Qanita 9

Suara ketukan pintu membuatku segera beranjak dari kursi. Aku sedang menonton film kesukaan di pagi hari yang indah ini. Ya, setelah sekian lama tidak bisa tidur, akhirnya semalam aku beristirahat dengan nyenyak. Badanku seperti sudah diregenerasi lagi, otakku juga menjadi fresh. Rasanya menyenangkan.

Aku tak terlalu tahu penyebabnya. Apa karena menginap di rumah Mbak Ayana yang sejuk itu? Atau karena lantunan ayat suci alquran yang begitu merdu? Ah, lain kali mungkin aku coba menyetel murrotal sebelum tidur.

Setelah sampai di depan pintu, aku membukanya, orang yang sedari tadi ada di pikiranku ternyata sekarang ada di sini. Panjang umur dia.

"Assalamualaikum, Nita."

"Waalaikumussalam warohmatullah. Mbak Ayana?"

Perempuan itu tersenyum teduh. "Hai, Ta. Maaf ganggu."

"Nggak sama sekali kok, Mbak."

"Oh iya, ini ada makanan buat kamu." Mbak Ayana mengangasurkan kotak makannya ke arahku.

"Eh, kok jadi sering dikirimin makanan gini sih, Mbak. Jadi nggak enak," ucapku sembari menerima kotak itu. "Mana aku nggak pernah ngasih apa-apa lagi. Maklum, Mbak. Nggak bisa masak. Makasih ya."

Kekehan kecil keluar dari bibir Mbak Ayana. "Hehehe ... nggak papa. Mbak juga lagi seneng coba resep masakan, kok. Nggak ada yang bisa dijadiin ujicoba selain kamu."

Hidungku sedikit berkerut. "Oh, jadi aku dijadiin kelinci percobaan, nih."

Kali ini perempuan itu tertawa sembari menutup mulut, anggun sekali. "Maaf, deh."

"Nggak papa kali mbak. Kan gratis ini. Sejauh ini makanannya selalu top markotop!" Aku sedikit melirik isi kotak makanan Mbak Ayana. Bolu pisang sepertinya. Wah aku suka semua yang berbau pisang, yang kali ini pasti akan langsung aku habiskan. "Oh iya, Mbak. Masuk dulu, yuk."

"Eh enggak, deh. Aku masih harus beberes rumah dulu."

Rajin sekali Mbak Ayana ini, calon istri idaman setiap lelaki. Nggak kayak aku yang suka malas membersihkan rumah, nggak bisa masak. Heeemm. Kira-kira nanti Vino menyesal tidak ya kalau menikah denganku?

"Oh iya, Ta." Perkataan Mbak Ayana meraih perhatianku lagi. "Eeuummm gimana ngomongnya, ya?"

Mataku mengerjap, bingung. "Apa, Mbak?"

"Hari ini kamu libur, kan?"

"Iya, Mbak. Kenapa, Mbak?"

"Mbak mau ajak kamu. Itu juga kalau kamu mau."

"Ke mana, Mbak?"

"Ke pengajian."

Dahiku berkerut. "Hah? Pengajian?"

"Heem. Sejak kamu curhat kemarin, Mbak jadi mikirin kamu. Kamu bilang hidup kamu kurang tenang, kan? Mbak cuma bantuin kamu aja buat cari solusi. Tapi Mbak nggak maksa, kok. Kalau misal kamu nggak mau nggak papa."

"Eeeuumm ... gimana ya mbak? Aku rada minder kalau ikut perkumpulan kayak gitu. Mbak tahu sendiri aku gimana. Kelakuanku masih nggak baik, pakaianku juga kayak begini. Nanti malah jadi nggak ada yang nyaman kalau aku ikut kumpul."

"Di dunia ini banyak orang yang tidak baik, Ta. Tapi mereka berusaha memperbaikinya, termasuk Mbak."

Aku menggaruk pelipisku yang tidak gatal. Gimana, ya? Kadang pengen sih ikut, tapi ... apa aku bisa beradaptasi dengan mereka? Lingkungan yang benar-benar berbeda dengan pergaulanku.

" Ya udah deh, Mbak. Hari ini, kan? Jam berapa?"

Mbak Ayana tersenyum lebar, sebelum menjawab pertanyaanku, kelihatannya dia sangat senang.

***

Kami tiba si sebuah masjid dengan dua lantai yang didesain arsitektur eropa, ukiran kaligrafi di sisi temboknya memperindah suasana. Ubin yang sejuk saat kaki menjejak, membuatku ingin sekalin tertidur di sini, sepertinya akan sangat nyaman dan aku bisa sangat lelap. Haha kenapa aku jadi kepikiran hal itu? Sepertinya otakku konslet karena insomnia.

Mbak Ayana menggandeng tanganku untuk masuk lebih dalam. Mengenalkanku pada beberapa orang yang ia kenal, aku merasa canggung, tapi mereka seperti tak merasakan itu, mereka menyambutku seperti sahabat lama. Berjabat tangan, berpelukan, mencium pipi kiri dan kanan. Dan langsung bertanya kabar.

Mungkin karena kali ini aku terlihat seperti mereka, ya. Aku mengenakan setelan gamis yang menutup anggota tubuhku. Juga kerudung yang menutupi dadaku. Semua ini pinjaman dari Mbak Ayana. Awalnya aku merasa kurang nyaman tapi entah kenapa aku merasa cantik saat menatap cermin, seperti Mbak Ayana, terlihat anggun dan terhormat.

