Qanita 2
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kecantikan memang bukan hanya bisa menjadi anugerah, melainkan juga ujian.
***
Entah sudah berapa sesi foto yang aku lakukan, rasanya lelah. Pekerjaan ini sepertinya memang terlihat gampang, hanya sekadar action di depan kamera. Tapi percayalah, yang namanya bekerja itu tak pernah mudah.
"Oke, sip. Keren! Untuk hari ini segini aja." Damar, fotografer hari ini akhirnya menyudahi pekerjaan kami dan membuatku bernapas lega.
"Good job every body!"
Aku tersenyum, dan segera berlari ke kursi yang disediakan tidak jauh dari sana sembari membuka ponsel, mengupdate beberapa sosmed. Aku cukup aktif di sosial media, terutama instagram, followersku juga tidak bisa dikatakan sedikit.
Menjadi selebgram juga bisa menambah penghasilan, bisa dari endorse, atau juga mengangkat namaku lebih tinggi lagi. Tak jarang beberapa klien tertarik hanya karena aku memajang foto di sana.
Aku mengarahkan kamera ke wajah, tidak perlu susah-susah berpose, aku hanya ingin mengupdate kegiatan melalui snapgram saja.
Satu jepretan, memberi sedikit filter klasik dan menuliskan beberapa tulisan serta gift di foto itu. Beres! Upload!
"Selfie mulu, ye?"
"Mau ikutan?" Aku membuka lagi tombol kamera lebih luas, dan Damar bersiap di belakang, bergaya.
"Gaya lo mah sama aja dari dulu." Kulihat foto yang sudah diambil, bagus. "Gue posting di insta story, ya?"
Dan raut wajah Damar langsung kelabakan. "Wah ... jangan deh, Ta. Berabe entar urusannya."
"Berabe apaan coba?"
"Cewek gue tuh cemburu kalau gue deket sama lo."
Aku berdecak malas, alasan klise. "Tapi kan kita nggak ada hubungan apa-apa. Foto kita juga jauh-jauhan gini, kok."
"Iya, tapi repot deh nanti urusannya. Udah beberapa kali gue berantem sama dia karena lo soalnya."
Pikiran cewek terkadang memang rumit. "Cih! Perasaan kita kalau foto juga bareng sama anak-anak."
"Ya elo sih, cantiknya kebangetan, pakaiannya seksi pula. Siapa yang nggak cemburu kalau cowoknya deket sama lo."
Entah sudah berapa kali aku menghela napas hari ini. "Ternyata gara-gara itu?"
Terkadang kecantikan memang bukan hanya bisa menjadi anugerah, melainkan juga ujian.
Damar tertawa, dan menepuk pundakku. "Gue, cabut dulu, ya. Inget jangan dipost!"
Gumaman terdengar dari bibirku. Lalu menghela napas. Melihat sekitar, tak banyak talent yang akrab denganku sekarang. Sayangnya, job-ku dan Amara juga sering tak bersinggungan meski kita dari agency yang sama. Yah, pasar kita memang sudah berbeda. Dia masih laku untuk remaja, sedangkan aku di majalah dewasa.
Daripada bosan sendirian, lebih baik langsung ke rumah saja.
Sebelum bergegas pergi, aku ke toilet terlebih dahulu, sepertinya harus menyelesaikan panggilan alam.
Setelah selesai, dan baru saja ingin keluar dari sana, kurasakan beberapa orang perempuan melempar pandangan tidak bersahabat padaku, tapi aku berusaha masa bodoh saja dan terus melangkah keluar.
Belum juga pergi, high heels-ku seperti mau copot, dan aku berhenti sejenak. Tapi sepertinya pilihan itu tidak tepat karena dengan berlama-lama di sana aku jadi mendengar hal yang seharusnya tidak pernah kudengar.
"Kamu lihat si Tata gak sih? Gayanya sok cantik banget, ya. Mana pakaiannya kayak orang kurang bahan begitu lagi?"
Oh ya, Tata adalah nama panggungku. Sang manajer yang mengusulkannya dulu. Katanya nama Qanita terlihat tidak cocok dengan profesiku. Jadi jelas sekali, kumpulan perempuan itu sedang membicarakanku sekarang.
"Wajar aja, namanya juga cewek jablay," ucap seseorang dengan suara yang berbeda dan membuat jantungku berhenti berdetak untuk sesaat.
