"Kamu Wanita Luar Biasa"
Keesokan harinya, aku terbangun dan menggerakkan badan, tapi yang terjadi aku merasakan sekujur tubuhku kram, terutama sekujur kakiku. Haduuu, alamat gak masuk kerja nih ceritanya. Dengan tertatih akupun keluar kamar. Mak yang meilhat ku keluar dengan cara yang tak biasa menyindir.
“Enak naik gunung?” Aku diam saja sambil berjalan ke kamar mandi sambil menahan kram. Aku sudah bertekad untuk gak masuk hari ni. Setelah dari kamar mandi, aku mengirim pesan sama teman seruanganku kalo aku permisi gak masuk karena sakit. Aku tiduran di sofa ruang tamu. Mak datang.
“Kok belum mandi?” tanya Mak.
“Gak enak body Mak. Sakkt semua badan Nina.” Keluhku.
“Ha, itulah udah dilarang naik gung masih maksa. Rasakanlah.”
‘iyelah Mak, memang Nina yang ngerasain. Tapi Nina gak kapok kok Mak. Kalo ada yang ngajak mendaki lagi, Nina mau ikut.” Kataku.
“Yaudah, nanti minum obatlah, ntar Mak urutin mana yang kram. Mak buat sarapan dulu ya.” Mendadak Mak berubah halus. Eh? Tapi ya syukurlah, beliau paham dengan keadaanku.
Jam tujuh, aku mendapat pesan BBM dari Reza.
“Acem kabar?” tanyanya. Dengan emoticon ketawa.
“sakit...” jawabku dengan emoticon sakit.
“Hahahah,”
“Asemm malah ketawa.”
“:p”
Aku gak membalas lagi. Bete banget, pagi pagi udah dibuat badmood. Usai sarapan aku minum vitamin, dan Mak mijitin kakiku juga punggungku. Angin di dalam tubuhku rasanya hilang karena pijetan Mak. Ringan lagi rasanya tubuhku. Hanya kaki dan bahuku yang masih sangat kram.
Usai dipijitin, aku tertidur di sofa. Entah mimpi apa aku kemudian, tiba-tiba terbangun dan mendapati sepasang mata tengah menatapku sambil tersenyum. Aku langsung bangkit untuk duduk. Tapi,...
‘Aduh,..” Aku pusing dan terhuyung. Mendadak pandangan ku gelap. Aku merasa ditarik hingga rebah lagi, tapi ini dipangkuan orang yang menatapku tadi.
“Udah rebah aja.” Katanya. Aku menyipitkan mataku menatapnya.
“Kok kau udah disini aja. Kapan datangnya?” tanyaku parau.
“Beeghh...Reza gitu loh.” Katanya sok keren. Aku diam aja. Reza kemudian membelai rambutku. Aku menepis tangannya.
“Ga usah sok romantis.” Kataku ketus.
“Jutek amat, Nin.”
“Mood ku lagi gak bagus, Za.” Reza diam. Namun...
“hmmm, Nin...” gumam Reza.
“Iya?”
“Aku sayang sama kamu.” Bisiknya tepat diatas dahiku. Aku yang semula memejamkan mata langsung membuka mata. Ada sensasi aneh yang menjalari tubuhku saat Reza mengatakan hal itu.
Prangg!!!
Langsung bangkit dan tak sengaja kepentok jidatnya Reza. Aduh! Aku mengusap-usap jidatku lalu bangkit melihat Mak di dapur.
“Hehe, tadi gelasnya ke senggol jadi jatoh.” Kata Mak sambil mengutip pecahan gelas dilantai.
“Eh buk, biar Reza aja. Nanti tangan ibuk luka.” Kata Reza yang datang tiba-tiba disampingku sambil langsung turun tangan mengutip pecahan gelas.
“Aduh, Makasih ya Reza.”
“Hahah, gak papa lho ibuk...”
Sejak hari itu, Reza bersikap agak cuek padaku. Aku jadi gak enak. Pernyataannya hari itu, gak ada aku gubris, dan bahkan Reza gak ada membahas itu lagi. Ini membuatku berfikir apa jangan-jangan Reza hanya bercanda, tapi bercanda kok malah ane dicuekin begini sih. Ih kzl!
PING! Delivered. Semenit kemudian Read.
“Opo?” tanya nya.
“Cuek bingit. Ane ada salah ya.” Dari sini, hanya Delivered. Sepuluh menit kemudian baru di Read.
