[20] Nafkah yang Lalai
Masih dengan alunan zikir semesta, dunia bergulir seirama. Walau dengan hiruk-pikuk kemaksiatan, amal kebajikan tetap memenangkan pertandingan. Di pagi hari yang telah kehilangan embun, sinar matahari menyelinap dari celah-celah pepohonan, menembus menerangi setiap aktivitas makhluk. Irham duduk di ruangan yang sama dengan Kiai Hasan dan Hilya. Tak ada rasa terbebani saat kalimat permintaan keluar dari lisan.
"Tutup kasus kecelakaan itu, Ba. Jangan kita bahas lagi." Irham berkata dengan serius. Namun, Kiai Hasan hanya membalas dengan tatapan misteri. Ada sorot ambigu di bola matanya yang masih terlihat menyejukkan.
"Jangan begitu, Mas. Mas itu korban." Hilya sewot. Ditatap suaminya yang sedang menatap sang abah tanpa goyah, seolah tidak peduli dengan tampang keheranan sang istri.
"Aku tak suka keadaanku menjadi pengundang belas kasihan." Irham kini menatap istrinya walau dengan raut tawar.
"Mas, nyawamu kemarin terancam dan sekarang bilang kasus ditutup?" Hilya menentang.
"Apa yang mau dicari?" Irham menagak.
Hilya membalas tatapan dengan resah bercampur kesal. "Setidaknya beri pelajaran orang yang jahat dan tak tahu diri."
Kiai Hasan hanya geleng-geleng kepala. "Kenapa kalian suka sekali berdebat? Semua bisa diselesaikan secara baik-baik."
Irham tidak menyahut, ia merasa tak ada guna membahas sesuatu yang mengusik ketenangan berlarut-larut.
"Hilya, kita bisa saja menuntut pelaku itu. Namun, pikirkan juga alasan dan efeknya. Apalagi sudah membawa-bawa nama Ustazah Seruni. Bisa-bisa lembaga kita yang bermasalah nantinya di mata masyarakat. Ini bukan tentang cara kita meningkatan kepercayaan umat untuk membela diri, tetapi motivasi untuk kewaspadaan ke depan." Kiai Hasan memberikan pendapat.
Hilya terdiam walau masih tak habis pikir dalam benaknya. Bahkan untuk memahami ujaran abah mertuanya masih terlalu berat baginya. Ia menghela.
"Abah, semua Hilya kembalikan keputusan pada Abah. Tapi izinkan Hilya meminta satu hal pada Mas Irham sebagai suami Hilya." Wanita itu akhirnya menyahut dengan menampakkan wajah memelas.
"Sampaikan." Kiai Hasan mempersilakan.
Pandangan Hilya kembali lagi pada Irham, menatap dalam-dalam sejenak. Kemudian menunduk dan memberanikan diri berkata.
"Mas Irham, bisakah tidak ada komunikasi apa pun dengan Seruni mulai detik ini? Termasuk masalah pekerjaan sekalipun."
Bunyi detik dari jam dinding mengisi ruang kediaman.
"Irham, apa jawabanmu?" Kiai Hasan menagih. Ia sebenarnya juga masih menaruh teka-teki tentang hubungan putranya dengan Seruni. Apalagi dahulu sempat ada isu tentang kedekatan keduanya. Ditambah lagi Irham sempat meminta restu untuk pilihannya sendiri. Sayangnya, Kiai Hasan bukanlah tipe yang bisa diganggu gugat hajatnya jika menurutnya lebih baik untuk maslahat pesantren yang telah dirintisnya selama belasan tahun.
"Tidak ada sangkut pautnya dengan Ustazah Seruni." Irham menundukkan wajah, bukan merasa lengah, tapi menahan diri untuk tidak salah memilih kata. "Jangan sangkut pautkan siapa pun." Usai berkata sebagai penutup pertemuan yang seperti tanpa penyelesaian, Irham beranjak dari duduk. Lalu mengucapkan salam dan pergi.
Hilya memandangi kepergian suaminya dengan napas tertahan, lalu terembus seolah memberikan pesan beban.
"Baik-baik saja, Nduk?" Kiai Hasan khawatir. Diterkanya ada harap yang tak tertangkap.
Hilya menatap sejenak abah mertuanya itu, lalu menunduk, menahan air yang hendak luruh dari bola mata.
"Apakah Abah tahu Mas Irham tak mengharapkanku? Mengapa kalian yakin sekali menjodohkan kami? Apakah kami benar-benar jodoh?" Tiba-tiba pertanyaan-pertanyaan itu lolos dari lisan Hilya tanpa terhijab lagi.
"Jangan berpikir begitu, Hilya. Kami sudah memikirkan secara matang." Kiai Hasan menanggapi dengan kata-kata penekanan.
