Qanita 7

Aku tak percaya apa yang barusan Bos besar katakan. Dengan entengnya dia berkata lupakan masalah kemarin dan menyuapku dengan iming-iming menjadi seorang bintang film kalau mau menurutinya, tentu saja dengan syarat aku tak menyebarluaskan rekaman itu.

Jujur, aku emosi. Siapa yang tidak marah ketika harga dirinya diinjak-injak seperti ini? Andai aku benar-benar merekamnya, aku tak perlu banyak berpikir lagi, pasti aku umumkan ke media massa. Tapi sayangnya itu hanya gertakan. Kalau dia tahu semua itu, pasti tak akan melihatku sama sekali, menganggap semua angin lalu.

Kaleng kosong minuman aku tendang begitu saja saat aku ada di taman tak jauh dari agency. Aku butuh udara segar sekarang. Namun, suara kegaduhan dari balik pohon membuatku terkesiap.

"Ups, sor—Mas Dafa?"

Orang yang kupanggil namanya membulatkan mata sembari mengelus kepala. Sepertinya ia terkena kaleng yang aku tendang tadi.

"Ups. Maaf, Mas."

Mas Dafa menggeleng. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat, lalu memasang wajah datar.

Kalau aku lihat-lihat sedari awal tahu lelaki ini, dia memang selalu memasang wajah seperti itu, tanpa senyuman, tapi juga tidak galak. Matanya tidak tajam, tapi sayu, agak turun di ujungnya, alisnya tebal dan mendatar, seperti ulat bulu.

"Kamu tadi sudah bertemu dengan Pak Rangga?"

Ah, dia membicarakan bos besar.

"Iya."

"Lalu?"

"Eeuumm ya begitulah. Aku diminta tutup mulut soal Pak Syam, diiming-imingi jadi bintang film pula. Cih!"

"Oh."

Tak ada kata yang keluar dari mulut Mas Dafa lagi. Untuk sesaat kami terjebak dalam kebisuan. Aku juga bingung mau membicarakan apa, rasanya rikuh, kira-kira obrolan apa yang cocok untuk lelaki di hadapan ini?

"Ya udah, aku balik ke kantor dulu."

Eh? Kok malah pergi?

Hampir saja Mas Dafa beranjak dari tempat ia berdiri, mulutku tiba-tiba terbuka.

"Tunggu—Mas."

Tunggu? Memang untuk apa aku menahannya?

Mas Dafa berbalik, mengerutkan kening, seolah bertanya apa yang akan keluar dari mulutku.

"Jaket Mas Dafa masih aku bawa," ucapku akhirnya.

"Oh. Ya."

Aku merasa nada bicara lelaki di hadapanku ini sangat dingin, berbeda dengan orang luar yang biasa aku temui.

"Tadi udah aku masukin ke laundry, besok baru bisa aku kembaliin."

Mas Dafa mengangguk. "Sudah?"

Lagi-lagi dia bersiap untuk pergi, tapi kenapa hatiku merasa tidak rela?

"Tunggu, Mas."

Lelaki itu mengerem langkah lagi.

Mati! Aku mau ngomong apa lagi?

"Tadi, Bos besar bicara apa sama Mas Dafa? Melihat reaksi Mas tadi sepertinya—"

"Aku dipecat."

"Apa?" Aku tak bisa menyembunyikan kekagetanku. Bukannya Mas Dafa baru saja bekerja di perusahaan ini? Mana mungkin dia langsung dipecat? Dan jangan bilang semua gara-gara aku? "Kok bisa?"

Mas Dafa mengangkat bahu. "Bukan rezeki kerja di sini kali."

"Apa ini karena masalah Mas Dafa nolong aku kemarin? Kalau benar, aku harus bicara sama Bos Besar. Ini nggak adil!"

"Sudahlah." Mas Dafa mengibaskan tangan. "Lagian aku emang nggak terlalu suka di sana."

"Kenapa?"

"Aku ingin berkumpul dengan orang yang baik, dan menambah keimananku. Bukan sebaliknya."

"Maksudnya?"

"Nggak papa. Lupain aja."

Keningku berkerut. Tak mengerti apa yang Mas Dafa bicarakan.

"Aku balik, mau beresin barang-barang dulu," pamitnya.

Kali ini aku tak mempunyai keberanian untuk menahan langkah lelaki itu lagi. Hatiku rasanya sesak, merasa bersalah. Aku ingin melakukan sesuatu. Tapi apa?

***

"Ta! Woy!" Seseorang membuyarkan lamunanku, ternyata Damar. Ia memasang wajah agak garang kali ini.

"Hah?"

"Mikirin apaan, sih? Fokus, dong. Ini image yang mau lo munculin bukan gadis yang kosong pemikirannya," katanya sembari mengarahkan gayaku.

Aku memang sudah melakukan proses pemotretan lagi. Ada banyak pekerjaan yang menunggu, tapi pikiranku tidak fokus.

"Oh, sorry, Bang."

"Oke, kita mulai lagi, ya." Damar kembali bergelut dengan kameranya dan aku bergaya seperti biasa.

Untuk beberapa saat aku mencoba profesional, bekerja seperti biasa,meski tak dipungkiri, perasaan aneh itu masih ada. Aku sendiri tak mengerti, kenapa dipecatnya Mas Dafa, orang yang bahkan baru kuketahui namanya kemarin begitu berefek pada mood-ku seharian.

Aku menghela napas, lalu merapikan dandananku. Sepertinya aku harus mendinginkan otak setelah pulang.

