Ajakan Mengejutkan
Jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam, tapi aku masih terpaku di depan layar monitor. Memasuki akhir tahun memang benar-benar melelahkan. Rutinitas lembur yang tiada akhirnya, bahkan ini membuat tidak beres jam tidurku. Deretan angka dan laporan yang harus kuselesaikan membuat kepalaku berdenyut, rasa kantuk juga sudah menyerang sejak pukul sembilan, tapi tidak ada pilihan lain. Satu-satunya suara yang terdengar hanya ketukan jari-jariku di atas keyboard, sesekali suara AC yang dinginnya mulai menusuk kulit. Aku harus menyelesaikan revisi laporan cashflow untuk Pak Arief besok pagi, karena Pak Arief akan berangkat ke Semarang untuk meeting tahunan dengan para direksi. Di sudut ruangan, hanya ada lampu meja yang menyala, menerangi mejaku di antara gelapnya kantor yang sudah lama ditinggalkan rekan-rekan kerjaku. Mungkin tidak lama lagi akan ada satpam yang mengingatkanku untuk segera pulang.
Aku mengusap wajah, berusaha tetap fokus. Suasana kantor yang sepi membuat detak jarum jam di dinding terasa jauh lebih nyaring. Meski aku memasang earphone di telinga kiriku, tapi suara keheningan kantor tetap terasa. Setelah seharian merasakan kebisingan, suasana malam memang kadang cukup menenangkan. Saat menatap layar sekali lagi, tiba-tiba aku menyadari satu hal: Adrian. Aku menoleh ke arahnya, dan ternyata dia masih ada di sana, duduk di meja kerjanya dengan wajah yang tak kalah lelah dariku, dia juga menguap lebar.
"Masih belum pulang juga, Dri?" tanyaku sambil mencoba memecah keheningan.
Adrian terperajat kaget, sepertinya dia tidak menyadari keberadaanku. Adrian yang duduk beberapa meja di sampingku menoleh. "Eh, Nad, gak sadar ada kamu. Laporanmu gimana?"
Aku meregangkan tubuhku, melepaskan sel-sel kaku di tubuhku. "Dikit lagi, sih, cuma sudah jam segini, nggak kerasa udah malam banget," jawabku.
"Iya, pasti abis ini diusir. Mana kayaknya sisa kita berdua," katanya, sedikit tersenyum. "Laporanku juga sisa dikit lagi, kayaknya besok aku kelarin. Mau balik?"
"Sama kayaknya aku lanjut besok lagi. Iya mau balik deh abis ini. Takut kalau kemalaman gak dapat ojek online." Aku membereskan barang-barangku ke dalam tas dan mematikan komputer, sepertinya Adrian juga melakukan hal yang sama denganku.
Adrian berdeham, membuatku mengalihkan pandang ke arahnya. "Hm, Nad, mau bareng aku baliknya?"
Aku sempat terdiam, kaget dengan tawaran itu. Meski sering berbincang saat kerja, ini pertama kalinya Adrian menawarkan untuk mengantar pulang. Ya bahkan perbincanganku dengan Adrian selama ini hanya benar-benar soal pekerjaan, kami bahkan hampir tidak pernah bercanda bersama. Kalau dengan anak-anak di timnya, aku cukup akrab, tapi dengan Adrian tidak pernah ada konteks pembicaraan di luar pekerjaan.
"Oh, nggak usah, Dri. Aku bisa naik ojek online kok," tolakku cepat. Sepertinya akan aneh juga jika kami semobil, aku tidak tahu akan berbincang apa dengan dia. Adrian punya kepribadian yang cukup pendiam, meskipun beberapa kali juga dia bisa bercanda. Tapi sekali lagi, aku tidak pernah berbincang dengan dia di luar pekerjaan. Hanya sekali saat dia mengajakku minum kopi, dua hari yang lalu setelah Pak Arief marah-marah.
"Nggak apa-apa. Udah malam, dan kelihatannya kamu juga capek, Nad. Bahaya juga jam segini naik ojek online. Rumahmu daerah Darmo kan? Sekalian aku bisa lewat jalan yang sama," balas Adrian.
Aku menoleh memandang Adrian. Ini baru pertama kali, Adrian menawarkan sesuatu diluar jabatan profesional kita. Hubungan kami sebatas kolega saja, bahkan ketika lembur bersama, kami jarang hampir tidak pernah berbincang. Namun, hari ini, ketika aku memandangnya, ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu yang membuatku kesulitan untuk menolak tawaran Adrian, ditambah penjelasannya yang masuk akal. Jujur saja, sekarang aku sudah sangat mengantuk. Biasanya aku akan sedikit ketiduran di motor. Akhirnya, aku mengangguk setuju.
Kami berjalan keluar bersebelahan. Langkah kami beriringan di lorong yang sunyi, hingga yang terdengar hanya langkah kami yang bersahut-sahutan. Tidak ada pembicaraan, hanya saat satpam menyapa kami di depan pintu keluar. Memang aku dan Adrian meskipun berasa di divisi yang sama, kami benar-benar asing. Hanya saja, bukankah akan tampak aneh kalau kami hanya berdiam-diaman, bukan?
Aku masuk mengikutinya berjalan ke arah mobil Sienta putih yang terparkir sendirian di bawah lampu jalan yang mulai remang, menunjukkan kalau hanya tersisa kami saja di kantor. Aku duduk di kursi penumpang, mengatur napasku pelan-pelan sambil memperhatikan interior mobil yang rapi. Masih tidak ada percakapan. Ada rasa canggung yang cukup terasa di mobil ini. Hanya suara radio yang memecah keheningan ini, aku ingin membuka obrolan tapi aku agak bingung.
