[21] Khilaf Kaul
Setelah seharian mengurus kepentingan yayasan, Kiai Hasan yang masih mengingat benar percakapan terakhirnya dengan Kiai Munawwar bergegas mencari kepastian. Dengan langkah terburu-buru Kiai Hasan mendatangi Irham yang sedang bersiap untuk masuk ke kelas santri yang harus dia isi. Tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, pengasuh yang telah menjadi sosok tepercaya di masyarakat itu telah memasuki rumah sang anak.
"Bah, ada apa?" Irham terheran. Tak biasanya jika ada keperluan dia yang harus menghadap. Sudah terpikirkan olehnya tentang sesuatu yang mendesak meskipun apa gerangan ia belum tahu.
Kiai Hasan menarik napas berat sebelum memulai membuka suara. Tangan kanannya yang menggenggam butiran tasbih kayu gaharu semakin erat menyimbolkan emosi yang tertahan.
"Di mana Hilya?" Sebelum bertanya ke perihal inti, Kiai Hasan memastikan keberadaan menantunya.
"Ada apa, Bah?" Irham semakin heran.
Belum sempat ada sahut lanjutan, satu sosok yang dibicarakan muncul dari pintu pembatas yang ditutup tirai.
"Mas ...," panggilnya pada Irham.
"Abah?" Hilya terkejut tiba-tiba abah mertuanya ada di rumah mereka.
"Nduk, beri kami ruang untuk berdua saja." Kiai Hasan meminta Hilya untuk dirinya dan Irham berbicara empat mata.
Dengan menyimpan rasa aneh dan bertanya-tanya dalam hati, Hilya pun menyingkir meninggalkan kedua insan yang sempat bertatapan penuh misteri.
"Aku tak tahu apa sebab awal kamu bersikap untuk mempermalukanku." Kiai Hasan berkata setelah Hilya pergi.
"Apa maksud Abah?" Irham tak mengerti. Ia menyangka masih tentang masalah yang kemarin belum selesai dibahas. Akan tetapi mengapa mengharuskan laki-laki yang dihormatinya itu mendatangi langsung?
"Benar kamu belum pernah menyentuh Hilya sebagai istrimu?"
Tak ada angin, apalagi badai. Pertanyaan itu sukses membuat Irham seolah dibangunkan secara paksa dari tidur lelapnya. Irham mengerti ia salah dalam hal itu, tetapi siapa yang memberi tahu? Rahasia itu, adalah rahasia yang tak seharusnya menyebar. Irham menunduk. Ada rasa malu, yang entah mengapa tak membuatnya merasa bersalah.
"Benar begitu?" Kiai Hasan memberikan nada penekanan pada pertanyaannya.
Irham masih diam. Telinganya serasa berdenging. Sesaat ia menggoncang perlahan kepalanya. Setelah memastikan bahwa ia siap menerima konsekuensi apa pun, Irham mengangguk. Dari sorot matanya yang lesu tersampaikan kepasrahan.
"Bukankah ini rumah tangga kami, Bah? Mengapa selalu diintervensi?"
"Picik." Kiai Hasan kini benar-benar menahan amarah yang telah memuncak. Meskipun bukan caranya dengan kekerasan, tetapi sorot mata yang tajam dan kata-kata sarkas tersampaikan dengan jelas.
"Kamu pikir untuk apa kami menikahkan kalian? Itu adalah untuk kebaikan kalian. Nasab anak-anak kalian. Keberlangsungan pesantren. Masih tidak tahu tujuannya apa?"
"Abah akhirnya mengakui dengan gamblang bahwa perjodohan ini adalah untuk keberlangsungan pesantren."
"Irham!" Bentakan Kiai Hasan mungkin tidak menggema hingga ke luar ruangan. Namun, amarah yang seolah sampai di ubun-ubun itu tiba-tiba menukik ke dalam jantungnya. Membuat dadanya terasa sakit dan sesak.
Kiai Hasan limbung, tangannya menggapai sandaran sofa. Belum sanggup rasanya ia menatap wajah putranya yang tidak ia sangka akan memperlakukannya begitu rupa.
Irham ingin sekali melanjutkan kata-katanya, tetapi dia jauh lebih mengkhawatirkan sang ayah.
"Bah, tidak apa-apa?" Irham menggapai tubuh Kiai Hasan dan membantunya untuk duduk di sofa.
"Maafkan Irham, Bah. Aku memang lancang dan pantas dihukum." Kaki Irham bersimpuh dan pandangannya pun masih tak berani menatap.
"Entah sejak kapan kusadari kamu berubah." Kiai Irham memandangi putranya dengan rasa gundah. "Bukannya dari dulu kamu selalu diam jika aku bicara?" lanjutnya. Bola-bola matanya yang merah kini berkaca-kaca.
Irham masih menunduk. Ia membenarkan perkataan Kiai Hasan. Ya, ia selalu menjadi anak penurut dan patuh. Jangankan membantah, untuk menyampaikan kehendaknya pun ia butuh persetujuan.