Ustadzah yang ada di hadapan kami sudah datang sedari tadi, usianya sepertinya pertengahan kepala tiga, aku mendengarkan dengan saksama isi dari kajiannya. Ada banyak ilmu baru yang aku dapat.

"Semua dari kita pasti sering merasakan perasaan resah, gelisah, gundah-gulana, dan segala macamnya."

Ya, itulah yang aku rasakan sekarang.

"Hal itu bisa dikarenakan kita mempunyai masalah. Entah itu masalah ekonomi, rumah tangga, dengan teman, keluarga, penyakit dan lain sebagainya."

Nah, aku masih belum menemukan alasan yang tepat untuk perasaanku yang kualami sekarang.

"Bahkan kita juga pasti pernah merasa keimanan kita menurun, benar-benar turun. Malas beribadah, hati serasa dikejar-kejar saat salat. Enggan membaca alquran."

Jleb! Tersindir.

"Kita juga kadang-kadang terlalu memikirkan dunia, rakus. Pemikiran kita hanya tentang bagaimana besok kita akan menjalani hari dengan indah, bekerja siang dan malam demi harta yang tak kita bawa mati. Mengejar cinta seorang hamba yang tak kekal abadi."

Hatiku berdesir, aku pribadi memang masih lebih banyak memikirkan dunia, masih merasa penghakiman mereka atas diriku adalah sesuatu yang penting. Aku takut kehilangan keluarga yang mencintaiku, aku takut dijauhi sahabatku, aku takut ditinggalkan pacarku. Aku takut akan semua hal di dunia ini, yang aku miliki terenggut paksa suatu saat nanti.

"Tapi semua itu ada obatnya."

Wajahku terangkat, memasang indera pendengaran lebih tajam.

"Dengan memikirkan pemutus kenikmatan dunia, yaitu kematian. Mengingat saat ruh kita berpisah dengan jasad. Apa yang akan kita bawa nanti? Apa bekal kita? Sesuatu yang kita takutkan akan terambil? Harta? Bahkan kita akan dikuburkan hanya dengan kain putih tanpa corak dan perhiasan apa pun. Orang-orang yang kita sayangi mungkin akan bersedih, tapi mereka tak bisa menemani kita di alam kubur. Kita sendirian. Dan lambat laun mungkin mereka akan bangkit dan melupakan kehadiran kita."

Bagai tersambar petir di siang bolong. Kata-kata itu menancap di hatiku. Mati. Ya, mati. Kita tak pernah tahu kapan Allah akan mencabut nyawa kita, memisahkan kita dengan orang yang kita cintai. Melepaskan seluruh ikatan dunia dari genggaman. Ya Allah. Bagaimana rasanya? Aku belum siap.

"Siap tidak siap, semua makhluk pasti akan merasakannya. Tak mengenal kata tunggu. Tua, muda. Sehat, sakit. Tak akan lepas dari jeratannya. Dan hanya satu hal yang bisa kita bawa. Keimanan kita. Amal ibadah yang terus mengalir mengiringi langkah kita. Lalu, jika iman saja kita tidak punya, kita bisa apa."

Allah, Ya Allah. Bagaimana ini? Bagaimana jika nyawaku tercabut sekarang? Di saat aku masih banyak dosa, jarang beribadah, belum menutup aurat.

Tanganku bergetar hebat, perasaan sesak luar biasa aku rasakan, ada yang menerobos keluar dari mataku, air menggenang di sana. "Ya Allah tolong beri aku kesempatan untuk bertobat sebelum ajal menjemput."

***

Mbak Ayana langsung menyongsongku saat aku keluar dari toilet, wajahnya menatap cemas. "Udah nggak apa-apa kan, Dek?"

Aku yang baru saja cuci muka dan merasa lebih segar tersenyum menanggapi. "Alhamdulillah, Mbak."

"Kamu kenapa tadi tiba-tiba keluar terus nangis? Mbak khawatir."

Wajahku tertunduk, jari-jariku memilin baju.

"Jujur, aku takut mbak. Aku takut mendengar ceramah tadi. Aku takut Allah akan mencabut nyawaku sebelum aku bisa memperbaiki diri. Aku ini masih hamba yang berlumuran dosa, Mbak. Tak punya bekal yang cukup untuk dibawa mati." Mengatakan hal ini membuat pipiku basah lagi, perasaan ini benar-benar menyiksaku.

Mbak Ayana merengkuh tanganku, menggenggamnya erat. "Allah sayang kamu, Dik. Makanya ia mengingatkanmu akan hal ini. Tak ada kata terlambat untuk berubah jika kamu memang ada kemauan. Allah juga Maha Pengampun. Dia selalu menerima tobat hambaNya, menerima dengan tangan terbuka saat mereka bersimpuh memohon ampunan dan mau berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi. "

Tobat? Apa aku bisa bertobat? Apa aku bisa mengesampingkan kehidupan duniaku?

~bersambung

Maaf untuk ketelatan updatenya. Kemarin sempat tidak enak badan. Insya Allah, jika tidak ada kendala, setelah ini diusahakan tidak molor lagi. Terima kasih atas pemaklumannya. 🙏🙏

Salam ukhuwah dari Biayanya Sha Dudu, Pim.

primamutiara_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top