Aku mencoba memecah keheningan yang mencekik ini, tapi Adrian mendahuluiku, "Capek, ya? Revisi cashflow lumayan banyak, Nad?"
Aku hanya tersenyum tipis, "Lumayan, Dri, soalnya kan ternyata budgeting yang dikasih tim teknik salah hitungan, jadi sama aja kayak ngulang dari awal. Untungnya datanya Riko overall udah banyak yang beres. Laporan aging-mu gimana? Banyak revisi juga?"
"Humm, proyeksi customer batalnya dianggap nggak valid, Pak Arief minta aku proyeksikan lagi. Tadi aku cek data Sarah ternyata dia salah buat laporan, jadi ya begitulah," jawab Adrian, suaranya terdengar sedikit lebih berat. Sesekali aku melirik ke arahnya, dan wajahnya tampak agak kesal. Ekspresi yang tidak pernah kulihat selama ini. Ternyata dia juga bisa memiliki sisi emosional seperti ini, sama seperti diriku.
Tiba-tiba Adrian bertanya, "Mau mampir makan dulu nggak, Nad?"
Kebiasaan burukku yang sulit kuubah adalah tidak bisa menolak jika ditawarkan sesuatu. "Boleh, Dri, pengen makan apa?"
Aku sedikit kaget dengan ajakan Adrian. Bukan karena aku merasa terpaksa, tapi karena ini pertama kalinya dia mengajak hal yang sedikit di luar kebiasaan formal kami. Aku melihat matanya yang fokus ke jalan, dan menyadari bahwa mungkin ini juga cara dia untuk menenangkan diri setelah hari yang panjang. Lagipula, aku juga merasa butuh suasana yang berbeda setelah seharian lembur.
"Mau makan rawon, Nad?"
"Boleh tuh, Dri. Pas juga lagi dingin terus simpel makannya, gak ribet. Di daerah deket rumahku ada tuh rawon enak. Rawon kalkulator tau, nggak?"
Adrian terdiam sejenak, seperti berpikir. "Ah, yang di deket taman bungkul itu ya? Masih buka jam segini?"
Aku mengangguk, sedikit tersenyum. "Masih kok, btw, Dri, kamu tuh dulu lulusannya UNAIR ya?" tanyaku, mencoba menggali topik lain agar suasana di antara kami tidak kembali canggung.
"Nanti bantu arahin ke tempat rawonnya ya, Nad. Iya lulusan UNAIR, why?"
"Oke aman dah. Itu temenku tuh ada yang tanya, aku tuh kenal kakak kelas dia, ngga, katanya sekantor sama aku. Aku tanya siapa emang, kata dia namanya Adrian. Cuma kan kita jarang bincang-bincang di luar urusan kantor ya, jadi aku gak pernah nanya ke kamu."
"Siapa namanya, Nad?"
"Namanya Karina, dulu ikut BEM kalau nggak salah inget aku."
"Oh Karin! Kenal aku, dulu aku ketua BEM waktu jamannya dia masuk BEM. Anaknya mirip kamu ya energinya." Adrian melirikku sebentar sembari terkekeh pelan.
Aku tertawa pelan mendengar itu. "Waw! Kamu ketua BEM? Ngeri banget sih. Kenapa? Energi terlalu overpower?" godaku sembari terkekeh.
Bisa kulihat dari pantulan cahaya yang mengenai wajahnya, kini kedua pipinya memerah. Sepertinya Adrian salah tingkah. "Biasa aja lah, Nad, ketua BEM tidak menjamin apapun kok. Gak sampe overpower cuma kalian kayak extrovert banget. Karin sekarang kerja dimana, Nad?"
"Dia jadi konsultan di Deloitte. Karin tuh temenku dari SD."
Adrian hanya mengangguk sambil memarkirkan mobil di dekat warung rawon yang kutunjuk. Sekilas aku bisa melihat kelelahan di wajahnya perlahan memudar, tergantikan dengan ekspresi yang lebih santai. Mungkin, sama seperti aku, dia juga membutuhkan suasana yang lebih hangat dan santai setelah hari yang panjang ini.
Kami turun dari mobil dan berjalan menuju warung rawon yang masih buka. Sambil berjalan, aku merasa sesuatu yang asing mulai terasa nyaman. Mungkin Adrian memang bukan tipe orang yang banyak bicara, tapi justru keheningan di antara kami terasa menenangkan. Untuk pertama kalinya, aku tidak merasa terburu-buru pulang, dan itu rasanya cukup menyenangkan.
Saat kami hampir sampai di warung, Adrian tiba-tiba menoleh padaku dengan wajah serius, "Eh, Nad, tau nggak kenapa rawon itu cocok buat kita makan sekarang?"
Aku mengerutkan dahi, penasaran dengan pertanyaannya. "Kenapa?"
Adrian tersenyum kecil, sebelum melanjutkan, "Soalnya, kayak kita, isinya gelap-gelap tapi penuh daging kehidupan."
Aku menatapnya, terkejut sebentar dengan leluconnya yang tidak kuduga, kemudian kami berdua tertawa. Itu memang bukan lelucon yang luar biasa, tapi entah kenapa, di tengah keheningan malam dan kelelahan yang kami rasakan, itu menjadi lelucon yang tepat. Adrian ternyata bisa melucu juga, dan kali ini, keheningan di antara kami berubah menjadi percakapan yang lebih hangat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top