Pagi yang Cerah
"Mbak Nadia ya?"
Mas-mas Jawa berjaket hijau yang sudah kumal menghentikan motor Vario yang tidak memiliki spion tepat di depan pagarku. Motornya berbunyi tidak normal, dengan suara "krek krek" yang terdengar setiap kali motor itu berhenti. Aku memutar bola mataku dengan malas. "Iya mas, lama sekali sih. Kan sudah saya bilang kalau cepetan nanti saya telat," ujarku dengan nada sejutek mungkin. Kalau saja aku tidak telat, pasti sudah aku cancel sejak tadi; motor yang dinaikinya saja sangat berbeda dengan yang tertulis di aplikasi.
Wajahnya tampak ketakutan dan merasa bersalah. Tidak kupedulikan suara yang keluar dari bibirnya, buru-buru aku langsung menaiki motor. "Ayo mas, buruan. Keburu telat ini saya," potongku tanpa menghiraukan permintaan maafnya. "Ngebut mas."
Mas Viki —namanya di aplikasi ojol, yang tidak kukonfirmasi— mulai menaikkan kecepatan penuh melalui jalanan macet Surabaya di pagi hari. Dapat kurasakan getaran motor yang tidak biasa; setiap kali roda motor menyentuh jalanan yang bergelombang, terasa seperti getaran gemetar yang menjalar dari jok hingga ke tulang punggungku. Suara motor yang bising dengan bunyi "krek krek" berulang kali semakin membuatku mempertanyakan keprimaan motor ini. Getaran ini membuat tubuhku ikut berdisko bersama motor ini. Keringat mulai mengucur di dahiku, dan tidak ada kata sejuk bagi kota padat ini. Wilayah Mayjend Sungkono yang seharusnya menjadi jalan yang lancar karena dibangun jalan bawah tanah, malah menjadi semakin macet. Suara klakson mobil yang bersahut-sahutan, motor-motor yang nyaris menabrak satu sama lain, debu yang sangat pekat berterbangan melewati pernapasan, sangat mendeskripsikan pagi yang cerah bukan?
Kunaikkan volume musik yang berdengung di telingaku. Lagu Bernadya mengalun lembut di telingaku. Aku suka memasang earphone di tengah perjalanan, rasanya seperti menghentikan waktu yang terus berjalan. Pikiranku bisa melayang jauh ke tempat-tempat yang ingin kukunjungi. Membayangkan mimpi-mimpi yang tampak indah tapi hanya angan-angan saja.
Untungnya, ku tak pilih menyerah. Lirik lagu Bernadya mengalun dengan indah. Membuat pikiranku terbang semakin jauh. Mempertanyakan hal-hal yang aku pilih, rasanya terasa salah tapi juga lebih salah jika aku tidak memilih jalan ini. Kalau aku bisa kembali ke tiga tahun yang lalu, pilihan apa yang akan kupilih? Apakah aku bisa memperjuangkan sekali lagi? Atau aku tetap menyerah pada takdir? Tapi kalau saja waktu itu COVID tidak ada, apakah semuanya mungkin akan berbeda? Kalau aku sedikit lebih egois, apakah semua yang terjadi akan berbeda? Aku cukup yakin kalau sebenarnya, saat itu mimpiku hanya tinggal beberapa langkah, tapi aku juga meragukan apa yang aku yakini. Kadang aku bertanya-tanya, apakah aku tidak bisa memulai lagi mimpi itu? Atau aku saja yang kurang berusaha untuk memperjuangkan mimpi itu? Umurku juga masih 25 tahun, seharusnya aku bisa mengejarnya. Bisa? Bisa sih, kalau tidak punya beban di pundak. Tapi apakah keadaan tidak bisa lebih baik? Kenapa sepertinya hanya aku yang tidak diizinkan untuk bergerak sedikit lagi? Rasanya sesak hanya dibuang di suatu pilihan yang tidak ingin kulewati.
Hanya saja, ini membingungkan. Apa aku saja yang terlalu terjebak dalam mimpi-mimpi yang tidak realistis? Toh, sepertinya orang lain bisa menerima kalau mimpi ya mimpi, realita ya realita. Seperti hanya aku yang masih terjebak dan tidak terima. Bukannya aku mengeluh, hanya saja aku masih tidak bisa menemukan kebahagiaan dari jalan yang aku pilih saat ini.
Terjebak di depan layar monitor, melihat nominal-nominal yang tidak pernah menjadi milikku. Menghitung keuntungan yang didapat si pewaris bisnis, ditemani segelas kopi untuk menahan diri dari kejenuhan. Hari-hari yang melelahkan, aku lebih bingung dengan mereka yang bisa menikmati kehidupan semembosankan itu.
"Mbak betul di sini ya?" ucap Mas Viki yang membangunkanku dari lamunan.
"Iya, berhenti di depan sana ya, Mas," tunjukku ke arah lobby depan kantorku. Mas Viki melajukan motornya yang lagi-lagi berbunyi krek krek ke arah yang aku minta.
Buru-buru aku turun, "Sudah pakai aplikasi langsung ya mas bayarnya," teriakku sembari berlari begitu melihat jam di ponselku menunjukkan pukul 07.59. Aku sudah tidak menghiraukan teriakan Mas Viki yang sepertinya minta dikasih bintang lima di aplikasi.
Sial, sial. Hampir saja aku terpeleset begitu memasuki pintu kantor. "Pagi Bu Nadia," sapa Mbak Maya, satpam cantik penjaga pintu kantorku.
"Pagi Mbak," balasku tanpa melihat wajahnya dan tetap sibuk berjalan cepat ke mesin finger print.
"Ah." Tubuhku tiba-tiba terpental ke lantai. Kusadari ternyata aku menabrak seseorang begitu sampai di depan mesin finger print. Kudongakkan wajah dan mendapati wajah yang kukenali. Sial, malu banget, kenapa juga harus nabrak dia sih, Nad. Bego banget deh. "Maaf, maaf," ucapku sembari buru-buru bangkit dan menempelkan jariku di mesin finger print. Mesin menunjukkan jam 7.59.58. Hahaha, nyaris saja.
Aku segera menyingkir dari mesin, karena ternyata sudah banyak di belakangku yang mengantre dengan sedikit misuh-misuh karena mereka telat. Aku mencari orang yang tidak sengaja kutabrak saat dia sedang absen di mesin.
"Eh maaf ya, Dri, buru-buru pol sampe nabrak kamu." Kutemukan Adrian yang berdiam diri di sebelahku. Yah, ini korban yang kutabrak tadi; cuma berhubung badannya cukup tinggi, malah aku yang terpental.
Adrian tersenyum. "Gapapa, Nad. Yuk masuk."
Wah, ternyata kalau tersenyum dia cukup manis. Aku baru menyadari itu. Aku mengekor di belakang Adrian, sudah mirip anak ayam mengekori induknya.
Aku mengikuti langkah Adrian melewati lorong kantor yang dipenuhi suara ketikan keyboard dan bisikan orang-orang, rasanya seakan-akan aku hanyut dalam lautan rutinitas. Semua orang tampak begitu terfokus pada pekerjaan mereka, dan suasana dingin dari AC terasa kontras dengan panas yang masih menempel di tubuhku. Aku berusaha untuk menyingkirkan rasa malu dari tabrakan pagi ini dan menyibukkan diri dengan pikiran tentang pekerjaan yang menunggu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top