"Kabarnya sih dia itu simpenan Pak Bos. Inget kemarin lusa saat dia masuk ke kantornya dan nggak keluar selama setengah jam itu nggak? Katanya mereka lagi in in the hoy di dalem. Makanya gak ada yang berani ganggu."
Kupingku rasanya panas. Waktu itu aku hanya membicarakan pekerjaan kepada Pak Rangga. Seharusnya memang bersama manajerku, Ryan. Tapi Ryan mendadak perutnya mulas dan tak bisa ikut. Bagaimana bisa mereka membuat gosip aneh seperti itu?
Aku menghentakkan kaki, kesal. Seharusnya aku memang tidak pernah mendengar hal ini. Membuat mood-ku anjlok saja.
***
Malam ini aku harus pulang naik taksi karena Vino tidak bisa menjemputku, aku tinggal di sebuah kompleks perumahan, tidak terlalu mewah, cukup untuk kantongku yang hidup di kota perantauan.
Keluargaku tinggal di Bandung, dan sejak lulus kuliah aku memutuskan untuk merantau ke Jakarta, awalnya aku mencari pekerjaan yang cocok untuk jurusanku dulu, sekretaris, tapi nasib justru membawaku sebagai model, dan yaah ... tidak bisa dipungkiri, gajinya lumayan untuk bertahan hidup. Awalnya aku menganggap ini sampingan, daripada aku nganggur dan buang-buang uang orang tua, tapi kelamaan namaku semakin berkibar, dan pekerjaan ini menjadi pekerjaan utamaku.
Sesaat setelah aku keluar dari taksi karena sudah sampai di tempat tinggalku, aku melihat ada sebuah mobil box besar di pelataran tetangga. Rumah itu lama tidak dihuni, mungkin sekarang sudah ada yang deal meninggalinya.
Aku membersihkan diri untuk beberapa saat setelah sampai rumah, rasanya sungguh segar. Baru saja keluar dari kamar mandi, bunyi bel pintu mengusikku.
Siapa yang datang malam-malam begini?
Kulangkahkan kaki untuk membuka pintu, dan di depan sana terlihat perempuan dengan gamis panjang, berumur sekitar akhir kepala dua, sangat cantik dan anggun, apalagi saat bibirnya tertarik ramah. Entah kenapa rasanya jadi kikuk, aku melihat dandananku sekarang, hanya mengenakan tank top dan celana sepaha, ini adalah seragamku di rumah, tapi saat membandingkan apa yang dikenakan perempuan ini kenapa rasanya jadi tidak nyaman.
"Assalamualaikum."
Mataku mengerjap, kaget. "Ah ya, waalaikumussalam. Ada apa ya, Mbak?"
"Maaf ganggu, saya tetangga baru di sebelah."
Aku meringis, masih merasa tidak enak.
"Nama saya Ayana." Perempuan itu mengulurkan tangan.
"Qanita."
"Wah! Nama yang bagus. Artinya juga bagus."
Sekali lagi aku meringis, menggaruk belakang kepala, masih belum bisa menguasai emosiku. "Ada apa ya, Mbak?"
"Sebenernya saya nggak enak, masih baru di sini tapi mau ngrepotin. Jadi gini, Dik. Tadi setelah pindahan, saya mau membersihkan diri, tapi ternyata air PAM-nya belum nyala. Jadi ...." Dia menggantung ucapan, sepertinya merasa rikuh.
"Mau pinjam kamar mandi?"
Anggukan kepala menjadi jawaban.
"Oh, silakan saja, Mbak."
"Waaahh makasih ya, Dik. Oh iya, sebelumnya. Saya tadi bawa masakan dari rumah lama barangkali adik mau." Mbak Ayana mengulurkan sebuah kotak Tupperware ke arahku.
"Ah, nggak usah repot-repot, Mbak." Aku menolak sopan.
"Beneran, nggak papa. Maaf cuma sisa, tadi sempat saya bagi juga dengan teman yang membantu pindahan."
Sepertinya tidak sopan jika aku tidak menerimanya. "Oh, iya. Terima kasih. Mari mbak, masuk. Kamar mandinya ada di sana." Aku menunjuk ruangan dekat dapur yang dapat terlihat dari tempat kamu berdiri.
"Iya, terima kasih."
Saat itu aku tak sadar, bahwa pertemuanku dengan Mbak Ayana, tetangga baruku, akan menjadi awal dari sebuah perubahan, perubahan kehidupanku, juga pola pikir dan nasibku. Semuanya.
*Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top