[17] Penjelasan yang Sia-Sia
Irham membuka mata perlahan sesaat setelah Hilya meninggalkan ruang ia dirawat. Laki-laki itu sebenarnya sudah sadar saat sebelum Hilya datang. Ia hanya berpura-pura memejamkan mata dan membiarkan istrinya itu duduk lumayan lama, merenung di sampingnya dan berbisik. Saat mendengar bisikan istrinya tadi, Irham merasa semakin bersalah. Sampai detik ini, ia memang belum bisa menerima Hilya sepenuhnya.
"Maaf," ucapnya lirih.
Irham memejamkan mata, merasakan sisa rasa nyeri di bagian kepalanya. Ingatan kembali pada saat terakhir kali, sebotol kaca melayang ke kepalanya. Kekhawatiran itu apakah akan menjadi kekhawatiran baru? Irham sadar, jika keadaannya saat ini bisa menempatkan Seruni sebagai tersangka.
"Irham? Bagaimana keadaanmu?" Suara yang sudah sangat dikenali Irham terdengar.
Irham membuka kedua matanya dan melihat Nyai Zakiyah telah berada di ruangan. Wanita itu sedang sibuk memeriksa segala sesuatu sebagaimana sibuknya seorang ibu yang memperhatikan anaknya. Bahkan sekadar pada hal-hal kecil yang tampak remeh.
"Irham sudah membaik, Mi." Irham menjawab. "Umi sendirian?" lanjutnya dengan suara masih terdengar kaku dan lemah.
Nyai Zakiyah mengangguk, "Ning Hilya bukannya baru dari sini tadi?"
Irham membenarkan dalam hati namun mulutnya berkata lain, "Mungkin sebelum Irham bangun," dustanya.
"Abahmu belum bisa kemari lagi karena sedang menyelesaikan persoalan tentang kecelakaanmu kemarin." Nyai Zakiyah memberi tahu.
Sebagaimana prasangka Irham akan kecurigaan orang-orang terhadap Seruni, Hilya memang pulang segera karena ada janji dengan mertuanya. Kiai Hasan telah mendapatkan laporan dari Nyai Latifa dan memintanya untuk menemani sang mertua bertemu dengan Seruni.
"Umi sudah dengar dari semenjak kamu masuk rumah sakit. Semoga semuanya baik-baik saja." Nyai Zakiyah belum ingin menebak-nebak tentang kesalahan siapa pun.
Irham menatap langit-langit ruangan mengaminkan ucapan uminya, walaupun hatinya masygul.
💔💔💔
"Ustazah Seruni, dipanggil menghadap Kiai Hasan." Pesan itu disampaikan langsung oleh kepala madrasah kepada Seruni di jam mengajar terakhir.
Sejak pagi Seruni mencoba berpikir positif, tetapi selalu gagal saat beberapa rekan pendidik menatapnya risi. Sepertinya, orang-orang itu sudah mendapatkan berita buruk tentang Irham. Termasuk juga keikutsertaannya dalam masalah.
《Na, aku menemui Kiai Hasan dulu.》
Seruni mengirimkan pesan pada Adna yang tampak belum keluar dari kelas.
Di ruang tamu kediaman pengasuh yang luas, Seruni berhadapan dengan Kiai Hasan dan menantunya, Hilya.
"Coba jelaskan perkaranya, Ning Hilya." Suara teduh Kiai Hasan memulai pembicaraan.
"Ahad kemarin, saya melihat Ustazah Seruni di tempat kejadian, Abah." Hilya berkata tegas sembari menatap Seruni yang juga menatapnya.
"Saya ingin Ustazah Seruni memberikan penjelasan." Laki-laki berwibawa yang selalu Seruni patuhi titah bijaknya itu belum menunjukkan keberpihakan.
Sejak hari di mana putranya dilarikan ke rumah sakit, sudah ada desas-desus yang mengganggu pendengaran Kiai Hasan. Hari ini, ia ingin meminta pendapat langsung dari sosok yang dianggap menjadi bagian dari peristiwa yang terjadi.
"Benar, Kiai. Saya memang berada di tempat kejadian saat peristiwa itu berlangsung." Seruni membenarkan tudingan.
Kiai Hasan menghela napas pendek. "Ustazah Seruni tahu pelakunya?"
Seruni mengangguk. Terbayang wajah ketakutan Bakri saat menyadari kelakuan fatalnya.
"Siapa dia dan apa hubungan Ustazah degannya?!" Hilya langsung mencecar.
"Hilya, pelan-pelan, Nduk," tegur Kiai Hasan.
"Ngapunten, Abah. Hilya sangat tidak terima Mas Irham diperlakukan seperti itu. Jika Mas Irham kenapa-kenapa, siapa yang akan bertanggung jawab, Abah?" Suara Hilya yang bergetar diiringi wajah memelas membuat Kiai Hasan mengangguk-angguk paham.