“Gak kok, Nin. Aku agak sedih aja.”
“Sedih kenapa?”
“Ane udah dapat jabatan tetap, tapi gak disini. Bulan depan, aku mulai tinggal di Palembang.”
“harusnya seneng dong dapat jabatan tetap.”
“Iya, tapikan itu artinya aku bakalan hidup sendiri, jauh dari mamak ku.”
“Kok kau ya, bolak balik mendaki, melalak ke hutan, giliran pigi jauh takut pisah sama mamak.”
“Bedalah, kalau ke hutan, ke gunung, paling 2-3 hari udah balik ke rumah. Lah ini? Berbulan-bulan, bahkan tahun pertama ini aku gak pulang.”
“Iya juga sih, tapi kenapa kau gak nikah aja. Biar nanti ada yang ngurus kau disana.”
“Nikah? Sama kau ya.... :D”
“Iya :D.” Jawabku bercanda sambil terkikik.
“Serius ini...”
“Hahaha..”
“bah ketawa? Aku serius...”
Belum sempat mengetik balasan, aku mendapat telepon dari Reza.
“Haloo.. kok gak kau balas.” Repetnya.
“Baru mau ku balas lho.”
“Ah udalah itu. Gak sabar aku. Jadi cemana?”
“Apanya?”
“Nikah kita?”
“Apanya kau?” Aku gelagapan.
“Aku serius Ninaa...”
“Maksudnya?”
“Kamu maukan jadi istriku.?” Aku terdiam. Merinding aku mendengar Reza berkata seperti itu. Mendadak jantungku rasanya mau copot.
“K-Kamu beneran serius?”
“Iya, aku serius. Aku udah jatuh di hatimu Nin. Aku gak tau lagi bilangnya cemana. Aku....aku tuh...s-sayang sama mu. Dan setelah kita ke Sibuatan, rasa sayangku makin besar sama mu. Aku akan bangga bisa memilikimu.”
Aku makin terdiam, darahku semakin berdesir mendengar pengakuan Reza. Inikah yang dinamakan jodoh itu? ah, entahlah. Aku senang. Sebab, akupun memendam rasa yang sama. Itulah sebabnya aku kesal saat dicuekin hampir seminggu olehnya.
“Jadi, kapan kau ngelamar aku.” Tanyaku to the point.
“Besok!”
“Ha?” aku kaget bingit.
“Iya besok. Besok aku sama mamakku datang ke rumahmu. Besok minggu kan, kau masih libur.”
“I-iya t-tapi, apa gak mepet kali waktunya. Mamak ku masih ke warung belum balek ke rumah.”
“yaudah, nanti kalo balek. Bilang lah. “
“y-yaudah deh.”
“Assalamu’alaikum, calon istriku.”
“Walaikum salam.” Ucapku tersipu.
Kali ini jantungku rasanya meletup-letup seperti kembang api tahun baru. Wajahku menghangat. Aku jadi gak sabar pingin bilang sama Mak. Aku benar-benar salah tingkah. Ingatanku kembali saat Reza mencium keningku ketika pendakian di Gunung Sibuatan.
“Kamu wanita luar biasa.” Mendadak suaranya menggema di rongga kepalaku dan terasa syahdu mendesak dalam dadaku.
“Assalamu’alaikum.” Kata Mak yang baru pulang dari warung sambil membawa barang yang dibelinya. Aku langsung menghambur ke arah Mak, serta memeluknya kegirangan.
“Maaaakkk..!!!”
“Bah? Apanya ini.”
“Maaakk....Reza besok mau datang sama mamaknya ke rumah kita. Dia mau ngelamar Nina.!” Cerocosku.
“Oke. Nanti Mak telpon uwakmu.” Respon Mak serius bener. “Ah, sekarang aja!” lanjutnya sambil mencari handphonenya.
Aku terbengong. Sebegitu yakinnya kah Mak sama Reza sampai tidak mempertimbangkan lagi, atau setidaknya menyuruhku menelepon Reza untuk memastikan??? Tapi, Mak langsung menelepon uwak ku di Tanjung Balai yang merupakan wali ku satu-satunya setelah ayah meninggal dunia ketika aku kecil. Aku tak punya saudara laki-laki. Setelah Mak nelpon, beliau langsung memelukku erat-erat.
“Sebentar lagi, anak wedok ku nikah...” ucapnya lembut sambil membelai rambutku. Perlahan bulir bening menuruni pipiku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top