"Gue bilang juga apa? Dia itu cuma cari sensasi aja kemarin, biar dapet promosi si Bos."

Obrolan itu tertangkap lagi, dari luar toilet yang sekarang aku diami.

"Eh iya, gue denger dia emang ditawarin ikut film apa gitu, duh! Jadi cewek kok caper amat, ya. Demi kepopuleran sampai menghalalkan segala cara, sampai buat drama dengan Pak Syam."

Hah! Lagi dan lagi, mereka pasti membicarakanku. Kenapa sepertinya hidupku menarik untuk dibahas, padahal aku tak pernah mengurusi hidup mereka.

"Tapi kan Pak Syam yang ngerayu dia, pakai grepe-grepe gitu."

Ah, akhirnya ada yang waras juga di antara mereka.

"Yang namanya cowok kalau nggak dikasih umpan, nggak bakalan kepancing kali."

"Eh! Lo, lo pada! Kurang kerjaan banget, ya. Sampai ngerumpiin orang?"

Hah? Suara yang terakhir terdengar tidak asing.

"Woy! Pake kabur lagi!" teriak suara itu lagi.

Segera aku keluar dari toilet, melongok ke sumber suara. Dan kulihat ada Amara di sana,

"Lo juga napa diem sih, Ta? Speak up, kek. Kalau lo nggak ngapa-ngapain, mereka malah makin ngelunjak ngomongin lo," ucapnya masih dengan nada tinggi saat melihatku keluar dari sana. "Mereka tuh sengaja. Tahu kalau lo di dalem, makanya koar-koar kayak gitu."

Ada desahan pasrah keluar  dari mulutku. "Udahlahn kalau gue lawan apa menjamin juga mereka bakalan diem?"

"Gue tuh greget sama pola pikir lo, deh. Tauk ah!" Amara mulai memasang wajah ngambeknya, dan bibirku tak kuasa bergerak ke samping karena itu.

"Tapi, btw, thanks ya elo udah belain gue. Lo emang sahabat gue yang paling the best!"

"Dih!" ucapnya sembari melirik ke arahku, sudah terlihat tidak lagi marah. Sekarang bahkan tubuhnya sudah menghadapku dengan sempurna. "Eh, dari tadi gue perhatiin lo pas pemotretan. Lo kayaknya nggak fokus ya, Ta? Kenapa? Masih kepikiran kejadian kemarin?"

"Tadi pagi sih masih kepikiran, tapi sekarang gue kepikiran hal yang lain, Ra."

"Hal yang lain?"

"Lo udah denger kabar soal Mas Dafa? Dia dipecat."

Amara mendengkus. "Oh iya, udah."

"Kok respons lo gitu banget, sih?"

"Ya terus gue harus gimana? Berteriak wow sambil koprol gitu?"

Cih! Dasar anak tidak punya perasaan!

"Emang sih rasanya nggak adil buat Mas Dafa, tapi kalau udah jadi keputusan Bos kayak gitu kita harus gimana lagi? Yang terpenting buat gue sih, Bos nggak macem-macem sama lo."

Hah! Seharusnya aku hapal sifat Amara, dia memang terlihat sangat peduli dengan orang yang dekat dengannya, tapi jangan tanya jika dia tak mengenal orang itu, cueknya minta ampun. Itu juga yang membuat orang jadi susah mendekatinya.

"Ya udah ah, ayok cabut!"

Aku mengangguk, lemas. Masih belum menemukan solusi untuk membantu Mas Dafa. Bagaimanapun juga Mas Dafa kehilangan mata pencahariannya karena aku. Mungkin saja ia tulang punggung keluarga, mungkin saja ia

"Lo terlalu banyak mikir!"

"Hah?" Aku mendadak menoleh mendengar gumaman Amara.

"Jangan terlalu sering merasa bersalah, kadang hidup memang sekejam itu. Kita perlu cuek juga. Setidaknya dengan begitu otak kita bisa tetap waras."

Aku tak berniat untuk membalas omongan Amara.

"Lo masih susah tidur, kan? Itu karena lo sering mikirin hal yang nggak penting kayak gini, Ta. Gue tuh care sama lo. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa."

"Tapi bagi gue ini penting, Mar. Mas Dafa adalah orang yang nolong gue. Lo tahu? Kalau nggak karena dia, gue nggak tahu kemarin jadi apa."

Amara mengembuskan napas kasar. "Oke, gimana kalau kita samperin Mas Dafa biar bikin hati lo sedikit tenang."

Wajahku yang semula muram berubah ceria. Ini dia serius? Kenapa mendadak berubah baik begini? Kesambet jin mana anak ini? "Boleh?"

"Ya, setidaknya kalau lo tahu kondisinya baik-baik aja. Lo nggak terus-terusan kayak orang stress. Pusing gue lihatnya."

"Eh, tapi ... kita kan nggak punya kontak Mas Dafa. Gimana bisa ketemu coba?" Aku menyadari sesuatu. Aku memang tidak tahu apa-apa soal lelaki penolongku itu.

"Gue punya."

"Serius, Ra?" Mataku membulat tak percaya.

"Ayok ah!"

Aku memeluk sahabatku itu. Yah, dia memang tidak sejahat yang terlihat, karena itulah aku menyayanginya. "You are my best friend, Ra."

"Iuh! Lepasin!" Amara menghempaskan tanganku yang melingkar di pundaknya. "Kita langsung cabut aja. Gue tahu kita harus ke mana."

*Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top