan asap. Aku berlari ke arah asap itu. Melihat sebuah kereta kuda yang sudah terbakar. Dan banyak prajurit yang sudah terbaring tak berdaya dengan luka. Aku mendengar suara teriakan seorang wanita. Aku mencoba memadamkan api...terus...dan terus hingga suara itu hilang. Tapi....maafkan aku, Yang Mulia...aku tak berhasil menyelamatkan....mereka

Daniel mendengarkan dengan tangan terkepal erat. "Apa kau melihat seseorang saat tiba di lokasi?"

"Saat tiba aku mendengar suara kaki kuda menjauh dari kereta kuda, Yang Mulia. Tapi aku tak bisa melihat siapa penunggangnya."

"Apa kau mendapat petunjuk apapun saat memeriksa di sana?"tanya Joseph pada Walter.

"Aku hanya melihat jejak kuda. Jejak kuda yang banyak. Kuduga pelakunya terdiri dari beberapa orang."

"Apakah kemampuan mereka sangat hebat hingga bisa mengalahkan semua pasukan ayah?"tanya Daniel mengerutkan dahi.

"Tapi....kenapa ayah tak melawan? Jika mereka memang perampok, Ayah pasti akan keluar melawan mereka bersama para prajurit."ujar Joseph dengan wajah heran. "Tak mungkin Ayah hanya duduk diam di dalam kereta kuda....."

"Pangeran, ini hanya dugaanku. Mungkin saja pelakunya kenal dengan mendiang Yang Mulia Raja Benjamin. Karena itulah beliau tetap duduk di dalam."

Daniel dan Joseph menatap Riddle. Apa yang dikatakan ksatria itu cukup masuk akal. Mereka sangat mengenal ayahnya. Benjamin tak akan tinggal diam membiarkan prajuritnya bertarung sendiri. Ia akan terjun ke dalam medan perang. Tak peduli meski usianya sudah tua.

"Aku ingin kejadian ini diselidiki. Siapapun pelakunya harus ditemukan dan menerima hukuman."tukas Daniel. Lalu ia menoleh pada pria yang menemukan kereta ayahnya. "Apa kau melihat atau menemukan sesuatu yang mencurigakan saat itu?"

Pria itu terdiam sebentar. Mencoba mengingat kejadian hari itu. Saat ia tiba memang tidak ada siapapun selain para prajurit yang sudah terluka dan meninggal. Ia hanya mendengar suara derap kaki kuda yang menjauh dari lokasi kereta. "Tidak ada, Yang Mulia."

"Walter, Riddle, aku ingin kalian menemukan pelaku yang membunuh orang tuaku."

"Baik, Yang Mulia."sahut Walter dan Riddle.

"Kalian boleh meninggalkan ruangan ini."ujar Daniel.

Ke tiga pria itu pun beranjak bangun dan melangkah keluar dari ruangan. Meninggalkan Daniel berdua dengan Joseph yang masih sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

"Aku tak dapat membayangkan siapa yang berani berbuat demikian pada ayah dan ibu. Mereka orang yang baik....."gumam Joseph.

"Untuk tujuan apa mereka melakukan semua ini? Ayah sudah menyerahkan tahtanya padaku."ujar Daniel. "Seharusnya aku yang menjadi incaran jika kelompok itu memang menginginkan tahtaku."

"Kakak, ijinkan aku ikut dalam penyelidikan ini."

"Jangan, Joseph. Aku membutuhkanmu di sini."

"Tapi aku ingin dan harus menemukan penjahat itu! Aku harus tahu siapa orangnya! Kenapa ia tega berbuat seperti ini?!"tukas Joseph.

"Tugas itu sudah kuserahkan pada Walter dan Riddle. Biarkan mereka yang bekerja, Joseph. Aku membutuhkan bantuanmu di sini. Kau tentu tahu Edmund selalu tak ingin ikut campur dalam hal apapun."

Joseph mendesah. "Baiklah......"




Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top