"Kupikir, ada kesempatan besar untuk bisa meraih hati Mas Irham. Sayangnya, Hilya lelah, Abah." Isak lolos tanpa bisa lagi ditahan. "Maaf, Abah, Hilya pamit dulu." Tanpa menunggu respons dari sang mertua lagi, Hilya beranjak dari duduk, menyalami Kiai Hasan, lalu pergi. Hilya ingin menumpahkan kesedihannya di tempat yang lebih tepat.
Bertepatan dengan kembalinya Hilya ke rumah huni, Nyai Latifa yang datang menjenguk terheran melihat putrinya terlihat sedang tak baik-baik saja. Segera ia menyusul dengan langkah tergesa.
"Hilya?" Nyai Latifa masuk melalui pintu depan yang tidak dikunci. Ditemukannya Hilya sedang duduk di sofa sambil sesenggukan.
"Hilya, kamu kenapa?" Nyai Latifa merengkuh tubuh Hilya. "Tentang Irham lagi?"
Hilya mengangguk. "Umi, maafkan Hilya yang selemah ini. Hilya selalu kalah jika berhadapan dengan Mas Irham. Hilya lelah, Umi."
"Hilya ...."
"Umi, mau sampai kapan hubungan suami istri setawar ini? Jangan harapkan cucu pada kami, sepertinya aku hanyalah sampah di mata Mas Irham, sehina apa Hilya sampai Mas Irham tidak sedikit pun berminat menyentuh Hilya?"
Tepat saat kata-kata penuh emosi tak tertahankan itu Hilya ungkapkan, Kiai Munawwar membuka pintu dan mendengarkan. Bagai tersengat listrik tegangan tinggi, Kiai Munawwar terbelalak dan segera mendekat.
Nyai Latifa langsung berdiri kaget saat tahu suaminya telah berada di antara mereka dan mengetahui kabar yang selama ini ia coba tutup karena berharap Irham segera melaksanakan tugasnya menafkahi Hilya lahir dan batin. Nyai Latifa paham bagaimana kiranya reaksi sang suami jika mengetahui.
"Mas, tidak jadi menemui Kiai Hasan?" Nyai Latifa mencoba mengalihkan.
Kiai Munawwar hanya menatap sekilas dan beralih lagi ke putrinya. "Katakan sekali lagi," titah Kiai Munawwar pada Hilya.
Hilya menghapus derai-derai air yang masih berlomba membasahi pipi. "Abah?"
"Katakan sekali lagi atau kuanggap apa yang kudengar tadi benar?" Napas Kiai Munawwar berat, menahan gejolak rasa kecewa.
Hilya hanya menunduk. Dia tak berani mengulangi ucapan yang tadi memang dia sadari keluar kendali. Nyai Latifa merangkul dan mengelus punggung Hilya, mencoba menghibur agar rileks.
Kiai Munawwar memilih meninggalkan kedua wanita yang tak diharap melemahkan sikapnya sebagai orang berpengaruh di masyarakat. Sudah dia anggap kediaman Hilya sebagai jawaban iya, ucapan yang dia dengarkan memang begitu adanya. Bukan kehendaknya untuk mengetahui informasi penting baginya itu, awalnya dia menyusul istrinya untuk mengambil sesuatu, tetapi di luar dugaan justru kalimat yang dilontarkan Hilyalah yang menjadi bekal menghadap rekan sekaligus besannya.
Seperti menularkan kehampaan dan kegagalan sebagai orang tua yang bertugas mendidik anak-anaknya, Kiai Hasan akhirnya mendengarkan keluhan dari Kiai Munawwar. Di akhir sesi pembahasan tentang hal-hal berkaitan pesantren, Kiai Munawwar mendedahkan rasa sesal.
"Mohon sampaikan ke putranya panjenengan, Yai. Gus Irham, coba tanyakan apa yang tidak menarik dari putriku Hilya. Aku sangat tidak ridha, putriku tidak dianggap sebagai istri."
Kiai Hasan mengerutkan kening. "Apa maksud panjenengan?"
"Gus Irham belum pernah menyentuh istrinya?" Kiai Munawwar menyampaikan dengan nada tanya agar tidak menimbulkan tuduhan.
Kiai Hasan terbelalak. Entah ini sudah ke berapa kalinya dia harus terkejut. Belum ada respons darinya karena bimbang. Laki-laki mana yang mengabaikan istri? Tidak cinta bukanlah alasan untuk mengabaikan nafkah sebagai suami.
"Hilya tidak pernah kuajari berbohong. Ucapannya tadi juga sungguh-sungguh. Itu keterlaluan, Yai. Saya merasa terhina sebagai orang tua Hilya." Kiai Munawwar memberikan suara kekecewaan.
Kiai Hasan msngangguk, mencoba tenang meskipun pikirannya kini kacau. "Akan saya sampaikan dan coba pastikan. Jika memang demikian, akan saya atasi."
Kiai Munawwar mengangguk. "Mohon dipastikan, Yai. Matur nuwun."
💔💔💔
٢٤ جمادى الآخر ١٤٤٦ ه |26 ,Desember 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top