"Kamu tak perlu tersiksa karena perjodohan ini? Kamu aku didik bukan untuk menjadi pribadi pemberontak. Berubahlah. Cintai istrimu. Kamu sudah berjanji di hadapan Allah."
Hening sekali. Tak ada jawaban.
"Jangan permalukan aku di hadapan Kiai Munawwar lagi. Berubahlah."
Irham menahan diri sekuat-kuatnya. Ia pejamkan mata dan kepalan cekal memperlihatkan urat-urat di punggung telapak tangannya.
💔💔💔
Setelah menyelesaikan tugasnya mengisi kelas. Irham memilih menyendiri di tepian kolam belakang gedung madrasah yang sepi. Satu daun nangka gugur dari pohonnya yang tumbuh di dekatnya jatuh di permukaan air, mencipta gelombang. Seolah merusak ketenangan. Seandainya gelombang yang mengganggu ketenangan dalam dirinya teratur seperti itu, mungkin dia tidak akan merasa sekacau ini.
Pantas saja, Qays dijuluki "majnun" yang berarti gila. Gila hanya karena cintanya kepada wanita bernama Layla. Rupanya seperti ini rasanya ditumbalkan iba. Hanya saja, berbeda dengan kisah itu, Irham merasa ia telah gila karena seolah tak bisa mencintai sosok yang telah menjadi istrinya. Dan, ia curiga itu karena perasaannya sudah tertinggal di wanita lain.
Tak ada lagi senyuman yang pernah menularkan bahagia untuknya. Bisa saja, yang tertinggal hanyalah rasa sesal yang tak tersembuhkan dalam hatinya. Seruni banyak mengajarinya tentang keberanian dan kemandirian. Meskipun kelemahan yang ada membuatnya ingin melindungi, tetapi ia tak bisa.
Terngiang ucapan sang abah tentang pernikahan demi kebaikan, nasab, dan keberlangsungan pesantren. Ataukah hanya untuk keberlangsungan "bisnis" berkedok agama? Sepemahamannya, Islam tidaklah sekaku itu dalam memberikan arahan tentang pernikahan. Sangat dangkal menurutnya jika perjodohan selalu dikaitkan dengan dalih "demi kebaikan". Kebaikan apa yang melanggengkan tradisi perjodohan yang seolah menjadi kewajiban? Demi nasab? Apakah keturunan kiai akan dipastikan nasabnya bagus? Apakah yang bukan keturunan kiai nasabnya tidak bagus?
Yah, lebih tepatnya untuk menjaga status sosial dan kharisma ketaatan dari masyarakat biasa. Mungkin juga, karena berpatokan bahwa adat bisa dijadikan sebagai sumber penghukuman. Dan, Irham takluk atas nama kepatuhan.
"Gus?" Sapa terdengar dari arah yang dibelakangi.
Irham menoleh dan menemukan wajah Naufal yang tersenyum hambar padanya.
"Kabar baik?" tanya lelaki yang telah menjadi sahabat karibnya sejak ia kembali ke Tanah Air.
Irham hanya mengangguk kecil. Masih berdiri menatapi permukaan kolam, embusan angin yang mengibaskan sarung tak membuatnya terganggu.
"Bahasa tubuhmu tak berkata demikian." Naufal tak menyetujui anggukan Irham sebagai jawaban bahwa sahabatnya itu baik-baik saja.
"Kujawab tidak baik pun, apa yang harus kukatakan?" Irham menyahut tanpa melihat lawan bicaranya.
"Setidaknya aku bisa menemanimu bermain badminton atau bola kaki." Naufal menepuk akrab pundak Irham.
Irham tersenyum. "Boleh."
💔💔💔
"Runi, coba lihat, deh." Adna menunjukkan foto seseorang yang dibagikan lewat status rekan pengajar di aplikasi obrolan.
Seruni yang baru mematikan laptopnya bertanya, "Apa itu?"
"Ada ustaz baru yang mengabdi di yayasan." Adna menjelaskan.
"Oh," sahut Seruni. Lalu membuka catatan tugasnya.
"Pantesan kamu dapat penghargaan ustazah terbaik. Rajinnya nggak ada lawan dari dulu." Adna mengomentari Seruni yang sejak menginap di rumahnya masih saja berkutat dengan tugas-tugas tambahan.
"Entah." Seruni mengangkat tangan menyerah.
"Oh iya, kamu punya rencana apa ke depan nanti?"
"Rencana?" Seruni mengerutkan dahi.
"Maksudku, apa masih ingin bertahan di pesantren Kiai Hasan?" Adna tiba-tiba ingin tahu setelah rentetan masalah yang menimpa sahabatnya itu.
Seruni termenung. Memang banyak yang harus ia pikirkan, termasuk apakah ia bisa terus bertahan untuk mengabdi di pesantren yang pelan-pelan meninggalkan kesan yang kurang nyaman untuknya sekarang.
💔💔💔
١٠ رجب ١٤٤٦ / 2025 Januari 10
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top