"Saya tidak akan menuntut orang yang tidak bersalah. Jadi ceritakan apa yang sebenarnya terjadi." Kiai Hasan kembali meminta Seruni berbicara.
Seruni mengingat secara jelas bahwa pertemuannya dengan Irham hanyalah suatu ketepatan yang akhirnya terjalin menjadi nasib nahas bagi lelaki itu.
"Saat itu, ada pria berniat tidak baik menghadang saya sepulang belanja di pasar. Lalu, tanpa saya tahu ada Gus Irham datang. Mungkin hendak membantu saya, tetapi nasib buruk itu menimpa Gur Irham. Pria itu memukul kepala Gus Irham dengan botol yang dibawanya." Seruni mengatakan apa adanya.
Hilya menggerakkan bibir ke bawah sebagai tanda sangsi.
"Apa wanita baik-baik akan mengundang pria untuk berniat jahat?" Hilya memaksakan pendapatnya untuk mengejek.
Seruni tak menyangka Hilya akan mengucapkan kalimat yang jelas terdengar sedang merendahkan itu. Ia menatap istri Gus Irham dengan tanpa ekspresi.
Bahkan yang lebih mencengangkan baginya adalah reaksi Kiai Hasan yang diam. Meskipun ada raut tak setuju, tentu saja laki-laki karismatik itu lebih membela menantunya dibandingkan Seruni. Bahkan beranggapan bahwa reaksi Hilya adalah bukti kasihnya pada sang suami.
"Oh, satu hal lagi. Gus Irham berlaku seperti itu apa karena sebelumnya kalian pernah menjalin hubungan?" Tudingan Hilya semakin menjadi.
Tentu saja Seruni menolak tuduhan itu. Meskipun ia tahu Irham memang selalu menampakkan rasa sukanya baik diam-diam atau terang-terangan, tetapi tak pernah ada hubungan apa pun yang terjalin di antara mereka.
"Saya tidak pernah memiliki hubungan apa pun dengan Gus Irham." Seruni menegaskan.
Jika hati dinginnya memang benar-benar serius, bisa saja ia nekat memperjuangkan. Sayangnya tidak. Seruni paham, Gus Irham memiliki sikap pengecut yang bersemayam di balik kata taat pada orang tua. Itulah yang membuatnya tak pernah menganggap harapan Irham berarti baginya.
"Hanya suka?" Hilya masih keukeuh. Belum puas terhadap jawaban-jawaban yang diberikan Seruni.
"Cukup." Kiai Hasan risi mendengar percakapan yang mulai tidak berbobot. Isinya hanya seperti ungkapan kecemburuan.
Mata Hilya mulai merebak. "Abah, apakah wajar seorang istri tidak mendapatkan kasih sayang karena suaminya lebih peduli pada perempuan lain?" Suara goyah dibersamai air yang mengalir di pipinya yang mulus.
"Maaf." Seruni tidak bisa menanggapi lebih banyak. Ia memang tidak begitu memahami hal apa yang menjadi dasar keluarga Irham sekarang menghakiminya.
Kiai Hasan tiba-tiba mengingat ucapan Irham yang masih belum ia mengerti ditujukan untuk maksud apa.
"Bukankah tidak ada manusia yang lepas dari godaan, termasuk para pemuka agama? Bahkan ujian merasa paling baik, merasa lebih dari yang lain, bukankah itu suatu kesombongan?"
"Semoga Abah memikirkan lebih dalam pertanyaan itu."
Apakah maksud Irham bukan hanya tentang perjodohan Adiba, tetapi juga perjodohan yang sudah terjadi di antara Irham dengan Hilya?
"Ustazah Seruni, kita sudahi dahulu percakapan hari ini. Kita perlu merenungi hal apa yang sekiranya perlu kita selesaikan. Kembalilah." Kiai Hasan sudah menutup percakapan.
Setelah kepergian Seruni, Kiai Hasan menghibur dan menasihati menantunya.
"Tidak semua hal perlu kita tuduhkan. Tenangkan dulu hatimu, Nduk."
"Abah masih akan membela Ustazah Seruni? Bahkan setelah terbukti bahwa dia memang berada di tempat kejadian dan menyebabkan Gus Irham celaka?" Hilya tidak terima.
"Kita tidak bisa memutuskan sepihak."
"Apa perlu Hilya mengumpulkan saksi agar Abah percaya?"
Kiai Hasan menunduk dan beristighfar. Tugasnya untuk mengayomi secara adil sedang diuji sekarang.
💔💔💔
٢٧ رمضان ١٤٤٥ ه |7 ,April 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top